Soekarno menanggapi pandangan Hatta tersebut dengan mengemukakan bahwa menurutnya bentuk non-cooperatif bukan berarti harus bersikap radikal terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial. Menurutnya, sikap seperti yang dilakukannya tersebut justru untuk tetap supaya perjuangan terus berjalan. Pemimpin-pemimpin pergerakan kebangsaan harus lepas dari belenggu penjara kolonial supaya dapat terus melanjutkan perjuangan dengan terus membakar semangat rakyat. Jika kehilangan tokoh-tokoh pemimpin, siapa yang akan melanjutkan perjuangan. Akan tetapi, polemik tersebut dapat segera dihindari oleh kawan-kawan pergerakan supaya tidak menimbulkan perpecahan. Akhirnya, karena keduanya mempunyai tujuan dan kepentingan yang sama, yakni menuju Indonesia merdeka, pertentangan di antara keduanya pun dapat segera dihilangkan.
Meskipun demikian, dengan adanya persoalan tersebut menunjukkan bahwa keduanya mempunyai dasar pemikiran yang berbeda. Dimana dasar pemikiran mereka itu mempengaruhi cara pandang keduanya dalam menghadapi persoalan-persoalan bangsa. Ini dapat menimbulkan adanya benih-benih polemik antara keduanya.
Perbedaan Pandangan Pada Masa Kemerdekaan. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa benih polemik itu dapat muncul ketika ada suatu momen atau persoalan politik mendasar yang dihadapi bangsa ini dan menuntut adanya jalan keluar. Setelah merdeka, sifat dan karakter yang dipengaruhi oleh perbedaan dasar pemikiran antara Soekarno dan Hatta kembali muncul.
Polemik ini muncul kembali sekitar tahun 1950-an yakni pada masa berjalannya Demokrasi Parlementer. Sumber polemikny adalah dasar demokrasi dan bentuk pemerintahan yang sesuai bagi Indonesia. Antara Hatta dengan Soekarno mempunyai perbedaan dalam memandang soal ide demokrasi dan bentuk demokrasi yang sesuai dalam kaitannya menjalankan pemerintahan. Keduanya mempunyai cara pandang yang berbeda.
Pemikiran Hatta soal demokrasi lebih mendasarkan pada konsep demokrasi kerakyatan yang mendasarkan ide ini pada kebebasan dan kesempatan bagi rakyat di dalam pemerintahan (kedaulatan rakyat). Dimana pada relita dan prakteknya, sistem parlementer menjadi bentuk yang paling tepat bagi pemerintahan Indonesia mengingat pluralitas serta luasnya kewilayahan Indonesia. Sehingga kepentingan-kepentingan rakyat dapat terakomodasi dan terwakili oleh wakil-wakilnya di dalam parlemen. Namun, Hatta menegaskan bahwa sistem parlementer yang diterapkan berbeda dengan sistem parlementer Barat yang mendasarkan pada liberalisme. Sedangkan bagi bangsa Indonesia sistem parlementer yang diterapkan mendasarkan pada dasar kehidupanmasyarakat Indonesia itu sendiri, yakni kebiasaan hidup musyawarah yang telah menunjukkan sifat demokratis. Sedangkan Soekarno berpandangan bahwa sistem demokrasi yang sesuai bagi bangsa ini adalah demokrasi yang harus menyatukan segala bentuk macam perbedaan dan menyatukan pandangan tentang Indonesia namun tetap di bawah satu pemimpin yang mampu mengakomodasi kepentingan bangsa. Pemikiran Soekarno ini yang nantinya menciptakan konsepsinya tentang demokrasi terpimpin.
Begitulah pertalian Soekarno dengan Hatta, seolah sebuah siklus. Berawal dari dwi-tunggul, kemudian dwi-tunggal, dan akhirnya menjadi dwi-tanggal. Dwitunggul, karena kedua tokoh besar ini masing-masing telah menjadi pelopor atau mempunyai peran besar dalam perjuangan kelompok nasionalis kebangsaan pada masa pergerakan kebangsaan (menjadi tonggak). Keduanya mempunyai tujuan yang sama, yakni mencapai Indonesia merdeka, namun keduanya mempunyai cara dan pandangan yang berbeda di dalam pencapaiannya sehingga keduanya pun sempat berpolemik (adu ilmu, bahkan pengaruh) bahkan terjadi pertentangan politik. Mereka kemudian menjadi Dwitunggal, dimana keduanya dapat bersatu dan menghilangkan segala perbedaan demi cita-cita bersama, Indonesia merdeka. Bahkan keduanya menjadi simbol persatuan bagi rakyat, tidak hanya di masa-masa perjuangan kemerdekaan tetapi hingga masa awal-awal kemerdekaan. Tetapi, pada akhirnya keduanya pun berakhir dengan menjadi Dwitanggal, ketika keduanya tidak dapat sepaham lagi dalam banyak persoalan, yang dihadapi bangsa ini pada masa-masa berikutnya, seperti yang terjadi pada masa pergerakan.
Soekarno menanggapi pandangan Hatta tersebut dengan mengemukakan bahwa menurutnya bentuk non-cooperatif bukan berarti harus bersikap radikal terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial. Menurutnya, sikap seperti yang dilakukannya tersebut justru untuk tetap supaya perjuangan terus berjalan. Pemimpin-pemimpin pergerakan kebangsaan harus lepas dari belenggu penjara kolonial supaya dapat terus melanjutkan perjuangan dengan terus membakar semangat rakyat. Jika kehilangan tokoh-tokoh pemimpin, siapa yang akan melanjutkan perjuangan. Akan tetapi, polemik tersebut dapat segera dihindari oleh kawan-kawan pergerakan supaya tidak menimbulkan perpecahan. Akhirnya, karena keduanya mempunyai tujuan dan kepentingan yang sama, yakni menuju Indonesia merdeka, pertentangan di antara keduanya pun dapat segera dihilangkan.
Meskipun demikian, dengan adanya persoalan tersebut menunjukkan bahwa keduanya mempunyai dasar pemikiran yang berbeda. Dimana dasar pemikiran mereka itu mempengaruhi cara pandang keduanya dalam menghadapi persoalan-persoalan bangsa. Ini dapat menimbulkan adanya benih-benih polemik antara keduanya.
Perbedaan Pandangan Pada Masa Kemerdekaan. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa benih polemik itu dapat muncul ketika ada suatu momen atau persoalan politik mendasar yang dihadapi bangsa ini dan menuntut adanya jalan keluar. Setelah merdeka, sifat dan karakter yang dipengaruhi oleh perbedaan dasar pemikiran antara Soekarno dan Hatta kembali muncul.
Polemik ini muncul kembali sekitar tahun 1950-an yakni pada masa berjalannya Demokrasi Parlementer. Sumber polemikny adalah dasar demokrasi dan bentuk pemerintahan yang sesuai bagi Indonesia. Antara Hatta dengan Soekarno mempunyai perbedaan dalam memandang soal ide demokrasi dan bentuk demokrasi yang sesuai dalam kaitannya menjalankan pemerintahan. Keduanya mempunyai cara pandang yang berbeda.
Pemikiran Hatta soal demokrasi lebih mendasarkan pada konsep demokrasi kerakyatan yang mendasarkan ide ini pada kebebasan dan kesempatan bagi rakyat di dalam pemerintahan (kedaulatan rakyat). Dimana pada relita dan prakteknya, sistem parlementer menjadi bentuk yang paling tepat bagi pemerintahan Indonesia mengingat pluralitas serta luasnya kewilayahan Indonesia. Sehingga kepentingan-kepentingan rakyat dapat terakomodasi dan terwakili oleh wakil-wakilnya di dalam parlemen. Namun, Hatta menegaskan bahwa sistem parlementer yang diterapkan berbeda dengan sistem parlementer Barat yang mendasarkan pada liberalisme. Sedangkan bagi bangsa Indonesia sistem parlementer yang diterapkan mendasarkan pada dasar kehidupanmasyarakat Indonesia itu sendiri, yakni kebiasaan hidup musyawarah yang telah menunjukkan sifat demokratis. Sedangkan Soekarno berpandangan bahwa sistem demokrasi yang sesuai bagi bangsa ini adalah demokrasi yang harus menyatukan segala bentuk macam perbedaan dan menyatukan pandangan tentang Indonesia namun tetap di bawah satu pemimpin yang mampu mengakomodasi kepentingan bangsa. Pemikiran Soekarno ini yang nantinya menciptakan konsepsinya tentang demokrasi terpimpin.
Begitulah pertalian Soekarno dengan Hatta, seolah sebuah siklus. Berawal dari dwi-tunggul, kemudian dwi-tunggal, dan akhirnya menjadi dwi-tanggal. Dwitunggul, karena kedua tokoh besar ini masing-masing telah menjadi pelopor atau mempunyai peran besar dalam perjuangan kelompok nasionalis kebangsaan pada masa pergerakan kebangsaan (menjadi tonggak). Keduanya mempunyai tujuan yang sama, yakni mencapai Indonesia merdeka, namun keduanya mempunyai cara dan pandangan yang berbeda di dalam pencapaiannya sehingga keduanya pun sempat berpolemik (adu ilmu, bahkan pengaruh) bahkan terjadi pertentangan politik. Mereka kemudian menjadi Dwitunggal, dimana keduanya dapat bersatu dan menghilangkan segala perbedaan demi cita-cita bersama, Indonesia merdeka. Bahkan keduanya menjadi simbol persatuan bagi rakyat, tidak hanya di masa-masa perjuangan kemerdekaan tetapi hingga masa awal-awal kemerdekaan. Tetapi, pada akhirnya keduanya pun berakhir dengan menjadi Dwitanggal, ketika keduanya tidak dapat sepaham lagi dalam banyak persoalan, yang dihadapi bangsa ini pada masa-masa berikutnya, seperti yang terjadi pada masa pergerakan.