December 2019 1 55 Report
Ide pokok paragraf 1, 2, 3, 4.
More Questions From This User See All

Temukan kata ganti pronomina (kata ganti) dalam teks ceramah tersebut Saudara-saudara yang baik hati, suatu ketika saya melihat beberapa orang siswa asyik berjalan di depan sebuah kelas dengan langkahnya yang cukup membuat orang di sekitarnya merasa bising. Terdengar percakapan di antara mereka yang kira-kira begini, “Punya gua kemarin hilang.” Terdengar pula sahutan salah seorang mereka, “Lho, kalau punya gua, sama elu kemanain?” Tak menyangka, salah seorang siswa di samping saya juga memperhatikan percakapan mereka. Ia kemudian nyeletuk, “Gua apa: Gua Selarong atau Gua Jepang?” Beberapa siswa yang mendengarnya tertawa kecil. Di antara mereka ada yang berbisik, “Serasa di Terminal Kampung Rambutan, ye…?” Peristiwa tersebut menggambarkan bahwa ada dua kelompok siswa yang memiliki sikap berbahasa yang berbeda di sekolah tersebut. Kelompok pertama adalah mereka yang kurang memiliki kepedulian terhadap penggunaan bahasa yang baik dan benar. Hal ini tampak pada ragam bahasa yang mereka gunakan yang menurut sindiran siswa kelompok kedua sebagai ragam bahasa Kampung Rambutan. Bahasanya orang-orang Betawi. Dari komentar-komentarnya, kelompok siswa kedua memiliki sikap kritis terhadap kaidah penggunaan bahasa temannya. Mereka mengetahui makna gua yang benar dalam bahasa Indonesia adalah ‘lubang besar pada kaki gunung’. Dengan makna tersebut, kata gua seharusnya ditujukan untuk penyebutan nama tempat, seperti Gua Selarong, Gua Jepang, Gua Pamijahan, dan seterusnya; dan bukannya pengganti orang (persona). Sangat beruntung, sekolah saya itu masih memiliki kelompok siswa yang peduli terhadap penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Padahal kebanyakan sekolah, penggunaan bahasa para siswanya cenderung lebih tidak terkontrol. Yang dominan adalah ragam bahasa pasar atau bahasa gaul. Yang banyak terdengar adalah pilihan kata seperti elu-gua. Bapak-bapak dan Ibu-ibu, prasangka baik saya waktu itu bukannya mereka tidak memahami akan perlunya ketertiban berbahasa di lingkungan sekolah. Saya berkeyakinan bahwa doktrin tentang “berbahasa Indonesialah dengan baik dan benar” telah mereka peroleh jauh-jauh sebelumnya, sejak SLTP atau bahkan sejak mereka SD. Saya melihat ketidakberesan mereka berbahasa, antara lain, disebabkan oleh kekurangwibawaan bahasa Indonesia itu sendiri di mata mereka. Ragam bahasa Indonesia ragam baku mereka anggap kurang “asyik” dibandingkan dengan bahasa gaul, lebih-lebih dengan bahasa asing, baik itu dalam pergaulan ataupun dalam ketika mereka sudah masuk dunia kerja. Tuntutan kehidupan modern telah membelokkan apresiasi para siswa itu terhadap bahasanya sendiri. Bahasa asing berkesan lebih bergengsi. Pelajaran bahasa Indonesia tak jarang ditanggapi dengan sikap sinis. Mereka merasa lebih asyik dengan mengikuti pelajaran bahasa Inggris atau mata kuliah lainnya. Dalam kehidupan masyarakat umum pun kinerja bahasa Indonesia memang menunjukkan kondisi yang semakin tidak menggembirakan. Setelah Badan Bahasa tidak lagi menunjukkan peran aktifnya, bahasa Indonesia menunjukkan perkembangan ironis. Bahasa Indonesia digunakan seenaknya sendiri; tidak hanya oleh kalangan terpelajar, tetapi juga oleh para pejabat dan wakil rakyat. Seorang pejabat negara berkata dalam sebuah wawancara televisi, “Content undang-undang tersebut nggak begitu, kok. Ada dua item yang harus kita perhatikan di dalamnya.” Pejabat tersebut tampaknya merasa dirinya lebih hebat dengan menggunakan kata content daripada kata isi atau kata item daripada kata bagian atau hal. Penggunaan bahasa yang acak-acakan juga banyak dipelopori oleh kalangan pebisnis. Badan usaha, pemilik toko, dan pemasang iklan kian pandai menggunakan bahasa asing. Seorang pengusaha salon lebih merasa bergaya dengan nama usahanya yang berlabel Susi Salon daripada Salon Susi atau pengusaha kue lebih percaya diri dengan tokonya yang bernama Lutfta Cake daripada Toko Kue Lutfta. Akan terasa aneh terdengarnya apabila kemudian PT Jasa Marga ikut-ikutan menamai jalan-jalan di Bandung dan di kota-kota lainnya, misalnya, menjadi Sudirman Jalan, Kartini Jalan, SoekarnoHatta Jalan. Hadirin yang berbahagia, kalangan terpelajar dengan julukan hebatnya sebagai “tulang punggung negara, harapan masa depan bangsa” seharusnya tidak larut dengan kebiasaan seperti itu. Para siswa justru harus menunjukkan kelas tersendiri dalam hal berbahasa. Intensitas para siswa dalam memahami literatur-literatur ilmiah sesungguhnya merupakan sarana efektif dalam mengakrabi ragam bahasa baku. Dari literatur-literatur tersebut mereka dapat mencontoh tentang cara berpikir, berasa, dan berkomunikasi dengan bahasa yang lebih logis dan tertata. Namun, lain lagi ceritanya kalau yang dikonsumsi itu berupa majalah hiburan yang penuh gosip. Forum gaulnya berupa komunitas dugem; literatur utamanya koran-koran kuning, jadinya ya…, gitu deh…. Ragam bahasa elu-gue, oh-yes… oh-no.... yang bisa jadi akan lebih banyak mewarnai. (Sumber: E. Kosasih)
Answer

Life Enjoy

" Life is not a problem to be solved but a reality to be experienced! "

Get in touch

Social

© Copyright 2013 - 2024 KUDO.TIPS - All rights reserved.