Lain Ditulis, Lain Diucapkan, Lain Pelaksanannya: Hutan Rusak dan Masyarakat Adat Tersingkir

Lain  Ditulis,  Lain  Diucapkan,  Lain   Pelaksanannya:  Hutan  Rusak  dan    

Masyarakat  Adat  Tersingkir.                            2014        

Autor Liana Kartawijaya

17 downloads 403 Views 1014KB Size

Data uploaded manual by user so if you have question learn more, including how to report content that you think infringes your intellectual property rights, here.

Report DMCA / Copyright

Transcript

Lain  Ditulis,  Lain  Diucapkan,  Lain   Pelaksanannya:  Hutan  Rusak  dan    

Masyarakat  Adat  Tersingkir.                            2014        

   

                                   Kompleks  Rawa  Bambu  Satu,  Jl.  B  Nomor  6B,                                      Pasar  Minggu,  Jakarta  Selatan  (12510)                                Telp/Fax:  +62  21  7892137                            www.pusaka.or.id  

      Lain Ditulis, Lain Diucapkan, Lain Pelaksanaannya: Hutan Rusak dan Masyarakat Adat Tersingkir Dipublikasi oleh PUSAKA, Juli 2014

Kata Pengantar Kami ucapkan terima kasih kepada warga Kampung Malalilis, Distrik Klayili, Kab. Sorong, sobat Agus Kalalu, Yayasan Belantara Papua, SKP KAME, AMAN Sorong, warga Kampung Zanegi, Baad, Wayau dan Koa, semuanya di Distrik Animha, Kab. Merauke, yang telah membantu dalam berdiskusi dan mendampingi di lapangan.

Foto Halaman Depan: PT. HIP Membabat Hutan Tulungwes, Kampung Malalilis, Distrik Klayili, Kab. Sorong, Provinsi Papua Barat, April 2014. Foto Halaman Kedua: Kepala Kampung Malalilis dengan latar belakang hutan gundul yang digusur oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. HIP, April 2014. Kredit Foto: Y.L. Franky, PUSAKA

   

DEFORESTASI TIDAK BERHENTI

Suatu hari pada Maret 2014, Bernadus Gilik, Kepala Kampung Malalilis, Distrik Klayili, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat, menemukan hutan alam dibelakang kampung yang jaraknya hanya beberapa ratus meter dari rumahnya sudah digunduli oleh mesin-mesin pemotong kayu milik operator perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Hendrison Inti Persada (HIP). Bernadus Gilik baru kembali dari Kota Sorong untuk mengurus persiapan Pemilihan Umum Anggota Legislatif merasa sedih kehilangan hutan dan kesal dengan aktifitas perusahaan PT. HIP yang menebang hutan tanpa meminta izin kepada Kepala Kampung. Perusahaan PT. HIP tidak pernah melapor dan memberikan informasi rencana penggunaan hutan di daerah bernama Tulungwes. Begitu pula kebanyakan warga Malalilis tidak mengetahui rencana PT. HIP. Berdasarkan investigasi kami pada pertengahan April 2014, diketahui Lukas Gilik/Do, Kepala Marga,

pemilik hak ulayat atas lahan hutan di Tulungwes tersebut secara terpaksa menyerahkan hutan adatnya untuk lahan perkebunan kelapa sawit PT. HIP. Lukas Gilik merasa tertekan dengan kunjungan perusahaan tak henti-henti. Padahal sudah ada penolakan keluarga dan menuntut perusahaan merealisasikan janji pembangunan yang pernah diucapkan pada tahun 2006, seperti: pembangunan perumahan, rumah ibadah, penerangan listrik, air bersih, jalan kampung dan kesehatan, serta kebun plasma. Akhirnya, karena keluarga takut akan terjadi tekanan lebih hebat maka mereka terpaksa menerima permintaan perusahaan. Marga pemilik tanah tidak diberikan surat kontrak dan berita acara yang mengatur dan mengikat kedua pihak terkait pemilikan dan pengelolaan lahan tersebut.

Gambar Atas: Hutan gundul dibabat perusahaan PT. HIP.

“…keluarga takut

terjadi tekanan lebih hebat, maka mereka

terpaksa menerima

permintaan

perusahaan”

    Hingga April 2014, diperkirakan PT. HIP telah membabat hutan lebih dari 100 hektar untuk pengembangan lahan kelapa sawit baru di Tulungwares, Kampung Malalilis. Sebelumnya perusahaan PT. HIP pernah mengatakan tidak akan menambah areal kebun sawit mereka karena sudah berbatasan dengan perkampungan penduduk, tetapi realitasnya pembabatan

hutan tidak berhenti. Masyarakat Kampung Malalilis mengeluhkan aktifitas pengrusakan hutan PT. HIP yang dilakukan hingga ke pinggiran sungai Klasavit, tempat sumber air bersih warga dan pengrusakan pohon sagu sumber pangan masyarakat adat Moi di Malalilis.

KOMITMEN WILMAR DIATAS KERTAS Awalnya, PT. HIP dimiliki oleh perusahaan Kayu Lapis Indonesia Group dibawah payung Kalia Agro, yang juga memiliki perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Inti Kebun Sejahtera masih berlokasi di Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat. Total areal perkebunan kelapa sawit milik Kalia Agro tersebut seluas 52.621 ha. Perkembangannya pada Juni 2010, perusahaan Noble Group Limited, berkantor di Hongkong, melalui anak perusahaan Noble Plantation Pte.Ltd (Noble) membeli 51 % saham PT. HIP, dan pada Juni 2011, Noble juga membeli sekitar 90 % saham perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Pusaka Agro Lestari (PAL) yang beroperasi di Mimika Barat, Provinsi Papua, luas konsesinya mencapai 35.759 ha.1 Dalam Laporan EIA dan Telapak (Mei 2012), diketahui sumber dana Noble Group sendiri antara lain berasal dari Dana Pensiun

Global Pemerintah Norway (GPFG, Government Pension Fund Global). Saat membeli PT. HIP, pihak GPFG Norwegia menambah lagi kepemilikan sahamnya pada Noble hingga total menjadi 47.053.410 dolar AS. Pada Februari 2013, Noble Group Limited dan perusahaan agribisnis terbesar di kawasan Asia, yakni: Wilmar International Limited (Wilmar), mengumumkan penjualan saham sebesar 53,74% dari Noble Resources Pte Ltd, anak perusahaan Noble kepada Newbloom Pte.Ltd, anak perusahaan Wilmar.2 Kedua perusahaan tersebut sepakat perusahaan joint venture bekerjasama mengembangkan perkebunan kelapa sawit dan produksi minyak sawit di Papua. Kedua perusahaan ini memiliki saham mayoritas di PT. HIP. Kami tidak menemukan

                                                                                                                1  Lihat  Laporan  EIA  dan  Telapak,  “Eksploitasi  Kesat  Mata:  Bagaimana  Investor  Dunia  dan  Donor  REDD+  

Meraup  Laba  dari  Pembalakan  Hutan  Papua  Barat”,  Mei  2012.   2  Lihat  https://www1.sgxnet.sgx.com/sgxnet/LCAnncSubmission.nsf/vwprint/00CA58166DC6...    

    informasi apakah Wilmar atau Newbloom secara langsung juga mengendalikan kedua perusahaan sawit milik Noble Resources, yakni: PT. IKS di Sorong dan PT. PAL di Mimika. Pada 5 Desember 2013, perusahaan Wilmar Internasional mengumumkan kebijakan barunya dalam pelaksanaan pembangunan perkebunan dengan motto “No Deforestation, No Peat, No Exploitation Policy”. Kebijakan baru Wilmar tersebut diatas kertas dan didepan media massa mencitrakan kesan positif. Namun praktiknya, perusahaan-perusahaan milik Wilmar tetap melakukan pengrusakan hutan, perampasan tanah dan tidak menghargai hak-hak masyarakat adat maupun masyarakat setempat sebagaimana terjadi di tanah Papua. Bernadus Gilik dan Lukas Do maupun warga di Kampung Malalilis, tidak pernah mengetahui perusahaan pemegang saham PT. HIP dan tidak pernah mendengar kebijakan baru perusahaan Wilmar International (WI), sebelum kami sampaikan. Mereka serentak menyatakan kebijakan Wilmar tersebut tidak berlaku diareal perusahaan PT. HIP. Istilah Orang Papua terhadap perilaku PT. HIP yang tidak konsisten, “yang ditulis lain, yang diucapkan lain dan yang dilaksanakan juga lain”. Kebijakan Wilmar tidak merusak hutan alam, tetapi perusahaan PT. HIP masih membabat hutan alam Tulugunwes. Aksi pembabatan hutan alam juga kami temukan dilokasi perusahaan PT. IKS di daerah Modan, Distrik Moi Sigin. Wilmar menuliskan akan menghormati dan mengakui dan melindungi hak-hak pekerja, realitasnya perusahaan tidak mernah merealisasikan tuntutan kenaikan upah buruh tetap dan upah buruh harian lepas (BHL) yang sangat rendah. Saat ini upah buruh harian lepas sebesar Rp. 75.000 per hari dan pendapatan yang diterima setiap bulan rata-rata Rp. 1,5 juta sampai Rp. 2 juta, setelah dipotong biaya pajak, biaya jaminan kesehatan, Jamsostek dan uang panjar. Pekerja lokal yang terserap sebagai buruh kasar berstatus BHL merasa nilai upah tersebut tidak sebanding dengan kebutuhan kehidupan keluarga dan hilangnya mata pencaharian mereka. Wilmar mengatakan menghormati keputusan masyarakat untuk memberikan atau tidak

Gambar Atas: Areal perkebunan kelapa sawit PT. HIP dengan Google Map. Tengah: Sebagian areal perkebunan PT. HIP berbatasan dengan Kampung Malalilis. Bawah: Pemukiman warga Kampung Malalilis yang dibangun Kementerian Daerah Tertinggal.

    memberikan lahan mereka, tetapi perusahaan dengan segala cara dan janji-janji, membuat masyarakat tidak ada pilihan selain menerima. Dalam kasus PT. HIP di Kampung Malalilis, perusahaan tidak pernah memberikan rekognisi ataupun kompensasi ganti rugi kepada Marga Do/Gilik yang telah digusur hutannya untuk lahan perkebunan baru di Tulugunwes. Dari Klamono dikabarkan Polisi Sektor setempat memanggil dan memeriksa Kefas Gisim sebagai tersangka pelaku perbuatan tidak menyenangkan yang dilaporkan oleh salah

seorang manager perusahaan PT. HIP pada awal April 2014. Kefas Gisim berpendapat pemanggilan tersebut bukan hanya karena aksinya mendorong manager PT. HIP yang bertingkah tidak sopan dirumahnya, tetapi diduga untuk mengintimidasi keluarga Kefas Gisim yang aktif menyuarakan dan menuntut hak mereka atas tanah yang dirampas perusahaan PT. HIP. Keluhan masyarakat seperti permintaan dokumen perjanjian kontrak perusahaan dan masyarakat, izin HGU (Hak Guna Usaha) dan tindak lanjut

laporan keluhan masyarakat adat Moi di Malalilis dan Klamono, tidak pernah direalisasikan dan perusahaan cenderung tertutup. Kami menemukan dokumen catatan tangan perusahaan PT. HIP yang dimiliki Marga Do/Gilik untuk pelepasan lahan seluas 420 ha kepada PT. HIP pada tahun 2006 dan salinan peta lahan kebun di tanah marga Do/Gilik. Setelah kami hitung, diperkirakan lahan yang dibuka sudah lebih dari 823 ha, tidak sesuai dengan kesepakatan. Perusahaan tidak pernah terbuka menyampaikan detail luas hutan yang sudah digusur dan luas kebun yang diolah.

JAUH PANGGANG DARI API Di tingkat Internasional, Majelis Umum PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) menerima Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (UNDRIP, United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples) pada 13 September 2007. Isi UNDRIP memuat standar penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat, termasuk hak atas FPIC (Free, Prior and Informed Consent), yakni hak masyarakat adat untuk membuat keputusan secara bebas, didahulukan dan berdasarkan informasi sejak awal atas berbagai kebijakan dan proyek-proyek pembangunan yang akan berlangsung di wilayah mereka. Gambar Atas: Salinan Peta Lahan Marga Do/Gilik di Malalilis.  

Negara dan pihak berkepentingan lainnya mempunyai kewajiban untuk melakukan konsultasi dengan masyarakat adat yang didasari itikad baik, sebelum memulai  

    proyek dan sebelum menerapkan langkah-langkah legislasi dan admnistrasi yang mempengaruhi hak masyarakat adat. Kebijakan baru Wilmar juga berkomitmen untuk menghormati dan mengakui hak-hak adat dan individu masyarakat adat, termasuk hak FPIC dan standar terbaik internasional. Wilmar berkomitmen akan melibatkan masyarakat pemangku kepentingan untuk memastikan proses FPIC yang diterapkan dengan benar dan terus ditingkatkan. Di Papua, Wilmar sedang mengembangkan proyek baru bisnis perkebunan tebu dan pabrik pengolahan tebu di Merauke dalam skema proyek MIFEE dan di Kabupaten Mappi. Pada tahun 2010, dua anak perusahaan Wilmar, yaitu:

PT. Anugerah Rezeki Nusantara (ARN) dan PT. Lestari Subur Indonesia (LSI), sudah mendapatkan Izin Lokasi perolehan lahan dari Bupati Merauke seluas lebih dari 81.000 hektar di Distrik Tabonji, Kepulauan Kimaam. Karena lokasi tidak layak, Izin Lokasi perusahaan dipindahkan ke Distrik Animha dan Distrik Jagebob. Pada Mei 2013, kami mulai melakukan investigasi penerapan prinsip FPIC oleh perusahaan PT. ARN di Distrik Animha. 3 Ibarat kata peribahasa “jauh panggang dari api”, kami temukan aktifitas perusahaan PT. ARN tidak konsisten dalam menerapkan prinsip FPIC dan jauh dari harapan. Sejak awal sudah ada penolakan dari manager lapangan Wilmar untuk  

Gambar Bawah: Perempuan Malind di Zanegi, Merauke  

 

PUSAKA  dan  FPP  telah  mengeluarkan  laporan  investigasi  aktifitas  perusahaan  ARN  di  Merauke  melalui   publikasi  “Manis  dan  Pahitnya  Tebu:  Suara  Masyarakat  Adat  Malind  dari  Merauke,”  Papua,  2013.   3

    untuk permintaan wawancara. Perusahaan mengatakan sudah melakukan observasi keberadaan dan masyarakat adat Marind didaerah ini dan lingkungannya, tetapi perusahaan tidak bersedia memberikan laporan tertulis, termasuk informasi laporan konsultasi maupun berita acara pertemuan sebagaimana lazimnya dan diatur dalam standar terbaik. Masyarakat mengaku belum pernah mendapatkan dokumen AMDAL, salinan pertemuan dan berbagai informasi penting berhubungan dengan rencana kerja perusahaan. Komunikasi yang terjadi cenderung satu arah dengan janji manis perusahaan. Perusahaan juga menjelaskan kehadiran aparat militer dan polisi pada proses konsultasi hanya alasan keamanan dan bukan tujuan melakukan tekanan, meskipun masyarakat merasa kehadiran aparat membuat mereka terbatas menyampaikan pendapat. Pada Oktober 2013, kami memfasilitasi pembuatan peta tanah adat masyarakat di kampung-kampung di Distrik Animha, Merauke, ditemukan daerahdaerah yang menjadi sasaran lokasi perkebunan PT. ARN merupakan kawasan hutan tempat penting bagi

Gambar Peta: Areal Konsesi Perkebunan Tebu PT. ARN

masyarakat adat Marind di Distrik Animha, seperti: tempat keramat dan jalur perjalanan leluhur, dusun sagu, sumber air dan rawa, tempat berburu dan mencari ikan, serta tempat mengambil obat-obatan. Masyarakat khawatir jika tempat-tempat penting tersebut digunakan oleh perusahaan maka masyarakat adat akan tersingkir dan menjadi “marind plastik” yakni tergantung pada sistem sosial modern komersial yang realitasnya menyingkirkan masyarakat adat setempat, karenanya mereka masih menolak keberadaan PT. ARN dan juga PT. LSI di Jagebob. Hingga saat ini, kedua perusahaan Wilmar tersebut masih terus mengupayakan izin pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan. Ini cara lama menggunakan kekuatan negara untuk meluluhkan ‘merubah secara paksa’ sikap penolakan masyarakat agar mendukung perusahaan dan mendapatkan lahan. Jika ini terjadi maka perusahaan Wilmar telah melanggar kebijakan barunya, mengabaikan hak konstitusional dan tatanan masyarakat adat Malind.

   

REKOMENDASI 1.

2.

3.

4.

5.

6.

Pemerintah harus mengeluarkan kebijakan daerah khusus dan program-program untuk menjamin, mengakui, melindungi dan menghormati keberadaan masyarakat adat Papua dan hak-hak atas wilayahnya. Pastikan bahwa kebijakan tersebut dapat mengamankan sumber pangan masyarakat dan hak-hak pekerja setempat. Pemerintah harus menghentikan setiap bagian aktifitas proyek yang mengancam kelangsungan hidup masyarakat dan secara serius memfasilitasi penanganan keluhan dan penyelesaian konflik melalui dialog damai, tanpa tekanan dan berkeadilan. Perusahaan Wilmar harus secara sungguh-sungguh melaksanakan kebijakan baru dan merealisasikan komitmen janji pembangunan kampung serta pemberdayaan masyarakat berdasarkan tatanan masyarakat setempat. Perusahaan harus terbuka berdialog dengan masyarakat di kampung dan tidak melibatkan aparat keamanan. Perusahaan harus membuat tata batas untuk melindungi tempat penting masyarakat, menyerahkan dokumen AMDAL, rencana perkebunan dan perjanjian penggunaan lahan. Perusahaan harus menerima dan menghormati keputusan masyarakat untuk tidak menyerahkan hak-hak atas tanah kepada perusahaan. Meminta GPFG Norwegia untuk menangguhkan dukungan dana terhadap perusahaan mitranya di tanah Papua dan melakukan penyelidikan terhadap perusahaan mitranya. Jika terdapat pelanggaran atas Kode Etik GPFG maka perusahaan tersebut diberikan sangsi dengan mencabut dukungan. Pemerintah Norwegia memastikan dukungan dana mereka untuk pemerintah Indonesia dapat menjamin pengelolaan hutan lestari di Papua dan dapat mendukung usaha-usaha masyarakat mengamankan dan mengelola hutan.

Peta Wilayah Adat Orang Malind di Distrik Animha, Merauke

Orang Malind dI Bevak Hutan Zanegi, Distrik Animha, Merauke.

Life Enjoy

" Life is not a problem to be solved but a reality to be experienced! "

Get in touch

Social

© Copyright 2013 - 2024 KUDO.TIPS - All rights reserved.