Transcript
PENYELESAIAN KONFLIK SOSIAL YANG TIMBUL DARI PEMASANGAN TAPAL BATAS KABUPATEN REJANG LEBONG DAN KABUPATEN KEPAHIANG BERBASIS HUKUM KEARIFAN LOKAL (Studi Kasus Perkelahian Antar Warga di Kecamatan Merigi Kabupaten Kepahiang)
SKRIPSI Oleh : PUTRA SETIADI B1A009048
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BENGKULU 2014
Motto Dan Persembahan Motto : 1. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok adalah harapan (Putra Setiadi) 2. Jangan pernah berharap lain jika apa yang kita lakukan hari ini masih sama dengan apa yang kita lakukan di hari sebelum nya (Putra setiadi)
Skripsi ini saya persembahkan untuk : 1. Ayah saya (H.lazuardi) dan ibu saya (Hj.Maryunis) yang selalu sabar dalam mendidik saya dan selalu berusaha untuk mendorong saya menjadi lebih baik lagi hingga mencapai keberhasilan. 2. Istri saya Riski Andhika Rully Lare yang selalu menyemangat kan saya sehingga saya bisa mencapai keberhasilan 3. Kakak saya Fitri Nanda Sari dan Selvi Ramania sari.SE , abang saya Yudhistira Ade wardana yang turut serta membantu keberhasilan saya. 4. Teman teman Fakultas Hukum angkatan 2009. 5. Almamater Universitas Bengkulu.
4
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan diKota Curup pada tanggal 21 November 1990 dari pasangan ayah H. Lazuardi. R. Indo dan ibu Hj. Maryunis, penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD 02 CENTRE Curup pada tahun 2003, Sekolah Menengah Pertama pada di SMP 1 Curup kota pada tahun 2006, Sekolah Menengah Atas di SMA 1 Curup Selatan pada tahun 2009. Pada tahun yang sama penulis diterima diFakultas Hukum Universitas Bengkulu dengan fokus studi Hukum Perdata. Penulis melaksanakan magang diJakarta, dibernagai instansi yaitu KPK, BKPM, LSF, Komisi Yudisial, Kejaksaan Agung, DIRJEN Pajak, dan Mahkamah Konstitusi. Penulis juga melaksanakan Kuliah Kerja Nyata di Desa Sukarami Kabupaten Bengkulu Tengah.
5
KATA PENGANTAR Allhamdulillah, puji syukur penulis panjat kan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat serta karunia nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Penyelesaian Konflik Sosial Yang Timbul Dari Pemasangan Tapal Batas Kabupaten Rejang Lebong Dan Kabupaten Kepahiang Berbasis Hukum Kearifan Lokal (Studi Kasus Perkelahian Antar Warga di Kecamatan Merigi Kabupaten Kepahiang)” ini dengan baik dan lancar. Skripsi ini di susun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan studi di program studi ilmu hukum fakultas hukum Universitas Bengkulu. Penulis menyadari dengan dengan sepenuh nya bahwa skripsi ini tidak akan dapat diselesai kan dengan baik tanpa bantuan serta dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan yang baik ini penulis ingin menghaturkan rasa terima kasih yang setulus tulus nya kepada : 1. M. Abdi, S.H.,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Bengkulu; 2. Andry Harijanto, S.H.,M.Si selaku pembimbing utama yang telah banyak memberikan saran demi kelancaran dalam penulisan skripsi ini; 3. Edytiawarman, S.H., M.Hum selaku pembimbing pendamping yang telah banyak memberikan saran demi kelancaran dalam penulisan skripsi ini; 4. Seluruh dosen dan staf pengajar Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Bengkulu yang dengan perantaranya penulis mendapat kan ilmu yang bermanfaat; 5. Seluruh staf Fakultas Hukum Universitas Bengkulu yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang banyak memberikan bantuan dan kemudahan selama pelaksanaan studi; 6. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung kepada penulis;
6
Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan dan bantuan nya kepada penulis selama ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan masukan dan saran dari pembaca. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca, Amin.
Bengkulu,
Januari 2014
PUTRA SETIADI
7
ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi terjadinya konflik sosial di Desa Pulo Geto, dan Kelurahan Durian Depun Kecamatan Merigi Kabupaten Kepahiang. Tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui penyelesaian konflik sosial yang timbul dari pemasangan tapal batas Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Kepahiang berbasis Hukum Kearifan Lokal, (2) Untuk mengetahui hambatan dalam penyelesaian konflik sosial yang timbul dari pemasangan tapal batas Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Kepahiang berbasis Hukum Kearifan Lokal. Pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini meliputi wawancara mendalam dan pengumpulan data sekunder. Analisis data dalam penelitian ini pada hakekatnya dilakukan secara terusmenerus sejak awal sampai akhir penelitian. Dalam analisis data ini, data disusun kemudian digolongkan dalam pola, tema, atau katagori, sesuai dengan pokok-pokok bahasan yang mengacu kepada permasalahan penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Penyelesaian konflik sosial yang timbul dari pemasangan tapal batas Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Kepahiang di selesaikan secara Hukum Kearifan Lokal, dimana penyelesaian pelanggaran tersebut dilakukan dengan cara musyawarah adat Rejang. Penyelesaian konflik ini dihadiri oleh para keluarga kedua belah pihak yang terlibat konflik, ketua adat beserta tokoh adat masing-masing desa tempat kedua belah pihak berdomisili, dan masing-masing kepala desa tempat kedua belah pihak berdomisili. Hambatan dalam penyelesaian konflik sosial yang timbul dari pemasangan tapal batas Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Kepahiang berbasis Hukum Kearifan Lokal adalah emosi individu masyarakat yang sangat tinggi, serta rasa masih ingin bergabung dengan Kabupaten Rejang Lebong yang diluapkan dengan cara yang berlebih-lebihan. Penyelesaian konflik sosial dimasyarakat sendiri, tentu dapat dilaksanakan, tetapi apabila penyebab konflik itu yaitu persengketaan tapal batas tidak diselesaikan, bukan hal yang mustahil konflik akan terjadi lagi, karena banyak pihak yang berkepentingan, yang seringkali memanfaatkan situasi yang ada.
8
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.………………………………………………………………………. i HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………………… iii MOTTODAN PERSEMBAHAN…………………………………………………………. iv RIWAYAT HIDUP………………………………………………………………………… v KATA PENGANTAR……………………………………………………………………... vi ABSTRAK…………………………………………………………………………………. viii DAFTAR ISI……………………………………………………………………………….. ix BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang………………………………………………………………
1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………...
6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian…………………………………………..
6
D. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Hukum Adat……………………………………………….
7
2. Ruang Lingkup Hukum Adat………………………………………….
10
3. Pengertian Sengketa…………………………………………………….
13
4. Metode Penyelesaian Sengketa Dalam Masyarakat…………………..
13
5. Penyelesaian Sengketa Berbasis Hukum Kearifan Lokal....................
19
E. Metode Penelitian 1.
Jenis Penelitian………………………………………………………….
22
2.
Lokasi Penelitian………………………………………………………..
23
3.
Penentuan Informan..……………………………………….………….
23
4.
Metode Pengumpulan Data………………………………..…………...
24
5.
Metode Analisis Data……………………………………………………
25
9
BAB II GAMBARAN UMUM A. Profil Kabupaten Kepahiang………….………………………………..
26
B. Sejarah Suku Rejang……………………………………………………
31
C. Struktur Perangkat Adat Rejang Di Kabupaten……………………...
41
D. Struktur Perangkat Adat Rejang Di Kecamatan……………………...
42
E. Struktur Perangkat Adat Rejang Di Desa……………………………..
43
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Penyelesaian Konflik Sosial Yang Timbul Dari Pemasangan Tapal Batas Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Kepahiang Berbasis Hukum Kearifan Lokal (studi kasus perkelahian antar warga di Kecamatan Merigi)……………….……………………………………..
44
B. Hambatan Dalam Penyelesaian Konflik Sosial Yang Timbul Dari Pemasangan Tapal Batas Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Kepahiang Berbasis Hukum Kearifan Lokal……………………………
62
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan……………………………………………………………….
65
B. Saran………………………………………………………………………
66
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
10
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Menurut kodratnya manusia itu selalu hidup bersama (berkelompok). Dalam perkembangan sejarah manusia tak terdapat seorangpun yang hidup menyendiri, terpisah dari kelompok manusia lainnya, kecuali dalam keadaan terpaksa dan itupun hanyalah untuk sementara. Menurut Aristoteles dalam bukunya C.S.T. Kansil manusia adalah “zoon politikon”, artinya bahwa “manusia itu sebagai makhluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya, jadi makhluk yang suka bermasyarakat, oleh karena sifatnya yang suka bergaul satu sama lain, maka manusia disebut makhluk sosial”.1 Menurut R. Linton dalam bukunya Zinul Pelly, masyarakat adalah : Setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerjasama, sehingga mereka itu dapat mengorganisasikan dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu”. Kemudian menurut Selo Soemarjan dalam bukunya Zinul Pelly, masyarakat adalah “orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan”. Kemudian menurut Herkeyits dalam bukunya Zinul Pelly masyarakat adalah “kelompok individu yang diorganisasi dan mengikuti cara hidup tertentu”.2 1
C.S.T. Kansil, 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Ilmu Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, Hlm. 29. 2
Zainul Pelly, 1997, Pengantar Sosiologi, USU Press, Medan, Hlm. 28-29.
11
Dalam kehidupan bermasyarakat terjadi interaksi antara individu dengan individu lainnya, kelompok dengan kelompok lainnya dan seterusnya. Hubungan tersebut dapat menimbulkan hak dan kewajiban antara satu dengan yang lainnya. Hubungan yang menimbulkan hak dan kewajiban itu telah diatur dalam peraturan hukum yaitu yang disebut hubungan hukum. Abdulkadir Muhammad mengatakan bahwa “Hubungan hukum adalah hubungan yang diatur oleh hukum dan menjadi objek hukum”.3 Ada suatu model hukum yang dikenal dengan nama “hukum adat” yaitu suatu model hukum yang timbul dari masyarakat, seperti suku bangsa Melayu sebagai pernyataan hukum dari budaya suku bangsa itu. Dari model hukum tersebut dapat bertahan dan berpengaruh karena tetap dipertahankan sebab hal tersebut merupakan budaya suatu bangsa. Salah satu dasar hukum yang menjelaskan berlakunya hukum adat di Indonesia diatur dalam UUD 1945 pada Pasal 18B ayat (2) yang berbunyi : “ Negara mengakui dan menghormati ketentuan-ketentuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam undang-undang”.4
3
Abdulkadir Mohammad, 1982, Hukum Acara Perdata Indonesia, Alumni, Bandung,
4
Undang-undang dasar 1945 pasal 18B ayat 2
Hlm. 29.
12
Dalam praktik hukum adat, tidak ada suatu permasalahan yang tidak dapat diselesaikan. Bagi hukum adat cukup dengan adanya asas-asas pokok yang umum, yang tujuannya diarahkan kepada sasarannya demi untuk mencapai suasana masyarakat yang aman, tenteram dan sejahtera, baik antara pihak yang bersangkutan maupun masyarakat secara keseluruhan. Dalam mempertahankan hukum adat, di mana setiap permasalahan dapat diselesaikan secara tuntas, terhadap setiap permasalahan yang ada dan yang mungkin ada, karena hukum adat lebih mengutamakan tercapainya tujuan, yaitu kebersamaan dari pada memegang teguh suatu ketentuan yang telah ditentukan oleh negara. Hukum adat sebagai hukum yang mengatur perilaku masyarakat, dilaksanakan melalui keputusan-keputusan terhadap penyelesaian-penyelesaian yang dikeluarkan oleh penguasa masyarakat melalui musyawarah. Dalam hal itu, setiap perkembangan yang terjadi selalu diusahakan mendapat tempatnya di dalam tata hukum. Dari uraian tersebut, hukum adat tidak hanya mengatur hal-hal sewa menyewa, warisan atau kebiasaan lainnya, tetapi juga mengatur tentang segala perilaku masyarakat termasuk dalam hal perkelahian masyarakat. Provinsi Bengkulu, merupakan salah satu dari provinsi di Indonesia yang kaya akan suku bangsa dan adat istiadat. Di Provinsi Bengkulu dikenal ada beberapa macam suku bangsa, yaitu suku bangsa Rejang, suku bangsa Serawai, suku bangsa Melayu, suku bangsa Lembak, dan lain sebagainya. Masing-masing suku bangsa ini memiliki adat istiadat sendiri-sendiri, termasuk masalah penyelesaian konflik. Dengan beranekaragamnya suku bangsa yang ada di 13
Provinsi Bengkulu, maka penulis tertarik untuk mengkaji salah satu suku bangsa, yaitu suku bangsa Rejang. Suku bangsa Rejang terletak di bagian Timur Provinsi Bengkulu, suku bangsa Rejang wilayahnya berdekatan dengan suku bangsa Lembak. Adapun yang menjadi objek kajian penelitian penulis pada suku bangsa Rejang adalah penyelesaian konflik sosial yang timbul dari pemasangan tapal batas Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Kepahiang berbasis Hukum Kearifan Lokal, yaitu secara hukum adat sebagaimana diatur dalam Hukum Adat dan Norma Serta Tata Cara Kehidupan Di Bawah Kelapa Pinang (Kelpeak Ukum Adat Ngen Riyan Ca’o Kutei Jang)5. Kabupaten Kepahiang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Lebong dan Kabupaten Kepahiang Di Provinsi Bengkulu. Berdasarkan hasil pra penelitian penulis di Kecamatan Merigi Kabupaten Kepahiang tempat terjadinya konflik, yaitu Desa Pulo Geto dan Kelurahan Durian Depun, diperoleh informasi tentang kejadian konflik dari ketua adat Kelurahan Durian Depun Kecamatan Merigi yaitu Hasman, 6 bahwa : Zkn, warga Desa Pulo Geto Kecamatan Merigi, Kabupaten Kepahiang, dibacok SF yang merupakan warga dari kelurahan Durian Depun terkait masalah pemasangan tapal batas Kabupaten Rejang Lebong dengan Kabupaten Kepahiang. Zkn, menderita luka akibat dibacok oleh SF karena dituduh memihak dan memprovokasi warga untuk pindah ke Rejang Lebong. Menurut Hasman, perstiwa itu terjadi pada hari Senin tanggal 22 Januari 2007, pukul 15.30 WIB dan berawal ketika Zkn 5
Badan Musyawarah Adat RL, 2007, Kelpeak Ukum Adat Ngen Riyan Ca’o Kutei Jang, Rejang Lebong 6
Hasman, ketua adat kelurahan Durian Depun, wawancara tanggal 30 April 2013.
14
membawa sekitar 100 orang warga dari Desa Pulo Geto dan Kelurahan Durian Depun yang ingin bergabung dengan Rejang Lebong, untuk memasang papan tapal batas baru di jembatan sungai Ka. Sebelum mendirikan tapal batas baru, Zkn yang posisinya persis ditengah jembatan sugai Ka tiba-tiba diserang oleh SF. Akibat serangan itu Zkn menderita luka dipunggung, dan ia selamat karena diselamatkan oleh ratusan warga yang kemudian dibawa ke RSUD Curup, Kabupaten Rejang Lebong. Akibat musibah itu pemasangan tapal batas pun gagal, dugaan awal peristiwa itu terjadi karena SF merasa daerahnya diganggu. Konflik perbatasan antara Kepahiang dengan Rejang Lebong hingga kini belum ada penyelesaian, akibat lambannya penyelesaian memicu konflik yang melibatkan warga yang berada di perbatasan. Sebagian warga dari Kecamatan Merigi khusus nya Desa Pulo Geto dan Kelurahan Durian Depun menolak bergabung dengan Kebupaten Kepahiang yang merupakan daerah pemekaran dan minta kembali ke Rejang Lebong sebagai Kabupaten induk. Alasan warga ingin kembali, karena dekatnya jarak tempuh ke Curup, ibukota Rejang Lebong dibandingkan ke Kepahiang. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat ke dalam satu karya ilmiah atau skripsi dengan judul : “Penyelesaian Konflik Sosial Yang Timbul Dari Pemasangan Tapal Batas Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Kepahiang Berbasis Hukum Kearifan Lokal (Studi Kasus Perkelahian Antar Warga Di Kecamatan Merigi Kabupaten Kepahiang)”.
15
B. Rumusan masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan menjadi kajian adalah : 1. Bagaimana penyelesaian konflik sosial yang timbul dari pemasangan tapal batas Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Kepahiang berbasis Hukum Kearifan Lokal ? 2. Apa yang menjadi hambatan dalam penyelesaian konflik sosial yang timbul dari pemasangan tapal batas Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Kepahiang berbasis Hukum Kearifan Lokal ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan penelitian a. Untuk mengetahui penyelesaian konflik sosial yang timbul dari pemasangan tapal batas Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Kepahiang berbasis Hukum Kearifan Lokal. b. Untuk mengetahui hambatan dalam penyelesaian konflik sosial yang timbul dari pemasangan tapal batas Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Kepahiang berbasis Hukum Kearifan Lokal. 2. Kegunaan penelitian a. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif dalam perkembangan ilmu pengetahuan umumnya dan ilmu hukum adat khususnya. 16
b. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan masukan serta solusi yang objektif dalam rangka memahami penyelesaian pelanggaran hukum adat di Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Kepahiang.
D. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Hukum Adat Dalam usaha untuk membuat pengertiaan hukum adat itu tidaklah identik dengan usaha membuat suatu istilah karena cakupannya sangat luas, sehingga hanya ciri-ciri pokoknya yang diidentifikasikan. Dengan mengemukakan beberapa pendapat sarjana hukum maka dapat diperoleh suatu gambaran relatif lengkap tentang beberapa pengertian hukum adat, antara lain : Menurut Soerojo Wignjodipoero pengertian hukum adat adalah “suatu hukum yang hidup, karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai dengan sifatnya ini, maka hukum adat terus menerus dalam keadaan berkembang seperti hidup itu sendiri. 7 Selanjutnya Soerojo Wignjodipoero, menegaskan kembali bahwa : Untuk mengetahui apakah orang dengan peraturan hukum adat, orang itu tidak perlu menggunakan teori, tetapi ia harus meneliti kenyataan. Apabila hakim menemui, bahwa ada peraturan-peraturan adat, 7
Soerojo Wignjodipoero, 1992, Pengantar dan azas-azas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta, Hlm. 243.
17
tindakan-tindakan yang oleh adat, tindakan-tindakan yang oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat para penduduk serta ada persamaan umum yang menyatakan, bahwa peraturan-peraturan itu harus dipertahankan oleh kepala adat dan petugas hukum lainnya, maka peraturan-peraturan adat itu terang bersifat hukum.8 Sehubungan dengan pendapat tersebut di atas maka hukum adat itu terdiri dari unsur kenyataan bahwa adat itu dalam keadaan yang sama selalu dipatuhi oleh masyarakat dan unsur psikologis bahwa masyarakatnya meyakini adat mempunyai kekuatan hukum atau sanksi. Pengertian hukum adat menurut Bushar Muhammad bahwa : a. Hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan, keputusan para warga masyarakat hukum terutama keputusan berwibawa dari kepala-kepala rakyat yang membantu pelaksanaan peraturan hukum atau dalam hal pertentangan kepentingan keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan itu karena kesewenangan atau kurang pengertian dengan keyakinan hukum rakyat, diterima dan diakui setidak-tidanya ditolerir oleh rakyat. b. Hukum adat itu dengan mengabaikan bagian-bagaiannya yang tertulis, yang terdiri dari pada peraturan-peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para pejabat hukum (dalam arti luas) yang mempunyai wibawah (authority mach) serta pengaruh dalam pelaksanaanya berlaku serta merta (spontan) dan dipenuhi dengan sepenuh hati. 9 Berdasarkan perumusan tersebut jelas bahwa hukum adat timbul dan dipelihara oleh keputusan warga masyarakat dan keputusan pejabat atau fungsionaris hukum. Rumusan yang dikemukakan oleh R. Soepomo, adalah sebagai berikut : 8
Ibid., Hlm. 75. Bushar Muhammad, 1996, Azas-Azas Hukum Adat (Suatu Pengantar), Pradya Paramita, Jakarta, Hlm. 16-17. 9
18
Hukum adat adalah statutoir yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan hukum Islam. Hukum adat itu pun melingkupi hukum yang berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang berisi azas-azas hukum dalam lingkungan, dimana ia memutuskan pekara. Hukum adat berurat dan berakar pada kebudayaan nasional. Hukum adat adalah hukum yang hidup, karena ia menjelma perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai dengan firasatnya sendiri, hukum adat terusmenerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri. 10 Menurut Hazairin di dalam pidato inagurasinya yang berjudul “Kesusilaan dan Hukum” berpendapat bahwa : Adat itu adalah “terapan kesusilaan dalam masyarakat yaitu bahwa kaidah-kaidah itu merupakan kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan hukum dalam masyarakat”.11 Kemudian Hazairin menegaskan pendapatnya bahwa hukum adat adalah “hukum yang dijumpai dalam adat sebagai bagian integralnya, sebagai bagian kelengkapan. Selengkapnya adalah seluruh kebudayaan yang berkaidah sebagai tumbuh dan dikenal dalam hukum adat”. Dari rumusan tersebut maka Hazairin lebih menekankan pada dasarnya sumber hukum adat yaitu bersumber dari segala macam hukum yang ada dan segala macam peraturan yang hidup dalam masyarakat dan mendapat pengakuan
dari
masyarakat.
Dengan
demikian
pendapat
ini
telah
10
R Soepomo, 1992, Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, Hlm. 7.
11
Hazairin, 1991, Tujuh Serangkai Tentang Hukum, Bina Aksara, Jakarta, Hlm. 115.
19
menghilangkan suatu garis pemisah atau batas yang tegas antara hukum disatu pihak dan kesusilaan di pihak lain. Dengan kata lain antara hukum (hukum. adat) dan kesusilaan tidak terdapat perbedaan yang mendasar. Pendapat ini adalah sesuai dengan kenyataan bahwa hukum adat berurat dan berakar pada pandangan-pandangan etis dari suatu masyarakat. Selain itu Bushar Muhammad berpendapat bahwa : Hukum adat adalah terutama hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lainnya baik yang merupakan keseluruhan kelaziman dan kebiasaan (kesusilaan) yang benar-benar hidup dalam masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan-peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat yaitu mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa memberikan keputusan dalam masyarakat adat ialah terdiri dari Lurah, Penghulu agama, Pembantu Lurah, Wali tanah, Kepala adat, Hakim. 12 2. Ruang Lingkup Hukum Adat Istilah hukum adat sebenarnya merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda yaitu Adatrecht, sedangkan kata adat apabila diteliti berasal dari Bahasa Arab yang dapat diartikan sebagai kebiasaan. Namun tidak semua kebiasaan dapat menjadi hukum yang selanjutnya disebut dengan hukum adat.13
12
Bushar Muhammad, 1992, Pokok-pokok Hukum Adat, Pradya Paramitha, Jakarta,
Hlm.27. 13
Hilman Hadi Kusuma, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat, Alumni, Bandung, Hlm. 1
20
Proses kebiasaan menjadi hukum adat dimulai dengan prilaku manusia selaku individu yang dilakukan secara terus menerus. Kebiasaan yang semula hanya merupakan kebiasaan manusia selaku individu kemudian diikuti oleh individu yang lain (masyarakat). Kebiasaan yang sudah dijalankan oleh masyarakat inilah yang disebut dengan adat. Ter Har Bzn Guru Besar dari Belanda yang berjasa dalam pembinaan hukum adat dikutip Hilman memberi arti hukum adat adalah keseluruhan aturan yang menjelma melalui keputusan-keputusan fungsionaris hukum yang berwibawa
serta
berpengaruh
dalam
pelaksanaannya
dan
ditaati.14
Berdasarkan pengertian tersebut maka untuk menjadi hukum adat haruslah melewati suatu mekanisme berupa keputusan petugas hukum. Arti Hukum adat menurut Soepomo dan Hazairin yang dikutip Bushar Muhammad adalah : Hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain, baik yang merupakan keseluruhan kelaziman dan kebiasaan (kesusilaan) yang benar-benar hidup di dalam masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggotaanggota masyarakat, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan yang mengenai sanksi atas pelanggaran yang ditetapkan dalam putusan adat yaitu mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa memberi keputusan dalam masyarakat adat itu, ialah terdiri dari lurah, pengulu agama, pembantu lurah, wali tanah, ketua adat, hakim”. 15
14
Ibid, Hlm. 13
15
Bushar Muhammad, 1992, Pokok-pokok Hukum Adat, Pradnya Paramitha, Jakarta,
Hlm. 19
21
Menurut van Vollenhoven yang dikutip J.B. Daliyo, hukum adat adalah aturan-aturan hukum yang berlaku bagi orang-orang pribumi dan orang-orang timur asing, yang disatu pihak mempunyai sanksi, dipihak lain tidak dikodifikasi. 16 Pendapat lain mengemukakan bahwa hukum adat adalah hukum yang hidup ditengah-tengah masyarakat yang mendukungnya. Oleh karena itu, sebagai hukum yang hidup ia menjelmakan perasaan nyata dari rakyatnya, hukum adat akan terus menerus tumbuh dan berkembang seperti hidup dari rakyatnya itu. Menurut Ter Haar yang dikutip oleh Bushar muhammad, hukum adat ialah seluruh peraturan, yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan yang penuh wibawa, dan yang dalam pelaksanaannya diterapkan “begitu saja” artinya tanpa adanya keseluruhan peraturan, yang dalam kelahirannya dinyatakan mengikat sama sekali. 17 Berdasarkan konsepsi hukum adat tersebut diatas, ada beberapa unsur yang terkandung didalamnya, yaitu peraturan-peraturan yang umumnya tidak dikitabkan dan tidak dikodifikasikan, bersumber pada adat istiadat bangsa Indonesia, berlaku secara seketika, memaksa dan mempunyai akibat hukum bila dilanggar.
16
J. B. Daliyo, 1987, Pengantar Ilmu Hukum, Aksara Baru, Jakarta, Hlm. 18. 17
Bushar Muhammad, 1996, Asas-Asas Hukum Adat (Suatu Pengantar), Pradnya Paramita, Jakarta, Hlm. 16.
22
3. Pengertian Sengketa Pengertian sengketa dalam Kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik adalah : “Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasiorganisasi terhadap satu objek permasalahan”. 18 Ali Achmad, mendefenisikan kata sengketa adalah : Masalah antara dua orang atau lebih dimana keduanya saling mempermasalahkan suatu objek tertentu, hal ini terjadi dikarenakan kesalahpahaman atau perbedaan pendapat atau persepsi antara keduanya yang kemudian menimbulkan akibat hukum bagi keduanya. Bahwa suatu sengketa tentu subjeknya tidak hanya satu, namun lebih dari satu, entah itu antar individu, kelompok, organisasi bahkan lembaga besar sekalipun. Objek dari suatu sengketa sendiri cukup beragam. Misalnya sengketa batas wilayah. 19 Dalam buku Dean G.Pruitt yang berjudul teori konflik sosial menjelaskan istilah konflik didalam bahasa aslinya berarti suatu perkelahian, peperangan, atau perjuangan, yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak .20 4. Metode Penyelesaian Sengketa Dalam Masyarakat Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, namun dibalik kesempurnaan tersebut, secara kodrat manusia itu tidak dapat 18
Depdikbud., RI., 1992, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
Hlm.874. 19
Ali Achmad, Sengketa, diakses melalui http://yuarta.blogspot.com/2011/03/definisisengketa.html tanggal 12 mei 2013. 20
Dean G. Pruit, teori konflik sosial, 2004, pustaka pelajar, Jakarta hlm 9
23
hidup tanpa bantuan manusia lainnya, oleh karena itu manusia selalu hidup bersama-sama (berkelompok). Aristoteles dalam C.S.T. Kansil menyatakan bahwa manusia adalah “zoon politikon”, artinya bahwa “Manusia itu sebagai makhluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya, jadi makhluk yang suka bermasyarakat, oleh karena sifatnya yang suka bergaul satu sama lain, maka manusia disebut makhluk sosial”. 21 Menurut R. Linton dalam buku Zainul Pelly, masyarakat adalah : Setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerjasama, sehingga mereka itu dapat mengorganisasikan dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batasbatas tertentu”. Kemudian menurut Selo Soemarjan dalam Zinul Pelly, masyarakat adalah “orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan”. Kemudian menurut Herkeyits dalam Zinul Pelly masyarakat adalah “kelompok individu yang diorganisasi dan mengikuti cara hidup tertentu”.22 Dalam kehidupan bermasyarakat terjadi interaksi antara individu dengan individu lainnya, kelompok dengan kelompok lainnya dan seterusnya. Hubungan tersebut dapat menimbulkan hak dan kewajiban antara satu dengan yang lainnya. Hubungan yang menimbulkan hak dan kewajiban itu telah diatur dalam peraturan hukum yaitu yang disebut hubungan hukum.
21
C.S.T. Kansil, 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Ilmu Hukum, Balai Pustaka, Jakarta. Hlm. 29. 22
Zainul Pelly, 1997, Pengantar Sosiologi, USU Press, Medan. Hlm. 28-29.
24
Abdulkadir Muhammad mengatakan bahwa “Hubungan hukum adalah hubungan yang diatur oleh hukum dan menjadi objek hukum”. 23 Dalam mengadakan hubungan hukum tersebut manusia membawa kepentingan dan tradisi masing-masing. Kepentingan tersebut merupakan suatu tuntutan perorangan atau kelompok untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam pergaulan hidup ini tidak selamanya berjalan lancar, aman dan damai, namun dalam pergaulan ini tidak jarang akan terjadi pergesekan antara individu dengan individu, individu dengan kelompok dan kelompok dengan kelompok. Pergesekan ini dapat disebut sebagai suatu sengketa. Setiap
masyarakat
telah
mengemban
suatu
tradisi
untuk
menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara para warga masyarakatnya. Hal ini menyebabkan sebagian besar masyarakat memiliki akses kepada beberapa tradisi untuk menyelesaikan sengketa. Variabel terpenting dalam tradisi penyelesaian sengeketa di dalam masyarakat adalah ada atau tidak adanya kehadiran pihak ketiga yang merupakan suatu dasar bagi intervensi untuk pihak ketiga dan dapat diketahui jenis hasil penyelesaiannya. Andri Harijanto Hartiman, menyatakan bahwa “dasar-dasar tradisi yang sama dan digunakan di seluruh dunia untuk upaya menyelesaikan keluhan, perselisihan, persengketaan, seperti ajudikasi, arbitrasi, mediasi, negosiasi, paksaan, 23
Abdulkadir Muhammad, 1982, Hukum Acara Perdata Indonesia, Alumni, Bandung.
Hlm. 29.
25
menghindar dan membiarkan saja”. 24 Berikut ini uraian upaya penyelesaian sengketa : a. Membiarkan saja (Lumping it) Membiarkan saja (lumping it) merupakan suatu istilah yang mengacu kepada kegagalan pihak yang merasa dirugikan untuk menuntut hak atau pengaduannya. Dalam hal ini masalahyang menimbulkan perselisihan dibiarkan begitu saja, dan hubungan dengan pihak yang telah merugikannya dikanjutkan. Hal ini selamanya dilakukan karena pihak yang merasa dirugikan tidak mempunyai cukup informasi, tidak mempunyai akses hukum atau mengetahui bahwa haknya terlampau rendah jika dibandingkan dengan biaya yang terlampau tinggi, termasuk biaya psikis untuk mengadukan perkaranya, yang pasti sangat merugikan bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan untuk berusaha selanjutnya. b. Menghindar (Avoidance) Pihak yang merasa dirugikan mengundurkan diri dari suatu keadaan atau penghentikan suatu hubungan dengan pihak yang telah merugikannya, dengan menemukan perusahaan lain untuk mengadakan hubungan baru yang dapat menguntungkan pihaknya. Hal ini merupakan 24
Andry Harijanto Hartiman, 2001, Antropologi Hukum, Lemlit Unib Press. Bengkulu.
Hlm.81.
26
cara umum yang sangat memudahkan untuk menyelesaikan suatu sengketa dan dapat dijadikan sanksi tersendiri. Menghindar dapat berakibat suatu pembatasan atau pemutusan yang sempurna dalam hubungan sosial di antara pihak-pihak yang bersengketa. Hal ini juga mengacu kepada kekurangtegasan hati untuk mengadu atau menggugat ketidakadilan, perselisihan atau suatu persengketaan karena salah satu pihak memilih untuk tidak memperdulikan masalah yang menjadi objek sengketa. c. Paksaan (Coercion) Paksaan merupakan tindakan sepihak, yang mana salah satu pihak memaksanakan hasil akhir pada pihak lain. Penggunaan ancaman atau kekuatan seringkali memperparah persengketaan dan menghalangi suatu penyelesaian. Suatu prosedur tindakan sepihak dekian terdapat dimanamana, tetapi telah dibicarakan sebagai ciri umum dari berbagai kebudayaan yang akan ada di muka bumi ini. d. Negosiasi (Negotiation) Negosiasi adalah tradisi penyelesaian sengketa di mana kedua pihak
yang
bersengketa
merupakan
pengambil
keputusan,
dan
penyelesaian sengketa disetujui oleh kedua belah pihak yang bersengketa tanpa adanya bantuan pihak ketiga. Dalam keadaan negosiasi ini maka
27
kedua belah pihak yang bersengketa berusaha saling meyakinkan satu sama lain. Mereka tidak berusaha menyelesaikan sengketa berdasarkan peraturan yang ada, tetapi menyusun bersama peraturan baru yang mengatur hubungan mereka berdua. Dengan demikian negosiasi adalah penyelesaian sengketa yang dilakukan antara dua pihak saja. Dalam hal ini lebih sedikit tersedianya dokumentasi perihal pola negosiasi,
menghindar,
dan
membiarkan
saja daripada
prosedur
penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga, walaupun dalam kenyataannya di negara-negara industri di Amerika Serikat justru penyelesaian sengketa dengan prosedur negosiasi, menghindar dan membiarkan saja adalah peristiwa yang banyak terjadi. e. Mediasi (Mediation) Penyelesaian sengketa dengan prosedur mediasi adalah melibatkan pihak ketiga yang mengadakan intervensi atau campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa, untuk membantu kedua belah pihak yang bersengketa dalam mencapai persetujuan. Dalam hal ini, tanpa mengingat apakah para pihak yang bersengketa meminta bantuan mediator tersebut atau mediator ditunjuk oleh pihak ketiga yang memegang kuasa, kedua belah pihak yang bersengketa hanya menyetujui campur tangan tersebut, kedua belah pihak yang bersengketa harus setuju bahwa jasa-jasa seorang 28
mediator akan digunakan dalam upaya mencari pemecahan. Di dalam masyarakat paguyuban dapat saja ada tokoh yang berperan sebagai mediator, juga berperan sebagai arbitrator dan sebagai hakim. f. Arbitrase (Arbitration) Dua pihak yang besrsengketa bersepakat untuk meminta bantuan perantara pihak ketiga sebagai arbitrator dan sejak semula telah setuju bahwa para pihak yang bersengketa akan menerima keputusan dari seorang arbitrator tersebut. Contoh kasus arbitrase ini sering dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan
besar
untuk
menyelesaikan
sengketa
dagangannya melalui lembaga resmi yang dibentuk oleh pemerintah, yaitu Badan Arbitrase Nasional (BANI). g. Peradilan (Adjudication) Dalam penyelesaian sengketa melalui peradilan, maka pihak ketiga mempunyai wewenang untuk mencampuri pemecahan masalah, terlepas dari keinginan para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga itu juga berhak membuat keputusan dan menegakkan keputusan ini artinya berupaya bahwa keputusan dilaksanakan. 5. Penyelesaian Sengketa Berbasis Hukum Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat dan konflik merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan bersifat alamiah. Menurut Alo Liliweri, bahwa : Konflik itu normal dan tidak dapat dielakkan sepanjang ada interaksi dan kerjasama antar manusia. Konflik mempunyai berbagai bentuk 29
misalnya konflik antar pribadi, antar kelompok, konflik antar organisasi dan lain sebagainya. Konflik pada dasarnya memiliki beberapa unsur yaitu ada dua pihak yang terlibat, ada tujuan yang dijadikan sasaran, ada tindakan dan ada situasi yang melahirkan sebuah pertentangan. 25 Konflik sering dianggap sebagai sesuatu yang negatif, merugikan dan mengganggu kestabilan. Tetapi pada dasarnya konflik mempunyai sisi lain yang berdaya positif yaitu sebagai sebuah proses menuju perubahan. Sehingga konflik harus diakui keberadaannya, diolah, dimanajemen, dan diubah menjadi kekuatan untuk menuju perubahan yang baik. Ada banyak pendekatan yang sering dilakukan untuk melakukan penyelasaian konflik, misalnya model penyelesaian berdasarkan sumber konflik, model boulding, model posisi kepentingan dan kebutuhan, model intervensi pihak ketiga dan banyak model yang lainnya. Dalam penyelesaian konflik biasanya menggunakan pendekatan-pendekatan teori universal dan mengadopsi dari luar. Sehingga terkadang berakibat tidak munculnya penyelesaian yang berkelanjutan, akhirnya konflik menjadi perulangan yang tidak memberikan perubahan positif bagi masyarakat. Penyelesaian konflik seharusnya disesuaikan dengan konteks dan latar atau setting dimana konflik itu terjadi, dalam hal ini pendekatan yang universal sebenarnya tidak relevan diterapkan dalam menangani masalah konflik.
25
Alo Liliweri, 2009, Prasangka dan Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur, LKIS, Yogyakarta. Hlm. 246.
30
Ada varian lain dari pendekatan penyelesaian konflik yang sering dilupakan yaitu kearifan lokal (local wisdom). Dalam masyarakat majemuk seperti Bangsa Indonesia terdapat banyak sekali kearifan-kearifan lokal yang sangat potensial dalam penyelesaian konflik untuk menciptakan damai (peace), misalnya ; Dalihan Natolu (Tapanuli), Rumah Betang (Kalimantan Tengah), Menyama Braya (Bali), Saling Jot dan Saling Pelarangan (NTB), Siro yo Ingsun, Ingsun yo Siro (Jawa Timur), Alon-alon Asal Kelakon (Jawa Tengah/DI Yogyakarta), Basusun Sirih (Melayu/Sumatera).26 Menurut Assoc. Prof. Chatcharee Naritoom dari Kasetsart University Thailand dalam buku Ade Saptomo yang berjudul budaya hukum dan kearifan lokal menjelaskan bahwa kearifan lokal adalah pengetahuan yang ditemukan atau diperoleh dari masyarakat lokal melalui akumulasi dari berbagai pengalaman dalam serangkaian praktik dan terintegrasi dengan pemahaman terhadap sekitar alam dan budaya. Kearifan lokal selalu dinamis sesuai dengan fungsinya yang dibentuk oleh kearifan lokal dan terkait dengan situasi global. 27 Indonesia mempunyai banyak kearifan lokal yang sampai saat ini masih tumbuh subur di beberapa wilayah di Indonesia. Kearifan lokal tersebut 26
Agus Sriyanto. Jurnal Studi Islam dan Budaya. http://ibda.wordpress.com/2008/04/02/penyelesaian-konflik-berbasis-budayalokal/. Minggu, 13 Juni 2013. Pukul. 07.15 Wib. 27
Ade Saptomo, budaya hukum dan kearifan lokal, fakultas hukum universitas pancasila, Jakarta, 2013 hlm 176
31
telah lahir dan berkembang dari generasi ke generasi seolah-olah bertahan dan berkembang dengan sendirinya. Kearifan tersebut telah terpelihara dan tumbuh dalam masyarakat itu sendiri dari mata hati manusia atau nurani orang yang tergabung dalam satuan sosial yang disebut masyarakat itu sendiri.
E. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian Penelitian ini dapat dikategorikan penelitian yang bersifat deskriptif empiris. Menurut Merry Yono, penelitian yang bersifat deskriptif
yaitu
penelitian yang ditujukan kepada usaha untuk memperoleh gambaran fakta atau gejala tertentu dan menganalisanya secara intensif dan ekstensif yang menggunakan data primer dan data skunder.28 Tujuan lain dari penelitian deskriptif yaitu untuk memperoleh gambaran tentang suatu keadaan pada suatu waktu tertentu (gambaran pada waktu sesaat) atau perkembangan tentang sesuatu.29 Dengan demikian penelitian ini akan memberikan suatu gambaran tentang penyelesaian konflik sosial yang timbul dari pemasangan tapal batas Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Kepahiang berbasis Hukum Kearifan Lokal.
28
Merry Yono, 2003, Bahan Ajar Metode Penelitian Hukum, FH Unib, Bengkulu, Hal.8.
29
Soerjono Soekanto 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta,
Hlm. 11-12
32
2. Lokasi penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Kelurahan Durian Depun dan Desa Pulo Geto Kecamatan Merigi Kabupaten Kepahiang, dengan terdapat konflik masyarakat akibat pemasangan tapal batas Kabupaten Kepahiang dan Kabupaten Rejang Lebong. 3. Penentuan informan Mengingat data yang diperlukan adalah masalah penyelesaian konflik sosial yang timbul dari pemasangan tapal batas Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Kepahiang berbasis Hukum Kearifan Lokal, maka penentuan informan dalam penelitian ini secara purposive30 yang terdiri dari : a. Informan formal 1) Camat Kecamatan Merigi, Barimansyah 2) Lurah Kelurahan Durian Depun, Siti Haryati 3) Kepala Desa Pulo Geto, Sopian b. Informan informal 1) Ketua Adat Kelurahan Durian Depun, Hasman 2) Ketua Adat Desa Pulo Geto, Ujang Sukardi 3) Masyarakat yang terlibat konflik, -
Pelaku Pembacokan
: Sf
30
Andry Harijanto Hartiman, dkk., 2008, Buku Pedoman Penulisan Tugas Akhir, Fakultas Hukum Universitas Bengkulu. Hlm. 12.
33
-
Korban Pembacokan
: Zkn
Penentuan kelompok informan ini dilandasi oleh suatu pertimbangan bahwa mereka memiliki pengalaman hidup dan pengetahuan yang cukup memadai mengenai konflik yang terjadi. 4. Pengumpulan data Pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini meliputi: a. Wawancara mendalam Teknik ini dipakai untuk menjaring data yang berhubungan dengan praktek peminangan, atau dapat pula dipakai untuk mengetahui pengalaman informan mengenai upaya penyelesaian konflik sosial yang timbul dari sengketa tapal batas Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Kepahiang berbasis Hukum Kearifan Lokal. Dalam pemakaian wawancara mendalam disusun beberapa pertanyaan pokok tertulis yang berfungsi sebagai pedoman yang bersifat fleksibel, dan pertanyaan berikutnya didasarkan pada jawaban informan terhadap pertanyaan sebelumnya. 31 b. Pengumpulan data sekunder Selain data yang dijaring lewat pengamatan dan wawancara mendalam, dilakukan pula pengumpulan data sekunder, yaitu data yang dikumpulkan dengan membaca buku-buku, literatur, asas-asas hukum, pendapat-pendapat ahli yang berkaitan dengan hukum adat.
31
Ade Saptomo, pokok pokok metodologi penelitian hukum empiris murni, 2009, Hlm 85- 86
34
5. Analisis data Data atau informasi yang didapat dari sumber-sumber tersebut, selalu dikembangkan atau dicek kebenarannya, yakni dengan cara memperoleh data tersebut dari sumber lain. Tujuannya adalah untuk memperoleh kemungkinan adanya informasi yang lebih bervariasi atau lebih kaya mengenai suatu hal. Untuk melakukan uji silang atau membandingkan informasi tentang hal yang sama diupayakan untuk memperoleh informasi dari berbagai pihak atau sumber data yang beragam, sehingga tingkat kepercayaan informasi tersebut lebih terjamin dan sekaligus untuk mencegah mengurangi pengaruh dan pandangan subjektif. Analisis data dalam penelitian ini pada hakekatnya dilakukan secara terus-menerus sejak awal sampai akhir penelitian. Dalam analisis data ini, data disusun kemudian digolongkan dalam pola, tema, atau katagori, sesuai dengan pokok-pokok bahasan yang mengacu kepada permasalahan penelitian. Setelah itu diadakan interpretasi, yaitu memberi makna, menjelaskan pola atau kategori dan juga mencari keterikatan berbagai konsep. Dengan cara ini penyelesaian konflik sosial yang timbul dari pemasangan tapal batas Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Kepahiang berbasis Hukum Kearifan Lokal, akan dideskripsikan dalam suatu kualitas yang lebih mendekati kenyataan, yang disajikan secara deskriptif kualitatif untuk memenuhi tujuan dari penelitian ini.
35
BAB II GAMBARAN UMUM
A. Profil Kabupaten Kepahiang Kabupaten Kepahiang adalah salah satu kabupaten di Propinsi Bengkulu. Kabupaten ini merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Rejang Lebong. Mayoritas penduduk Kabupaten Kepahiang adalah suku Rejang Kepahiang. Rejang disebut dengan Hejang oleh suku tersebut. Ibu kota kabupaten Kepahiang adalah Kepahiang. Secara administratif, daerah ini terbagi menjadi delapan kecamatan dan 91 desa. Pada tahun 2012, jumlah penduduknya mencapai 114.889 jiwa yang terdiri dari pria (57.835 jiwa) dan wanita (57.054 jiwa), dengan tingkat kepadatan penduduk yang mencapai 163 per km2 32 Kabupaten Kepahiang berdiri pada 7 Januari 2004 berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Lebong dan Kabupaten Kepahiang. Motto Kabupaten Kepahiang adalah
“Kepahiang
Kabupaten Alami (Asri Laksana Emas dan Intan)”. Potensi investasi meliputi Pariwisata, Pertanian, Perkebunan dan Perikanan (mencakup agribisnis dan agrobisnis). Berikut merupakan batas wilayah Kabupaten Kepahiang : Utara
: Kecamatan Curup, Kecamatan Sindang Kelingi, Kecamatan Padang
32
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Kepahiang diakses tanggal 21 oktober 2013
36
Ulak Tanding, dan Kabupaten Rejang Lebong. Selatan
: Kecamatan Taba Penanjung, Kabupaten Bengkulu Tengah.
Timur
: Kecamatan Uli Musi, Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Utara.
Barat
: Kecamatan Pagar Jati, Kabupaten Bengkulu Tengah, Kecamatan Bermani Ulu, Kabupaten Rejang Lebong. Kabupaten Kepahiang memiliki 8 (delapan) kecamatan yaitu :
1. Kecamatan Kepahiang 2. Kecamatan Tebat Karai 3. Kecamatan Seberang Musi 4. Kecamatan Bermani Ilir 5. Kecamatan Muara Kemumu 6. Kecamatan Ujan Mas 7. Kecamatan Merigi 8. Kecamatan Kabawetan Zaman perjuangan melawan kolonial Belanda menjadi saksi sejarah mulai dikenalnya nama Kepahiang. Pada masa itu, kota Kepahiang dikenal sebagai ibukota kabupaten Rejang Lebong yang disebut Afdeling Rejang Lebong. Sesaat setelah peralihan kekuasaan dari penjajahan Belanda ke Jepang, hingga kemudian Jepang menjajah bumi pertiwi 3,5 tahun lamanya, kota Kepahiang tetap merupakan pusat pemerintahan bagi kabupaten Rejang Lebong. Bahkan, setelah Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, yakni sejak 18 agustus 1945 hingga 1948, Kepahiang tetap menjadi ibukota kabupaten Rejang Lebong sekaligus
37
sebagai basis kota perjuangan. Sebab, mulai dari pemerintahan sipil dan seluruh kekuatan perjuangan, yang terdiri dari Laskar Rakyat, Badan Perlawanan Rakyat (BPR dan TKR yang kemudian sebagai cikal bakal TNI), semuanya berpusat di Kepahiang. Akhir tahun 1948, merupakan masa yang tak mungkin bisa dilupakan oleh masyarakat Kepahiang. Karena pada tahun itulah, khususnya menjelang agresi
militer
Belanda
kedua,
seluruh
fasilitas
vital
kota
Kepahiang
dibumihanguskan. Dimulai dari kantor bupati, gedung daerah, kantor polisi, kantor pos, telepon, penjara dan jembatan yang akan menghubungkan kota Kepahiang dengan tempat-tempat lainnya terpaksa dibakar untuk mengantisipasi gerakan penyerbuan tentara kolonial Belanda yang terkenal bengis masuk ke pusat-pusat kota dan pemerintahan serta basis perjuangan rakyat. Setahun kemudian, seluruh aparatur Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong berada dalam pengasingan di hutan-hutan. Sehingga pada waktu terjadi penyerahan kedaulatan dari Pemerintah Hindia Belanda ke Pemerintah Republik Indonesia, yang oleh masyarakat waktu itu disebut kembali ke kota, terjadilah keharuan yang sulit dibendung. Sebab, aparatur Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong tidak dapat lagi kembali berkantor ke kota Kepahiang karena seluruh fasilitas pemerintahan daerah telah dibumihanguskan. Namun, semangat mereka pantang surut. Dengan sisa-sisa kekuatan, serta semangat yang membaja, seluruh aparatur pemerintahan daerah terpaksa menumpang ke kota Curup, karena di sini
38
masih tersisa sebuah bangunan pesanggrahan (kini tempat bersejarah itu dibangun menjadi GOR Curup). Pada 1956, kota Curup ditetapkan sebagai ibukota kabupaten Rejang Lebong berdasarkan undang-undang. Sejak itu pula, peran Kepahiang mulai memudar, bahkan ada yang menyebut mahkota kejayaan kabupaten Kepahiang surut. Sebab, dengan penetapan Curup sebagai ibukota kabupaten Rejang Lebong, maka kota Kepahiang sendiri ditetapkan sebagai ibukota kecamatan, bagian dari wilayah kabupaten Rejang Lebong. Pada masa-masa berikutnya, lantaran memiliki nilai historis tinggi, sejumlah tokoh masyarakat Kepahiang pernah memperjuangkan Kepahiang menjadi ibukota provinsi dan kota administratif. Sayangnya, perjuangan mulia tersebut kandas di tengah jalan lantaran pemerintah pusat tak merespons keinginan dan aspirasi masyarakat tersebut. Ketika era reformasi bergulir pada 1998, gaungnya pun sempat menggema ke bumi Kepahiang. Oleh masyarakat Kepahiang, momentum ini merupakan kesempatan emas memperjuangkan kembali kebangkitan sekaligus awal kemandirian Kepahiang. Situasi kian terbuka lebar, setelah pemerintah dan DPR RI menetapkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang juga lazim disebut sebagai undang-undang tentang otonomi daerah. Setelah melalui tahap penyamaan persepsi dan konsolidasi, maka masyarakat Kepahiang sepakat untuk mengusulkan daerah ini menjadi kabupaten baru. Sejak Januari 2000, para tokoh dan segenap komponen masyarakat Kepahiang, baik yang berdomisili di Kepahiang sendiri maupun yang berada di 39
luar daerah, seperti di Curup, Bengkulu, Jakarta, Bandung, serta kota-kota lainnya sepakat untuk menjadikan Kepahiang sebagai kabupaten. Sebagai realisasi dari kesepakatan bersama para tokoh masyarakat Kepahiang, maka dibentuklah badan perjuangan dengan nama Panitia Persiapan Kabupaten Kepahiang (PPKK). Tindak lanjut dari aktivitas badan perjuangan tersebut, maka secara resmi PPKK telah menyampaikan proposal pemekaran kabupaten. Perjuangan memekarkan Kepahiang menjadi Kabupaten tak semulus yang diharapkan. Meskipun Kepahiang merupakan daerah pertama di provinsi Bengkulu yang memperjuangkan pemekaran pada era reformasi, tapi kabupaten Rejang Lebong tidak serta-merta menyetujui aspirasi para tokoh masyarakat kepahiang tersebut. Dengan kata lain, kabupaten Rejang Lebong (kabupaten induk) justru keberatan melepas Kepahiang, karena daerah ini merupakan wilayah paling potensial di Rejang Lebong. Dengan kesabaran dan kerjasama serta diplomasi yang intensif, akhirnya kabupaten Kepahiang berhasil diwujudkan. Pada 7 Januari 2004, Kepahiang diresmikan sebagai kabupaten otonom oleh Jenderal TNI (Purn) Hari Sabarno selaku Menteri Dalam Negeri RI. Peresmian itu dikukuhkan berdasarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Lebong dan Kabupaten Kepahiang di provinsi Bengkulu. Ir. Hidayatullah Sjahid, M.M. ditunjuk sebagai penjabat kepala daerah kabupaten Kepahiang berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 131.28-8 Tahun 2004, pada 6 Januari 2004, tentang Pengangkatan Penjabat Bupati Kepahiang, Provinsi Bengkulu. Pelantikannya 40
sendiri dilakukan oleh Gubernur Bengkulu atas nama Menteri Dalam Negeri pada 14 Januari 2004.
B. Sejarah Suku Rejang Jang adalah kata-kata yang asli berasal dari kalimat Merejang, untuk menyingkatkan kata-kata ini disebutlah Jang, maka menjadilah ia Suku Jang. Arti kata Merejang adalah berjalan tidak melalui jalan. Seperti kita ketahui pada zaman nenek moyang kita dahulu, mereka sering melakukan pengembaraan, berpindah-pindah tempat dari suatu daerah kedaerah yang lain, hal ini dikarenakan tempat tinggal mereka yang lama penduduknya sudah banyak dan kesuburan lahan pertanian merekapun sudah berkurang, maka ada diantara mereka baik secara sekeluarga maupun secara kelompok-kelompok kecil melakukan pengembaraan untuk mencari lahan pertanian atau suatu daerah yang dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka, begitulah seterusnya hingga berabadabad kemudian hingga mereka perpencar kesegala arah, hingga sampailah mereka ke pulau-pulau di Indonesia ini. 33 Begitulah cara kehidupan nenek moyang kita dahulu, mereka melakukan penjelajahan, mengembara dari pulau kepulau dengan tidak menempuh jalan, tidak tentu arah dan tujuan atau merejang saja. Suku Jang ini berasal dari Berunai/Serawak di pulau Kalimantan. Mereka merejang darat, sungai dan laut
33
Martono Loekito, Sejarah Suku Rejang, http://nusntarajenaka.blogspot.com diakses Tanggal 21 Oktober 2013.
41
hingga akhirnya sampailah salah satu kelompok mereka ke pulau Sumatera, merejang kedaerah Palembang (Selebar Daun), kedaerah Bengkulu (sungai Serut)/Jang Lebong/Jang Musai/Jang Tengeak/Jang Lembok/Jang Lekiten/Jang Pesisia.34 Berdasarkan yang telah dikemukakan diatas, bahwa suku Jang berasal dari Serawak atau disebut dengan Jang Saweak. Kalau kita lihat peta/atlas pulau Kalimantan, kita akan menemukan sebuah sungai yang bernama Sungai Rejang, dan perhatikanlah pula ketika orang-orang Serawak berbicara, bernyanyi, beredoi, bergeritan dan lain-lain, maka akan banyak sekali kita temukan kata-kata atau kalimat Jang, namun hal ini bukan berarti Serawak berasal dari Rejang, melainkan Jang yang berasal dari Serawak. Pada masa dahulu sebelum berkembangnya agama Islam, agama yang berkembang dan mempengaruhi tata kehidupan masyarakat terpengaruh oleh ajaran atau agama Budha, dan seperti kita ketahui, pemimpin agama Budha adalah seorang Biksu (baca Biku), dan ada pula pada masa itu orang Jang yang menganut ajaran Biksu (Jang Biku), dan dikarenakan pengaruh dialek sehingga kata-kata Biku ini terdengan seperti Bikur atau merupakan pelecehan bagi orang Jang yang menganut agama Budha. Daerah atau tanah yang mula-mula ditempati Jang dari Serawak. Dari kelompok-kelompok orang yang merejang dari Serawak, ada yang akhirnya sampai kedaerah Rejang, yang masa dahulu disebut Renah Pelawi yang berasal 34
Abdullah Sidik, 1980, Hukum Adat Rejang, Balai Pustaka, Jakarta. Hlm. 5.
42
dari kata-kata “Renah” = dataran rendah dan “Pelawi” = nama pohon-pohonan, atau dengan arti “dataran rendah yang banyak ditumbuhi pohon pelawi. Renah Pelawi ini tanahnya cukup subur dan kaya akan hasil bumi berupa emas dan perak yang disebut “Lebong “ atau Rejang Lebong sekarang. 35 Orang-orang yang terpandang yang memimpin orang-orang yang merejang dari serawak hingga sampai ke Renah Pelawi adalah : 1. Begelang Mato 2. Rio Bitang 3. Rio Jenggan 4. Rio Sabu.36 Selain dari pemimpin ini, mereka didampingi oleh para HuluBalang, yaitu: 1. Tiak Jeningan 2. Tiak Jadam 3. Gajah Madau 4. Singoparai Setelah beberapa lama mereka menetap di Renah Pelawi, dan penduduknya semakin berkembang hingga Renah Pelawi semakin padat penduduknya, kemudian dikarenakan kebiasaan leluhur mereka, sebagian mereka mulai Merejang kembali guna mencari daerah/tanah yang subur untuk menjadi
35 36
Ibid. Ibid.
43
lahan pertanian bagi rakyatnya. Adapun kelompok orang-orang yang Merejang ini antara lain dipimpin oleh : 1. Rio Bitang beserta pengiringnya membuka lahan di Atas Tebing dan sekitarnya, sambil memelihara sarang burung layang-layang di Sekandau. 2. Rio Jenggan beserta pengiringnya membuka lahan di Suko Negeri Tapus dan sekitarnya, sambil membuka tambang emas di Tebo Lekenei. 3. Rio Sabu beserta pengiringnya membuka lahan di Kuto Rukam Tes, sambil menjaga tambang emas Simpang (Lebong Simpang). 4. Begelang Mato beserta pengiringnya membuka lahan di Pelabai/Bendar Agung Lebong, sambil membuka tambang emas di Renah Pelawi Lebong.37 Dengan berjalannya waktu dari keempat pemimpin dan tempat tersebut, rakyat masing-masing terus berkembang, dan sejalan dengan itu timbul pulalah perbedaan-perbedaan pendapat dan masalah kependudukan dan otonomi daerah. Belajar dari perbedaan pendapat dan masalah-masalah yang timbul dalam rakyatnya, maka keempat pemimpin dari empat daerah ini bersepakat mengadakan rapat untuk menentukan batas kekuasaan masing-masing daerah, yang akhirnya disebutlah dengan nama Jang Pat Petuloi, yang berasal dari katakata Rejang, yaitu : Jang = Suku Jang (singkatan dari kata Merejang) Petu = Bang (Pintu) Pat = Empat Loi = Lai (besar).38 Keempat Petuloi ini terdiri dari :
37 38
Ibid. Martono Loekito, Op. Cit.,
44
1. Petuloi I dipimpin oleh Begelang Mato, berkuasa penuh di Renah Pelawi dan berkedudukan di Bendar Agung Lebong; 2.
Petuloi II dipimpin oleh Rio Bitang, berkuasa penuh dan berkedudukan di Atas Tebing/Pelabai;
3.
Petuloi III dipimpin oleh Rio Jenggan, berkuasa penuh dan berkedudukan di Suko Negeri Tapus.
4.
Petuloi IV dipimpin oleh Rio Sabu, berkuasa penuh dan berkedudukan di Kuto Rukam Tes. Setelah ke-empat Petuloi ini ditetapkan sebagai pemimpin, maka mereka
mendapat gelar atau sebutan Ajai, yang berarti orang yang dihormati atau orang yang dimuliakan. Pada mulanya Suku Jang ini berasal dari satu keturunan, namun setelah sekian lama, setelah mereka merejang kedaerah lain dan bergaul dengan sukusuku lainnya, maka banyak terdapat baik dalam bahasa/dialek/logat mengalami perubahan, namun pada umumnya artinya sama, kita contohkan sebagai berikut : Dau = Deu = Dew; Lalau = Laleu = Lalew; Moi = Mai; Telau = Teleu = Telew; dan lain sebagainya. Atau dengan kata lain bahwa bahasa Jang setiap daerah mempunyai ciri-ciri logat/dialek yang khas dan ini merupakan aset budaya suku Jang.39 Adapun daerah-daerah yang banyak berpenduduk suku Jang adalah pada daerah : 39
Ibid.
45
1. Yang mendiami daerah Lebong dan sekitarnya disebut dengan Jang Lebong; 2. Yang mendiami daerah Air Musi (Musai) dan sekitarnya disebut Jang Musai; 3. Yang mendiami daerah Padang Ulak Tanding, Selangit, Batu Gene dan sekitarnya disebut Jang Lembak Sindang (Menyindang); 4. Yang mendiami daerah Tabah Penanjung dan sekitarnya disebut Jang Tengeak; 5. Yang mendiami daerah Lais, Ketahun dan sekitarnya disebut Jang Pesisia (Pesisir). Keberadaan suku Jang dapat dibuktikan dengan adanya bahasa dan tulisan tersendiri, bahasa Jang disebut dengan bahasa Jang, sedangkan tulisan Jang disebut dengan Ka, Ga, Nga dan seterusnya. Dan selain dari bahasa dan tulisan, suku Jang memiliki adat istiadat tersendiri pula. 40 Dasar tulisan Jang ini, dipergunakan pula oleh suku daerah lain, yang antara lain dipergunakan oleh suku Komering, Lampung dan Pasemah, namun cara tarikan huruf-hurufnya ada sedikit perubahan yang sesuai dengan bahasa/logat/dialek masing-masing daerah. Setiap daerah memiliki adat istiadat masing-masing yang disesuaikan dengan keadaan cara hidup masyarakatnya, iklim daerahnya, dan adat istiadat antara masing-masing daerah ini tidak menyimpang jauh dari adat istiadat yang telah diciptakan oleh nenek moyang mereka dahulu. Adat istiadat mereka ini tetap bersendikan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Selain dari pada adat yang sebenarnya adat ini (Kitabullah dan Sunnahtullah), dapat diubah, ditambah dan 40
Ibid.
46
atau dikurangi dan yang disebut dengan adat lembaga yang diciptakan di setiap daerah. Adapun jenis adat istiadat/adat yang diadatkan dimaksud adalah sebagai berikut : 1. Adat bujang gadis; 2. Adat dalam perkawinan; 3. Adat Mengebeu; 4. Adat Sepejabet; 5. Adat Pecuak Kulak; 6. Adat Pecuak Ko-on; 7. Adat Semendo Rajo-rajo 8. Adat Pelayan 9. Adat Mas Kutai 10. Adat Pelakeak Papen 11. Adat Kejai, 12. Jenis adat-adat lainnya yang terdapat dalam adat rejang : a. Semendo Teguak b. Semendo Beuk Munggua c. Semendo Langeu Ijo d. Beleket.41
41
Ibid.
47
Dimasa berdirinya Jang Pat Petuloi Renah Pelawi, ditetapkanlah batas daerah yang merupakan batas wilayah kekuasaan masing-masing daerah yang dipimpin oleh masing-masing Ajai dengan batas sebagai berikut : a.
Jang Pat Petuloi Renah Pelawi Lebong, menguasi batas arah ke Timur sampai ulu Musai
b.
Jang Tiga Banggo Ulu Musai, menguasai batas arah selatan (Sindang Merdiko).
c.
Jang Sebelas Banggo Renah Pesisia, menguasai batas arah ke Barat. Jang Tujuh Banggo Renah Ketahun, menguasai batas arah ke Utara. Jang
Tiang Pat Lemo ngen Rajo. Setelah beberapa lama berdirinya Jang Pat Petuloi Renah Pelawi Lebong, dimana jumlah penduduk semakin berkembang, dengan segala macam masalah yang timbul dalam masyarakat dan guna menengahi permasalahan-permasalahan ini, maka para pemimpin Petuloi-petuloi bersepakat untuk mengangkat seorang pucuk pimpinan sebagai Rajo di Renah Pelawi untuk tempat berembuk meminta petuah dan sebagai pemersatu Pat Petuloi.42 Setelah timbul kesepakatan antara ke empat Ajai Jang Pat Petuloi bersama dengan para cerdik pandai dan orang-orang terkemuka, maka diputuskanlah bahwa yang dapat menjadi Rajo di Jang Pat Petuloi ini haruslah seorang yang berasal dari anak asal yang mempunyai kemampuan dan paham dalam pemerintahan. Dalam kesepakatan ini maka diangkatlah Sultan Saktai gelar Rajo
42
Abdullah Sidik, 1980, Op. Cit.,
48
Jongor-Rajo
Megat-Rajo
Mudo
keturunan
dari
Kerajaan
Pagaruyung
Minangkabau.43 Setelah diangkatnya Sultan Saktai gelar Rajo Jongor-Rajo Megat-Rajo Mudo, sebagai raja atau pucuk pimpinan Jang Pat Petuloi, maka ditetapkanlah nama Kerajaan ini menjadi Jang Tiang Pat Lemo ngen Rajo, dengan susunan sebagai berikut : a. Sultan Saktai gelar Rajo Jongor - Rajo Megat - Rajo Mudo, duduk sebagai Rajo Tiang Pat Lemo ngen Rajo dan berkedudukan di Pelabai dan kemudian pindah di Bendar Agung Renah Pelawi Lebong. b. Ajai Begelang Mato, pemimpin Petuloi I sebagai Tiang I berkedudukan sebagai staf Kerajaan di Bendar Agung mendampingi Rajo. c. Ajai Rio Bitang, pemimpin Petuloi II sebagai Tiang II berkedudukan di Atas Tebing. d. Ajai Rio Jenggan, pemimpin di Petuloi III sebagai Tiang III berkedudukan di Suko Negeri Tapus. e. Ajai Rio Sabu, pemimpin Petuloi IV sebagai Tiang IV berkedudukan di Kuto Rukam Tes. 44 Terjemahan
Banggo,
Bang-Go
adalah
bahasa
Jang
asli,
kalau
diterjemahkan dengan bahasa Indonesia berarti : Bang : adalah pintu/jalan keluar masuk; Go : adalah harta, jiwa. Jadi arti dari kata Bang-Go adalah pintu harta.
43 44
Ibid. Ibid.
49
Kata-kata Bang-Go ini semenjak negara kita dijajah oleh Inggeris dan Belanda beberapa abad yang lalu, kurang didengar lagi, hal ini karena bangsa penjajah tersebut sedikit sukar untuk mengucapkannya, maka kata-kata asli ini dirubah menjadi Marga. Bang-Go ini ada setelah Jang Pat Petuloi meningkat menjadi Jang Tiang Pat Lemo Ngen Rajo, atau semasa Rajo Sultan Saktai hingga Rajo Tiang Pat ke 4 Ki Pandan gelar Rajo Girang berkuasa di Lebong (sekarang makamnya bernama Keramat Lebong). Setelah berakhirnya masa kekuasaan Rajo Tiang Pat ke 4 Ki Pandan gelar Rajo Girang, hingga sekarang istilah Bang-Go ini lebih dikenal dengan istilah Marga, dengan pemimpinnya disebut Pasirah. Sebutan Marga ini dipakai di Provinsi Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung dan Jambi. Hal ini dikarenakan daerah-daerah ini dahulunya sangat erat hubungannya dengan nenek moyang. Terbentuknya Banggo, sebelum Rajo Sultan Saktai berkuasa di Renah Pelawi, daerah ini masih bernama Jang Pat Petuloi. Setelah adanya Rajo, maka daerah ini disebutlah menjadi Renah Pelawi Jang Tiang Pat Lemo Ngen Rajo, dengan pembagian daerah sebagai berikut : 1. Tiang I Bang-go Tubei dipimpin oleh Begelang Mato yang berkedudukan di Bendar Agung; 2. Tiang II Bang-Go Selupuh dipimpin oleh Rio Bitang yang berkedudukan di Pelabai/Atas Tebing;
50
3. Tiang III Bang-Go Jurukalang dipimpin oleh Rio Jenggan yang berkedudukan di Suko Negeri Tapus; dan 4. Tiang III Bang-Go Bermani dipimpin oleh Rio Sabu yang berkedudukan di Kuto Rukam Tes.
C. Struktur Perangkat Adat Rejang Di Kabupaten (Kabupaten Rejang Lebong)
BUPATI / (RAJA)
KETUA ADAT / PENGHULU (PEMIMPIN ADAT)
WAKIL KETUA ADAT / (KEPALA HULUBALANG)
SEKRETARIS
KABID HUMAS
ANGGOTA / (PARA HULUBALANG)
BENDAHARA
KABID HUKUM ADAT ANGGOTA / (PARA HULUBALANG)
51
KABID SEJARAH
ANGGOTA / (PARA HULUBALANG)
KABID SENI BUDAYA ANGGOTA / (PARA HULUBALANG)
D. Struktur Perangkat Adat Rejang Di Kecamatan (Kecamatan Merigi)
BUPATI / (PENASEHAT)
CAMAT / (RAJA)
KETUA ADAT / PENGHULU ( PEMIMPIN ADAT)
WAKIL KETUA ADAT / (KEPALA HULUBALANG)
SEKRETARIS
BENDAHARA
KABID HUMAS
KABID HUKUM ADAT
KABID SENI & BUDAYA
ANGGOTA / (PARA HULUBALANG)
ANGGOTA / (PARA HULUBALANG)
ANGGOTA / (PARA HULUBALANG)
52
E. Struktur Pemerintahan Adat Rejang di Desa (Desa Pulo Geto)
CAMAT / (PENASEHAT)
KEPALA DESA / (RAJA)
KETUA ADAT / PENGHULU (PEMIMPIN ADAT)
WAKIL KETUA ADAT / (KEPALA HULUBALANG)
SEKRETARIS
BENDAHARA
KABID HUKUM ADAT
KABID HUMAS
ANGGOTA / (PARA HULUBALANG)
ANGGOTA / (PARA HULUBALANG)
53
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penyelesaian Konflik Sosial yang Timbul Dari Pemasangan Tapal Batas Kabupaten Rejang Lebong Dan Kabupaten Kepahiang Berbasis Hukum Kearifan Lokal (Studi Kasus Perkelahian Antar Warga Di Kecamatan Merigi Kabupaten Kepahiang) Berdasarkan hasil wawancara dengan Camat Kecamatan Merigi, Barimansyah45, diperoleh keterangan bahwa Kabupaten Kepahiang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Lebong dan Kabupaten Kepahiang di Provinsi Bengkulu. Kehidupan masyarakat Rejang berlangsung sebagaimana layaknya kehidupan masyarakat lainnya, yaitu terjadi interaksi antara individu satu dengan lain, kelompok dengan individu atau sebaliknya guna terjalinnya kehidupan bermasyarakat. Didalam kehidupan bermasyarakat juga terdapat pergaulan hidup yang sesuai dengan ketentuan adat istiadat dan tidak bertentangan dengan adat istiadat. Untuk pergaulan yang sesuai dengan ketentuan adat istiadat tidak menjadi suatu permasalahan, namun terhadap pergaulan yang bertentangan dengan adat istidat
45
Barimansyah, Camat Kecamatan Merigi Kabupaten Kepahiang, Wawancara tanggal 20 Agustus 2013.
54
merupakan suatu permasalahan yang harus diselesaikan secara adat. Salah satu pergaulan bermasyarakat yang bertentangan dengan adat istiadat, misalnya perkelahian. Pada zaman dahulu bila terjadi kejadian yang tercela khususnya terjadi perkelahian alam akan memberi petunjuk, misalnya terjadi hujan terus-menerus, ada bunyi-bunyian kokok ayam dimalam hari, tanda-tanda ini kemudian dipelajari oleh ketua adat yang memahami, kemudian perangkat adat seperti Imam, Khatib, Bilal dan Garim akan mengambil tindakan yaitu menggumpulkan para tokoh adat, agama dan masyarakat untuk menyelesaikan masalah yang telah terjadi. Masyarakat desa di Kecamatan Merigi, merupakan masyarakat yang sangat mematuhi adat istiadat dalam kehidupan sehari-harinya, keadaan tersebut masih berlangsung hingga sekarang. Masyarakat sangat takut untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dikategorikan perbuatan melanggar adat istiadat. Namun demikian, masyarakat desa Kecamatan Merigi merupakan kumpulan manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan dalam perbuatan. Sehingga pelanggaran adat tetap saja terjadi, hanya saja tingkat pelanggaran tersebut kecil kemungkinan walaupun terjadi. Salah satu bentuk pelanggaran adat yang dikategorikan pelanggaran adat yang besar adalah perbuatan perkelahian berdarah. Perbuatan perkelahian berdarah merupakan suatu perbuatan yang sangat memalukan, mencoreng nama baik keluarga dan merupakan suatu perbuatan 55
melanggar adat. Akibat perbuatan ini tentunya nama baik keluarga yang terlibat perkelahian dipandang buruk di mata masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan ketua adat Kelurahan Durian Depun yaitu Hasman46, diperoleh keterangan bahwa konflik tapal batas antara Kabupaten Kepahiang dan Kabupaten Rejang Lebong terletak di Kecamatan Merigi Kabupaten Kepahiang lokasi terjadinya konflik, yaitu Kelurahan Durian Depun, Desa Pulo Geto. Konflik ini bermula dari adanya keinginan sebagian besar masyarakat Kecamatan Merigi yang ingin bergabung dengan Kabupaten Rejang Lebong, akibat konflik ini terjadilah perkelahian antar masyarakat sampai mengakibatkan adanya warga yang menjadi korban pembacokan. Permasalahan sengketa tapal batas antara Kabupaten Rejang Lebong dengan Kabupaten Kepahiang yang awalnya hanya dianggap sebagai persoalan biasa saja, sekarang ini menjadi permasalahan yang belum ada jalan keluarnya hingga sekarang, sudah selama kurang lebih 10 tahun. Sengketa ini berawal dari tidak ada kesepakatan masalah tapal batas antara Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Kepahiang. Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong berpendapat bahwa batas wilayah dibatasi oleh sungai alami, sedangkan pihak Pemerintah Kabupaten Kepahiang berpendapat bahwa batas wilayah adalah Marga Merigi, dengan wilayah sampai ke Desa Simpang Kota 46
Hasman, ketua adat Kelurahan Durian Depun, wawancara tanggal 30 April 2013.
56
Beringin. Keputusan ini diambil secara sepihak oleh Pemerintah Kabupaten Kepahiang dengan dasar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Lebong dan Kabupaten Kepahiang. Hasil wawancara penulis dengan warga Kelurahan Durian Depun yang terlibat konflik, yaitu SF47 (pelaku pembacokan) mengatakan bahwa pada tingkat pemerintahan mulai dari Bupati dan perangkat pemerintahan Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Kepahiang memang tidak tampak terjadi perselisihan masalah tapal batas wilayah. Permasalahan tapal batas ini selalu bergejolak pada tingkat masyarakat di daerah perbatasan yaitu masyarakat di Kecamatan Merigi khususnya Kelurahan Durian Depun dan Desa Pulo Geto. Dengan adanya konflik ditengah masyarakat di Kelurahan Durian Depun dan Desa Pulo Geto yang diakibatkan karena pemasangan tapal batas Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Kepahiang, maka para tokoh adat Kecamatan Merigi mengambil sikap, yaitu untuk menyelesaikan masalah perkelahian antar warga tersebut secara adat yang berbasis kearifan masyarakat Rejang, karena cara ini sangat tepat untuk menjaga keseimbangan kehidupan masyarakat. Pada umumnya, dalam hal terjadinya pelanggaran norma adat yang mengakibatkan cidera, baik lahir maupun batin, inisiatif dari pihak keluarga
47
SF, warga Kelurahan Durian Depun (Palaku Pembacokan), wawancara 25 Agustus
2013
57
pelaku dan korban sangat mempengaruhi keberhasilan perdamaian. Dalam Hal penyelesaian pelanggaran norma adat ini para ketua adat dalam menyelesaikan masalah tersebut harus dengan seadil-adilnya dan tidak boleh berat sebelah. Penyelesaian melalui adat ini apabila telah diputuskan maka putusan tersebut tidak bisa diganggu gugat, hal ini sesuai dengan salah satu pokok-pokok aturan adat Rejang (Punen pegong pikie), berbunyi : Api pacak mengajea, api limeu tenunjuk dalen, api saleak neloroak, saleak pengeleak, saleak pemicang, saleak kecek, saleak ile, ku’ang tenambeak, peteak senabung, jujai neket, besirak nelughuk, manusio melitas tana’ak, tun sapie tunawea, benek tulung melayang jeminjing, ca’o besu’uk magea bumei nelat. Betemeu talang maket sembeak berupo ca’o. Artinya : Siapa yang memiliki ilmu harus mengajarkan ilmunya kepada orang lain, orang yang tersesat harus ditunjukkan jalan yang benar atau diluruskan, yang salah diperbaiki, salah penglihatan, salah langkah, salah ucapan, salah tingkah, yang kurang ditambah, yang patah disambung, yang terkulai diangkat, yang terserak dikumpulkan, orang lewat ditegur, orang baru tiba diterima dan disuguhkan sesuatu makanan sesuai kemampuan kita, beban berat ditolong diringankan dan dijinjing, menjaga lingkungan 58
yang harus dihormati sebagai ciptaan Tuhan. Bertemu dusun mengangkat sembah berupa cara penghormatan dan penghargaan. Supayo barang yo amen si lei njijei ne titik, amen si panes jijei ne sengak, amen barang yo titik jijei titik nien, titik jijei ne abis. Artinya : Setiap masalah yang besar dijadikan kecil, kalau masalahnya panas dijadikan dingin, kalau masalahnya sudah kecil dijadikan lebih kecil, kalau masalahnya kecil dijadikan habis. Didalam hukum adat terdapat beberapa delik, delik adat itu akan selalu dapat timbul dikarenakan masyarakat adat merasa diperlakukan tidak adil, baik oleh sesama warga maupun oleh pihak luar. Ada beberapa jenis delik di dalam lapangan hukum adat sebagai berikut : 1. Delik yang paling berat, yaitu segala pelanggaran yang mengganggu perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib, serta segala pelanggaran yang mengganggu dasa susunam masyarakat. Misalnya perbuatan pengkhianat adalah mengganggu keselamatan masyarakat seluruhnya, menentang dasar hidup bersama, sehingga perbuatan ini merupakan delik yang paling berat. 2. Delik terhadap diri pribadi kepala adat mengenai juga masyarakat seluruhnya, oleh karena kepala adat adalah penjelmaan masyarakat. 3. Delik yang tidak terdapat di KUHP, akan tetapi yang di dalam system hukum adat masuk golongan perbuatan yang menetang keselamatan masyarakat seluruhnya ialah perbuatan sihir atau tenung. 4. Segala perbuatan atau kejadian yang mengganggu kekuatan batin masyarakat, segala perbuatan kejadian atau yang mencemarkan suasana batin, yang menentang kesucian masyrakat, merupakan delik terhadap masyarakat. 5. Delik yang merusakkan dasar susunan rakyat, sehingga merupakan delik yang sangat berat, ialah incest. Yaitu persetubuhan antara orang-
59
orang yang menurut hukum adat ada larangan perkawinan antara mereka itu. 6. Delik yang menentang kepentingan hukum masyarakat dan menentang kepentingan sesuatu golongan family, ialah perkara hamil di luar perkawinan. 7. Membawa lari orang perempuan (schaking). 8. Delik adat lain yang juga terutama melanggar kehormatan golongan famili serta melanggar kepentingan hukum seseorang sebagai suami,ialah perbuatan zinah. 9. Perbuatan yang menggangu jiwa seseorang, yaitu pembunuhan. 10. Delik yang mengenai badan seseorang, ialah perbuatan melukai. Perbuatan ini tidak langsung mengganggu kepentingan hukum masyarakat seluruhnya, melainkan hanya mengganggu kepentingan hukum orang yang dilukai serta golongan familinya. 11. Delik yang mengenai harta benda, misalnya pencurian.48 Berdasarkan uraian jenis delik adat di atas, maka pembacokan termasuk pada delik yang mengenai badan seseorang, ialah perbuatan melukai, karena akibat dari pembacokan itu mengakibatkan korban mengalami cidera. Di adat Rejang perbuatan melukai merupakan perbuatan melanggar hukum adat, yang dalam istilah rejang disebut iram. Iram adalah akibat dari suatu perbuatan yang mengakibatkan seseorang cidera dan meninggalkan bekas, misalnya bekas bacokan, bekas dipukul, bekas ditembak dan sebagainya, yang disebabkan oleh perbuatan orang lain. Bekas ini diakibatkan pembekuan darah atau sampai mengeluarkan darah, juga adakalanya menyebabkan cacat. Pageak iram (pembagian iram) : 1. 2. 3. 4.
Iram bedaleak (iram mengeluarkan darah) Iram luwea lem (luka bagian luar dan dalam) Iram teguweu (iram tergores) Iram luwak sifet / kekek ( hilang bagian / organ tubuh tertentu) 48
Soepomo, 1989, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, Hlm 120
60
5. Iram sileak (luka) 6. Iram tekulai / kukuk (cacat terkulai). 49 Denda uang atau barang terhadap orang yang mengakibatkan iram wajib diberikan sepenuhnya kepada yang berhak menerima / orang yang sakit, tidak boleh dikurangi dengan alasan apapun istilah dalam rejangnya “laboak / pe’us dendo”.50 Ketua adat Desa Pulo Geto yaitu Ujang Sukardi51 mengatakan bahwa prosedur yang digunakan dalam menyelesaikan pelanggaran adat dapat dibagi dalam dua bentuk penyelesaian adat yaitu penyelesaian tingkat keluarga, dan penyelesaian adat melalui musyawarah adat yang dipimpin oleh ketua adat masing-masing desa yang terlibat konflik, kemudian dikuatkan oleh kepala desa. Prosedur penyelesaian adat dilakukan beberapa tahap, sejak terjadinya pelanggaran norma adat hingga tercapainya perdamaian. Berikut ini penulis akan memberikan keterangan lebih lanjut dalam hal penyelesaian pelanggaran adat terutama dalam perkelahian berdarah. 1. Penyelesaian tingkat keluarga Penyelesaian yang dilakukan di tingkat keluarga, dimana penyelesaian pelanggaran tersebut terjadi di lingkungan keluarga atau suku dan para pelanggar
49
50
51
BMA Rejang Lebong, Op. Cit. Hal 59 Ibid. Hlm 38. Ujang Sukardi, Ketua Adat desa Pulo Geto, wawancara 25 Agustus 2013
61
norma atau pelaku dan korbannya juga masih dalam satu keluarga atau masih dalam suku yang sama. Penyelesaian melalui tingkat keluarga ini hanya dihadiri oleh para keluarga dan orang lain diluar dari keluarga tidak boleh mengetahui masalah yang ada atau terjadi dalam lingkungan keluarga. Mengenai tahap penyelesaian dalam tingkat keluarga ini adalah : a. Para keluarga pelaku atau korban melaporkan kejadian tersebut kepada orang yang dituakan atau yang paling dihormati dalam keluarga besar yang nantinya menjadi saksi dari penyelesaian masalah. b. Para keluarga pelaku dan korban duduk (berunding) untuk menyelesaikan masalah yang terjadi sampai terciptanya kata sepakat dan damai. Adapun yang hadir dalam penyelesaian melalui tingkat keluarga antara lain : a. Para pelaku dan korban termasuk keluarganya b. orang yang dituakan c. Para anak laki-laki dari pihak keluaga pelaku dan korban Hasil dari musyawarah tersebut biasanya pihak korban dan pelaku berdamai secara kekeluargaan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Lurah Kelurahan Durian Depun pada tanggal 2 Oktober 2013 yaitu Siti Haryati52, diperoleh keterangan bahwa penyelesaian yang diselesaikan tingkat kekeluargaan 52
Siti Haryati, Lurah Kelurahan Durian Depun, wawancara 2 oktober 2013
62
ini disaksikan oleh orang yang dituakan dalam keluarga besar tersebut, agar tidak terjadinya berat sebelah dalam penyelesaian pelanggaran adat ini, selain itu kedudukan seorang orang yang dituakan dalam keluarga tersebut dalam hal proses penyelesaian tingkat kekeluargaan ini hanyalah sebagai pihak yang mengetahui dan membantu penyelesaian pelanggaran adat tersebut. Penyelesaian tingkat keluarga ini sama dengan salah satu teori penyelesaian perselisihan atau sengketa yang dikemukakan oleh Andri Harijanto Hartiman53, dalam buku nya Antropologi Hukum yaitu dengan cara negosiasi (Negotiation), Negosiasi adalah tradisi penyelesaian sengketa di mana kedua pihak yang bersengketa merupakan pengambil keputusan, dan penyelesaian sengketa disetujui oleh kedua belah pihak yang bersengketa tanpa adanya bantuan pihak ketiga. Dalam keadaan negosiasi ini maka kedua belah pihak yang bersengketa berusaha saling meyakinkan satu sama lain. Mereka tidak berusaha menyelesaikan sengketa berdasarkan peraturan yang ada, tetapi menyusun bersama peraturan baru yang mengatur hubungan mereka berdua. Dengan demikian negosiasi adalah penyelesaian sengketa yang dilakukan antara dua pihak saja.
53
Andry Harijanto Hartiman, 2001, Antropologi Hukum, Lemlit Unib Press. Bengkulu. Hlm.81
63
2. Melalui Musyawarah Adat Dalam proses persidangan adat referensi yang dipakai dalam menetapkan sangsi adat adalah pokok adat Rejang yang ditinggalkan oleh para leluhur secara lisan antara lain : “Bejenjang kenek betanggo tu’un’” adalah dasar untuk menetapkan besaran sangsi material dengan memperhatikan kondisi ekonomi dan kemampuan pelaku. “Sumbing titip, kinyem mengelek” adalah dasar dalam proses peradilan adat bisa untuk menciptakan keseimbangan kembali di tengah-tengah masyarakat. “Semitok buk lem gelpung” adalah kearifan adat dalam proses penyelesaian sengketa sehingga korban dan pelaku tidak merasa ada yang dirugikan. “Tepung tabea” bermaksud untuk mendinginkan permasalahan sehingga meredakan konflik atau usaha untuk menciptakan keseimbangan di tingkat kampung sekaligus wujud penyesalan si pelaku terhadap pihak korban. “Membunuh membangun” artinya kalau membunuh orang hukumannya si pembunuh membayar bangun kepada famili si mati dengan emas atau perak. “Melukai menepung” artinya memberi uang atau emas kepada yang dilukai.
64
Berdasarkan hasil wawancara dengan warga Desa Pulo Geto korban pembacokan yaitu Zkn54, menjelaskan bahwa kejadian tersebut tidak diduganya, karena sebelum dibacok Sf, Zkn sedang berdiri tepat ditengah sungai alami di Desa Pulo Geto sambil memegang tiang tapal batas yang akan didirikan, tiba-tiba Sf datang langsung membacok punggung Zkn dari belakang, Zkn pada waktu itu masih dalam keadaan sadar dilarikan ke RSUD Kabupaten Rejang Lebong untuk diberikan pertolongan, karena warga dan keluarga Zkn mengenal Sf adalah warga dari Kelurahan Durian Depun, maka pihak keluarga korban melaporkan kepada ketua adat desanya bahwa anggota keluarga nya dibacok, Setelah mengetahui pelaku penikaman kaum adat dan kepala desa memberi tahu kepada keluarga pelaku dan kaum adat beserta kepala desa dimana tempat pelaku berdomisili. Musyawarah adat adalah suatu penyelesaian mengenai pelanggaran adat yang terjadi antara desa yang satu dengan desa yang lainnya atau beda desa. Penyelesaian melalui musyawarah adat ini memiliki beberapa tahapan, antara lain: a. Pihak keluarga korban melaporkan kepada ketua adat desanya bahwa anggota keluarganya dibacok.
54
Zkn, warga Desa Pulo Geto(korban pembacokan), wawancara 25 Agustus 2013
65
b. Setelah ketua adat mendapat pengaduan, maka ketua adat melaporkan pengaduan ini kepada kepala desa dan kaum adat untuk mencari tahu siapa pelaku penikaman tersebut. c. Setelah mengetahui pelaku penikaman kaum adat dan kepala desa memberi tahu kepada keluarga pelaku dan kaum adat beserta kepala desa dimana tempat pelaku berdomisili. d. Kaum adat dan kepala desa pelaku melakukan musyawarah untuk memastikan bahwa salah satu anggota suku tersebut benar telah melakukan penikaman. e. Jika pelaku telah diketahui pasti, maka kaum adat dan kepala desa serta keluarga pelaku mendatangi kaum adat dan kepala desa korban dan menjenguk atau membesuk korban sekaligus meminta maaf kepada keluarga. Pada saat kunjungan ini dapat juga diperjanjikan waktu yang tepat bagi keluarga dan kaum adat serta kepala desa pelaku untuk datang kembali guna melakukan musyawarah. f. Pada saat yang telah ditentukan, kepala desa dan kaum adat beserta keluarga pelaku datang kembali ketempat kediaman korban dan keluarga korban telah mempersiapkan pertemuan tersebut dengan mengundang kepala desa beserta kaum adat untuk melakukan duduk (musyawarah). Musyawarah dilakukan untuk mengetahui permintaan dari kelurga korban, 66
apabila semua permintaan dari keluarga korban disanggupi maka dibuat perjanjian. Menurut kebiasaan isi dari perjanjian ini ialah pihak korban tidak akan mengadakan kericuhan atau main hakim sendiri dan untuk pihak pelaku diwajibkan mengganti kerugian berupa uang atau emas kepada korban yang telah ditetapkan dengan memperhatikan kondisi ekonomi dan kemampuan pelaku. Setelah perjanjian disepakati maka kedua belah pihak menandatangani perjanjian tersebut dan perjanjian ini juga diketahui oleh kepala desa masing-masing pihak. g. Setelah menandatangani surat perjanjian tersebut maka acara ditutup. Dan diperjanjikan waktu yang tepat bagi keluarga pelaku untuk datang kembali memenuhi permintaan keluarga korban seperti yang telah disepakati. h. Pada saat yang telah ditentukan keluarga pelaku beserta kepala desa dan kaum adat mengunjungi keluarga korban beserta kepala desanya untuk memenuhi permintaan dari keluarga korban. Setelah proses pelaksanaan musyawarah adat, maka akan ada Sekapur Sirih yang merupakan wujud dari Ireak Ngen Ca’o atau tata cara adat, yaitu pihak pelaku didampingi keluarga bersama ketua adat dan tokoh adat, serta kepala desa tempat pelaku berdomisili datang kerumah korban membawa sirih dan uang denda adat yang besarannya sudah disepakati kedua belah pihak.
67
sirih yang didalam bakul sirih, tangkainya disusun menghadap kepada lawan bicara, setelah itu dibelakangnya disusun kapur, kapur terbuat dari batu gamping yang diambil dari gunung kapur, lalu disusun juga gambir, pinang dan tembakau, bisa juga ditambah dengan rokok daun. Letak alat campuran sirih ini boleh disusun dua baris, boleh juga satu baris. Sirih, kapur dan gambir berada disebelah kanan daun sirih. Disebelah kiri daun sirih adalah tembakau dan daun rokok yang sudah digulung. Daun sirih jumlah nya Sembilan atau tujuh lembar 55, jumlah daun sirih Sembilan atau tujuh lembar menggambarkan hidup berdampingan dengan damai dari keanekaragaman yang luar biasa di negeri ini. Dirumah korban tersebut juga telah hadir juga ketua adat, tokoh adat, kepala desa, lalu perwakilan pihak pelaku memberikan sirih kepada perwakilan pihak korban untuk dimakan sebagai tanda penerimaan kedatangan pihak pelaku kerumah korban, pihak pelaku pun menyampaikan sepatah dua kata dalam pemberian sirih tersebut, yaitu56 : Dio ade iben, tmulung temimo iben yo amen nam iben yo mbuk’ didik, tmulung mbuk, keme mai mindai ade maksud ade tujuan ne, maksud keme lak mnyelesaikan masalah ngeng cao berembuk supayo pacak ite jijei sanak saudara. Artinya : 55
Badan Musyawarah adat (BMA) RL, 2007, Kelpeak ukum adat ngen riyan ca’o kutei jang Hlm.58 56
Badan Musyawarah Adat Kepahiang, 2012, adat hejang Kepahiang, Kepahiang Hlm 34
68
Ini ada sirih, tolong diterima sirih ini dengan memakannya sedikit, kedatangan kami kesini mempunyai maksud untuk menyelesaikan permasalahan dengan cara bermusyawarah dan semoga bisa menciptakan perdamaian dan menjadi saudara. Lalu pihak perwakilan korban memakan sirih tersebut dan membalas ucapan dari pihak pelaku, yaitu 57 : Au, keme temimo iben yo, keme temimo cao kunai kumu untuk menyelesaikan permasalahan ite yo, supayo pertemuan ite yo nam jijei sanak kluargo. Artinya : Iya kami terima kedatangan kalian untuk menyelesaikan permasalahan, dan semoga dengan pertemuan ini akan menciptakan perdamaian. Lalu masing masing perwakilan kedua belah pihak duduk bersamaan dengan di pertemukannya pelaku dan korban, ketua adat masing masing desa kedua belah pihak beserta tokoh adat nya menjadi jenang kutei atau hakim dalam menyelesaikan permasalahan tersebut yang telah diperintahkan oleh raja atau kepala desa masing-masing kedua belah pihak, setelah jenang kutei memutuskan sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku diluar dari ganti kerugian kepada korban,
57
Badan Musyawarah Adat Kepahiang, 2012, adat hejang Kepahiang, Kepahiang Hlm 35
69
seperti memotong kambing untuk mendinginkan desa, dan pihak pelaku menyanggupinya, maka selanjutnya pelaku memercikkan air sirih di mangkuk putih ke telapak tangan tangan korban, sambil tokoh adat mengucap kan sepatah dua kata, yaitu58 : Supayo sileak ne gacang mbaik, masalah gi ade nam ite jijei pelajaran, coa ade igey masalah , uyo ite bi jijei sanak, amen ade masalah lei ite jijei masalah o jijei titik. Artinya : Semoga luka yang di derita cepat sembuh, permasalahan yang sudah terjadi dijadikan pelajaran, tidak ada lagi permasalahan, sekarang sudah menjadi saudara, masalah besar di kecil kan, masalah kecil di habis kan. Lalu bergantian korban pun memercik kan air sirih di mangkuk putih tersebut ke telapak tangan pelaku sambil di iringi ucapan dari tokoh adat, yaitu 59 : Supayo tangen yo coa igey mbuat tun leyen sileak, uyo coa de igey masalah, bi sudo jijey sanak, masalah lei jijey masalah titik, masalah titik jijey abis. Artinya :
58
Badan Musyawarah Adat Kepahiang, 2012, adat hejang Kepahiang, Kepahiang Hlm 36
59
Ibid Hlm 37
70
Semoga tangan ini tidak lagi membuat orang lain terluka, sekarang tidak ada lagi permasalahan, sudah menjadi saudara, masalah besar dikecilkan, masalah kecil dihabiskan. 60 Lalu pelaku dan korban saling bersalaman, dan pelaku dan korban menandatangani surat perdamaian di atas materai, dan mulai saat itu tidak ada lagi permasalahan, pelaku dan korban pun menjadi saudara, dan masing masing perwakilan kedua belah pihak termasuk korban dan pelaku makan bersama sebagai bentuk kekeluargaan. Dengan sudah dilaksanakannya perdamaian dengan tata cara adat Rejang tersebut diantara kedua belah pihak tidak ada lagi permasalahan, dan pihak korban dan pelaku sudah menjadi saudara, karena memang hukum adat khususnya hukum adat Rejang lebih mengutamakan kepentingan bersama dan rasa kekeluargaan. Penyelesaian secara musyawarah adat ini sama dengan salah satu teori penyelesaian perselisihan atau sengketa yang dikemukakan oleh Andri Harijanto Hartiman61, dalam buku nya Antropologi Hukum yaitu dengan cara mediasi (mediation), Penyelesaian sengketa dengan prosedur mediasi adalah melibatkan pihak ketiga yang mengadakan intervensi atau campur tangan di dalam suatu 60 61
BMA Kab. Kepahiang, 2012 Hlm 43 Andry Harijanto Hartiman, 2001, Antropologi Hukum, Lemlit Unib Press. Bengkulu.
Hlm.81
71
penyelesaian sengketa, untuk membantu kedua belah pihak yang bersengketa dalam mencapai persetujuan. Dalam hal ini, tanpa mengingat apakah para pihak yang bersengketa meminta bantuan mediator tersebut atau mediator ditunjuk oleh pihak ketiga yang memegang kuasa, kedua belah pihak yang bersengketa hanya menyetujui campur tangan tersebut, kedua belah pihak yang bersengketa harus setuju bahwa jasa-jasa seorang mediator akan digunakan dalam upaya mencari pemecahan.
B. Hambatan
Dalam
Penyelesaian
Konflik
Sosial
yang
Timbul
Dari
Pemasangan Tapal Batas Kabupaten Rejang Lebong Dan Kabupaten Kepahiang Berbasis Hukum Kearifan Lokal (Studi Kasus Perkelahian Antar Warga Di Kecamatan Merigi Kabupaten Kepahiang) Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala desa Pulo Geto, yaitu Sopian,62 diperoleh keterangan bahwa adanya sengketa itu lebih dikarenakan kepentingan politik. Para elit dua kabupaten yang bersengketa sama-sama ngotot mempertahankan kawasan perbatasan yang bermasalah karena ingin mendapatkan dukungan dari masyarakat. Tapal batas antara kabupaten di daerah itu tidak ada masalah, namun karena ada kepentingan itulah maka kini timbul masalah.
62
Sopian, kepala Desa Pulo Geto, Wawancara tanggal 6 oktober 2013.
72
Dalam undang-undang pembentukan kabupaten, sebenarnya telah dijelaskan batas wilayah dari masing-masing daerah itu, namun memang tidak disebutkan titik koordinatnya, hanya diatur perbatasannya. Untuk titik koordinat dan pemasangan patok batas, harus diselesaikan oleh kedua daerah yang berbatasan, lalu kemudian diajukan ke Departemen Dalam Negeri untuk disahkan. Ia juga menilai, dari awal terjadi kesalahan dalam menangani masalah perbatasan itu. Menurut aturan, soal batas wilayah harus sudah diselesaikan paling lambat dua tahun setelah pemekaran atau pembentukan daerah. Masalah batas wilayah malah berlarut-larut, dan pada akhirnya menimbulkan sengketa, dan sengketa batas itu kemudian diprovokasi sehingga menimbulkan perkelahian antar masyarakat yang bermukim diperbatasan. Salah satu cara penyelesaian masalah ini adalah kedua daerah duduk bersama untuk mengambil kata sepakat, kemudian bersama-sama memasang patok batas wilayah, jadi tidak perlu ada konflik masyarakat. Sedangkan masyarakat, boleh tinggal di manapun. Tapi karena ada kepentingan, maka masalah tapal batas kemudian menimbulkan konflik, yang ujungnya juga menimbulkan masalah ditengah masyarakat seperti perkelahian antara warga seperti yang terjadi di Kelurahan Durian Depun dan Desa Pulo Geto.
73
Berdasarkan hasil wawancara dangan Camat Kecamatan Merigi63, Barimansyah mengatakan bahwa hambatan dalam penyelesaian konflik tapal batas adalah emosi individu masyarakat yang sangat tinggi, serta rasa masih ingin bergabung dengan Kabupaten Rejang Lebong yang diluapkan dengan cara yang berlebih-lebihan. Pemerintah daerah baik Kabupaten Rejang Lebong maupun Kabupaten Kepahiang, tidak ada perhatian sama sekali dengan masyarakat perbatasan yang selalu berkonflik. Masing-masing pemerintah daerah, akan melakukan tindakan apabila telah terjadi permasalahan di masyarakat, didalam penyelesaian apabila terjadi sengketa, aparat pemerintah daerah tidak mau ikut campur penyelesaian hanya diserahkan kepada masyarakat. Penyelesaian oleh sengketa masyarakat sendiri, tentu dapat dilaksanakan, tetapi apabila penyebab persengketaan tidak diselesaikan, bukan hal yang mustahil konflik akan terjadi lagi, karena banyak pihak yang berkepentingan, yang seringkali memanfaatkan situasi yang ada.
63
Barimansyah, Camat Kecamatan Merigi, wawancara 6 oktober 2013
74