POLITIK HUKUM BERLAKUNYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 4/PUU-VII/2009 TANGGAL 24 MARET 2009 TERHADAP HAK-HAK SOSIAL DAN POLITIK MANTAN NARAPIDANA Edy Faishal Muttaqin1 ABSTRACT Constitutional Court Decision No. 4/PUU-VII/2009 dated March 24, 2009 is a step forward in our constitution, in which the Constitutional Court has found a new legal norms in relation to social and political rights of the exprisoners. The discovery of new legal norms is the result of outstanding work, innovative, and increasingly emphasized the principle of equality before the law. By the opening of opportunities for the ex-prisoners to perform their social and political rights, this means that the Constitutional Court deals only with and on the return of social and political rights of the ex-prisoners who were captured by the state when they are subjected to criminal prison. Therefore, every citizen who served as a criminal offence is the same as any other citizen who was born within a clean condition, free, prestige and dignity, and equality before the law. Keywords : New legal norms, the principle of equality before the law, the opportunities for ex-prisoners, the social and political rights. A. Pendahuluan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pasca amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945, mengalami transformasi (pergeseran) yang awalnya menjadi suatu rezim mandiri, berubah menjadi rangkaian integral dari penyelenggaraan Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, Kabupaten/Kota, hingga Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yang ditindaklanjuti perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dengan
1
Dr. Edy Faishal Muttaqin, S.H., M.H. adalah Staf Pengajar Jurusan Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Riau.
7
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008. Peraturan
Perundang-undangan
tersebut
in
konkreto
dioperasionalisasikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yang telah mengalami perubahan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2007. Perubahan (amendment) terhadap UUD tahun 1945 memang merupakan suatu konsekuensi yang harus dilakukan mengingat begitu rapuhnya koordinasi organ-organ utama negara (state main organs), seperti : Presiden dari pihak Eksekutif, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari pihak Legislatif, dan Mahkamah Agung (MA) serta Mahkamah Konstitusi (MK) dari pihak Yudikatif, sehingga tidak mampu mewujudkan mekanisme pengawasan dan penyeimbangan (checks and balances mechanism), sebagaimana amanat reformasi 21 Mei 1998. Jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah memang merupakan jabatan politik yang prestisius, sehingga dalam realitanya menunjukkan bahwa jabatan publik sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah merupakan lapangan kerja yang menjanjikan masa depan (prospektif). Attensi publik terhadap jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah begitu tinggi, ini dapat dilihat dari begitu banyaknya para tokoh partai politik, tokoh agama, tokoh masyarakat, akademisi, hingga selebritis yang beradu nasib dan keberuntungan dalam perhelatan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Atmosfer Politik (political atmosphere) semakin menghangat tatkala dibuka peluang calon perseorangan (calon independen) untuk ikut dalam proses pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, di samping yang mendaftar melalui pintu Partai Politik. Publik sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di republik ini (konstitusi kita menegaskan secara eksplisit bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi di negeri ini) memang telah mensyaratkan seorang Calon Kepala 8
Daerah dan Wakil Kepala Daerah harus memiliki integritas, kapabilitas, akseptabilitas, akuntabilitas, dan legitimated (baik secara politis ataupun yuridis). Kriteria dan harapan publik, khususnya dalam konteks ini adalah mengenai syarat “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun / lebih”, kemudian dirumuskan dan dijabarkan ke dalam peraturan perundangundangan, yaitu : Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) serta Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008. Dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), serta Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2009, banyak terjadi nama-nama Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), serta Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dikeluarkan dari Daftar Pencalonan, karena tidak memenuhi salah satu persyaratan pencalonan, yaitu syarat “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun / lebih”, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) serta Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah diubah dengan
9
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008. Robertus, mantan narapidana asal Pagar Alam, Provinsi Sumatera Selatan, yang kemudian mengajukan pengujian materiil (judicial review) terhadap Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) serta Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 28 Januari 2009. Dalam perkara a quo, Robertus didampingi tim penasihat hukum dari Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM-UII) Yogyakarta, yang terdiri dari : 1) Zairin Harahap, S.H., M.H., 2) Arif Yusuf Amir, S.H., M.H., 3) Sugito, S.H., dan, 4) H. Ahmad Khairun, S.H., M.Hum. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dikemukakan dalam penulisan hukum ini rumusan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah politik hukum berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009 terhadap hak-hak sosial dan politik mantan narapidana? 2. Bagaimanakah
paradigma
pemidanaan
yang
diimplementasikan
di
Indonesia? 3. Apakah implikasi yuridis dari berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009 bagi mantan narapidana?
10
C. Pembahasan 1. Politik Hukum Berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 Tanggal 24 Maret 2009 Terhadap Hak-Hak Sosial dan Politik Mantan Narapidana Sebelum menjawab rumusan permasalahan hukum di atas, kita terlebih dahulu harus memahami definisi dari istilah politik hukum (legal policy). Dalam berbagai kepustakaan, politik hukum dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah rechtspolitiek, sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal dengan berbagai istilah penyebutannya, antara lain : politics of law (politik hukum), legal policy (kebijakan hukum), politic of legislation (politik perundangundangan), politic of legal products (politik produk hukum), dan politic of law development (politik pembangunan hukum).2 Moh. Mahfud MD, dalam bukunya mengemukakan politik hukum adalah “legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara”. Dengan demikian, politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945.3 Beberapa pakar hukum lainnya secara substantif memiliki kesamaan dalam membuat definisi politik hukum dengan Moh. Mahfud MD, antara lain, Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk.4 Di dalam tulisannya yang lain, Padmo Wahjono memperjelas isi definisi tersebut dengan mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu yang
2 Wahyudin Husein, dan Hufron, H., Hukum Politik & Kepentingan, Cet.I, (Yogyakarta : LaksBang PRESSindo dan PUSDERANKUM, 2008), hlm.1. 3 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 2009), hlm. 1. 4 Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Cet II, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 160_Sebagaimana dikutip oleh Moh. Mahfud MD, Ibid.
11
di dalamnya mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum.5 Teuku Mohammad Radhie mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.6 Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dengan hukum tertentu dalam masyarakat yang cakupannya meliputi jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar, yaitu : 1) tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem yang ada; 2) cara-cara apa dan yang mana yang dirasa paling baik untuk dipakai dalam mencapai tujuan tersebut; 3) kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu diubah; 4) dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk membantu dalam memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik.7 Politik hukum berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009 terhadap hak-hak sosial dan politik mantan narapidana adalah merupakan legal policy atau garis (kebijakan) resmi yang dikeluarkan oleh penyelenggara negara, in casu Mahkamah Konstitusi (MK), dalam kaitannya mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara, yang dalam konteks ini berupa pengembalian hak-hak sosial dan politik mantan narapidana. Pemohon (Robertus Aji) dalam petitum meminta kepada Majelis Hakim Konstitusi sebagai berikut : 1. Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah yang kesemuanya mensyaratkan: “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah 5 Padmo Wahjono, “Menyelisik Proses Terbentuknya Peraturan Perundang-Undangan” Majalah Forum Keadilan, No. 29, April 1991, hlm. 65_ sebagaimana dikutip oleh Moh. Mahfud MD, Ibid. 6 Teuku Mohammad Radhie, “Pembaruan dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional” Majalah Prisma No. 6 Tahun II, Desember 1973, hlm. 3_ sebagaimana dikutip oleh Moh. Mahfud MD, Ibid. 7 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet. III, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1991), hlm. 352353, Sebagaimana dikutip oleh Moh. Mahfud MD, Ibid. hlm. 2.
12
mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun / lebih”, Pasal-pasal a quo bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 C ayat (2), Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 28 D ayat (5). 2. Menyatakan Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Adapun dalil-dalil yang dikemukakan oleh Pemohon a quo dalam posita adalah sebagai berikut : a. Partisipasi Politik yang Dipersempit dan Status Mantan Narapidana 1) Bahwa partisipasi masyarakat merupakan aspek penting dalam suatu pemilihan jabatan, baik yang bersifat jabatan publik yang dipilih, seperti Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, serta Presiden dan Wakil Presiden, ataupun jabatan lain yang diangkat, sehingga harus dibuka seluasluasnya karena hak masyarakat atas partisipasi masyarakat yang merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM) sebagaimana tertuang dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 C ayat (2), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 D ayat (3) UUD Tahun 1945, Pasal 21 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights 1948) dan Pasal 5 ayat (1), Pasal 15, Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan demikian, partisipasi politik merupakan hak asasi manusia setiap warga negara untuk dapat berpatisipasi dalam kegiatan bersama untuk turut serta menetapkan tujuan-tujuan dan masa depan negara termasuk menentukan orangorang yang akan memegang pemerintahan. 2) Bahwa Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah masih membedakan perlakuan terhadap warga negara yang pernah menjalani hukuman dengan warga negara yang tidak pernah dihukum berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), sehingga nampak dengan jelas dan terang di satu sisi pembentuk undang-undang menganggap bahwa mantan narapidana adalah orang yang bebas dan bertanggungjawab, dapat aktif dalam pembangunan sebagai warga negara yang baik dan lain sebagainya, namun di sisi lain masih juga menganggap bahwa mantan narapidana adalah orang yang harus dicurigai, tercela, cacat moralnya dan tidak pantas untuk menduduki jabatan publik yang dipilih, seperti : Anggota DPR, DPD, dan DPRD 13
ataupun Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dengan demikian bagaimana mungkin seorang mantan narapidana dapat berperan aktif dalam pembangunan, baik formal maupun informal jika negara sendiri telah membatasi ruang gerak atau bahkan membunuh hak-hak politik yang telah dimilikinya sejal lahir padahal di satu sisi ia telah membayar lunas semua akibat hukum yang pernah dilakukannya di masa lampau. 3) Bahwa Pemohon selain tidak pernah dicabut hak politiknya oleh pengadilan, juga pada prinsipnya telah menjalani hukuman atas tindak pidana yang pernah dilakukannya, sehingga sudah selayaknya tidak diperlakukan sebagai pendosa seumur hidupnya. 4) Bahwa tujuan dari pembentukan suatu norma Undang-Undang adalah tercapainya asas kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Dengan adanya pasal-pasal a quo dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, maka keadilan yang dicari oleh dan bermanfaat bagi Pemohon tidak tercapai. 5) Oleh karenanya Pemohon berpendapat bahwa Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah lebih bersifat pengekangan terhadap hak-hak politik warga negara dan melanggar hak asasi manusia sebagaimana dijamin oleh UUD Tahun 1945 Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 C ayat (2), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 D ayat (3), Pasal 21 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights 1948) dan Pasal 5 ayat (1), Pasal 15, Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). b. Penghukuman dan Stimatisasi Seumur Hidup 1) Bahwa setiap warga negara yang telah menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, sama artinya dengan warga negara lainnya yang dilahirkan dalam keadaan bersih, bebas, berharkat, dan bermartabat serta sederajat di mata hukum. 2) Bahwa adanya persyaratan sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah tidak dapat menjamin atau menghasilkan calon yang lebih berkualitas dan memiliki integritas lebih baik disbanding dengan orang yang pernah menjalani masa hukuman pidana dengan ancaman hukuman 5 (lima) tahun atau lebih. Bahkan sebaliknya, sejarahpun telah membuktikan bahwa orang yang pernah dihukum atau dipidanapun dapat berinteraksi, bergaul, dan diterima masyarakatnya 14
sampai pada dipilih, dipercaya, dan menjadi pemimpin bagi mereka, seperti yang pernah dialami oleh Bung Karno dan A.M. Fatwa. 3) Bahwa pasal-pasal a quo selain telah menghukum, menghapus hak politik mantan narapidana juga telah menstigma, member label mantan narapidana sebagai individu yang berbeda dengan individu lainnya yang tidak pernah dipidana, sehingga tidak mendudukkannya secara sama di dalam hukum yang pada akhirnya berimbas pula kepada perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum dan pemerintahan. c. Inkonsistensi Pembentuk Undang-Undang dan Diskriminasi 1) Bahwa ketentuan Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah telah membunuh hak politik dan bersifat diskriminatif juga telah nyata merupakan bentuk dari tidak konsistennya pembentuk undang-undang dalam menerapkan persyaratan-persyaratan untuk suatu jabatan publik. 2) Bahwa telah nyata ketentuan Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pasal 58 huruf f UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah merupakan pula dan bentuk diskriminatif dan bertentangan dengan nilai-nilai asasi dari hak dasar manusia yang pada pokoknya merupakan pembatasan hak fundamental dan inkonstitusional. 3) Bahwa dengan lahirnya pasal-pasal a quo selain menimbulkan sikap diskriminasi, melanggar hak asasi dan hak keperdataan warga negara juga bukanlah undang-undang / pembatasan yang adil, yang dapat menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak asasi manusia, nilainilai agama dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis sebagaimana yang diperintahkan oleh UUD Tahun 1945, khususnya Pasal 28 I ayat (5). d. Pemilihan Umum sebagai Perwujuddan Kedaulatan Rakyat 1) Bahwa Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945 menegaskan kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat dan prinsip kedaulatan rakyat merupakan prinsip konstitusi yang sangat mendasar dan tidak dapat dikesampingkan. 2) Bahwa hal yang aneh dan tidak berdasar jika negara menghapus hak dipilih mantan narapidana sedang hak memilihnya tidak dihapus, dan lebih aneh dan tidak berdasar lagi jika hak pilih tersebut dihapus tanpa ada kesalahan yang diperbuatnya. Bukankah perbuatan pidana yang pernah dilakukannya telah mendapat penghukuman tersendiri dan ia telah menjalaninya.
15
3) Bahwa aspirasi masyarakat adalah kehendak jaman yang tak terbantahkan dan tidak dapat dibendung apalagi sampai dihalanghalangi oleh suatu norma yang pada hakikatnya tidak sejalan dengan Pasal 28 I ayat (2) UUD Tahun 1945, sehingga perlu dilakukan upaya perbaikan aturan seperti apa yang dikehendaki oleh konstitusi dan semangat demokrasi. 4) Bahwa dengan demikian adanya pasal-pasal a quo selain telah mengesampingkan rakyat juga bukanlah suatu undang-undang / pembatasan yang adil, yang dapat menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak asasi manusia, nilai-nilai agama, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis sebagaimana yang diperintahkan UUD Tahun 1945, khususnya Pasal 28 J ayat (2). Pemohon dalam permohonannya mengajukan 1 (satu) orang Saksi Ahli, yaitu : Dr. Mudzakkir, S.H., M.H., yang telah memberikan keterangan di muka persidangan dengan materi sebagai berikut: Dalam memberikan argumentasi hukum Mahkamah Konstitusi menjelaskan yang intinya bahwa syarat tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih sebagai salah satu syarat untuk menduduki jabatan publik, yakni, menuntut syarat kepercayaan masyarakat yang dinilai telah merupakan praktik yang diterima umum. Ada standar moral tertentu yang disyaratkan bagi setiap orang yang akan memangku jabatan-jabatan dalam pemerintahan, yaitu, tidak pernah dipidana. Dasar-dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara Nomor 4/PUU-VII/2009 adalah : a) Bahwa maksud dan tujuan permohonan adalah mengenai pasal pengujian konstitusional Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. b) Bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, yang putusannya bersifat final, untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 jo Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. c) Bahwa sehingga Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo.
16
d) Bahwa dalam kedudukan hukum (legal standing) Pemohon menganggap hak dan kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD Tahun 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang. e) Bahwa Mahkamah Konstitusi berpendapat Pemohon memiliki kedudukan legal (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian pasal-pasal a quo terhadap UUD Tahun 1945. f) Bahwa Pemohon mendalilkan pasal a quo bertentangan dengan UUD Tahun 1945, sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. g) Bahwa untuk memperkuat dalil-dalilnya, Pemohon mengajukan alat bukti surat (bukti P-1) sampai dengan bukti P-9, juga mengajukan Ahli yang bernama Dr. Mudzakkir, S.H., M.H., yang memberikan keterangan di sidang pleno pada tanggal 10 Maret 2009. h) Bahwa dalam putusan Nomor 14 – 17 / PUU – V / 2007 tanggal 11 Desember 2007, Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya telah menolak pengujian Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 6 huruf E Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 18 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, dan Pasal 13 huruf g Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya memang menurut hemat penulis senantiasa memunculkan polemik (pro dan kontra), inovatif, penuh dinamika, dan spektakuler, di mana pradoks dalam dasar pertimbangan terhadap substansi yang sama atau hampir sama antara putusan yang satu dengan putusan lainnya, misalnya : antara Putusan Nomor 14-17 / PUU-V / 2007 tanggal 11 Desember 2007 dengan Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009. Dalam Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009, Mahkamah Konstitusi (MK) memutus : Menyatakan bahwa Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, yakni, terhadap norma hukum yang berbunyi : “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun / lebih”, bertentangan dengan UUD Tahun 1945 secara bersyarat 17
(conditionally unconstitutional), serta pasal-pasal a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak memenuhi syarat-syarat. Syaratsyarat itu antara lain adalah tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials), berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak narapidana selesai menjalani hukumannya, dikecualikan bagi mantan narapidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan narapidana, dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang (residivis). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009 menurut hemat penulis merupakan uji materiil (judicial review) norma hukum yang terdapat dalam Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Putusan ini dalam konteks hukum tata negara merupakan atau diklasifikasikan sebagai putusan yang berlaku prospektif (ex nunc), yang artinya secara politik hukum hak-hak pihak yang dimenangkan dalam perkara a quo (Robertus Aji selaku Pemohon) baru dimiliki dan dijalankan sejak diputusnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 pada tanggal 24 Maret 2009. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009 menurut hemat penulis telah menjalankan langkah politik hukum yang luar biasa (the extraordinary legal policy effort) dengan menemukan norma hukum baru terhadap hak-hak sosial dan politik mantan narapidana. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009 adalah penemuan hukum baru hasil uji materiil (judicial review) Mahkamah Konstitusi yang membuka kesempatan kepada mantan narapidana untuk menjalankan hak-hak sosial dan politiknya sesuai asas persamaan di muka hukum dan pemerintahan (equality before the law). Dengan putusan a quo, Mahkamah Konstitusi mengembalikan hak-hak sosial dan politik mantan narapidana yang dirampas oleh negara saat menjalankan pemidanaan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) atau Lembaga Pemasyarakatan (LP). 18
2. Paradigma Pemidanaan yang di Implementasikan di Indonesia Dalam kaitannya dengan pengembalian hak-hak sosial dan politik mantan narapidana oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009, maka tidaklah lengkap jika kita tidak membahas paradigma pemidanaan di Indonesia. Apabila kita membahas paradigma pemidanaan yang diimplementasikan di Indonesia, kita akan menemukan adanya causal verband antara konsep pemidanaan dan penetapan sanksi pidana. Barda Nawawi Arief dan Muladi menyatakan bahwa hubungan antara penetapan sanksi pidana dan tujuan pemidanaan adalah titik penting dalam menentukan strategi perencanaan politik kriminal. Menentukan tujuan pemidanaan dapat menjadi landasan untuk menentukan cara, sarana atau tindakan yang akan digunakan.8 Barda Nawawi Arief mengungkapkan beberapa pokok pikiran dalam perumusan tujuan pemidanaan, antara lain : a) pada hakikatnya undang-undang merupakan sistem hukum yang bertujuan, sehingga dirumuskan pidana dan aturan pemidanaan dalam undang-undang, pada hakikatnya hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan, b) dilihat secara fungsional operasional, pemidanaan merupakan suatu rangkaian proses dan kebijakan yang konkretasinya sengaja direncanakan melalui tiga tahap. Agar ada keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, maka dirumuskan tujuan pemidanaan, c) perumusan tujuan pemidanaan dimaksudkan sebagai “fungsi pengendalian control” dan sekaligus memberikan landasan filosofis, dasar rasionalitas dan motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah.9 Setiap masyarakat senantiasa mengembangkan mekanismenya sendirisendiri dalam mengontrol perilaku anggota-anggotanya yang melakukan atau yang dianggap melakukan perilaku menyimpang (moral hazard), khususnya jika penyimpangan tersebut dianggap intensional tidak dapat diterima dan 8
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Kebijakan Pidana, (Bandung : Alumni, 1998), hlm. 95. 9 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung : Alumni, 1998), hlm. 29 – 32.
19
mengakibatkan kerugian serius (berupa timbulnya korban atau biaya dalam arti luas), sehingga memunculkan konsep penghukuman (punishment). Pada awalnya, penghukuman dilakukan dengan paradigma retributif dan merupakan reaksi langsung atas perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang. Paradigma retributif ini tampak jelas pada semangat mengganjar secara setimpal berkaitan dengan perbuatan dan/atau efek jera dari perbuatan yang telah dilakukan. Paradigma penghukuman belakangan muncul dengan semangat agar orang tidak melakukan perbuatan yang diancamkan. Dengan kata lain, penghukuman dilakukan dengan semangat menangkal (deterrence). Perkembangan masyarakat yang penuh dinamika seiring sejalan dengan akselerasi peradaban manusia yang cerdas berilmu pengetahuan dan berteknologi, terjadilah pergeseran (transformasi) paradigma pemidanaan di mana tidak lagi an sich kepada paradigma retributif yang berorientasi kepada penghukuman setimpal hingga munculnya efek jera menjadi paradigma rehabilitatif yang berorientasi kepada pengubahan dan perbaikan perilakuperilaku menyimpang seseorang, sehingga muncul konsep pemasyarakatan di mana narapidana diberi sebutan sebagai warga binaan pemasyarakatan. Adapun
asas-asas
atau
prinsip-prinsip
yang
melatarbelakangi
munculnya transformasi paradigma, dari paradigma retributif menjadi paradigma rehabilitatif adalah : 1) Ide keseimbangan monodualistik antara kepentingan masyarakat (publik) dengan kepentingan individu; 2) Ide keseimbangan antara “social welfare” dengan “social defence”; 3) Ide keseimbangan antara pidana yang berorientasi kepada pelaku / offender (individualisasi pidana) dengan korban / victim; 4) Ide penggunaan “double track system” (antara pidana / punishment dengan tindakan / treatment / measures); 5) Ide
mengefektifkan
“non
custodial
measures
(alternatives
to
imprisonment)”; 6) Ide elastisitas / fleksibilitas pemidanaan (elasticity / flexibility of sentencing); 20
7) Ide modifikasi / perubahan / penyesuaian pidana (modification of sanction, the alteration / annulment / revocation of sanction, redetermining of punishment); 8) Ide subsidiaritas di dalam memilih jenis pidana; 9) Ide permaafan hakim (rechterlijk pardon / judicial pardon); 10) Ide mendahulukan / mengutamakan keadilan dari kepastian hukum.10 Ketentuan-ketentuan pemidanaan di luar KUHP (Wetboek van Strafrecht) yang berlaku saat ini antara lain adalah : 1) Adanya pasal yang menegaskan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (asas culpabilitas) yang diimbangi dengan adanya ketentuan tentang “strict liability” dan “vicarious liability”. (vide Pasal 35); 2) Adanya batas usia pertanggungjawaban pidana anak (the age of criminal responsibility). (vide Pasal 46); 3) Adanya bab khusus tentang pemidanaan terhadap anak (Bab III Bagian Keempat); 4) Adanya kewenangan hakim untuk setiap saat menghentikan atau tidak melanjutkan proses pemeriksaan perkara pidana terhadap anak (asas diversi), vide Pasal 111; 5) Adanya pidana mati bersyarat. (vide Pasal 86); 6) Dimungkinkannya terpidana seumur hidup memperoleh pelepasan bersyarat. (vide Pasal 67 jo Pasal 69); 7) Adanya pidana kerja sosial, pidana pembayaran ganti rugi, dan pemenuhan kewajiban adat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup. (vide Pasal 62 jo Pasal 64); 8) Adanya pidana minimal khusus yang disertai juga dengan aturan / pedoman pemidanaannya atau penerapannya. (vide Pasal 66, 82, 120, 121, 130, dan 137); 9) Dimungkinkannya penggabungan jenis sanksi (pidana dan tindakan); 10
Setyo Utomo, “Sistem Pemidanaan dalam Hukum Pidana yang Berbasis Restorative Justice”, Makalah dalam Focus Group Discussion “Politik Perumusan Ancaman Pidana dalam Undang-Undang di Luar KUHP” (Jakarta : Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM, 21 Oktober 2010).
21
10) Dimungkinkannya pidana tambahan dijatuhkan sebagai sanksi yang berdiri sendiri, vide Pasal 64 ayat (2); 11) Dimungkinkannya hakim menjatuhkan jenis pidana lain yang tidak tercantum dalam perumusan delik yang hanya diancam dengan pidana tunggal. (vide Pasal 56 - 57); 12) Dimungkinkannya hakim menjatuhkan pidana secara kumulatif walaupun ancaman pidana dirumuskan secara alternatif. (vide Pasal 58); 13) Dimungkinkannya hakim memberi maaf / pengampunan (rechterlijk pardon) tanpa menjatuhkan pidana / tindakan apapun kepada terdakwa, sekalipun telah terbukti adanya tindak pidana dan kesalahan, vide Pasal 52 ayat (2); 14) Adanya kewenangan hakim untuk tetap mempertanggungjawabkan / memidana si pelaku walaupun ada alasan penghapus pidana, jika si pelaku patut dipersalahkan (dicela) atas terjadinya keadaan yang menjadi alasan penghapus pidana tersebut (dikenal dengan asas culpa in causa atau asas actio libera in causa), vide Pasal 54; 15) Dimungkinkannya perubahan / modifikasi putusan pemidanaan walaupun sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), vide Pasal 55 dan Pasal 2 ayat (3); Sementara itu, dalam kaitannya dengan paradigma pemidanaan yang diimplementasikan di Indonesia, Muladi membagi teori-teori tentang tujuan pemidanaan menjadi 3 (tiga) kelompok yakni : a) Teori absolut (retributif); b) Teori teleologis; dan c) Teori retributifteleologis.11 Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan, sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada
11
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana Badan, (Semarang : Universitas Diponegoro Press, 1995), hlm. 127 – 129.
22
sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan, sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan. Teori teleologis (tujuan) memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan. Teori retributif-teleologis memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip teleologis (tujuan) dan retributif sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, di mana pemidanaan mengandung karakter retributif sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter teleologisnya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari. Pandangan teori ini menganjurkan adanya kemungkinan untuk mengadakan artikulasi terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus retribution yang bersifat utilitarian di mana pencegahan dan sekaligus rehabilitasi yang kesemuanya dilihat sebagai sasaran yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan. Apabila tujuan pemidanaan bersifat integratif, maka perangkat (ware) tujuan pemidanaan adalah : a) Pencegahan umum dan khusus; b) Perlindungan masyarakat; c) Memelihara solidaritas masyarakat; dan d) Pengimbalan/pengimbangan. Mengenai tujuan, maka yang merupakan titik berat adalah sifatnya yang kasusistis. Penulis mengamati adanya paradoks antara implementasi paradigma pemidanaan rehabilitatif dalam konsep dan/atau filosofi pemasyarakatan dengan realita empirik, di mana masih banyak mantan narapidana yang mengalami diskriminasi (disparitas) secara terstruktur, sistematis, dan massif dalam upayanya untuk beradaptasi, berintegrasi, serta berinteraksi di lingkungan keluarganya dan masyarakat. Instrumen peraturan perundang-
23
undangan yang ada nampak menghambat proses adaptasi, integrasi, serta interaksi mantan narapidana di lingkungan keluarganya dan masyarakat. Apabila dikaji secara sosiologis, perilaku diskriminatif (disparitas) kepada mantan narapidana merupakan manifestasi atau refleksi kekerasan atau arogansi struktur sosial (abuse of social structure). Pada hakikatnya, manusia diciptakan Allah Yang Maha Kuasa sebagai makhluk-Nya yang lemah dan alpa, sehingga in abstrakto dan in konkreto, adalah manusiawi jika ada beberapa anggota masyarakat yang tersandung jeratan hukum, sehingga tatkala menjalani pemidanaan (penghukuman) mereka diberi label Narapidana. Penghukuman pidana pada dasarnya merupakan merupakan bentuk penebusan kesalahan yang pernah dilakukan seseorang. Dengan menjalani pemidanaan (penghukuman), seorang narapidana diibaratkan telah membayar / melunasi hutang-hutangnya kepada pihak pemberi hutang. Ratio legis atau argumentasi hukumnya (legal reason) adalah jika seorang narapidana telah selesai menjalani masa pemidanaannya (penghukumannya), maka tentunya dia harus diperlakukan seperti orang yang telah membayar atau melunasi hutanghutangnya. Penulis menganggap bahwa fenomena munculnya
perbuatan
pidana yang dilakukan secara berulang-ulang oleh seorang mantan narapidana (residivis) itu akibat atau konsekuensi dari tidak adanya perlakuan yang adil kepada mantan narapidana. Stigma negatif dan diskriminasi (disparitas) perlakuan kepada mantan narapidana oleh negara, peraturan perundangundangan dan masyarakat menurut hemat penulis merupakan conditio sine qua non dari berulangkembalinya perbuatan pidana yang dilakukan oleh mantan narapidana. Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa paradigma pemidanaan di Indonesia sekarang adalah paradigma rehabilitatif yang bukan menjadikan narapidana sebagai obyek, melainkan sebagai subyek, yang dididik, dibina, dan diperbaiki perilaku-perilakunya, sehingga saat kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakatnya mereka dapat berperilaku baik dan bertanggungjawab. Perubahan paradigma ini dalam realitanya telah membawa banyak perubahan perilaku mantan narapidana secara signifikan, sebut saja di 24
antaranya : Anton Medan dan Johnny Indo yang telah insyaf dan beralih profesi sebagai ustadz (da’i). 3. Implikasi Yuridis dari Berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 Tanggal 24 Maret 2009 Bagi Mantan Narapidana. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009 membawa implikasi yuridis bagi mantan narapidana, baik bagi mereka yang narapidana umum (karena melakukan pidana umum) ataupun pidana khusus (karena melakukan pidana khusus, seperti : psikotropika, narkotika, terrorisme, korupsi, human trafficking, pencucian uang (money laundering), dan/atau the organized crimes dan the transnational crimes lainnya), karena Mahkamah Konstitusi mengembalikan hak-hak sosial dan politik mantan narapidana kembali kepada yang bersangkutan, yang sebelumnya
telah
dirampas
ol e h
negara
saat
mereka
menjalankan
pemidanaannya (penghukumannya). Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, yakni, terhadap norma hukum yang berbunyi : “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun / lebih”, dinyatakan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional), serta pasal-pasal a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak memenuhi syarat-syarat. Syaratsyarat itu antara lain adalah tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials), berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak narapidana selesai menjalani hukumannya, dikecualikan bagi mantan narapidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada
25
publik bahwa yang bersangkutan mantan narapidana, dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang (residivis). Sudikno Mertokusumo menegaskan bahwa sanksi itu pada hakikatnya bertujuan untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat (society order) yang telah terganggu oleh pelanggaran-pelanggaran kaidah ke dalam keadaan semula, sehingga jika ada warga negara yang telah menjalani hukuman (pidana penjara) berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), dipersamakan telah mengembalikan tatanan dan keseimbangan masyarakat dalam keadaan semula. Dengan demikian warga negara yang pernah dan/atau telah menjalani pemidanaan (penghukuman) itu sama artinya dengan warga negara lainnya yang dilahirkan dalam keadaan bersih, bebas, berharkat, dan bermartabat serta sederajat di muka hukum dan pemerintahan.12 Dalam konsep pemasyarakatan, terdapat tujuan luhur yang diharapkan dari implementasi pemidanaan (penghukuman) bagi para pelaku pidana, yaitu, mendidik para narapidana yang selama ini dianggap tersesat, agar menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan negara. Para narapidana (warga binaan pemasyarakatan) yang telah menjalani masa pemidanaan (penghukuman) diharapkan dapat menjadi bagian dari warga negara yang berperan aktif dalam pembangunan berkelanjutan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik, taat hukum, dan bertanggungjawab. Untuk mencapai tujuan dan harapan yang luhur tersebut, para narapidana tidak hanya diberikan bekal berupa pendidikan,
pelatihan, dan ketrampilan, melainkan diberikan
pembimbingan agar nantinya yang bersangkutan dapat beradaptasi dan insyaf saat kembali ke dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.13 Oleh karena itu, dengan berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009, mantan narapidana diberikan kesempatan luas untuk kembali menjalankan hak-hak sosial dan politiknya tatkala mereka telah menjalankan masa pemidanaannya (penghukumannya). 12
Abdullah Affandi, “Remisi Bagi Narapidana, Apakah Perlu ?” Makalah Hukum Online dalam
[email protected], diakses pada tanggal 10 Oktober 2011, hlm. 1. 13 Abdullah Affandi, Ibid.
26
Pengembalian hak-hak sosial dan politik merupakan bentuk adanya pengakuan dan jaminan perlindungan hak asasi manusia (human rights) serta asas atau prinsip persamaan di muka hukum dan pemerintahan (equality before the law principle), sebagaimana telah diatur dalam Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28 C Ayat (1), Pasal 28 D Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta Pasal 21 Universal Declaration of Human Rights 1948. Di samping itu, yang menjadi dasar tetap dimilikinya hak-hak sosial dan politik mantan narapidana adalah International Covenant on Civil and Political Rights 1966 (Perjanjian Internasional tentang Hak-Hak Politik dan Sipil Tahun 1966), Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment 1993 (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia Tahun 1993), Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia), dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. D. Penutup Politik hukum berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009 terhadap hak-hak sosial dan politik mantan narapidana adalah dikembalikannya hak-hak sosial dan politik mantan narapidana setelah narapidana yang bersangkutan itu selesai menjalankan masa pemidanaannya (penghukumannya). Putusan a quo merupakan legal policy atau garis (kebijakan) resmi yang dikeluarkan oleh penyelenggara negara, in casu Mahkamah Konstitusi (MK), dalam kaitannya mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara, yang dalam konteks ini berupa pengembalian hak-hak sosial dan politik mantan narapidana. Pengembalian hak-hak sosial politik kepada mantan narapidana, berarti mantan narapidana dikembalikan ke dalam kondisi
27
semula, sehingga diharapkan mereka dapat ikut berpartisipasi secara pro aktif dalam pembangunan nasional yang berkelanjutan. Paradigma pemidanaan di Indonesia adalah rehabilitatif dengan konsep pemasyarakatan. Semua warga negara tanpa kecuali berdasarkan asas persamaan di muka hukum dan pemerintahan (equality before the law) diberikan pemidanaan (penghukuman) sesuai dengan jenis perbuatannya dan ketentuannya dalam peraturan perundang-undangan yang ada, namun dalam realitanya diorientasikan kepada pembinaan, pendidikan, pelatihan dan pembimbingan kepada yang telah berstatus narapidana (warga binaan pemasyarakatan), sehingga nantinya di saat mereka kembali ke dalam lingkungan keluarganya dan masyarakat, mereka telah memiliki bekal berupa keahlian dan/atau ketrampilan tertentu yang dapat memudahkan mereka untuk berintegrasi,
beradaptasi,
serta
berinteraksi
dengan
keluarganya
dan
masyarakat. Implikasi yuridis dari berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009 bagi mantan narapidana adalah terkait dengan norma hukum yang
berbunyi : “tidak pernah dijatuhi pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun / lebih”, oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional), serta Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak memenuhi syarat-syarat. Syarat-syarat itu antara lain adalah tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials), berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak narapidana selesai menjalani hukumannya, dikecualikan bagi mantan narapidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan
28
narapidana, dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang (residivis).
29
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku H.M., Husein, Wahyudin, dan Hufron, H.,2008. Hukum Politik & Kepentingan, Yogyakarta : LaksBang Pressindo dan PUSDERANKUM. Mahfud MD, Moh, 2009. Politik Hukum di Indonesia, Jakarta : Rajawali Pers. Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana Badan, Semarang : Universitas Diponegoro Press. ______________, 1998. Teori-Teori Kebijakan Pidana, Bandung : Alumni ______________, 2002. Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung : Alumni Rahardjo, Satjipto, 1991. Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti. Wahjono, Pasmo, 1986. Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia. B. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Universal Declaration of Human Rights 1948 International Covenant on Civil and Political Rights 1966 Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment 1993 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
30
C. Majalah/Surat Kabar Radhie, Teuku Mohammad 1973. “Pembaruan dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional” Majalah Prisma No. 6 Tahun II, Desember. Wahjono, Pasmo 1991. “Menyelisik Proses Terbentuknya Peraturan Perundang-undangan” Majalah Forum Keadilan, No. 29, April. D. Website Abdullah Affandi, Remisi Bagi Narapidana, Apakah Perlu ?_Makalah Hukum Online dalam
[email protected], diakses pada tanggal 10 Oktober 2011.
31