September 2018 1 26 Report
Hidup Selaras dengan Alam untuk
Mencegah Bencana
Kepala Desa Lonca, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi
itu berusaha menggali kembali memori tentang sebuah
peristiwa besar di masa lalunya. Suatu hari di akhir tahun
1970, ketika dirinya masih kanak-kanak, Desa Lonca yang
tidak lain kampung halamannya rata dengan tanah akibat
bencana longsor. Ia dan seluruh masyarakat setempat tidak
mempunyai pilihan lain kecuali mengungsi. Pak Kalvin tidak
ingat banyak korban yang meninggal waktu itu karena beliau
berusia sekitar 6 atau 7 tahun kala itu. Namun yang ia tahu pasti adalah hidup mengungsi serta
kehilangan tempat tinggal merupakan suatu peristiwa memilukan. Itu tidak akan lekang dalam
ingatan. Pria yang kini berusia 44 tahun itu tidak segan berbagi kisah untuk Media Indonesia.
Pak Kalvin mengaku memetik pelajaran besar dari musibah yang sempat memakan korban
jiwa tersebut. Menurutnya, nyawa warga Desa Lonca tidak perlu hilang sia-sia apabila pihaknya
mau bijak dalam memperlakukan alam. ”Desa ini awalnya merupakan area pengungsian usai
bencana longsor tahun 1970-an itu. Namanya masih Desa Lonca,” ujar Kalvin. Lonca yang terletak
di ketinggian 730 m dari permukaan laut (dpl) dengan kemiringan 30-60 derajat saat ini memiliki
luas sekitar 36 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 509 jiwa. Jarak Desa Lonca dengan
Ibu Kota kecamatan sekitar 6 kilometer, sedangkan dari Kota Palu sekitar 81 kilometer.
Desa Lonca dikelilingi hutan lindung di bawah Taman Nasional Lore Lindu, hutan produksi,
dan subdaerah aliran Sungai Miu. Tidak mudah mencapai Desa Lonca karena tipologi tanah
pegunungan Sulawesi yang relatif rapuh membuat mustahil dapat membangun jalan permanen
di lereng-lereng bukit menuju Lonca.
Semua masyarakat di Desa Lonca hingga saat ini menurut Pak Kalvin menggantungkan
hidup sepenuhnya dari hasil hutan. Pola ladang berpindah dengan metode tebang dan bakar
menurut Kalvin sudah mendarah daging pada sebagian besar masyarakat Lonca.
“Itu seperti pengetahuan yang diwariskan turun-menurun. Saya ingat dulu kecil saat waktunya
membuka ladang baru, pulang sekolah langsung diajak orang tua untuk tebang pohon di hutan.
Kayunya kita ambil untuk memanaskan tungku, bikin kandang ternak atau bahan bangunan.
Bila sudah gundul, lahan kemudian dibakar karena sepertinya dengan cara begitu tanah akan
menjadi lebih subur,” papar Kalvin.
Namun, pola warisan tersebut menurut Kalvin sontak berubah pascabencana longsor yang
melanda Lonca. “Kita sadar, menebang hanya akan mendorong kita mengungsi lebih ke bawahlagi sampai akhirnya hutan dan gunung ini habis. Kami kini mengubah pola penghidupan yang
tadinya rakus dan menghabiskan hutan menjadi pengambil manfaat yang mesti menjaga hutan,”
ucap Kalvin.
Kini masyarakat Lonca hanya menanam di hutan. Rotan, kayu, damar, dan cokelat menjadi
komoditas membanggakan masyarakat setempat yang dapat dipanen tanpa harus membongkar
hutan. Di sela-sela pepohonan tersebut, masyarakat juga menanam singkong, ubi, dan jagung agar
dapat dikonsumsi sehari-hari juga berbagai tanaman obat. Meski memakan waktu, kesadaran
bersama untuk mengubah pola konsumsi masyarakat tersebut menuai hasil harmonis dengan
alam. Kini masyarakat Desa Lonca bahkan mempunyai tradisi baru mesti menanam pohon dulu
setiap akan menikah dan punya anak. “Ibaratnya menebus ikatan atau kelahiran dengan pohon,
pohon yang ditanam juga tidak ditinggal begitu saja, harus dirawat sampai bisa tumbuh sendiri.
Bila tidak dilakukan, mesti bayar denda,” tutur Kalvin.

Apa isi dari bacaan di atas? Adakah perilaku yang selaras dengan lingkungan alam?
Di manakah daerah dalam cerita itu? Bagaimana kondisi geografis daerah itu?
More Questions From This User See All

Life Enjoy

" Life is not a problem to be solved but a reality to be experienced! "

Get in touch

Social

© Copyright 2013 - 2024 KUDO.TIPS - All rights reserved.