Haji Goni marah-marah lagi. Kali ini, seorang pemuda tertikam kalimatnya yang tajam. Matanya jalang. Urat-uratnya muncul di sela-sela pelipisnya yang basah karena keringat.
“Lu kalo kencing jangan sembarangan! Ini bukan WC umum!”
“Elu tahu, ini kamar mandi fasilitas buat orang yang tinggal di kontrakan gue. Bukan buat elu!”
Haji Goni di usianya yang menginjak hampir kepala tujuh semakin menjadi-jadi saja. Lima tahun menduda dengan anak-anak yang juga sudah masing-masing mandiri membuatnya jadi kesepian dan pemarah. Itulah asumsi warga setempat.
Sementara Dani merupakan pemuda berumur dua puluh lima tahun asal Purwodadi yang sedang merantau ke Jakarta. Ia baru tinggal di RT 6 ini tidak lebih dari dua bulan lamanya. Adalah wajar bagi Ia tak mengenali watak dari Haji Goni. Masuk akal bila Ia tanpa ada rasa takut langsung nyelonong memakai toilet di kontrakan milik Haji Goni. Kenalah dia.
Setiap harinya selalu ada saja yang bisa membuat Haji Goni emosi. Kalau kumat tak pandang bulu. Orang dewasa sampai anak-anak yang main di dekat rumah atau pun kontrakannya pasti kena. Penduduk RT 6 pun jadi was-was tiap kali melewati area milik Haji Goni.
Padahal dulu saat masih muda ia terkenal sebagai orang yang begitu dikagumi dan disegani di kampung ini. Bukan karena harta dan gelar hajinya namun karena memang sifat dan sikapnya yang patut menjadi acuan semua orang.
Kala itu Haji Goni rajin memimpin kerja bakti di lingkungannya. Orang-orang pun secara sukarela mau mengikuti arahannya. Selain memimpin, tak lupa sekedar makanan kecil untuk ngopi mereka yang bekerja pasti disajikan oleh orang dari rumahnya.
Ia mau mengerjakan semua itu meskipun Ia tidak menjabat apa-apa di lingkungan tempat tinggalnya. Tidak harus memiliki jabatan untuk bisa memimpin, katanya. Bukan tidak pernah pula warga menunjuknya untuk jadi ketua RT saja. Tapi Haji Goni selalu menolak. Alasannya satu, khawatir tidak amanah.
Jawaban:
Haji Goni marah-marah lagi. Kali ini, seorang pemuda tertikam kalimatnya yang tajam. Matanya jalang. Urat-uratnya muncul di sela-sela pelipisnya yang basah karena keringat.
“Lu kalo kencing jangan sembarangan! Ini bukan WC umum!”
“Maaf, Aji. Tadi saya kebelet,” Dani menunduk. Jari-jarinya basah.
“Elu tahu, ini kamar mandi fasilitas buat orang yang tinggal di kontrakan gue. Bukan buat elu!”
Haji Goni di usianya yang menginjak hampir kepala tujuh semakin menjadi-jadi saja. Lima tahun menduda dengan anak-anak yang juga sudah masing-masing mandiri membuatnya jadi kesepian dan pemarah. Itulah asumsi warga setempat.
Sementara Dani merupakan pemuda berumur dua puluh lima tahun asal Purwodadi yang sedang merantau ke Jakarta. Ia baru tinggal di RT 6 ini tidak lebih dari dua bulan lamanya. Adalah wajar bagi Ia tak mengenali watak dari Haji Goni. Masuk akal bila Ia tanpa ada rasa takut langsung nyelonong memakai toilet di kontrakan milik Haji Goni. Kenalah dia.
Setiap harinya selalu ada saja yang bisa membuat Haji Goni emosi. Kalau kumat tak pandang bulu. Orang dewasa sampai anak-anak yang main di dekat rumah atau pun kontrakannya pasti kena. Penduduk RT 6 pun jadi was-was tiap kali melewati area milik Haji Goni.
Padahal dulu saat masih muda ia terkenal sebagai orang yang begitu dikagumi dan disegani di kampung ini. Bukan karena harta dan gelar hajinya namun karena memang sifat dan sikapnya yang patut menjadi acuan semua orang.
Kala itu Haji Goni rajin memimpin kerja bakti di lingkungannya. Orang-orang pun secara sukarela mau mengikuti arahannya. Selain memimpin, tak lupa sekedar makanan kecil untuk ngopi mereka yang bekerja pasti disajikan oleh orang dari rumahnya.
Ia mau mengerjakan semua itu meskipun Ia tidak menjabat apa-apa di lingkungan tempat tinggalnya. Tidak harus memiliki jabatan untuk bisa memimpin, katanya. Bukan tidak pernah pula warga menunjuknya untuk jadi ketua RT saja. Tapi Haji Goni selalu menolak. Alasannya satu, khawatir tidak amanah.