jelaskan sejarah singkat terbentuknya kabupaten bantul
risma12 Patut disebutkan pula bahwa sebelum daerah Bantul menjadi saksi dan ajang kelahiraqn kerajaan seperti tersebut diatas disalah satu tempat di daerah ini diduga telah pernah menjadi tempat pemukiman nenek moyang kita pada masa purba. Tidak aneh kiranya, apabila ditanah subur ini pada masa-masa kemudian menjadi tempat kelahiran pedesaan agraris penurun generasi petani saka guru kerajaan atau negara yang dibangun kemudian. Dengan demikian tidak mustahil apabila jauh sebelum kerajaan Mataram lahir pada akhir abad ke 16, didaerah ini telah terdapat daerah pedesaan yang telah mengenal tata pemerintahan dan kemasyarakatan yang memadai.
Ada petunjuk bahwa masyarakat pedesaan pada masa itu telah hidup dalam lingkungan kesatuan-kesatuan desa di bawah kepemimpinan orang-orang terkemuka (Primus inter pares) dengan gelar yang terkenal “Ki Ageng” atau “Ki Gedhe”. Salah seorang di antara tok mangir, pendiri dan pemuka desa Mangiran dan sekitaranya, serta toko legendaris yang hidup semasa dengan senopati pendiri Mataram. Toko legendaris ini sempat terekam dalam babad bedahing mangir. Dari masa-masa itu pula kiranya sejumlah nama desa tertua memiliki asalnya, termasuk nama “Bantul” sendiri.
Selanjutnya secara singkat dapat dikemukakan, bahwa letak daerah Bantul yang dekat dengan istana kerajaan, membuat daerah ini sejak lama menjadi wilayah kerajaan Mataram yang secara langsung diperintah oleh pemerintah istana dan termasuk daerah Negara Agung dalam tata kenegaraan Mataram. Dalam Tata pemerintahan istana yang demikian itiu para pejabat yang bertugas mengurus daerah Bantul atau lainnya dalam hal ini para Bupati nayaka, semuanya masih tinggal dipusat kerajaan. Keadaan ini rupanya berlangsung terus sampai kerajaan mataram pecah menjadi dua bagian, kasunanan Suraqkarat dan Kasultanan Yogyakarta, setalah perjanjian Giyanti tahun 1755. Demikian juga pada masa awal berdirinya Kasultanan Yogyakarta, daerah wilayah Bantul secara administratif masih tetap ditangani lansung oleh pemerintahan istana Yogyakarta. aDa petunjuj bahwa pada masa itu daerah pedesaan Bantul dibagi-bagi menjadi sejumlah wilayah kademangan yang dipimpin para demang, pejabat daaerah yang menangani tugas penarikan pajak, upeti, atau tugas lain untuk istana. Keadaan macam ini terus berjalan sampai pecah perang Diponogoro (1825 – 1830) dan Sultan Hamengku Buwana V naik tahta (1822 – 1855)
Perang Diponogoro yang berkorban sejak tanggal 20 Juli 1825 dan berakhir pada bulan Maret 1830, telah melibatkan masyarakat didaerah kerajaan dan di daerah Jawa Tengah pada umumnya. Peperangan yang dikenal juga sebagai perang jawa (Java Oorlog) ini telah cukup menggoncangkan pemerintahan dan keadaan sosial ekonomi di kedua kerajaan, yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Lebih-lebih pemerintahan Sultan Hamengku Buwana V yang masih muda dan yang sehari-harinya dijalankan oleh walinya cukup mengalami tekanan baik dare situasi oerang sendiri maupun dari pihak Belanda. Perlu dicatat bahwa dalam awal berkorbarnya perang ini pasukan Diponogorto membuat markas besar dan benteng pertahanannya di Slarong, di wilayah Kabupaten Bantul sekarang ini, setelah pindah dari markasnya yang pertama di Tegalreja. Oleh sebab itu tidak adpat dipungkiri bahwa daerah Bantul pada saat itu secara langsung menjadi daerah medan pertempuran yang melibatkan hampir seluruh masyarakat di daerah pedesaan ini. Dari sumber sejarah dapat ditunjukan bahwa rakyat pedesaan Bantul yang berdiri dibelakang Diponogoro berhadapan langsung dengan pos pos pasukan Belanda yang dibangun di beberapa tempat didaerah Bantul. Dari sumber sejarah juga dapat ditunjukan bahwa prajurit Diponogoro yang gugur dalam pertempuran di sekitar daerah ini atau yang tertangkap di pihak Belanda sebagian bersal dari daerah Bantul. Dengan demikian daerah Bantul juga telah menjadi saksi pecahnya perang melawan penjajah Belanda di daerah kerajaan dan juga menjadi saksi lahirnya semangat juang dan kepahlawanan dari rakyatnya pada abad yang lalu.
Patut disebutkan pula bahwa sebelum daerah Bantul menjadi saksi dan ajang kelahiraqn kerajaan seperti tersebut diatas disalah satu tempat di daerah ini diduga telah pernah menjadi tempat pemukiman nenek moyang kita pada masa purba. Tidak aneh kiranya, apabila ditanah subur ini pada masa-masa kemudian menjadi tempat kelahiran pedesaan agraris penurun generasi petani saka guru kerajaan atau negara yang dibangun kemudian. Dengan demikian tidak mustahil apabila jauh sebelum kerajaan Mataram lahir pada akhir abad ke 16, didaerah ini telah terdapat daerah pedesaan yang telah mengenal tata pemerintahan dan kemasyarakatan yang memadai.
Ada petunjuk bahwa masyarakat pedesaan pada masa itu telah hidup dalam lingkungan kesatuan-kesatuan desa di bawah kepemimpinan orang-orang terkemuka (Primus inter pares) dengan gelar yang terkenal “Ki Ageng” atau “Ki Gedhe”. Salah seorang di antara tok mangir, pendiri dan pemuka desa Mangiran dan sekitaranya, serta toko legendaris yang hidup semasa dengan senopati pendiri Mataram. Toko legendaris ini sempat terekam dalam babad bedahing mangir. Dari masa-masa itu pula kiranya sejumlah nama desa tertua memiliki asalnya, termasuk nama “Bantul” sendiri.
Selanjutnya secara singkat dapat dikemukakan, bahwa letak daerah Bantul yang dekat dengan istana kerajaan, membuat daerah ini sejak lama menjadi wilayah kerajaan Mataram yang secara langsung diperintah oleh pemerintah istana dan termasuk daerah Negara Agung dalam tata kenegaraan Mataram. Dalam Tata pemerintahan istana yang demikian itiu para pejabat yang bertugas mengurus daerah Bantul atau lainnya dalam hal ini para Bupati nayaka, semuanya masih tinggal dipusat kerajaan. Keadaan ini rupanya berlangsung terus sampai kerajaan mataram pecah menjadi dua bagian, kasunanan Suraqkarat dan Kasultanan Yogyakarta, setalah perjanjian Giyanti tahun 1755. Demikian juga pada masa awal berdirinya Kasultanan Yogyakarta, daerah wilayah Bantul secara administratif masih tetap ditangani lansung oleh pemerintahan istana Yogyakarta. aDa petunjuj bahwa pada masa itu daerah pedesaan Bantul dibagi-bagi menjadi sejumlah wilayah kademangan yang dipimpin para demang, pejabat daaerah yang menangani tugas penarikan pajak, upeti, atau tugas lain untuk istana. Keadaan macam ini terus berjalan sampai pecah perang Diponogoro (1825 – 1830) dan Sultan Hamengku Buwana V naik tahta (1822 – 1855)
Perang Diponogoro yang berkorban sejak tanggal 20 Juli 1825 dan berakhir pada bulan Maret 1830, telah melibatkan masyarakat didaerah kerajaan dan di daerah Jawa Tengah pada umumnya. Peperangan yang dikenal juga sebagai perang jawa (Java Oorlog) ini telah cukup menggoncangkan pemerintahan dan keadaan sosial ekonomi di kedua kerajaan, yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Lebih-lebih pemerintahan Sultan Hamengku Buwana V yang masih muda dan yang sehari-harinya dijalankan oleh walinya cukup mengalami tekanan baik dare situasi oerang sendiri maupun dari pihak Belanda. Perlu dicatat bahwa dalam awal berkorbarnya perang ini pasukan Diponogorto membuat markas besar dan benteng pertahanannya di Slarong, di wilayah Kabupaten Bantul sekarang ini, setelah pindah dari markasnya yang pertama di Tegalreja. Oleh sebab itu tidak adpat dipungkiri bahwa daerah Bantul pada saat itu secara langsung menjadi daerah medan pertempuran yang melibatkan hampir seluruh masyarakat di daerah pedesaan ini. Dari sumber sejarah dapat ditunjukan bahwa rakyat pedesaan Bantul yang berdiri dibelakang Diponogoro berhadapan langsung dengan pos pos pasukan Belanda yang dibangun di beberapa tempat didaerah Bantul. Dari sumber sejarah juga dapat ditunjukan bahwa prajurit Diponogoro yang gugur dalam pertempuran di sekitar daerah ini atau yang tertangkap di pihak Belanda sebagian bersal dari daerah Bantul. Dengan demikian daerah Bantul juga telah menjadi saksi pecahnya perang melawan penjajah Belanda di daerah kerajaan dan juga menjadi saksi lahirnya semangat juang dan kepahlawanan dari rakyatnya pada abad yang lalu.