Seorang pedagang dari Yaman yang berasal dari kabilah Zabid datang ke kota Mekkah membawa barang dagangan. Lalu ada seorang lelaki dari suku Quraisy yang membeli barang darinya. Lelaki ini terkenal akan kekejaman, kejahatan dan kezalimannya. Ia adalah Al ‘Ash bin Wa’il As Sahmi, yang merupakan ayah dari sahabat Nabi Amr bin Al ‘Ash dan Hisyam bin Al ‘Ash radhiallahu’anhuma. Ketika Al ‘Ash mendapatkan barangnya dan sudah diletakkan di tempatnya, ia tidak mau membayar kepada si pedagang.
Si pedagang tersebut berusaha minta tolong kepada para penduduk dan pembesar Quraisy untuk membantunya namun usahanya sia-sia. Setelah putus asa, ia pergi ke tengah-tengah Masjidil Haram di samping Ka’bah lalu bersyair:
ياآل فهر لمظلوم بضاعتـه.. ببطن مكة نائي الدار والنفر ومحرم أشعث لم يقض عمرته .. يا للرجال وبين الحِجر والحَجر البيت هذا لمن تمت مروءته .. وليس للفاجر المأفـون والغدر
Wahai keturunan Fihr! Tolonglah orang yang perdagangannya dizhalimi Di tengah kota Mekkah, sementara ia jauh dari rumah dan sanak keluarga Dalam kondisi berihram, rambut kusut, dan belum menyelesaikan umrahnya Wahai para pembesar di antara dua batu (hajar Ismail dan hajar Aswad) Sesungguhnya Baitullah ini hanya pantas untuk orang yang sempurna kehormatannya Bukan untuk orang yang jahat dan suka berkhianat
Bangkitlah salah seorang pemuka Bani Abdil Muthallib pun datang, namanya adalah Az Zubair. Ia berkata kepada si pedagang: “Aku penuhi panggilanmu dengan membawa solusi. Sungguh kezaliman ini sudah tidak bisa ditahan lagi dan tidak bisa dibiarkan lagi”. Lalu Az Zubair bergegas saat itu juga pergi ke rumah salah seorang pembesar Quraisy yang bernama Abdullah bin Jud’an, yang masih ada hubungan kerabat dengan Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu’anhu. Abdullah bin Jud’an dikenal kemuliaannya dan kedermawanannya. Abdullah bin Jud’an pun bersedia untuk bangkit dan bertindak. Ia pun memanggil penduduk Quraisy dan sekitarnya: “Ayolah para pemuka kota Mekkah, datanglah ke rumahku, kita buat perjanjian yang dapat menolong orang yang terzhalimi dan menghentikan perbuatan orang zhalim”.
Panggilan ini diamini oleh banyak orang termasuk para pemuka dari Bani Hisyam, Bani Abdil Muthallib, Bani Asad, Bani Zahrah, Bani Tamim. Juga dihadiri oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang ketika itu belum diutus menjadi Nabi dan Rasul namun beliau sudah memiliki reputasi sebagai orang yang digelari Al Amin. Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam pernah bersabda:
“Aku menghadiri sebuah perjanjian di rumah Abdullah bin Jud’an. Tidaklah ada yang melebihi kecintaanku pada unta merah kecuali perjanjian ini. Andai aku diajak untuk menyepakati perjanjian ini di masa Islam, aku pun akan mendatanginya” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra no 12110, dihasankan oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no.1900)
Lalu mereka membuat satu perjanjian yang isinya: di Mekkah tidak boleh ada orang yang dizhalimi baik penduduk Mekkah sendiri maupun pendatang kecuali pasti akan dibantu dan kembalikan haknya dari pihak yang menzhalimi. Lalu orang-orang Quraisy menamai perjanjian itu dengan nama Hilful Fudhul, karena disepakati orang para afadhil (orang-orang yang memiliki keutamaan).
Saat itu juga, orang-orang yang menyepakati perjanjian tersebut mendatangi rumah Al ‘Ash lalu memintanya memenuhi hak si pedagang dari Yaman. Sejak itu orang-orang yang berada di Mekkah di jamin keamanannya oleh penduduk Mekkah dari segala bentuk kezhaliman.
Seorang pedagang dari Yaman yang berasal dari kabilah Zabid datang ke kota Mekkah membawa barang dagangan. Lalu ada seorang lelaki dari suku Quraisy yang membeli barang darinya. Lelaki ini terkenal akan kekejaman, kejahatan dan kezalimannya. Ia adalah Al ‘Ash bin Wa’il As Sahmi, yang merupakan ayah dari sahabat Nabi Amr bin Al ‘Ash dan Hisyam bin Al ‘Ash radhiallahu’anhuma. Ketika Al ‘Ash mendapatkan barangnya dan sudah diletakkan di tempatnya, ia tidak mau membayar kepada si pedagang.
Si pedagang tersebut berusaha minta tolong kepada para penduduk dan pembesar Quraisy untuk membantunya namun usahanya sia-sia. Setelah putus asa, ia pergi ke tengah-tengah Masjidil Haram di samping Ka’bah lalu bersyair:
ياآل فهر لمظلوم بضاعتـه.. ببطن مكة نائي الدار والنفر
ومحرم أشعث لم يقض عمرته .. يا للرجال وبين الحِجر والحَجر
البيت هذا لمن تمت مروءته .. وليس للفاجر المأفـون والغدر
Wahai keturunan Fihr! Tolonglah orang yang perdagangannya dizhalimi
Di tengah kota Mekkah, sementara ia jauh dari rumah dan sanak keluarga
Dalam kondisi berihram, rambut kusut, dan belum menyelesaikan umrahnya
Wahai para pembesar di antara dua batu (hajar Ismail dan hajar Aswad)
Sesungguhnya Baitullah ini hanya pantas untuk orang yang sempurna kehormatannya
Bukan untuk orang yang jahat dan suka berkhianat
Bangkitlah salah seorang pemuka Bani Abdil Muthallib pun datang, namanya adalah Az Zubair. Ia berkata kepada si pedagang: “Aku penuhi panggilanmu dengan membawa solusi. Sungguh kezaliman ini sudah tidak bisa ditahan lagi dan tidak bisa dibiarkan lagi”. Lalu Az Zubair bergegas saat itu juga pergi ke rumah salah seorang pembesar Quraisy yang bernama Abdullah bin Jud’an, yang masih ada hubungan kerabat dengan Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu’anhu. Abdullah bin Jud’an dikenal kemuliaannya dan kedermawanannya. Abdullah bin Jud’an pun bersedia untuk bangkit dan bertindak. Ia pun memanggil penduduk Quraisy dan sekitarnya: “Ayolah para pemuka kota Mekkah, datanglah ke rumahku, kita buat perjanjian yang dapat menolong orang yang terzhalimi dan menghentikan perbuatan orang zhalim”.
Panggilan ini diamini oleh banyak orang termasuk para pemuka dari Bani Hisyam, Bani Abdil Muthallib, Bani Asad, Bani Zahrah, Bani Tamim. Juga dihadiri oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang ketika itu belum diutus menjadi Nabi dan Rasul namun beliau sudah memiliki reputasi sebagai orang yang digelari Al Amin. Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam pernah bersabda:
لَقَدْ شَهِدْتُ فِي دَارِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جُدْعَانَ حِلْفًا مَا أُحِبُّ أَنَّ لِيَ بِهِ حُمْرَ النَّعَمِ ، وَلَوْ أُدْعَى بِهِ فِي الإِسْلامِ لأَجَبْتُ
“Aku menghadiri sebuah perjanjian di rumah Abdullah bin Jud’an. Tidaklah ada yang melebihi kecintaanku pada unta merah kecuali perjanjian ini. Andai aku diajak untuk menyepakati perjanjian ini di masa Islam, aku pun akan mendatanginya” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra no 12110, dihasankan oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no.1900)
Lalu mereka membuat satu perjanjian yang isinya: di Mekkah tidak boleh ada orang yang dizhalimi baik penduduk Mekkah sendiri maupun pendatang kecuali pasti akan dibantu dan kembalikan haknya dari pihak yang menzhalimi. Lalu orang-orang Quraisy menamai perjanjian itu dengan nama Hilful Fudhul, karena disepakati orang para afadhil (orang-orang yang memiliki keutamaan).
Saat itu juga, orang-orang yang menyepakati perjanjian tersebut mendatangi rumah Al ‘Ash lalu memintanya memenuhi hak si pedagang dari Yaman. Sejak itu orang-orang yang berada di Mekkah di jamin keamanannya oleh penduduk Mekkah dari segala bentuk kezhaliman.