Joey Alexander Sila lahir di Bali, Indonesia, dari pasangan Denny Sila dan Farah Leonora Urbach, yang menjalankan usaha wisata petualangan. Ini dia adalah keponakan dari penyanyi Nafa Urbach. Ayahnya adalah musisi amatir, dan kedua orang tuanya adalah penggemar musik jazz, khususnya karya Louis Armstrong. Alexander belajar jazz dengan mendengarkan album klasik ayahnya. Pada usia enam tahun ia belajar sendiri bermain piano dengan keyboard listrik kecil pemberian ayahnya dengan mendengarkan komposisi seperti "Well, You Needn't" karya Thelonious Monk dan lagu-lagu jazz lain yang dikoleksi ayahnya. Alexander mengatakan bahwa baginya belajar alat musik terasa alamiah;orang tuanya yang beragama Kristen, percaya bahawa bakatnya adalah "anugerah Tuhan".[8] Alexander menganggap Monk, John Coltrane, Harry Connick, Jr., Bill Evans dan Herbie Hancock sebagai panutan musiknya, selain juga mengagumi Clifford Brown, Miles Davis, Wynton Marsalis, Brad Mehldau, Lee Morgan, Horace Silver dan McCoy Tyner.
Karena tidak ada kursus jazz formal di kampung halamannya, Alexander mulai bermain dalam jam session bersama musisi berpengalaman di Bali dan Jakarta, di mana akhirnya keluarganya menetap setelah menutup bisnis wisatanya supaya Alexander dapat tingal dekat dengan musisi jazz papan atas Indonesia. Alexander bermain untuk Hancock pada usia 8 tahun ketika ia mengunjungi Jakarta sebagai duta UNESCO. Hancock berkata pada Alexander bahwa ia yakin padanya, dan Alexander kemudian melukiskan hal itu sebagai "hari ketika aku mempersembahkan masa kecilku untuk jazz". Pada usia 9 tahun, Alexander meraih Grand Prix dalam Master-Jam Fest 2013, kompetisi musik jazz untuk segala usia di Odessa, Ukraina, yang diikuti 43 musisi dari 17 negara. Alexander dan keluarganya pindah ke New York pada tahun 2014.
Joey Alexander Sila lahir di Bali, Indonesia, dari pasangan Denny Sila dan Farah Leonora Urbach, yang menjalankan usaha wisata petualangan. Ini dia adalah keponakan dari penyanyi Nafa Urbach. Ayahnya adalah musisi amatir, dan kedua orang tuanya adalah penggemar musik jazz, khususnya karya Louis Armstrong. Alexander belajar jazz dengan mendengarkan album klasik ayahnya. Pada usia enam tahun ia belajar sendiri bermain piano dengan keyboard listrik kecil pemberian ayahnya dengan mendengarkan komposisi seperti "Well, You Needn't" karya Thelonious Monk dan lagu-lagu jazz lain yang dikoleksi ayahnya. Alexander mengatakan bahwa baginya belajar alat musik terasa alamiah;orang tuanya yang beragama Kristen, percaya bahawa bakatnya adalah "anugerah Tuhan".[8] Alexander menganggap Monk, John Coltrane, Harry Connick, Jr., Bill Evans dan Herbie Hancock sebagai panutan musiknya, selain juga mengagumi Clifford Brown, Miles Davis, Wynton Marsalis, Brad Mehldau, Lee Morgan, Horace Silver dan McCoy Tyner.
Karena tidak ada kursus jazz formal di kampung halamannya, Alexander mulai bermain dalam jam session bersama musisi berpengalaman di Bali dan Jakarta, di mana akhirnya keluarganya menetap setelah menutup bisnis wisatanya supaya Alexander dapat tingal dekat dengan musisi jazz papan atas Indonesia. Alexander bermain untuk Hancock pada usia 8 tahun ketika ia mengunjungi Jakarta sebagai duta UNESCO. Hancock berkata pada Alexander bahwa ia yakin padanya, dan Alexander kemudian melukiskan hal itu sebagai "hari ketika aku mempersembahkan masa kecilku untuk jazz". Pada usia 9 tahun, Alexander meraih Grand Prix dalam Master-Jam Fest 2013, kompetisi musik jazz untuk segala usia di Odessa, Ukraina, yang diikuti 43 musisi dari 17 negara. Alexander dan keluarganya pindah ke New York pada tahun 2014.