SISTEM PENJUALAN KREDIT DENGAN DUA HARGA DALAM TINJAUAN SYARIAH

SISTEM PENJUALAN KREDIT DENGAN DUA HARGA DALAM TINJAUAN SYARIAH Anita Wijayanti - Hendrik

ABSTRACT

The emergence of two credits in the sale price of

Autor Ratna Darmali

7 downloads 362 Views 300KB Size

Data uploaded manual by user so if you have question learn more, including how to report content that you think infringes your intellectual property rights, here.

Report DMCA / Copyright

Transcript

SISTEM PENJUALAN KREDIT DENGAN DUA HARGA DALAM TINJAUAN SYARIAH Anita Wijayanti - Hendrik

ABSTRACT

The emergence of two credits in the sale price of a problem that is often discussed in the rules of Islamic economics, because excess debt service stated in the interest, while the interest in Islam is haram, So there a problem How does the law of two prices in the sale of credit in terms of Al Quran and Al Hadith ? The scholars disagree since to the present so as to produce three opinions, namely (1) That is an absolute falsehood bai'atain is (according to Ibn Hazm), (2) That the bai'atain is forbidden, except when the two prices (sell) it set (split) at one price only (ie the price of credit or cash price only), and (3) that the bai'atain is haram, but if it has occurred and the transaction price (selling) the lower set, then this is permitted (permissible). Based on his interpretation, the interpretation of the more shohih (right), rojih (strong), and precedence, they assert that the main core of the election baina bai'atain is offering two types of the selling price of the obvious, ie, between the price in cash / cash or the price of credit, from a transaction which leads to higher priced options from it, so the potential for the occurrence of usury, so it generally indicates that the law (fiqh syar'iah) Islam in terms of buy-sell "credits" with two rates ("taqsith" - bai'atain) is haram, when determining the highest price Key word : credit, price, taqsith, bai'atain A. PENDAHULUAN. Penjualan kredit, saat ini marak dilakukan oleh sebagian besar umat ini, dengan bentuk dan aturan yang bermacammacam. Berbagai bentuk dan aturan yang ada saat ini, adalah jumlah keseluruhan yang lebih banyak dari harga kontan Sebagai salah satu contoh sederhana misalnya seseorang m e m b e l i m o b i l d e n g a n h a rg a R p .

100.000.000. dengan membayar pada setiap bulannya sebanyak Rp. 10.000.000. selama sepuluh bulan. Di mana harga mobil ini secara kontan hanya Rp. 90.000.000. Hal tersebut memunculkan dua harga yaitu harga kontan Rp. 90.000.000 dan harga kredit Rp. 100.000.000. Dua harga tersebut terkadang di tentukan dalam proce list yang disampai kan kepada konsumen, sehingga konsumen dapat

Anita Wijayanti, SE, MM, Ak adalah Staf Pengajar Program Studi : Akuntansi Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Islam Batik (UNIBA) Surakarta. Alamat kantor ; Jl. Agus Salim No. 10 Surakarta. Telp. (0271) 714751. dr. Hendrik, M.Kes adalah Staf pada Instalasi Radiologi Unit Radioterapi Onkologi RSUD dr. Muwardi Kota Surakarta. MANAJEMEN BISNIS SYARIAH, No: 01/Th.VI/Januari 2012

1019

Anita Wijayanti - Hendrik

memilih dua harga tersebut Munculnya dua harga dalam penjualan kredit menjadi permasalahan yang sering di bahas dalam kaidah ekonomi syariah, karena kelebihan dalam pembayaran hutang disebutkan sebagai bunga, sedangkan bunga hukumnya adalah haram. Artikel ini, akan membahas permasalahan munculnya dua harga dalam sistem penjualan kredit, yang dianalisa berdasarkan Al Quran dan Al Hadist . B. PERMASALAHAN Bagaimana hukum dua harga dalam penjualan kredit ditinjau dari Al Quran dan Al Hadist? C. PEMBATASAN MASALAH Pembahasan dalam makalah ini, akan menganalisa hukum dua harga dalam penjualan kredit, ditinjau menurut Al Quran dan Al Hadist yang shohih atau hasan. D. TINJAUAN PUSTAKA 1. Jual-beli Sistem Bai'atain. Beberapa ayat Al-Qur'an dan hadits Rosululloh SAW dapat mempertegas kaidah dasar ber-mu'amalah jual-beli, di antaranya adalah, Al-Qur'an?

1020

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka samasuka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Alloh adalah Maha penyayang kepadamu (QS. AnNisaa` [4]: 29). As-Sunnah â 1. Rosululloh SAW bersabda, ”Innamal bai'u 'an taraadhin â Jual-beli itu hanya ada dengan keridho'an/suka sama suka” (Shohih). 2. Rosululloh SAW bersabda, ”Laa yaftariq qutsnaani illaa 'an taraadhin (redaksi lain: ”... 'an ridhaa”)â (Dalam proses jual-beli) dua orang (yang melakukan jual-beli) tidak akan berpisah [redaksi lain â ”Jangan sekali-kali (2 orang yang sedang bertransaksi) berpisah dari jualbelinya”], kecuali dengan keridho'an/suka sama suka.” (Shohih). 3. Rosululloh SAW. bersabda, ”Wahai penduduk Baqi (3x), tidak akan berpisah 2 orang yang (melakukan transaksi) jualbeli, kecuali dengan keridho'an/suka sama suka” (Shohih). 4. Ibnu Abbas RA menceritakan bahwa, ”Nabi SAW menjual sesuatu kepada seseorang, maka beliau SAW berkata, ”Silahkan pilih”. Kemudian orang tersebut berkata, ”Aku telah memilih”. (Selanjutnya) Nabi SAW. pun bersabda, ”Begitulah (proses) transaksi jual-beli ( â yakni diberikannya hak untuk memilih/”khiyar” [untuk membeli atau tidak jadi membeli] kepada si pembeli)”.” (Shohih). 5. Ibnu Umar RA. berkata, ”Rosulullah

MANAJEMEN BISNIS SYARIAH, No: 01/Th.VI/Januari 2012

Sistem Penjualan Kredit Dengan Dua Harga Dalam Tinjauan Syariah

berbuat curang kepada saudaranya SAW bersabda, ”Kulla bayyi'ani falaa sesama muslim”.” (Shohih). bai'a bainahumaa hatta yatafarraqaa, illaa an yakuuna khiyaaraanâ Setiap 2 Beberapa hadits shahih/hasan orang yang bertransaksi jual-beli, maka tidak ada jual-beli di antara mereka tersebut saling berkorelasi dan menjelaskan hingga mereka berpisah, kecuali dengan mengenai hukum praktek sistem jual-beli ( m e m b e r i k a n h a k u n t u k ) sesuai dengan beberapa kaidah ushul fiqih dan kaidah fiqih mu'amalah. Penjelasan dari ”khiyaar”/memilih”.” (Shohih). 6. Ibnu Umar RA. berkata, ”Rosulullah data dalil-dalil hadits di atas secara umum SAW. bersabda, ”Dua orang yang adalah transaksi jual-beli diwujudkan dengan bertransaksi jual-beli boleh ber-khiyaar rasa keridho'an/suka sama suka (di antara si (memilih) selama keduanya belum penjual dan si pembeli), yang diwujudkan berpisah, atau menjadikannya jual-beli dengan memberikan hak khiyaar/memilih dengan hak ber-”khiyaar” (memilih)”. (yakni pemberian hak memilih bagi si Dan sepertinya beliau SAW. juga pembeli, untuk membeli/meneruskan bersabda, ”Atau masing-masing (dari si transaksi jual-beli atau tidak jadi pembeli atau si penjual) mengatakan membeli/membatalkan transaksi jual-beli, kepada yang lainnya (si penjual atau si begitu juga halnya untuk si penjual) sebelum mereka (si penjual dan si pembeli) berpisah pembeli), ”Pilihlah!!.”.” (Shohih). 7. Jabir bin 'Abdullah RA. berkata, ”Isytaroo secara fisik/tubuh (yakni transaksi jualRosululloh SAW. min rojulin min a'roobi belinya selesai). Makna beberapa sabda Rosululloh himla khobatin falamma wahabal-bai'u, qoola Rosululloh SAW., ” Ikhtar!”, faqoola SAW. di atas menunjukkan bahwa, ”(1) 1 A'roobii, ”'Amrokallooha bayyi'an”â . Adanya atau pemberian hak ”khiyaar” Rasululloh SAW. pernah membeli himla (memilih) sebelum berpisah merupakan bukti khabath dari seorang 'Arab gunung. paling sempurna untuk menunjukkan dan M a k a t a t k a l a t e l a h t e r j a d i mewujudkan rasa keridho'an/suka sama suka ('akad/transaksi) jual-beli Rasulullah dalam transaksi berjual-beli, baik tanpa harus SAW. berkata (pada orang tersebut), mengatakan ”Kami telah memilih” ataupun ”Pilihlah !!”. Kemudian orang 'Arab tanpa melakukan tawar-menawar/ijab-qobul gunung itu mengatakan, ”Semoga Allah (disebut sistem al-mu'aathooh – price-list); memanjangkan umurmu dari jual-beli dan (2) Sistem transaksi jual-beli yang baku, lebih utama, dan terbaik secara syar'iat Islam ini”.” (Shohih). (sesuai dengan firman Alloh SWT. pada QS. 8. Maimun bin Mahran RA. berkata, ”Rosululloh SAW. bersabda, ”Al-bai'u 'an An-Nisaa` [4]: 29), dalam hal ini yang taraadhin, wal khiyaaru ba'da ash- mengacu pada adanya atau pemberian hak shofaqoh, wa laa yahillu li muslimin an ”khiyaar”/memilih tersebut, menurut yaghissya muslimaanâ Jual-beli (harus penafsiran yang lebih rojih (kuat) dan baik berdasarkan) keridhaan/suka sama suka, dari para ulama salafush-shalih , dan jumhur dan ber-”khiyaar” (memilih) setelah ulama adalah sistem al-mu'aathooh (atau bertransaksi. Tidak halal seorang muslim sistem price-list, seperti yang diterapkan MANAJEMEN BISNIS SYARIAH, No: 01/Th.VI/Januari 2012

1021

Anita Wijayanti - Hendrik

keadaannya dalam sistem jual-beli di super market atau pasar swalayan), bukan sistem ijab-qobul, walloohu a'lam”. Makna tersebut di atas juga diperkuat dengan penegasan jumhur ulama, yang mengatakan bahwa, metode jual-beli yang dibenarkan dalam syar'iat Islam ialah dengan cara saling menyerahkan/menukarkan barang yang dimaksud dengan barang lainnya (barter), yakni si pembeli menyerahkan uang pembayaran dan si penjual menyerahkan barang yang dibeli oleh si pembeli tanpa ada satu kata pun dari kedua belah pihak (price list – al-mu'aathooh). Hal ini disebabkan oleh Alloh SWT, melalui Al-Qur'an dan Sunnah rosul-Nya SWT., hanya mensyaratkan dalam perniagaan, yang disebutkan pada ayat QS.An-Nisaa` [4]: 29, adalah unsur taraadhin – (keridho'an/suka sama suka) yang letaknya hanya di dalam hati (bukan harus diucapkan lewat ”ijab-qobul”) setiap orang yang sedang dalam proses transaksi jual-beli, sebagaimana juga hal tersebut merupakan praktek kebiasaan ”'urf” dari proses transaksi jualbeli masyarakat sejak zaman dahulu dan masa Rosululloh SAW. dan para sahabatnya sebagai perwujudan utama kebebasan dalam pemberian hak ”khiyaar (memilih)” bagi si pembeli maupun si penjual”. Ibnu Qudamah berkata, ”Sesungguhnya Alloh telah menghalalkan transaksi jual-beli, dan Alloh tidak pernah menjelaskan kepada kita tentang metodenya, sehingga wajib atas kita untuk mengikuti tradisi yang telah berlaku, sebagaimana tradisi telah dijadikan standar/pedoman dalam penentuan metode penyerahterimaan barang yang diperjual belikan, dan juga dalam batasan perpisahan (dalam khiyaar-nya). Inilah praktek kaum muslimin di pasar-pasar dan dalam setiap perniagaan mereka.

1022

Walaupun perniagaan telah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW., dan juga telah dikenal sejak zaman dahulu, namun Alloh SWT dan rosul-Nya hanya menentukan beberapa hukum dengan perniagaan tersebut, dan tetap membiarkannya seperti yang telah berjalan di masyarakat, sehingga tidak boleh bagi kita untuk merubah yang telah berlaku hanya berdasarkan akal pikiran dan seenaknya sendiri Fakta menunjukkan bahwa tidak pernah diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW. dan tidak juga dari para sahabatnya (yang faktanya sering melakukan perniagaan) merealisasikan unsur ”taraadhin” dalam transaksi jual-beli dengan metode ”ijab-qobul”. Seandainya mereka pernah menggunakan metode ”ijab-qobul” dalam perniagaan-perniagaan mereka, niscaya akan diriwayatkan secara mutawatir/shahih/hasan dari mereka. Seandainya metode ”ijab-qobul” adalah syarat utama dalam suatu perniagaan, niscaya hukumnya wajib untuk diriwayatkan, dan tidak mungkin para ulama melupakannya karena perniagaan adalah hal yang telah memasyarakat ... ”². Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa, ”Sistem jual-beli al-mu'aathooh mempunyai beberapa gambaran, yakni: (1) Si penjual dan si pembeli tidak mengucapkan apapun (ijabqobul), bahkan ada kebiasaan yaitu meletakkan uang langsung setelah mengambil (membeli) sesuatu yang telah ditentukan harganya (seperti sistem jual-beli di pasar swalayan atau super market – price list system); (2) Si penjual hanya mengatakan kalimat tertentu (ijab), sementara si pembeli hanya mengambil 3(membeli barang yang ingin dibeli) atau membarternya (dengan uang atau barang lainnya); dan (3) Si pembeli hanya mengatakan kalimat tertentu (qobul),

MANAJEMEN BISNIS SYARIAH, No: 01/Th.VI/Januari 2012

Sistem Penjualan Kredit Dengan Dua Harga Dalam Tinjauan Syariah

sementara si penjual hanya memberi, di mana harga barang yang dijual sudah pasti atau dalam bentuk suatu jaminan dalam perjanjian (hutang)”. Asy-Syaukani mengatakan bahwa, 4 ”Sistem jual-beli al-mu'aathooh ini yang dengannya terwujud suasana saling rela dan senang hati adalah jual-beli syar'i yang diijinkan Alloh, sedangkan menambahinya (dengan ketentuan-ketentuan lain) adalah termasuk mewajibkan apa yang tidak diwajibkan oleh syara' (agama)”. 1.Jual-Beli Sistem Taqsith Ta q s i t h m e n u r u t k a i d a h b a h a s a (etimologi) adalah bermakna membagi sesuatu menjadi bagian-bagian tertentu dan terpisah. Adapun secara istilah, ada beberapa definisi dikalangan para penulis mengenai masalah ini yang mungkin dapat didekatkan pengertiannya ke dalam definisi berikut ini, taqsith adalah menjual sesuatu dengan pembayaran yang ditangguhkan, saat ini kita sebut dengan sistem jual beli kredit, dimana pembayaran diserahkan dengan pembagian-pembagian tertentu pada waktu yang telah ditetapkan. Syaikh AlAlbani mengatakan bahwa jual beli dengan sistem kredit atau taqsith adalah bid'ah amaliyah yang tidak dikenal kaum muslimin pada abad-abad terdahulu, karena nama tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab fiqih manapun. Namun demikian, hal itu merupakan amalan yang dipraktekkan orang-orang kafir sebelum 5 menduduki negara kaum muslimin, yang kemudian mengatur negara jajahannya dengan undang-undang kafirnya. Setelah mendapatkan keuntungan dari negara jajahannya, mereka meninggalkan pengaruh buruknya di negara itu,

sedangkan kaum muslimin yang hidup pada zaman sekarang banyak yang menerapkan amalan peninggalan orangorang kafir tersebut. Sebagaimana anjuran pinjam meminjam 6 yang baik, Rosululloh SAW melarang memungut tambahan sebagai ganti kesabarannya terhadap saudara engkau yang muslim, dalam memenuhi hutangnya. Berkata Rosululloh SAW. ” Kalau ada hukum Islam bagi individu dan pemerintah, untuk seorang pembeli yang telah dipungut 5 dinar oleh pedagang sebagai ganti kesabaran menunggu, maka pembeli tersebut berhak menuntut dan mengadukan kepada ahli ilmu”. Bermacam-macam jenis atau variasi jual-beli taqsith. a) Dua harga dalam 1 penjualan atau 2 harga penjualan dalam 1 transaksi (akad) (bai'atain). b) Penjualan suatu barang dengan pembayaran bertempo (kredit) yang diikuti dengan pembelian kembali barang tersebut oleh si penjualnya secara kontan/tunai dengan harga yang lebih murah dari harga jual sebelumnya, sebelum pembayaran kreditnya dinyatakan lunas ('inah). c) Penjualan kembali suatu barang kredit yang belum lunas kepada si pemberi kredit atau orang lain, dengan harga yang lebih tinggi daripada harga transaksi/akad kredit sebelumnya dari si pemberi kredit tersebut (salaf) atau dengan harga yang sama (syarthon - yastaufiyah). d) Jual beli barang-barang sejenis, berupa emas dengan emas, perak dengan perak, kurma dengan kurma, gandum halus dengan gandum halus, gandum kasar dengan gandum kasar, dan garam dengan

MANAJEMEN BISNIS SYARIAH, No: 01/Th.VI/Januari 2012

1023

Anita Wijayanti - Hendrik

garam, secara kredit dan dengan takaran/ukuran-nya yang tidak sama; atau jual beli di antara barang-barang tersebut yang tidak sejenis maupun sama takaran/ukuran-nya secara kredit (sharf). E. PEMBAHASAN 1. Jual-Beli Taqsith - Bai'atain (Sistem Penjualan Kredit dengan Dua Harga) Pembahasan berikutnya adalah bahwa pada dasarnya tela'ah praktek bentuk/sistem jual-beli ”kredit” dengan 2 harga (”taqsith” - bai'atain) secara syar'iah harus mengacu dan menyesuaikan terhadap penafsiran beberapa hadits Rosululloh SAW. yang shahih/hasan pada QS. An-Nisaa` [4]: 29 sebelumnya, yang menunjukkan bahwa bentuk/sistem jual-beli dasar yang dijadikan pedoman penyesuaian sistem jual-beli yang digunakan dan diperbolehkan dalam syar'iah Islam adalah sistem al-mu'aathooh (price list), disebabkan sistem jual-beli ini ternyata merealisasikan ”perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu ... saling rela dan senang hati di dalam menjalankan proses jual beli”, bukan lebih berdasarkan pada ”Adanya ucapan/ perkataan/ tawar-menawar (sehingga terjadilah serah-terima atau ijab-qobul)”. 7 Beberapa hadits Rosululloh SAW. yang shohih/hasan lainnya juga saling berkorelasi dan menjelaskan mengenai hukum praktek sistem jual-beli ”kredit” dengan 2 harga (”taqsith” - bai'atain) sesuai dengan beberapa kaidah ushul fiqih dan kaidah fiqih mu'amalah sebelumnya, di antaranya adalah, 1. Dari Abu Huroiroh æ, dia berkata, ”Bahwa Rosulullah 9 SAW. melarang ”bai'atain” (2 transaksi/harga jual-beli dalam 1 transaksi jual-beli)” (Shohih).

1024

2. Dari Abu Huroiroh RA. berkata, ”Rosululloh SAW. bersabda, ”Barang siapa yang menjual (dengan sistem) ”bai'atain”, maka dia harus mengambil harga yang paling rendah, atau (kalau tidak mau maka harga tertinggi yang ditetapkannya akan menjadi –pent.) riba”.” (Hasan). 3. Dari 'Abdullah bin Mas'ud æ, dia berkata, ” ”Al-bai'atain” adalah riba” (Shohih). 4. Dari 'Abdullah bin Mas'ud RA., dia berkata, ” Tidak patut 2 akad jual-beli di dalam 1 akad jual-beli [dalam ”matan” riwayat Ibnu Hibban: ”Tidak halal 2 akad jual-beli”], dan sesungguhnya Rosululloh SAW. telah bersabda, ”Alloh melaknat pemakan riba, pemberi makannya (riba), saksi dan penulisnya”.” (Shohih). 5. Dari 'Abdullah bin 'Amr al-'Ash æ, dia berkata, ” Bahwa Rosululloh SAW. melarang jual-beli ”salaf”, ”bai'ataini”, dan ”syarthon (yastaufiyah)”.” (Hasan). 6. Dari 'Abdullah bin 'Amr al-'Ash RA, dia berkata, ”Rosululloh SAW. bersabda, ”Tidak halal (hukumnya haram) ”salaf”, ”bai'ataini”, ”syarthon”, dan (jual -beli) yang (barangnya) tidak ada padamu (”ghoror”).”.” (Shohih lighoiri). Kemudian, Sammak bin Harb RA. mewakilkan beberapa hadits tersebut dalam perkataannya dan menjelaskan maksud redaksi kata (matan) ”bai'ataini” pada 2 hadits dari Abu Huroiroh dan Ibnu Mas'ud æ di atas yang intinya adalah, apabila seseorang menjual sesuatu dengan harga kontan sekian dan dengan harga kredit sekian. Sammak bin Harb SAW., yang merupakan salah seorang tabi'in yang ma'ruf, secara meyakinkan telah mengatakan bahwa, ”Aku telah bertemu dengan 80 sahabat (dalam memahami

MANAJEMEN BISNIS SYARIAH, No: 01/Th.VI/Januari 2012

Sistem Penjualan Kredit Dengan Dua Harga Dalam Tinjauan Syariah

penafsiran hadits-hadits tersebut)”. Penafsiran beberapa hadits tersebut diperkuat oleh perkataan yang sama dari beberapa periwayat hadits dan atsar yang shahih/hasan lainnya dari para ulama salaf dari kelompokkelompok khulafaur-rosyidin dan tabi'in, di antaranya adalah 'Abdullah bin Mas'ud, Ibnu Umar dan Ibnu 'Amr, 'Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash, Ibnu Sirin Ayyub, 'Abdullah bin Wahhab bin 'Atha', Thawus, Al-Auza'i, Ubaid, dan Sufyan ats-Tsauri RA., dan begitu juga dari sebagian besar (jumhur) ulama hadits dan pakar bahasa 'Arab, di antaranya adalah Ibnu Qutaibah, At-Tirmidzi, AnNasaa`i, Ibnu Hibban, Ibnu Nashr; dan AlBaihaqi, ”Abu 'Umar berkata, ”Semuanya beralasan (mengartikan hadits-hadits dari Abu Huroiroh dan Ibnu Mas'ud, RA.) dari penukilan para perawi yang adil”. Para ”fuqaha” sepakat mengenai pendapat yang mewajibkan (penerapan larangan dari kedua) hadits ini secara umum. (Namun demikian) mereka berselisih mengenai perincian (mengenai kategori yang termasuk bentuk/sistem jual-beli ini menurut beberapa hadits-hadits Abu Huroiroh dan Ibnu Mas'ud, RA.). Mereka juga sepakat mengenai sebagian (pengertian)-nya, yang dapat dibedakan dalam 3 pengertian, yakni: (1) Kemungkinan pengertian (hadits-hadits)nya adalah 2 barang dengan 2 harga; (2) Kemungkinan pengertian (hadits-hadits)nya adalah 2 barang dengan 1 harga, dengan syarat bahwa salah satu dari salah satu penjualan tersebut menjadi keharusan; dan (3) Kemungkinan pengertian (hadits-hadits)nya adalah 1 barang dengan 2 harga. Penjelasan pengertian yang ke-(1)

dapat dilihat dalam 2 pengertian, yakni (A) Si penjual berkata kepada si pembeli, ”Aku akan jual barang ini kepadamu dengan harga sekian, dengan syarat kamu menjual rumah ini kepadaku dengan harga sekian”.; dan (B) Si penjual berkata kepada si pembeli, ”Aku akan menjual barang ini kepadamu dengan harga 1 dinar atau barang yang lain dengan harga 2 dinar” (Semua ulama menyatakan tidak diperbolehkan bentuk/sistem jual-beli seperti ini, baik pembayarannya 1 atau berbeda, dengan alasan larangan tersebut adalah ketidaktahuan/ketidakjelasan harga jual, kecuali 'Abdul 'Aziz bin 'Abi Salamah, dia membolehkannya jika pembayarannya satu atau berbeda). Kemudian penjelasan pengertian yang ke-(2) dapat dilihat dengan pengertian, yakni, Si penjual berkata kepada si pembeli, ”Aku akan jual salah-satu dari 2 barang ini kepadamu dengan harga sekian” (tidak diperbolehkan, bila kedua barang tersebut berasal dari 2 jenis yang berbeda dan kedua barang barang tersebut termasuk yang boleh diserahkan salah-satunya pada yang kedua, dengan alasan larangannya adalah ketidaktahuan/ketidakjelasan harga jual dan/atau resiko penipuan barang jualnya. Tidak ada perbedaan pendapat di antara Imam Malik dan Syafi'i, kecuali 'Abdul 'Aziz bin 'Abi Salamah. Namun demikian menurut Imam Malik, ”Diperbolehkan bila kedua barang tersebut berasal dari 1 jenis”, walaupun hal ini tidak disetujui oleh Imam Syafi'i dan Imam Hanafi). Selanjutnya, penjelasan pengertian yang ke-(3) juga dapat dilihat dalam 2 pengertian, yakni (A) Si penjual berkata kepada si pembeli, ”Aku jual kepadamu pakaian ini secara tunai dengan harga sekian, dan secara kredit dengan harga

MANAJEMEN BISNIS SYARIAH, No: 01/Th.VI/Januari 2012

1025

Anita Wijayanti - Hendrik

sekian (disebut sebagai ”al-bai'atain”, diharamkan bila menetapkan harga tertinggi)”.; dan (B) Si penjual berkata kepada si pembeli, ”Aku akan jual barang ini kepadamu dengan uang muka (”down payment” - DP) secara tunai (suatu keharusan), sementara (sisanya) yang lain dapat dibayar dengan kredit (disebut sebagai ”al-bai'atain”, diharamkan bila menetapkan harga tertinggi)” atau ”Aku jual pakaian ini kepadamu secara tunai dengan harga sekian, dengan syarat aku akan membelinya darimu sampai batas waktu tertentu dengan harga sekian (disebut juga sebagai Bentuk/sistem jual-beli ”Inah”. Diharamkan)”.”.”. Beberapa sabda Rosululloh SAW. yang diriwayatkan oleh Abu Huroiroh RA. (dan diperkuat dengan atsar dari Abdullah bin Mas'ud RA.) sebelumnya menunjukkan bahwa ternyata terdapat potensi penyimpangan yang jelas pada bentuk/sistem jual-beli dengan 2 harga (bai'atain-”taqsith”) terhadap bentuk/sistem jual-beli dasar yang dijadikan pedoman penyesuaian sistem jualbeli yang diperbolehkan dalam syar'iah Islam, di mana dalam bentuk/sistem kredit (taqsith) tersebut sudah ada benih riba dan menjadikannya sebagai illat (alasan) yang dapat menimbulkan potensi penyimpangan nya. Dengan demikian, maka penyimpangan atau larangan yang akan/tidak terjadi kemudian terhadap sistem ”kredit” dengan 2 harga (bai'atain-”taqsith”) tersebut berjalan sesuai dengan ada/tidak direalisasikannya illat (alasan)-nya, yakni bila menentukan harga yang tinggi berarti telah merealisasikan riba, tetapi bila mengambil harga yang lebih rendah, maka sistem ”kredit” dengan 2 harga (bai'atain-”taqsith”) tersebut menjadi sesuai dengan acuan pada sistem jual-beli dasar (almu'aathooh) yang dijadikan pedoman

1026

diperbolehkan dalam syar'iah Islam. Di sisi lain, sebagian ulama mutakhirin (kontemporer) masih ada yang berpendirian teguh bahwa kedua sabda Rosululloh SAW. yang diriwayatkan oleh Abu Huroiroh RA. tersebut bermakna tidak seperti yang dikatakan oleh Sammak bin Harb 19 para sahabat dan ulama salaf lainnya yang telah disebutkan sebelumnya. Mereka lebih mengacu kepada salah satu pendapat ulama yang mengartikan ”bai'atain” tersebut adalah, ”Dua transaksi jual-beli (baik secara tunai/kontan atau kredit) yang belum/tidak ditentukan/ditetapkan transaksi mana yang telah disepakati (dari ijab-qobul)-nya atau suatu transaksi jual-beli dari dua transaksi jual-beli yang berbeda dan disetujui oleh si pembeli maupun si penjual, sebagai contoh yang dikatakan menurut Imam-Imam AtTirmidzi, Ath-Thobroni, Al-Khoththobi, dan beberapa ulama lainnya, yang dianggap menyatakan, ”(”Bai'ataini” atau yang lebih dari itu) ... kalau diselesaikan dengan satu transaksi saja hukumnya sah”. 2. Kontroversi (syubhat) Hukum Jual-Beli Taqsith - Bai'atain (Sistem Kredit dengan Dua Harga) Para ulama telah berselisih pendapat semenjak dahulu sampai sekarang sehingga menghasilkan 3 pendapat, yakni (1) Bahwa bai'atain adalah batil secara mutlak (menurut Ibnu Hazm. (2) Bahwa bai'atain adalah haram, kecuali apabila 2 harga (jual) itu ditetapkan (dipisah) pada salah satu harga saja (yakni harga kredit atau harga tunai saja); dan (3) Bahwa bai'atain adalah haram, tetapi apabila telah terjadi transaksi dan harga (jual) yang lebih rendah yang ditetapkan, maka hal ini diperbolehkan (mubah). Dalil madzhab yang pertama adalah

MANAJEMEN BISNIS SYARIAH, No: 01/Th.VI/Januari 2012

Sistem Penjualan Kredit Dengan Dua Harga Dalam Tinjauan Syariah

zhahir larangan pada hadits kedua Abu Huroiroh RA. sebelumnya, karena pada asalnya dengan larangan (pada hadits) tersebut menunjukkan batil-nya sistem bai'atain itu, yang mana dalil ini sebelumnya dianggap mendekati kebenaran mengacu pada pernyataan Ibnu Hazm bahwa hadits kedua Abu Huroiroh RA. tersebut sudah dihapus hukumnya (mansukh) dengan hadits pertama Abu Huroiroh RA. dan hadits Ibnu Mas'ud RA. yang intinya dengan tegas melarang praktek sistem bai'atain secara mutlak, namun demikian pernyataan Ibnu hazm tersebut tertolak karena bertentangan dengan kaidah ushul (fiqih) di mana suatu hadits tidak akan diupayakan untuk dihapus hukumnya (mansukh) oleh hadits lain yang menghapusnya (nasakh) kecuali bila upaya jama' (penggabungan nash/dalil) sulit dilakukan/diwujudkan, dan kenyataannya pada konteks hadits-hadits bai'atain tersebut dapat dilakukan upaya jama' bahkan dapat lebih saling menjelaskan redaksi (matan) hadits-haditsnya. Hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya keselarasan hadits dari Ibnu Mas'ud RA. terhadap hadits-hadits dari Abu Huroiroh RA, bahkan memberikan tambahan keterangan dari hadits-hadits Abu Huroiroh RA. tersebut yakni menegaskan sebab hukum/pelarangan dari bai'atain adalah riba dan sebab pembolehannya adalah menetapkan harga yang lebih rendah. Sementara, pendapat yang kedua merupakan pendapat yang paling lemah karena tidak ada nash/dalil padanya kecuali akal/logika dan taqlid pada orang-orang yang mewajibkan ijab-qobul di dalam jual-beli yang bertentangan dengan nash/dalil. Pendapat ini menunjukkan alasan bahwa larangan bai'atain tersebut hanya benar adanya atau disebabkan oleh

ketidaktahuan/ketidakjelasan/ketidakpastian harga (apakah harga dari transaksi secara kontan/tunai atau harga dari transaksi secara kredit), sehingga apabila sudah pasti harga dari salah satu transaksi yang ditetapkan (dipisah menurut ijab-qobul, misalnya ditetapkan harga dari transaksi secara kredit saja) maka sistem transaksi ini diperbolehkan (mubah) karena bukan termasuk bai'atain tetapi hanya 1 transaksi seperti dikatakan di antaranya oleh Al-Khoththobi, At-Tirmidzi , Ath-Thobroni sebelumnya. Tela'ah lebih dalam dan mendetail pada pendapat yang kedua ini yakni adalah bahwa alasan mengenai larangan bai'atain hanya benar adanya atau disebabkan oleh ketidaktahuan/ketidakjelasan/ketidakpastian harga adalah tertolak, karena dari satu sisi bertentangan dengan nash/dalil dari haditshadits Abu Huroiroh, Ibnu Mas'ud, dan lainlain, sebelumnya yang dengan jelas dan tegas menunjukkan penyebab pelarangan bai'atain adalah riba, sedangkan dari sisi yang lain alasan pelarangan bai'atain dibangun di atas pendapat wajibnya ijab-qobul dalam bertransaksi jual-beli (di mana pendapat ini tidak ada dalilnya di Al-Qur'an maupun AsSunnah yang shohih/hasan secara khusus), bukan mengacu pada sistem al-mu'aathooh sebagai penerapan dari Al-Qur'an (QS.4:29) dan As-Sunnah yang shohih/hasan secara khusus. Sehingga apabila demikian halnya, yakni apabila sudah pasti harga dari salah satu transaksi yang ditetapkan dan telah dinyatakan diperbolehkan menurut pendapat yang kedua tersebut, maka seorang pembeli sewaktu dia telah berpaling (membawa) apa yang dia beli (dengan hal-hal kemungkinan dibayar secara kontan/tunai atau secara kredit). Apabila dia membayar secara kontan/tunai maka hal ini sudah jelas

MANAJEMEN BISNIS SYARIAH, No: 01/Th.VI/Januari 2012

1027

Anita Wijayanti - Hendrik

kesyahannya, namun apabila dia membayar secara kredit maka inilah masalah yang sedang diperselisihkan (apakah d i p e r b o l e h k a n m e n g g u n a k a n h a rg a kontan/tunainya sebagai harga yang harus dibayar secara kredit atau apakah diperbolehkan menggunakan tambahan harga dari harga kontan/tunainya sebagai harga yang harus dibayar secara kredit?), namun terlepas dari hal ini kemudian muncul pertanyaan dari masalah pembayaran secara kredit yang sedang diperselisihkan tersebut, apakah ada di antara kedua masalah tersebut (hal alasan yang mana) yang menunjukkan alasan ketidaktahuan/ketidakjelasan/ ketidakpastian harga yang dikemukakan sebelumnya, khususnya lagi apabila pembayaran secara kreditnya itu dilakukan dengan kombinasi (secara tunai dan kredit) yakni uang muka (down payment - DP) dilakukan pembayaran secara kontan/tunai sedangkan sisanya dilakukan pembayaran secara kredit atau menurut kesepakatan (ijabqobul) lainnya, bukankah ini menunjukkan hal sebaliknya, yaitu kejelasan/kepastian harga baik secara kontan/tunai maupun secara kredit pada 1 jenis barang/transaksi?, sehingga semakin jelas dan tegaslah tertolaknya alasan dari pendapat yang kedua yang menyatakan bahwa alasan mengenai larangan bai'atain hanya benar adanya atau disebabkan oleh ketidaktahuan/ketidak jelasan/ketidakpastian harga. Kerancuan (syubhat) dari bai'atain adalah hukum atau adanya pelarangan sistem ”kredit” (dengan penambahan harga dari harga tunainya) walaupun sistem kredit sebenarnya diperbolehkan dalam Syar'iah Islam (QS.2:282; QS.4:29). Berdasarkan penafsiran-penafsiran para sahabatlah yang lebih shohih (benar),

1028

rojih (kuat), dan didahulukan, mereka menegaskan bahwa inti utama pelarangan bai'atain adalah adanya pemilihan penawaran 2 jenis harga jual yang sudah jelas, yakni antara harga secara kontan/tunai atau harga secara kredit, dari suatu transaksi jual-beli yang mengarah pada pilihan harga yang lebih tinggi daripadanya sehingga berpotensi untuk terjadinya riba, sebagaimana ditunjukkan pada hadits Abu Huroiroh RA,” ... maka dia harus mengambil harga yang paling rendah atau riba”. Hal ini juga sesuai dengan kaidah sistem jual-beli yang ditunjukkan Al-Qur'an (QS.4:29) yakni sistem al-mu'aathooh, yang mana secara mutlak tidak mengacu/ berdasarkan pada penetapan ijab-qobul dari pihak-pihak pembeli maupun penjual (Atau bukan pada penetapan (ijab-qobul) dari salah satu transaksi yang dipilih pada akhir proses transaksi jual-belinya, atau bukan karena tidak jelasnya harga yang akan dipilih untuk pembayaran tunai atau kreditnya), melainkan mengacu pada kerelaan hati atau suka sama suka berdasarkan pada adanya kejelasan harga-harga transaksi jual-belinya, baik secara kontan/tunai atau secara kredit, tanpa harus adanya proses ijab-qobul terlebih dahulu. Dengan demikian maka pelarangan dari bai'atain tersebut berjalan sesuai dengan alasan (illat)-nya sehingga pelarangannya terkondisikan menjadi bisa ada ataupun tidak ada, yakni bila mengambil harga yang lebih tinggi berarti telah menerapkan riba namun bila mengambil harga yang lebih rendah maka transaksi jual-belinya diperbolehkan (mubah) sebagaimana keterangan dari para sahabat dan ulama salaf yang telah menyatakan bahwa harus mengambil harga yang lebih rendah dengan tempo pembayaran yang lebih lama, karena sesungguhnya dengan demikian

MANAJEMEN BISNIS SYARIAH, No: 01/Th.VI/Januari 2012

Sistem Penjualan Kredit Dengan Dua Harga Dalam Tinjauan Syariah

berarti tidak terjadi penerapan bai'atain. Demikianlah penafsiran pelarangan bai'atain yang jelas dan tegas menurut Rosululloh SAW dalam hadits-hadits Abu Huroiroh dan Ibnu Mas'ud yakni, ”... maka harus mengambil harga yang paling rendah, atau (kalau tidak mau maka harga tertinggi yang ditetapkannya akan menjadi) riba”. Beliau Rosululloh SAW mensyahkan sistem bai'atain ini karena hilangnya alasan (illat) yang menjadikannya terlarang (yakni riba dengan penetapan harga yang lebih tinggi) dengan membatalkan tambahan harga pada harga tunai untuk jenis pembayaran secara

kredit. KESIMPULAN Keadaannya sudah jelas bahwa apabila telah ada atau datang suatu ayat AlQur'an atau beberapa hadits larangan yang shahih/hasan kepada masalah mu'amalah jual-beli ini (”taqsith” - bai'atain), seperti telah disebutkan sebelumnya, sehingga secara umum menunjukkan bahwa hukum (fiqih syar'iah) islam dalam hal jual-beli ”kredit” dengan 2 harga (”taqsith” - bai'atain) adalah haram, bila menentukan harga tetinggi.

REFERENSI Abdurrahman Abdul Kholiq, Al-Qaulul Fashl fi Bai'il-Ajal. Ahmad Al-Haritsi, J., “Al-Fiqh al-Iqtishodi li Amiril Mu`minin Umar Ibn Al-Khoththob” (Ed. Terjemahan: Fikih Ekonomi Umar bin Khathtab), Khalifa (Pustaka Al-Kautsar Group), Cet. I, Jakarta, Oktober 2006. Al-Albani, Ash-Shohiihah. Al-Jauziyah, IQ., “I'lamul Muwaqqi'in”, (Ed. Terjemahan - Revisi: Panduan Hukum-Hukum Islam, – Jilid 1-4), Pustaka Azzam, Cet.II., Jakarta, Juli 2007 M. Al-Jauziyah, IQ., “Zaadul Ma'ad fii Hadyi Khoiril 'Ibaadi”, - tahqiq: Syaikh M. Nashiruddin Al-Albani, Maktabah Al-Mauridi – Maktab Ash-Shofaa, 2002. Al-Qurthubi, At-Tafsir al-Qurthubi. Amir Abdat, AH., “Al Masaa-il” (Masalah-Masalah Agama) – Jilid 5, Darus Sunnah, Cet.I, Jakarta, November 2005 M. Amir Abdat, AH., “Al Masaa-il” (Masalah-Masalah Agama) – Jilid 6, Darus Sunnah, Cet.I, Jakarta, April 2006 M. Amir Abdat, AH., “Al Masaa-il” (Masalah-Masalah Agama) – Jilid 7, Darus Sunnah, Cet.I, Jakarta, Oktober 2006 M. As-Sayyid Salim, AMK., “Shohih Fiqh as-Sunnah wa Adillatuhu wa Taudhih Madzahib alA'immal” - tahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Bin Baz, 'Utsaimin, dan Ulama-Ulama Hadits lainnya (Ed. Terjemahan: Shohih Fikih Sunnah), Pustaka AtTazqiyah, Jakarta, Safar 1428 H. / Maret 2007 M.; 3-112. Ash-Shon'ani, M., “Subulus Salam (Syarh Bulughul Marom - Ibnu Hajar Atsqolani)”, - tahqiq: Syaikh M. Nashiruddin Al-Albani, (Ed. Terjemahan: Terjemahan Subulus Salam, – Kitab 2), Darus Sunnah, Cet. I, Jakarta, Oktober 2008. Asy-Syaukani, As-Sailul-Jarar, Nailul Authar, Fathul Qadir. Asy-Syaukani, M., “Nail Al-Author” (Ed. Terjemahan: Nailul Authar), CV. Asy-Syifa', Cet.I, MANAJEMEN BISNIS SYARIAH, No: 01/Th.VI/Januari 2012

1029

Anita Wijayanti - Hendrik

Semarang, 1994. Ath-Thobari, At-Tafsir ath-Thobaari. Athibiy, UAM., “Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani wa Muqoronatuha bi Fatawa al-'Ulama” (Ed. Terjemahan: Fatwa-Fatwa Syaikh Al-Albani), Pustaka Azzam, Cet.II, Ed. Indonesia, Jakarta, Syawal 1423 H. – Januari 2003 M.. Atsqolani, IH., “Bulughul Marom”, - tahqiq: Syaikh M. Nashiruddin Al-Albani, (Ed. Terjemahan: Bulughul Marom), Pustaka Imam Adz-Dzahabi, Cet.I, Bekasi, Mei 2007. Atsqolani, IH., “Fathul Baari (Syarh Shohih Al-Bukhori)” (Ed. Terjemahan: “Fathul Baari”, Penjelasan Kitab Shohih Bukhari – tahqiq: Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz), Pustaka Azzam, Cet.II, Jakarta, April 2003. Badawi Al-Khalafi, 'A'A., “Al-Wajiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitabil 'Aziz” (Ed. Terjemahan: “AlWajiz”, – Ensiklopedi Fiqih Islam Dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shohihah), Pustaka As-Sunnah, Cet. II, Jakarta, Oktober 2006. Badawi Al-Khalafi, 'A'A., “Al-Wajiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitabil 'Aziz” (Ed. Terjemahan: “Al-Wajiz”, – Ensiklopedi Fiqih Islam Dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shohihah), Pustaka As-Sunnah, Cet. II, Jakarta, Oktober 2006. Baz, AA., “Al-Ahkaamu asy-Syar'iyyah fii al-Fataawa an-Nisaa'iyyah” (Ed. Terjemahan: Fatwa-Fatwa Islamiyah untuk Ukhti Muslimah – tahqiq: Usamah bin Abdul Fattah AlBaththah), At-Tibyan – Solo, Ed. Indonesia, Surakarta. Baz, AA., “Tukhfatul Ikhwan bi Ajwibatin Muhimmah Tata'allaqu bi Arkaanil Islam” (Ed. Terjemahan: Menguak Fatwa Syaikh Bin Baz Seputar Aqidah dan Ibadah), Pustaka Barokah, Cet.I, Ed. Indonesia, Surakarta, Oktober 2003. Ibnu Katsir, Ad-Dimasyqi, AFI., “Tafsir Al-Qur'an Al-'Adzhiim” (Ed. Terjemahan: Tafsir Ibnu Katsir), Sinar Baru Algensindo, Cet.II, Bandung, 2002. Ibnu Katsir, Ad-Dimasyqi, AFI., “Tafsir Al-Qur'an Al-'Adzhiim”, - tahqiq: Syaikh M. Nashiruddin Al-Albani, (Ed. Terjemahan: Derajat Hadits-Hadits Dalam Tafsir Ibnu Katsir, – Jilid 1-3), Pustaka Azzam, Cet.I, Jakarta, 2008. Ibnu Katsir, Ad-Dimasyqi, AFI., “Al-Mishbaahul Muniir fii Tahdziibi Tafsiiri Ibni Katsir”, tahqiq: Syaikh M. Nashiruddin Al-Albani, Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri, dan Ulama-Ulama Hadits lainnya (Ed. Terjemahan: Shahih Tafsir Ibnu Katsir, – Jilid 1-5), Pustaka Ibnu Katsir, Cet.I, Bogor, 2008 M.. Ibnu Rusyd., “Bidayah al-Mujtahid wan-Nihayah al-Muqtasid”, - takrij: Ahmad Abu Al-Majd, (Ed. Terjemahan: Bidayatul Mujtahid, – Jilid 2), Pustaka Azzam, Cet.I., Jakarta, September 2008 M. Ibnu Taimiyah, Majmu' Fatawa, Al-Qawa'id An-Nuraniyyah Al-Fiqhiyyah.’ Ied al-Hilali, S., Mausuu'ah al-Manaahiyyisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah. Muhammad Said Aali Barghasy, H, Bai'ut Taqsith Ahkamuhu wa Adaabuhu. Syaikh as-Sa'di, Risalah fii Ushul Fiqh, hal. 7; Ushul Fiqhih 'ala Manhaj Ahlul Hadits. ‘ Utsaimin, S, Al-Ushul min 'Ilmil Ushul. Wahbah az-Zuhailli, Al-Fiqhul-Islam wa Adillatuhu.

1030

MANAJEMEN BISNIS SYARIAH, No: 01/Th.VI/Januari 2012

Life Enjoy

" Life is not a problem to be solved but a reality to be experienced! "

Get in touch

Social

© Copyright 2013 - 2024 KUDO.TIPS - All rights reserved.