arafahdira
Menurut Ide Anak Agung Gde Agung, penjajagan itu sudah dilakukan sejak tahun 1808 ketika mereka menugaskan Kapten Van der Wahl ke Bali. Ia berhasil mengadakan perjanjian persahabatan dengan Raja Badung I Gusti Ngurah Made Pemecutan. Dalam perjanjian itu antara lain disebutkan Wahl mengakui Gusti Ngurah Made Pemecutan sebagai susuhunan, junjungan raja seluruh pulau Bali. Keputusan itu disebut sebagai kesalahan politik Wahl karena status itu dipegang oleh Raja Klungkung sebagai penerusdinasti Dalem Gelgel. Sebagai imbalan atas dukungan itu, pihak Raja Badung memberikan persetujuan kepada Belanda membuat benteng-benteng, pangkalan meriam, dan mendaratkan pasukan tak terbatas di wilayah kerajaan Badung. [Gde Agung, p. 42] Ide Anak Agung Gde Agung menyebutkan raja-raja Bali menentang isi perjanjian itu, karena akan dapat membahayakan kekuasaan mereka masing-masing. Perjanjian itu tidak disetujui oleh Gubernur Jenderal Willem Herman Daendels di Batavia. Tantangan itu mengakibatkan I Gusti Ngurah Made Pemecutan mengundurkan diri sebagai Raja Badung pada tahun 1810 dan kekuasaannya digantikan oleh putranya. Tujuh tahun kemudian, tanggal 1 Desember tahun 1817 Komisaris H.A. van den Broekdatang ke Bali untuk mengunjungi Raja Kerajaan Buleleng. Ia kemudian meneruskan perjalanan ke timur. Tanggal 18 Desember 1817 ia mengadakan pertemuan dengan Raja Kerajaan Karangasem dan tanggal 23 Januari 1818 dengan Raja Badung I Gusti Gde Ngurah Kesiman. Raja Badung memanfaatkan kedatangan Broek untuk kepentingan politik dan ekonomi. Secara politik, ia mendesak Belanda supaya mau membantunya dalam menghadapi Lombok. Sebagai imbalannya, Raja Badung menginjinkan Belanda membangun kantor perdagangan di Badung, namun bukan dipelabuhan, melainkan di pantai. Namun rencana itu dibatalkan karena Raja Badung khawatir akan menimbulkan kecemburuan raja-raja lain di Bali. Raja Badung sempat mengajukan naskah pejanjian kepada Broek, namun ditolak karena tidak menguntungkan Belanda secara politik dan ekonomi, karena menempatkan seolah-olah Kerajaan Belanda lebih kecil daripada Kerajaan Badung dan teksnya tidak menyebutkan perjanjian izin membangun kantor pedagangan di Badung. Sebagai gantinya, Broek yang mengajukan naskah perjanjian, namun ditolak oleh Raja Badung. Dengan demikian, misi Belanda menguasai Badung dengan bersembunyi di balik kepentingan ekonomi gagal. Pada tahun 1824, Belanda mengulangi lagi usaha menjalin persahabatan dengan Raja Badung. Kali ini yang dikirim orang keturunan Arab bernama Pangeran Said Hasan al Habeshi. Ia datang bersama sekretarisnya Abdullah bin Muhammad el Mazrie. Mereka tinggal di Bali dari tahun 1820-1824.