1. Perkembangan historiografi Indonesia pada awalnya tidak terlepas dari perspektif/sudut pandang kolonial. Para sejarawan — sejarawan Barat pada umumnya menekankan Neerlandosentrisme dan Eropasentrisme dalam pokok pembahasan mereka yang menceritakan mengenai orang Eropa di seberang lautan, dalam hal ini wilayah Hindia Belanda. Penduduk lokal seakan — akan hanya berperan sebagai figuran dalam historiografi pada masa itu. Meskipun ada beberapa tokoh yang menggunakan sumber — sumber lokal, tetapi kevalidan dari sumber — sumber tersebut dinilai kurang karena kebanyakan berisi cerita — cerita yang penuh dengan mitos dan tidak realistik. Kemudian periode baru perkembangan historiografi dimulai dengan munculnya studi sejarah yang kritis. Husein Djajadiningrat hadir dengan Tinjauan Kritis Sadjarah Banten yang menggunakan pendekatan studi filologis dan analisis kritis terhadap sumber historiografi tradisional.[1]
Pemikiran mengenai Sejarah Nasional muncul ketika pembentukan kesadaran nasional dirasa begitu mendesak. Tidak dapat dipungkiri bahwa Seminar Sejarah Nasional pada tahun 1957 mempengaruhi adanya keperluan menciptakan suatu Sejarah Nasional yang, selain memupuk nasionalisme, juga dapat menyatukan. Penggunaan sudut pandang Eropasentris yang identik dengan sejarah Kolonial diganti dengan perspektif orang Indonesia. Penggantian ini dibutuhkan karena historiografi Kolonial dirasa tidak relevan lagi dengan cerita masa lampau bangsa Indonesia.[2]
Sartono Kartodirdjo kemudian memperkenalkan perspektif Indonesiasentris. Perspektif ini dirasa sangat penting dalam membentuk Sejarah Nasional karena menjadikan orang Indonesia sebagai pusat kajian dalam historiografi. Namun, apakah perspektif Indonesiasentris ini berhasil dalam perjalanannya membangun Historiografi Indonesia, terutama Sejarah Nasional?
Menurut Sartono Kartodirdjo, perspektif Indonesiasentris ini membawa implikasi metodologis bahwa dalam menulis sejarah Indonesia pada masa penjajahan perlu memusatkan perhatian kepada sejarah lokal dengan tujuan menonjolkan peranan bangsa Indonesia. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa perspektif Indonesiasentris berhasil memupuk rasa nasionalisme di kalangan masyarakat Indonesia. Terlepas dari itu, perspektif ini rupanya memiliki beberapa kelemahan. Salah satunya adalah masih kentalnya orang Belanda sebagai pusat peristiwa dalam Sejarah Nasional. Sebagai contoh adalah peristiwa pada periode Revolusi 1945–1949. Dalam periode tersebut, Belanda dengan jelas ditempatkan sebagai pusat dari seluruh perlawanan rakyat Indonesia. Maksudnya di sini adalah jika tidak ada Belanda yang datang kembali dengan dalih Aksi Polisionilnya, maka tidak akan ada cerita mengenai perjuangan Indonesia melawan Belanda pada periode Revolusi tersebut.
Bambang Purwanto dalam beberapa kesempatan menyampaikan bahwa perspektif Indonesiasentris, walaupun berhasil membangun kesadaran nasional, telah gagal dalam menyusun konsep orang Indonesia sebagai pusat dalam historiografi. Hal ini disebabkan karena adanya keterkaitan aksi — reaksi antara sudut pandang Eropasentris dan Indonesiasentris. Eropasentris sebagai pemicu adanya Indonesiasentris. Selain itu, faktor lain yang menyebabkan perspektif Indonesiasentris ini tidak berhasil adalah banyaknya perbedaan sudut pandang dalam sejarah lokal. Perbedaan ini mempengaruhi kesatuan cara pandang kita dalam Sejarah Nasional. Contohnya adalah Sultan Agung. Dalam perspektif Nasional, beliau adalah pahlawan karena memerangi Belanda di Batavia. Namun dari perspektif masyarakat pesisir Utara Jawa, Sultan Agung dianggap bukan sebagai pahlawan karena kebijakan ekspansi kerajaannya yang menyebabkan derita bagi masyarakat pesisir Utara Jawa.
Terlepas dari segala kekurangannya, perspektif Indonesiasentris ini merupakan sebuah cara pandang baru dalam melihat Indonesia sebagai Sejarah Nasional.
2. Indonesian Trade and Society, Indonesian Sociological Studies, Indonesian Society in Transition
Jawaban:
1. Perkembangan historiografi Indonesia pada awalnya tidak terlepas dari perspektif/sudut pandang kolonial. Para sejarawan — sejarawan Barat pada umumnya menekankan Neerlandosentrisme dan Eropasentrisme dalam pokok pembahasan mereka yang menceritakan mengenai orang Eropa di seberang lautan, dalam hal ini wilayah Hindia Belanda. Penduduk lokal seakan — akan hanya berperan sebagai figuran dalam historiografi pada masa itu. Meskipun ada beberapa tokoh yang menggunakan sumber — sumber lokal, tetapi kevalidan dari sumber — sumber tersebut dinilai kurang karena kebanyakan berisi cerita — cerita yang penuh dengan mitos dan tidak realistik. Kemudian periode baru perkembangan historiografi dimulai dengan munculnya studi sejarah yang kritis. Husein Djajadiningrat hadir dengan Tinjauan Kritis Sadjarah Banten yang menggunakan pendekatan studi filologis dan analisis kritis terhadap sumber historiografi tradisional.[1]
Pemikiran mengenai Sejarah Nasional muncul ketika pembentukan kesadaran nasional dirasa begitu mendesak. Tidak dapat dipungkiri bahwa Seminar Sejarah Nasional pada tahun 1957 mempengaruhi adanya keperluan menciptakan suatu Sejarah Nasional yang, selain memupuk nasionalisme, juga dapat menyatukan. Penggunaan sudut pandang Eropasentris yang identik dengan sejarah Kolonial diganti dengan perspektif orang Indonesia. Penggantian ini dibutuhkan karena historiografi Kolonial dirasa tidak relevan lagi dengan cerita masa lampau bangsa Indonesia.[2]
Sartono Kartodirdjo kemudian memperkenalkan perspektif Indonesiasentris. Perspektif ini dirasa sangat penting dalam membentuk Sejarah Nasional karena menjadikan orang Indonesia sebagai pusat kajian dalam historiografi. Namun, apakah perspektif Indonesiasentris ini berhasil dalam perjalanannya membangun Historiografi Indonesia, terutama Sejarah Nasional?
Menurut Sartono Kartodirdjo, perspektif Indonesiasentris ini membawa implikasi metodologis bahwa dalam menulis sejarah Indonesia pada masa penjajahan perlu memusatkan perhatian kepada sejarah lokal dengan tujuan menonjolkan peranan bangsa Indonesia. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa perspektif Indonesiasentris berhasil memupuk rasa nasionalisme di kalangan masyarakat Indonesia. Terlepas dari itu, perspektif ini rupanya memiliki beberapa kelemahan. Salah satunya adalah masih kentalnya orang Belanda sebagai pusat peristiwa dalam Sejarah Nasional. Sebagai contoh adalah peristiwa pada periode Revolusi 1945–1949. Dalam periode tersebut, Belanda dengan jelas ditempatkan sebagai pusat dari seluruh perlawanan rakyat Indonesia. Maksudnya di sini adalah jika tidak ada Belanda yang datang kembali dengan dalih Aksi Polisionilnya, maka tidak akan ada cerita mengenai perjuangan Indonesia melawan Belanda pada periode Revolusi tersebut.
Bambang Purwanto dalam beberapa kesempatan menyampaikan bahwa perspektif Indonesiasentris, walaupun berhasil membangun kesadaran nasional, telah gagal dalam menyusun konsep orang Indonesia sebagai pusat dalam historiografi. Hal ini disebabkan karena adanya keterkaitan aksi — reaksi antara sudut pandang Eropasentris dan Indonesiasentris. Eropasentris sebagai pemicu adanya Indonesiasentris. Selain itu, faktor lain yang menyebabkan perspektif Indonesiasentris ini tidak berhasil adalah banyaknya perbedaan sudut pandang dalam sejarah lokal. Perbedaan ini mempengaruhi kesatuan cara pandang kita dalam Sejarah Nasional. Contohnya adalah Sultan Agung. Dalam perspektif Nasional, beliau adalah pahlawan karena memerangi Belanda di Batavia. Namun dari perspektif masyarakat pesisir Utara Jawa, Sultan Agung dianggap bukan sebagai pahlawan karena kebijakan ekspansi kerajaannya yang menyebabkan derita bagi masyarakat pesisir Utara Jawa.
Terlepas dari segala kekurangannya, perspektif Indonesiasentris ini merupakan sebuah cara pandang baru dalam melihat Indonesia sebagai Sejarah Nasional.
2. Indonesian Trade and Society, Indonesian Sociological Studies, Indonesian Society in Transition