SENSITIVITAS PENDUDUK KRB II DAN III GUNUNGAPI MERAPI TERHADAP BAHAYA AWAN PANAS SELAMA ABAD IX DAN XX

JURNAL GEOGRAFI Geografi dan Pengajarannya ISSN 1412- 6982 Volume 13 Nomor 1 Juni 2015

SENSITIVITAS PENDUDUK KRB II DAN III GUNUNGAPI MERAPI TERHADAP

Autor Utami Cahyadi

14 downloads 846 Views 781KB Size

Data uploaded manual by user so if you have question learn more, including how to report content that you think infringes your intellectual property rights, here.

Report DMCA / Copyright

Transcript

JURNAL GEOGRAFI Geografi dan Pengajarannya ISSN 1412- 6982 Volume 13 Nomor 1 Juni 2015

SENSITIVITAS PENDUDUK KRB II DAN III GUNUNGAPI MERAPI TERHADAP BAHAYA AWAN PANAS SELAMA ABAD IX DAN XX Yasin Yusup Jurusan Pendidikan Geografi FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta Jl. Ir. Sutami Surakarta

Abstract. This study is aimed to (1) understand the characteristics of Merapi eruption in the 19 and 20 century (2) analyze the physical exposure of each flank sector toward the glowing cloud hazard (3) analyze the inhabitant vulnerability to the glowing cloud hazard in the HZ II and III, and (4) evaluate the inhabitant’ sensitivity to glowing cloud hazard in the HZ II and III. This study is conducted in middle and upper flank, and the peak of Merapi volcano. Historically, these areas have evidently suffered from the glowing cloud. This study uses historical, descriptive as well as explanative approaches. The historical approach is used to analyze the characteristics of the 19 and 20 century eruptions. The descriptive one is used to disclose how the physical exposures and the sensitivity of the inhabitant toward the glowing cloud hazard. The explanative approach is used to answer the question of why are the inhabitant of HZ II and III seemingly insensitive of the glowing cloud hazard. The data will be analyzed by qualitative analysis both including non-parametric statistical (Binominal, Chi-square, Mann-Whitney, Kruskal-Wallis, Cochran, and Sommers’d) and spatial analysis (buffer and overlay). The inhabitant’s sensitivity to glowing cloud hazards is vary; which is reflected in the differences of damage threshold. The broadest damage threshold occurred in the West flank (12 km), and then in the Southern flank (5,5 km), whereas the smallest one occurred in the northern flank (3,5 km). The 7 km glowing cloud is not yet dangerous for the west flank because the residential area beyond the reach of it. The inhabitants instead consider its effect as resources of sand supply. However, if it flows to the other side, to the northern or southern side for example, it will call an extreme and dangerous damage. The eruption activity is dominant to western side (71,05%), and otherwise, the eastern flank is closed to the glowing cloud hazard in the 20 century. This is because of morphological control which is the setting of shoe shaped nested crater openned to west. Regardless of the morphological control reality, the physical exposure is in fact dynamic, all slope sides are opened with different level of hazard and vulnerability. Disaster happens when the central activity and the active slope are changing, when the inhabitant’s sensitivity to it is decreasing. Key words : Sensitivity, Magnitude of Eruption, Band of Social-Economic Tolerance, Damage Treshold

diteliti pada pertengahan abad 20 oleh

PENDAHULUAN Sejarah G. Merapi mulai ditulis pada

ilmuwan

seperti

Hartmann

1933-1936,

abad 17 oleh ilmuwan dari Belanda dan

Neuman van Padang, 1931, 1933, 1936,

Jerman

Junghuhn,1853-1854,

1951, 1960, 1963, 1983, dalam Voight et al.,

Verbeek dan Fenema, 1896 dalam Voight et

2000 dan van Bemmelen, 1949. Setelah

al., 2000). Secara sistematis G. Merapi mulai

perang

(seperti

Yusup,korespondensi Sensitivitas: Penduduk Alamat email : [email protected]

dunia

II

berakhir,

Direktorat

KRB II Dan III Gunungapi Merapi Terhadap Bahaya Awan Panas...

26

Vulkanologi Indonesia

mulai meneliti

ciri khas abad 20, dengan demikian selama

sendiri dan sejak tahun 1970-an kerjasama

abad 20 erupsi G. Merapi didominasi letusan

internasional dengan ilmuwan dari beberapa

kecil, pembentukan kubah lava, guguran lava

negara seperti Jepang, Perancis, Jerman dan

pijar, awan panas guguran, dan awan panas

Amerika mulai dilakukan. Penelitian yang

letusan kecil.

panjang dan sistematis menjadikan aktivitas G. Merapi selalu terpantau.

Besar-kecilnya diidentifikasi

letusan

bisa

indeks

letusan

dengan

Gunungapi tersebut boleh dikatakan

gunungapi (Volcanic Explosivity Index/VEI).

selalu aktif sejak tahun 1822 sampai dengan

VEI memiliki skala 0-8, semakin tinggi skala

sekarang terjadi 33 kali erupsi dengan

berarti semakin besar volume produk erupsi,

periode diam atau istirahat yang pendek

ketinggian awan dan energi yang dikeluarkan

(rata-rata tidak lebih dari 3,5 tahun). Sebagai

juga semakin besar (Newhall, et al., 1982).

pembanding G. Kelut di Jawa Timur

G. Merapi selama abad 19 dan 20 didominasi

mempunyai siklus letusan 15 tahun sekali.

letusan dengan VEI kecil 1 dan 2. Kecilnya

Sejarah yang panjang dengan frekuensi

letusan bisa dipahami karena erupsi yang

letusan yang tinggi menjadikan karakteristik

terjadi berpusat pada kubah lava yang

dan perilaku erupsi G. Merapi dapat lebih

menghasilkan awan panas guguran, sehingga

dipahami. Berbeda dengan letusan masa lalu

volume, ketinggian kolom letusan dan energi

yang besar ditandai adanya morfologi besar

yang dihasilkannya pun kecil.

yaitu

kawah

kuda

Aktivitas G. Merapi sangat dinamis.

(Berthommier 1990, dalam Camus, et al.,

Meskipun daerah bahaya bersifat sektoral,

2000), letusan saat ini kecil berpusat pada

titik pusat letusan berpindah-pindah. Selama

kubah lava yang menyusun puncak sekaligus

abad 20 pusat aktivitas berpindah dari Barat-

sumber

Merapi

Barat Laut, ke Utara, lalu Barat-Barat Daya,

(Ratdomopurbo dan Andreastuti, 2000). Arah

dan kembali ke Barat-Barat Laut, sehingga

gerakan awan panas Tipe Merapi memusat

sektor lereng yang terpengaruh juga berubah-

ke satu arah, sehingga daerah bahayanya

ubah.

bersifat sektoral untuk lereng yang dituju.

penduduk di lereng barat yang berisiko,

Sektor lereng aktif saat letusan 2001 adalah

tetapi penduduk yang menghuni lereng lain

sektor lereng Barat-Barat Laut.

pun berisiko.

awan

bentuk

panas

tapal

Tipe

Dengan

demikian

bukan

hanya

Hartmann (dalam Ratdomopurbo dan

Terjadi paradoks bahwa justru pada

Andreastuti, 2000) sudah mengidentifikasi 4

Daerah Terlarang (mulai tahun 2002 disebut

tipe siklus letusan di G. Merapi yaitu mulai

sebagai Kawasan Rawan Bencana II dan III,

dari tipe A, B, C, dan D yang semakin besar

Hadisantono, dkk.), daerah yang sepanjang

tingkat letusannya. Siklus A dan B menjadi

sejarah letusan pernah terlanda awan panas,

Yusup, Sensitivitas Penduduk KRB II Dan III Gunungapi Merapi Terhadap Bahaya Awan Panas...

27

memiliki tingkat pertumbuhan penduduk

“berlebihan”.

Keduanya merugikan, yang

yang tinggi, bahkan lebih tinggi daripada

satu

mempertimbangkan

Daerah Bahaya I dan Bahaya II. Hal ini

sumberdaya, lainnya mengabaikan aspek

menarik karena pada daerah-daerah yang

bahaya. Penelitian ini mencoba netral karena

seharusnya dikosongkan, penduduk yang

berangkat

menghuni dan bekerja di daerah tersebut

fenomena alam termasuk awan panas itu

semakin

sesungguhnya

banyak.

Mereka

seolah

tidak

belum

dari

sudut

pandang

netral,

tidak

aspek

bahwa

memusuhi

menghiraukan aspek bahaya padahal sudah

(hostile) tetapi juga tidak ramah (benign),

banyak korban berjatuhan. Artinya ada

tergantung lokasi,

pertimbangan

menyebabkan

manusia yang mengidentifikasi sumberdaya

penduduk tetap tinggal dan bekerja di daerah

dan bahaya dalam rentang peristiwa alam

tersebut. Fenomena awan panas bagi mereka

(Smith, 1996). Dengan demikian sensitivitas

tidak semata dilihat dari aspek bahaya yang

penduduk terhadap bahaya awan panas di

dapat menimbulkan bencana, tetapi juga

Kawasan Rawan Bencana II dan III perlu

dilihat dari aspek sumberdaya yang dapat

diteliti.

lain

yang

memberi berkah dan penghidupan, sehingga

Kepekaan

tindakan dan persepsi

manusia

(sensitivitas)

mereka beradaptasi dengan bahaya awan

terhadap bahaya lingkungan menghadirkan

panas tersebut.

kombinasi dari (lihat Gambar 1):

Penelitian di G. Merapi sudah banyak

a. keterbukaan fisik (physical exposure),

dilakukan, sebagian menitikberatkan pada

mencerminkan

aspek bahaya dan lainnya lebih pada aspek

kejadian

kepercayaan

merusak dan variasi statistiknya pada

penduduk.

Hasil

penelitian

pertama berupa zonasi daerah bahaya baik primer

maupun

sekunder

termasuk

rentang

yang

secara

kejadianpotensial

lokasi khusus; b. kerentanan

manusia

(human

rekomendasi larangan menempati daerah

vulnerability) mencerminkan luas/ lebar

tertentu

Hasil

toleransi sosial dan ekonomi terhadap

penelitian lain mengungkap kepercayaan dan

kejadian yang membahayakan tersebut

sikap penduduk yang unik terhadap bahaya

di lokasi yang sama.

(Pardyanto,

dkk,

1978).

G. Merapi termasuk rekomendasi untuk

Risiko bencana pada suatu wilayah

menghargai keunikan tersebut (Putranto,

boleh

1999). Rekomendasi penelitian yang berupa

sesuai dengan perubahan baik pada aspek

larangan pada umumnya kurang operasional

keterbukaan fisik, maupun aspek kerentanan

di lapangan, sementara rekomendasi untuk

manusia

menghargai

kemungkinan

keunikan

masyarakat

dapat

terjebak menjustifikasi kepercayaan yang

28

jadi

bervariasi

atau

sepanjang

keduanya.

yang

menaikkan

waktu

Beberapa tingkat

risiko berdasarkan modifikasi Gambar 1

JURNAL GEOGRAFI, VOLUME 13, NOMOR 1, JUNI 2015 : 26 - 39

dapat menimbulkan beberapa kasus. Kasus

hujan

pertama

Barat pada awal abad 20 yang mencapai 25

misalnya menunjukkan

pita

tahunan atau pertumbuhan kubah

toleransi yang konstan dan variasi yang

juta m3). Terakhir,

dalam

konstan tetapi menurun nilai rata-ratanya

misalnya

fisik

(contoh

penurunan magnitud erupsi dari

(rerata dan variasinya tetap) akan tetapi

abad 19 sampai abad 20 yang menyebabkan

pita toleransi sosial menyempit (mungkin

pasokan pasir berkurang).

kedua

disebabkan pertumbuhan penduduk yang

misalnya menunjukkan pita toleransi yang

besar di daerah rawan bencana, seperti di

konstan

sektor lereng Selatan, Barat Laut dan Utara

tetapi

dan

nilai

variasinya

Kasus

rerata

yang konstan

bertambah

(contoh

variabel

kasus tidak

ketiga berubah

G. Merapi).

kecenderungan fluktuasi yang besar dalam

Gambar 1. Kepekaan terhadap bahaya lingkungan merupakan fungsi dari variasi unsur geofisik dan tingkat toleransi sosial-ekonomi. Dalam pita toleransi, kejadian (events) diterima sebagai sumberdaya, diluar atau melampoi batas kerusakan,

kejadian yang sama dianggap

sebagai bahaya (modifikasi dari Hewitt dan Burton, 1971, dalam Smith, 1996).

Hipotesis

dalam

penelitian

ini

dirumuskan sebagai berikut.

berbanding awan panas letusan, dan kawah cenderung tidak terbentuk.

1. Karakteristik erupsi pada abad 19 dan 20

2. Keterbukaan

fisik

bersifat

dinamis,

berbeda. Erupsi lebih sering terjadi pada

semua sektor lereng terbuka dengan

abad 20 berbanding abad 19, tetapi

tingkatan yang berbeda. Selama abad 20

magnitud erupsi abad 20 lebih kecil

sektor barat merupakan sektor lereng

dibandingkan abad 19. Mengecilnya

paling terbuka, berikutnya sektor selatan,

magnitud

siklus

kemudian sektor utara, sementara sektor

Hartmann A dan B lebih dominan, awan

lereng timur tertutup terhadap bahaya.

erupsi

ditandai

panas guguran lebih banyak terjadi

Yusup, Sensitivitas Penduduk KRB II Dan III Gunungapi Merapi Terhadap Bahaya Awan Panas...

29

Sebaran awan panas dominan ke barat karena ada kontrol morfologi.

METODE PENELITIAN

3. Penduduk di Kawasan Rawan Bencana II dan III semakin rentan terhadap bahaya awan

panas.

Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada Kawasan

Indikasinya

adalah

Rawan Bencana II dan III (KRB II dan III)

asosiasi

antara

seperti tercantum pada Peta Kawasan Rawan

meningkatnya jumlah korban dengan

Bencana Gunungapi Merapi Jawa Tengah

meningkatnya magnitud erupsi pada abad

dan DIY (Hadisantono, dkk, 2002) yang

20 berbanding abad 19. Menurunnya

diterbitkan oleh Direktorat Volkanologi dan

asosiasi

pita

Mitigasi Bencana Geologi. Lokasi penelitian

penduduk

dipilih di Kawasan Rawan Bencana II dan III

terhadap bahaya menyempit ditandai

G. Merapi dengan alasan-alasan sebagai

dengan semakin banyaknya bencana

berikut.

pada abad 20 berbanding abad 19.

1. KRB II dan III merupakan daerah yang

menurunnya

tersebut

toleransi

menunjukkan

sosial-ekonomi

Penduduk

dalam

dominan

menggunakan

kelentingan

menyikapi

dibandingkan

bahaya

pendekatan

masih

terpengaruh

bahaya

primer

khususnya awan panas.

pendekatan

2. Kawasan tersebut dari kajian geografis

keterpercayaan, ambang batas terhadap

sangat menarik karena ada interaksi

bahaya meningkat, sehingga sensitivitas

fenomena awan panas dan fenomena

terhadap bahaya menurun, bencana pun

penduduk yang diwarnai paradoks.

banyak terjadi.

3. Kajian mengenai G. Merapi selain

4. Sensitivitas penduduk terhadap bahaya

memiliki data historis yang panjang juga

awan panas di Kawasan Rawan Bencana

selalu aktual karena erupsi G. Merapi

II dan III beragam, tercermin dari batas

selalu berulang secara periodik.

kerusakan yang berbeda. Semakin sering

Populasi, Sampel dan Satuan Analisis

mengalami bencana, semakin lebar batas kerusakannya

dan

semakin

Obyek penelitian dalam penelitian ini

sensitif

bersifat abstrak yaitu sensitivitas penduduk

terhadap bahaya, sehingga terhindar dari

terhadap bahaya awan panas. Populasi dalam

bencana. Penduduk di sektor lereng utara

penelitian ini adalah seluruh awan panas

memiliki batas kerusakan yang paling

yang terjadi selama abad 20, seluruh

sempit, berikutnya penduduk di lereng

penduduk yang menghuni KRB II dan III,

selatan, dan yang paling lebar batas

dan seluruh morfologi yang ada di KRB II

kerusakannya adalah penduduk di lereng

dan III. Baik populasi awan panas maupun

barat.

populasi penduduk bersifat heterogen. Awan panas yang terjadi di G. Merapi paling tidak

30

JURNAL GEOGRAFI, VOLUME 13, NOMOR 1, JUNI 2015 : 26 - 39

ada dua jenis yaitu awan panas letusan dan awan panas guguran. Begitu juga penduduk

Analisis Data

di Merapi dilihat dari pengalaman bencana

Analisis data dilakukan dengan uji

beragam, ada yang sering, sedang atau tidak

statistik dan analisis spasial. Uji statistik

pernah mengalami pengalaman bencana.

yang digunakan adalah uji non parametrik

Morfologi di KRB II dan III juga beragam

yaitu Binominal, Chi-square, Mann-Whitney,

mulai dari kerucut puncak, lereng atas dan

Kruskal-Wallis, Cochran, and Sommers’d.

lereng tengah. Tujuan penelitian ini adalah

Uji statistik non parametrik digunakan

mengetahui sensitivitas penduduk terhadap

karena data yang dianalisis berupa data tipe

bahaya awan panas pada sektor lereng

nominal dan ordinal, kalau pun ada data tipe

tertentu di satuan morfologi tertentu.

rasio, data tersebut dikelaskan sehingga

Sampel awan panas, penduduk dan

berubah menjadi data ordinal. Analisis

morfologi diambil dengan teknik stratified

spasial yang digunakan adalah buffer dan

random. Masing-masing kelompok awan

overlay. Analisis buffer digunakan untuk

panas (besar, sedang dan kecil), kelompok

mengevaluasi jarak luncuran awan panas dari

penduduk (sering, sedang dan tidak pernah

puncak, jarak permukiman pada masing-

mengalami

masing sektor lereng, dan jarak masing-

bencana),

dan

kelompok

morfologi (kerucut puncak, lereng atas dan

masing

lereng tengah) diambil sampelnya secara

Analisis

random. Satuan analisis yang digunakan

mengevaluasi jumlah penduduk di KRB II

dalam

karena

dan III, karakteristik satuan morfologi secara

populasi yang diteliti juga beragam. Satuan

simultan dan batas kerusakan masing-masing

Daerah Aliran Sungai (DAS) digunakan

sektor lereng. Pengolahan data menggunakan

untuk menganalisis sebaran awan panas yang

software statistik SPSS dan software SIG Arc

dikelompokkan menjadi 4 sektor lereng yaitu

View.

penelitian

ini

beragam,

satuan

morfologi

overlay

dari

puncak.

digunakan

untuk

sektor Barat, Utara, Timur dan Selatan. Satuan

administrasi

menganalisis Satuan

digunakan

data-data

morfologi

karakteristik

meliputi

morfografi,

morfogenesa, morfoarrangement.

sosial-ekonomi.

digunakan

menganalisis

untuk

medan

Generalisasi

menggunakan satuan sektor lereng.

Karakteristik Erupsi

untuk

Erupsi pada abad 20 lebih sering

yang

terjadi berbanding abad 19 (20 kali erupsi

morfometri,

morfodinamika,

HASIL DAN PEMBAHASAN

(abad 19), 23 kali erupsi (abad 20),

sub

dan

hipotesis 1-1 terbukti secara signifikan, lihat

data

Tabel 1), tetapi magnitud erupsi mengecil (pada abad 20 tidak pernah terjadi erupsi dengan nilai VEI 4, tetapi dominan erupsi

Yusup, Sensitivitas Penduduk KRB II Dan III Gunungapi Merapi Terhadap Bahaya Awan Panas...

31

dengan VEI 1 dan 2 hampir 91,3%, sub

Dominannya awan panas guguran

hipotesis 1-2 terbukti secara signifikan, lihat

menjadikan sektor lereng yang terancam

Tabel 1). Magnitud erupsi yang mengecil

bahaya bersifat sektoral untuk lereng yang

dapat dilihat dari dominasi siklus Hartmann

dituju.

A dan B (95%) berbanding siklus C dan D

keruangan awan panas tahun 1994 dan 1997

(sub hipotesis 1-3 terbukti secara signifikan,

dari segi luasan

lihat Tabel 1). Dengan demikian karakteristik

mengarah ke Barat Daya-Selatan (dikontrol

erupsi pada abad 20 didominasi letusan kecil,

bukaan kawah 1961) antara Kali Bebeng dan

pembentukan kubah lava, guguran lava pijar,

Kali Boyong, sedangkan awan panas 1998

awan panas guguran, dan awan panas letusan

berpindah arah ke Barat (lokasi pertumbuhan

kecil.

kubah lava 1998 mengarah ke Barat) antara Magnitud erupsi yang mengecil juga

Kali

Sebagai

Senowo

contoh,

penyebaran

bervariasi tetapi masih

dan

Kali

Putih.

Awan

dapat dilihat semakin jarangnya erupsi

panas1998 tersebar merata antara 2 - 3,8 km

membentuk kawah (13%) (sub hipotesis 1-4

dari puncak, selajutnya dominan masuk ke

terbukti secara signifikan, lihat Tabel 1) dan

lembah; sedangkan untuk awan panas 1994-

kalaupun terbentuk ukuran kawah cenderung

1997 hampir tersebar merata sampai jarak 5 -

mengecil (Kawah 1930 lebih besar daripada

5,8 km, hanya “ujung lidah” awan panas

kawah 1961).

masuk di Kali Boyong dan Kali Bebeng,

Magnitud erupsi yang

mengecil juga dapat dilihat dari lebih seringnya berbanding

terjadi awan

awan panas

panas

sehingga terlihat lebih memanjang.

guguran

letusan

(24

berbanding 15 kejadian, sub hipotesis 1-5 terbukti secara signifikan, lihat Tabel 1).

Sensitivitas Penduduk terhadap Bahaya Awan Panas Keterbukaan

fisik

masing-masing

Dominannya awan panas guguran dapat

sektor lereng berbeda. Sektor lereng Barat

dipahami karena lava cenderung menerobos

paling terbuka,

kawah bagian pinggir, mengingat pusat

Timur tertutup terhadap bahaya awan panas

kawah penuh dengan tumpukan kubah lava.

selama abad 20 (hipotesis 2 terbukti secara

Karena lava keluar di bidang yang miring

signifikan, lihat Tabel 1). Hal ini dapat

maka kubah lava yang terbentuk cenderung

dipahami karena setting kawah di puncak

berbentuk lidah lava. Lidah lava inilah yang

berupa kelompok kawah berbentuk tapal

merupakan sumber awan panas guguran.

kuda terbuka menghadap ke Barat dengan

Dengan demikian wajar kalau awan panas

susunan kawah tua di sebelah timur semakin

guguran lebih dominan dan menjadi ciri khas

ke barat semakin muda, sehingga pusat

G. Merapi.

aktivitas lebih dekat dengan sektor lereng

sementara sektor lereng

barat dan menjauh dari sektor lereng timur.

32

JURNAL GEOGRAFI, VOLUME 13, NOMOR 1, JUNI 2015 : 26 - 39

Dengan demikian dapat dipahami sektor

awanpanas seperti di Kecamatan Kemalang

barat

(> 1500 jiwa).

menjadi

sektor

paling

terbuka,

sementara sektor timur tertutup terhadap bahaya,

khususnya

selama

abad

Permasalahannya adalah aktivitas G.

20.

Merapi sangat dinamis, titik pusat letusan

Sebanyak 71,05% awan panas mengarah ke

berpindah-pindah. Selama abad 20 pusat

sektor Barat, 18,42% ke sektor Selatan dan

aktivitas berpindah dari Barat-Barat Laut, ke

10,53% ke sektor Utara.

Utara, lalu Barat-Barat Daya, dan kembali ke

Dominannya awan panas ke arah Barat, sementara setor lereng lain

relatif

Barat-Barat Laut, sehingga sektor lereng yang

terpengaruh

juga

berubah-ubah.

aman terhadap bahaya dalam jangka waktu

Dengan demikian meskipun pada kurun

yang

untuk

waktu tertentu, sektor lereng tertentu aman

memanfaatkan sektor tersebut. Penduduk

dari erupsi dan penduduk memilih mendiami

sebetulnya

tempat

tempat tersebut, tidak ada jaminan bahwa

tinggalnya sesuai dengan perilaku awan

lereng tersebut akan aman di kemudian hari.

panas. Pada daerah yang terbuka terhadap

Hal ini terbukti dari semakin seringnya

awan panas yakni arah yang paling sering

bencana terjadi pada abad 20 berbanding

dituju, maka penduduk menjauh dari daerah

abad 19 bahkan meningkat 2 kali lipatnya

tersebut, sebaliknya pada daerah relatif

(Abad 19 terjadi 4 kali bencana, abad 20

jarang terkena awan panas atau pada daerah

terjadi 8 kali, sub hipotesis 3-2 terbukti

yang terlindung maka penduduk banyak

secara signifikan, lihat Tabel 1). Padahal

menghuni daerah tersebut bahkan sampai

magnitud erupsi mengecil. Artinya pita

jarak yang relatif dekat dengan puncak.

toleransi dan batas kerusakan penduduk

Distribusi kampung dan kepadatan penduduk

terhadap bahaya mengecil. Erupsi kecil pun

di KRB II dan III sudah mencerminkan

sudah mengakibatkan bencana yang besar,

adaptasi mereka terhadap bahaya awan

padahal pada abad 19 hanya erupsi besar

panas. Daerah-daerah yang paling terbuka

yang menimbulkan bencana besar (terlihat

terhadap bahaya awan panas kepadatan

dari menurunnya asosiasi meningkatnya VEI

lama,

menarik

sudah

penduduk

menyesuaikan

2

penduduknya rendah (< 600 jiwa per km )

dengan meningkatnya jumlah korban, sub

seperti di Kecamatan Srumbung, sebaliknya

hipotesis 3-1 terbukti secara signifikan, lihat

konsentrasi penduduk yang tinggi berada

Tabel 1).

pada daerah yang relatif terlindung dari

Yusup, Sensitivitas Penduduk KRB II Dan III Gunungapi Merapi Terhadap Bahaya Awan Panas...

33

Tabel 1 Hasil Uji Statistik Masing-Masing Hipotesis No

Hipotesis

Nilai Statistik

Nilai Statistik

Asym.Sig***

Keputusan

1

Sub hipotesis 1-1

Hitung -5,6

Tabel* -1,96

0,000

Terbukti secara signifikan

2

Sub hipotesis 1-2

31,675

7,815**

0,000

Terbukti secara signifikan

3

Sub hipotesis 1-3

23,512

7,815**

0,000

Terbukti secara signifikan

4

Sub hipotesis 1-4

0,79;0,21

0,5

0,000

Terbukti secara signifikan

5

Sub hipotesis 1-5

-3,897

-1,96

0,000

Terbukti secara signifikan

6

Hipotesis 2

71,073

12,59**

0,000

Terbukti secara signifikan

7

Sub hipotesis 3-1

0,913;0,434

0

0,004; 0,003

Terbukti secara signifikan

8

Sub hipotesis 3-2

31,614

7,815**

0,000

Terbukti secara signifikan

9

Hipotesis 4

11,333

7,815**

0,01

Terbukti secara signifikan

*

Inferensi dilakukan pada taraf kepercayaan (confidence interval) sebesar 95%, sehingga tingkat signifikansi (α) sebesar 5%.

** derajat kebebasan (degree of freedom) bervariasi tergantung pada metode yang dipakai dan jumlah sampel yang diperoleh (dk = n-1; di sini ada 2 dk yaitu 3 untuk jumlah sampel 4, dan 6 untuk jumlah sampel 7). *** bila probabilitas < 0.05 maka, Ho ditolak

Menyempitnya pita toleransi penduduk

baik ekonomi maupun sarana dan prasarana

dan batas kerusakan selain dapat dilihat dari

untuk evakuasi. Dengan demikian risiko

banyaknya jumlah penduduk di KRB II dan

penduduk terhadap bencana besar. Batas

III juga dapat dilihat dari aktivitas penduduk

kerusakan

di KRB II dan III. Penduduk memanfaatkan

menyempit. Penduduk di lereng Barat Laut

sekitar 70% lahan untuk penghidupannya.

membangun permukimannya hanya 3,5 km

Sebagian

tegalan,

dari puncak. Padahal awan panas kecil sudah

kebun dan sawah (53,23%), sebagian untuk

dapat mencapai jarak tersebut. Beruntung

wilayah pertambangan pasir, sementara luas

selama abad 20, belum pernah awan panas

lahan untuk permukiman hampir 7%. Dengan

mengarah ke daerah terebut.

dibudidayakan

untuk

untuk

lereng

tertentu

juga

demikian mereka hidup dan bekerja sehari-

Batas kerusakan lereng Barat paling

hari di daerah yang semakin berisiko karena

lebar (hipotesis 4 terbukti secara signifikan,

frekuensi erupsi semakin sering terjadi.

lihat Tabel 1). Hal ini disebabkan lereng

Mengecilnya

toleransi

Barat merupakan daerah paling terbuka

sosial-ekonomi terlihat juga dari indeks pra

terhadap bahaya awan panas, mulai dari

sejahtera, indeks mobilitas, indeks informasi

awan panas kecil, sedang dan besar pernah

yang belum sepenuhnya memadai, sehingga

melanda sektor ini. Penduduk di sini paling

ketika ada bahaya tidak cukup sumberdaya

sering mengalami bencana dengan korban

34

lebar

pita

JURNAL GEOGRAFI, VOLUME 13, NOMOR 1, JUNI 2015 : 26 - 39

20, yaitu awan panas 1961, sejauh 12 km.

menyesuaikan tempat tinggalnya dengan

Dengan trend mengecilnya magnitud erupsi

perilaku awan panas tersebut. Penduduk

dan semakin pendeknya jarak jangkau awan

menggeser permukiman mereka di luar

panas maka sektor Barat Daya relatif aman,

jangkauan awan panas terbesar kedua abad

lihat Gambar 2.

426000 mT

429000

432000

435000

438000

441000 mT

Jumah - Batyuan

Apu

9168000 mU

9168000 mU

9171000

9171000

yang banyak. Pada akhirnya penduduk

Trising Gandul Anak Pabelan 2

Senowo Teleng Tlogo

Anak Pabelan 1 9165000

9165000

Lamat

Krasak Blongkeng

9162000

9162000

Putih - Sat

Woro

Boyong

Kuning

Keterangan : Jalan Setapak Batas DAS Sungai Jarak dari Puncak : 1000 - 2000 2000 - 3000 3000 - 4000 4000 - 5000 5000 - 6000 6000 - 7000 7000 - 8000 8000 - 9000 9000 - 10000 10000 - 11000 11000 - 12000 12000 - 13000 13000 - 14000 426000 mT

Gendol - Opak

Anak Boyong

Awan Panas Kecil:

14 Januari 1997 17 Januari 97 Tahun 1984 Tahun 1992 Kampung 429000

9156000 mU

9156000 mU

Bedog - Krasak

9159000

9159000

Bebeng - Batang

U

0 432000

435000

438000

0.9

1.8

2.7 Km

441000 mT

Gambar 2. Analisis Awan Panas Kecil

Sensitivitas terhadap bahaya awan

luar biasa (hewan sudah sampai di kampung

panas beragam, sangat bergantung terhadap

mereka).

pengalaman bencana. Penduduk di KRB II

menghuni sektor lereng yang paling sering

dan III yang sering mengalami erupsi tetapi

mendapat pengalaman bencana seperti lereng

tidak pernah mengalami bencana,

tingkat

barat lebih sensitif. Penduduk menyesuaikan

sensitivitasnya rendah. Mereka menyikapi

permukiman di luar jangkauan awan panas,

bahaya awan panas dengan pendekatan

sehingga mereka aman atau dengan kata lain

kelentingan

mereka

(resilience).

Penduduk

menganggap letusan G. Merapi sebagai

Sebaliknya

menyikapi

masyarakat

bahaya

yang

dengan

pendekatan keterpercayaan (reliability).

kejadian yang biasa dan mereka hanya akan mengungsi kalau sudah ada tanda-tanda yang

Yusup, Sensitivitas Penduduk KRB II Dan III Gunungapi Merapi Terhadap Bahaya Awan Panas...

35

bertambah

KESIMPULAN

banyak,

mereka

Dari rangkaian hasil penelitian dan

memanfaatkan 70% lahan di KRB II dan

analisis data dapat diambil kesimpulan

III, serta memiliki persepsi letusan

sebagai berikut.

sebagai kejadian biasa dan hanya akan

1. Karakteristik erupsi pada abad 19 dan 20

mengungsi bila sudah ada tanda-tanda

dicirikan oleh frekuensi erupsi yang

yang luar biasa (hewan seperti kera,

semakin sering tetapi magnitud erupsi

kijang dan harimau sampai di kampung).

mengecil. Mengecilnya magnitud erupsi

Penduduk merasa memahami perilaku

terlihat dari dominannya siklus Hartmann

erupsi sebelumnya, sehingga ambang

A dan B terhadap siklus Hartmann C dan

batas terhadap bahaya meningkat (daya

D. Kawah cenderung tidak terbentuk,

resilience menjadi tinggi), sensitivitas

dan awan panas guguran lebih banyak

terhadap

terjadi berbanding awan panas letusan.

Akibatnya bencana banyak terjadi.

2. Keterbukaan

fisik

bersifat

pun

menurun.

dinamis,

4. Sensitivitas penduduk terhadap bahaya

semua sektor lereng terbuka, meski

awan panas beragam. Hal ini tercermin

dengan tingkatan yang berbeda. Sektor

dari batas kerusakan yang berbeda. Awan

lereng Barat paling terbuka, kemudian

panas dengan jarak 7 km di lereng Barat

sektor Selatan, berikutnya sektor Utara,

diterima sebagai sumberdaya, sebaliknya

sementara sektor Timur tertutup terhadap

di lereng Selatan dan Utara sudah

bahaya awan panas. Sebaran awan panas

menimbulkan bencana. Penduduk di

dominan ke arah Barat, sebaliknya tidak

sektor lereng utara paling sempit batas

pernah ke arah Timur disebabkan oleh

kerusakannya (permukiman hanya dalam

adanya kontrol morfologi berupa setting

jarak 3,5 km dari puncak), sehingga

kawah berbentuk tapal kuda terbuka ke

paling

Barat.

berikutnya penduduk di lereng selatan

3. Kerentanan penduduk pada abad 19 dan 20

meningkat

menyempitnya

pita

sensitif

terhadap

bencana,

(meskipun sudah menyesuaikan tetapi

ditandai

oleh

masih dalam jarak jangkau), dan yang

toleransi

sosial-

paling lebar batas kerusakannya adalah

ekonomi terhadap bahaya awan panas.

penduduk

Awan

beradaptasi dengan jarak jangkau awan

panas

kecil

pun

sudah

di

lereng

Gambar 3. Menyempitnya pita toleransi

Pengalaman

disebabkan penduduk dalam menyikapi

tingkat

bahaya

menggunakan

tercermin dalam lebar batas kerusakan.

Penduduk

Semakin sering mengalami bencana,

resilience.

kedua

bencana

adaptasi

abad

(sudah

panas

dominan

terbesar

barat

menimbulkan bencana yang besar, lihat

pendekatan

36

bahaya

20).

mempengaruhi

penduduk

yang

JURNAL GEOGRAFI, VOLUME 13, NOMOR 1, JUNI 2015 : 26 - 39

semakin lebar batas kerusakannya dan

menyempit”. Dari kesimpulan tersebut

semakin

bahaya.

dapat dimunculkan tesis , “bertambahnya

Dengan demikian aman dari bencana

risiko terhadap bancana dapat disebabkan

atau lebih reliable.

karena menurunnya baik variabel fisik

sensitif

terhadap

5. Sebagai penutup, ke-empat kesimpulan

maupun pita toleransi sosial ekonomi

diatas dapat disintesiskan menjadi satu

secara bersama-sama”. Tesis ini tidak

kesimpulan

berikut:

dapat dianalogkan dengan salah satu

“penduduk di KRB II dan III semakin

model De Vries (lihat Gambar 4), tetapi

berisiko

bukan

harus dibuatkan illustrasi baru (lihat

yang

Gambar 5). Dengan demikian penelitian

karena

pita

ini menyumbang satu model analisis baru

dan

batas

yaitu tipe D untuk model tingkat risiko

semakin

yang semakin bertambah milik De Vries.

baru

sebagai

terhadap

disebabkan

bencana

magnitud

letusan

semakin

besar

toleransi

sosial-ekonomi

kerusakan

tetapi

penduduk

yang tidak ada

ada 

4,00











vei

3,00





2,00

1,00



1800







 

 

1850



 

1900

  

























1950

2000

1800

YEAR, not periodic

1850

1900

1950

2000

YEAR, not periodic

Gambar 3. Diagram Pencar Erupsi ditinjau dari Magnitud dan Ada Tidaknya korban selama abad 19 dan 20

Yusup, Sensitivitas Penduduk KRB II Dan III Gunungapi Merapi Terhadap Bahaya Awan Panas...

37

Gambar 4. Ilustrasi skematis dari perubahan kepekaan manusia terhadap bahaya lingkungan berdasarkan kejadian fisik dan toleransi sosial ekonomi. Dalam setiap kasus, risiko bencana bertambah sepanjang waktu. De Vries (1985), dalam Smith,1996).

Frekuensi erupsi semakin sering Pita toleransi sosial-ekonomi menyempit

D

Magnitud erupsi mengecil

1800

1900

2000

Gambar 5. Model risiko yang semakin bertambah untuk KRB II dan III G. Merapi selama abad 19 dan 20. Risiko penduduk terhadap bencana semakin bertambah bukan karena erupsi semakin besar dan semakin membahayakan tetapi karena pita toleransi sosial-ekonomi dan batas kerusakannya menyempit. Penduduk dalam menyikapi bencana dominan menggunakan pendekatan kelentingan (resilience) dibanding pendekatan keterpercayaan (reliability), sehingga ambang toleransi terhadap bahaya meningkat, sebaliknya sensitivitas terhadap bahaya menurun. Akibatnya bencana lebih sering terjadi.

38

JURNAL GEOGRAFI, VOLUME 13, NOMOR 1, JUNI 2015 : 26 - 39

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2001. Warga Stabelan Tidak Mau Mengungsi. Harian Suara Merdeka. 17 Januari 2001. Bemmelen, 1949. The Geology of Indonesia, vol. IA, General Geology of Indonesia and Adjacent Archipelagos, Govt. Printing Office, The Hague. Camus, G., Grourgaud, A., Berthommier, M., Vincent, M., 2000. Merapi (Cental Java Indonesia): An Outline of Structural and Magmatological Evolution, with a Special Emphasis to the Major Pyroclasti Events. Journal of Volcanology and Geothermal Research Volume I00(2000), Elsevier, Amsterdam, hal. 139-163. Hadisantono, R.D., Andreastuti, S.D., Abdurachman, E.K., Sayudi, D.S., Nursanto, I, Martono, A., Sumpena, A.D., Muzani, M., 2002. Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Merapi, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Bandung. Newhall, C.G., and Self, S., 1982. The Volcanic Explosivity Index (VEI): an estimate of explosive magnitude for historical volcanism. Journal of Geophysical Research 87, 1, 231-8.

Pardyanto, L., Reksowirogo, L.D., Mitrohartono, F.X.S., Hardjowarsito, S.H., 1978. Peta Daerah Bahaya Gunung Merapi, Jawa Tengah. Direktorat Vulkanologi, Bandung. Putranto, Y.D., 1999. Kajian Ekologi Bentang Budaya Mengenai Interaksi Masyarakat Desa dengan Lingkungannya di Daerah Bahaya Gunung Merapi: Studi Kasus Dusun Turgo, Purwobinangun, Pakem, dan Dusun Pelemsari, Umbulharjo, Cangkringan. Tesis S2. Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Ratdomopurbo dan Andreastuti, 2000. Karakteristik Gunung Merapi. Direktorat Vulkanologi. Smith, K., 1996. Environmental Hazards: Assessing Risk and Reducing Disaster. Second Edition, Routledge, London and New York. Voight,

B., Constantine, E.K., Siswowidjoyo, S., Torley, R., 2000. Historical Eruptions of Merapi Vocano, Central Java, Indonesia,1768-1998.Journal of Volcanology and Geothermal Research Volume 100 (2000), Elsevier, Amsterdam, hal. 69-138.

Yusup, Sensitivitas Penduduk KRB II Dan III Gunungapi Merapi Terhadap Bahaya Awan Panas...

39

Life Enjoy

" Life is not a problem to be solved but a reality to be experienced! "

Get in touch

Social

© Copyright 2013 - 2024 KUDO.TIPS - All rights reserved.