KEYAKINAN BEKERJA SEBAGAI ‘AMAL-IBADAH’ DALAM PENGEMBANGAN USAHA MIKRO PEREMPUAN: PEMIKIRAN KRITIS PADA ‘SARA HLUPEKILE LONGWE MODEL’ Dr. Emy Kholifah R., M.Si
[email protected] /
[email protected] Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jember ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mendiskripsikan keyakinan dan motivasi spiritual perempuan pengusaha mikro dalam mengelola dan mengembangkan usahanya. Metode penelitian yang digunakan adalah perpaduan antara metode penelitian diskriptif kuantitatif dan metode penelitian kualitatif, cara pencarian data dilakukan dengan menyebar kuesioner dan wawancara. Hasil penelitian ini adalah ada faktor penting yang bersifat spiritual yang mendorong perempuan pengusaha mikro mengambil resiko-resiko kerja tambahan selain aktifitas tradisional yang secara kultural menjadi tanggungjawabnya yaitu kewajiban domestik. Faktor spiritual itu adalah keyakinan menjalani kerja sebagai pengusaha mikro adalah merupakan ‘amal ibadah’ (perbuatan baik) nya pada keluarga yang akan diberi balasan kelak di kemudian hari. Spirit ini terbukti menguatkan perempuan dalam merintis usaha mikro dan sekaligus mengembangkannya tanpa kenal lelah. Temuan penelitian ini membuat kritik pada pendekatan pemberdayaan peremuan model Sarah Hlupekile Longwe yang berpendapat bahwa pemberdayaan perempuan pekerja semata-mata hanya secara fisik (keterampilan, pendidikan, kesadaran gender, advokasi kebijakan). Keywords: pengusaha mikro, amal-ibadah, pemberdayaan perempuan PENDAHULUAN Usaha mikro hingga saat ini masih menjadi tulang punggung perekonomian nasional, karena dapat menyediakan lapangan kerja langsung ataupun tidak langsung bagi masyarakat kalangan bawah. Termasuk usaha mikro yang dikelola oleh pengusaha perempuan memiliki sumbangan pada ketersediaan lapangan kerja baru bagi perempuan produktif baik secara langsung maupun tidak langsung (Ratna, Brigitte, 1997; Smeru 2003; Mahali, 2006; Amelia, 2007). Lapangan kerja di sektor ini selalu terbuka dan tersedia untuk dimasuki oleh jenis tenaga kerja apapun; tenaga kerja dengan kualifikasi pendidikan tinggi hingga kualifikasi pendidikan rendah. Studi pada usaha mikro perempuan menunjukkan fakta-fakta menarik (Dewayanti dan Chotim, 2004), terutama berkaitan dengan lamanya masa keberadaan usaha, yang telah mencapai dua-tiga generasi. Usaha mikro ini bertahan secara turun temurun. Sehingga tidak selalu berkorelasi dengan tingkat pendidikan perempuan, tetapi hal itu didukung oleh karakteristik sistem ekonomi pedesaan, dengan model hubungan yang bersifat patron-client sangat mewarnai relasi usaha yang ada (Dewayanti, Chotim, 2004; Ratna, Brigitte, 1997). Transaksi usaha dilakukan secara langsung (face to face), berdasarkan kepercayaan, referensi pribadi, berdasar aturan sosial yang berlaku dalam komunitas itu. ini adalah ciri ekonomi pedesaan yang hampir merata terjadi di sebagian besar pedesaan Indonesia dan bahkan Asia (Hayami dan Kikuchi, 1987). Hubungan kekerabatan merupakan hal penting dalam ekonomi pedesaan karena mereka hidup bersama satu lokasi. Mereka dikondisikan untuk bekerja bersama dengan berbagai cara untuk keamanan dan kelangsungan hidup mereka semua. Ciri yang lain, adalah adanya proses 1
berbagi resiko, karena hubungan usaha ditarik ke dalam hubungan pribadi yang rumit. Ini sangat berbeda dengan ekonomi pasar yang impersonal. Dalam kasus usaha mikro di Jawa Tengah Dewayanti dan Chotim (2004), bukan merupakan usaha yang sekedar tukar-menukar dan pembagian keuntungan, namun juga mengarah pada adanya pengakuan atas pihak yang memiliki kekuasaan dan kekayaan lebih. Selain pengakuan atas kekuasaan dan kekayaan pihak lain dalam hubungan bisnis, upaya untuk mencari perlindungan juga sangat diharapkan dari pebisnis kecil ke pebisnis besar. Hubungan patron-client ini merupakan bagian dari upaya perlindungan pada saat yang sulit dari pihak kaya ke pihak miskin. Sedangkan, dalam problem struktural, perempuan tertimpa dua hal sekaligus. Pertama, beragam kebijakan pemerintah berupa peraturan yang tidak adil dan sertifikasi kelayakan produk baik di pusat maupun daerah, dan peraturan kelembagaan seperti perbankan yang memberi layanan kredit, serta ketidaksetaraan relasi dalam rantai produksi dan perdagangan. Kedua, hambatan struktural yang berkaitan dengan tubuh perempuan, yaitu perempuan merasa kesulitan dalam pengembangan usaha akibat ketimpangan relasi antara perempuan dengan keluarga dan suami di ranah domestik dan di masyarakat (Tambunan, 1999). TUJUAN DAN MANFAAT Penelitian ini bertujuan mengkritisi upaya pemberdayaan perempuan yang menggunakan model ‘Longwe’. Pemberdayaan perempuan yang berbasis pada ketimpangan akses yang bersumber pada keadaan sistem sosial budaya dan bahkan sistem politik. Berdasar hal itu maka advokasi kebijakan untuk permasalahan perempuan yang dianggap cocok adalah mendorong perempuan untuk dapat meraih akses kesejahteraan dengan memampukan diri perempuan melalui peningkatan keterampilan dan pendidikan umum. Sisi lain yang dianggap penting adalah mendorong perempuan untuk terintegrasi dalam aktifitas sosial organisasi yang lebih fungsional dan kritis seperti halnya organisasi-organisasi profesi. Keterlibatan perempuan dalam organisasi profesi dan organisasi yang berientasi kesetaraanan gender, diharapkan dapat membuka pemikiran perempuan akan pentingnya persamaan gender dan juga terhadap kebijakan yang tidak sensitif gender. Aplikasi model pada usaha mikro perempuan adalah upaya untuk semakin meningkatkan peran perempuan dan usaha mikro yang dikelola perempuan, tetapi hal itu melupakan satu hal yaitu bahwa upaya itu semua, ‘hanya’ merupakan tambahan karena pada dasarnya usaha mikro telah berhasil menjadi usaha penting dalam ekonomi keluarga. Bahkan sejak ratusan tahun lalu, usaha ini telah menjadi usaha utama dari keluarga-keluarga miskin, sehingga faktor mendasar yang menjadikan usaha mikro dan ‘pengelolanya’ dapat bertahan, dapat dipastikan lebih mengarah pendidikan dan keterampilan atau ketimpangan gender. KERANGKA BERPIKIR : PEMBERDAYAAN PEREMPUAN USAHA MIKRO DALAM ‘SARA HLUPEKILE LONGWE MODEL’ Model yang banyak dirujuk dalam pemberdayaan perempuan di Indonesia adalah model pemberdayaan perempuan Sara Hlupekile Longwe (1993, 2011). Model ini banyak digunakan sebagai konsep pendampingan oleh lembaga non government dalam melaksanakan pemberdayaan masyarakat (Dewayanti, Chotim, 2004; Amelia 2007). Beberapa lembaga pendamping perempuan pengusaha kecil memiliki pandangan bahwa persoalan perempuan di Indonesia, sangat dipengaruhi oleh wacana perempuan dan pembangunan atau Gender and Development . Meskipun para pendamping berasal dari berbagai latar belakang organisasi non pemerintah namun mereka berusaha menyelaraskan gerak pendampingan secara praktis. 2
Persoalan budaya dan persoalan struktural dalam bentuk kebijakan adalah yang paling banyak dianggap sebagai akar persoalan yang menghambat perempuan untuk beraktifitas di segala aspek kehidupan. Pendekatan budaya melihat bahwa persoalan sub-ordinasi perempuan berakar pada konstruksi atau bentukan sosial budaya yang menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Perempuan menjadi warga negara kelas dua, baik di dalam keluarga, komunitas maupun ketika berhadapan dengan negara. Konstruksi budaya itu dipahami sebagai sesuatu yang sudah diwariskan dari generasi ke generasi dalam bentuk tata nilai yang berlaku di masyarakat. Pendidikan kritis dan pengorganisasian perempuan menjadi strategi utama yang diturunkan dari pendekatan ini. Di sisi lain, persoalan struktural dalam bentuk kebijakan dinilai sebagai faktor penghambat kedua yang dianggap mendiskriminasi, menghambat, dan membatasi aktifitas perempuan (Mahalli, 2006; Saptari, Holzner, 1997). Secara praktis pemberdayaan perempuan dan pengorganisasian yang dilakukan oleh kelompok non government itu banyak terinspirasi teknik Teknik Sara Hlupekile Longwe yang menggunakan kriteria pemberdayaan perempuan (Women’s Development Criteria) kesejahteraan, akses, kesadaran, partisipasi, dan control (Sahay, 1998; Longwe, 2011). Lebih jelas amati gambar berikut ini.
Gambar 3 : Model Pemberdayaan Perempuan Sarah Hlupekile Longwe (1993)
METODE PENELITIAN Jenis Penelitian. Penelitian ini menggunakan metode campuran (mix method) (Sugiyono, 2015) yang merupakan perpaduan penelitian induktif dan deduktif. Analisis kecenderungan pengusaha mikro dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif dengan kekuatan survay pada pencarian data. Untuk analisa perumusan kebijakan metode kualitatif (Lexy Moleong, 2007, Suharsimi Arikunto, 2009, Kholifah, 2016). Fokus Penelitian. Fokus penelitian ini adalah motivasi perempuan pengusaha mikro dan kebijakan pemberdayaan usaha mikro. Lokasi Penelitian. Lokasi penelitian ini adalah di Kabupaten Jember yang memiliki sentra usaha mikro perempuan. Sumber data penelitian. Sumber data penelitian ini adalah : perempuan pengusaha mikro pada : sentra usaha pengolahan makanan dari hasil laut dan perikanan darat di Kecamatan Puger. Cara Pencarian Sumber Data Penelitian. Dilakukan dengan purposive untuk penelitian kualitatif (Bogdan dan Biklen, 1981 dalam Moleong, 1989. Sedangkan untuk metode penelitian diskriptif kuanlitatif digunakan cara penentuan sumber data dengan acak / random. 3
Verifikasi Data. Untuk mendapatkan data yang valid, maka data yang telah diperoleh harus dicari kebenarannya dengan cara triangulasi. Cara ini adalah upaya untuk membandingkan dengan teori, membandingkan data yang diperoleh dari satu sumber dengan sumber lain, membandingkan dengan data pada saat yang lain. Sedangkan cara analisa data dilakukan dengan menggunakan metode diskriptif kuanlitatif dan statistik diskriptif (Milles, Mattew B., Huberman, A. Michael , 2007, Sugiono, 2014). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Identitas dan Realitas Sumbangan Pengusaha Mikro pada Ekonomi Keluarga Pengusaha Mikro yang menjadi responden penelitian ini dipilih secara acak yang dapat ditemui disekitar pelabuhan ikan Desa Puger Kulon. Para perempuan pengusaha mikro ini dimohon untuk mau membantu memberikan data tentang keberadaan mereka dalam sebuah diskusi. Melalui koordinator yang telah diajak bekerja sama, maka pada hari yang telah ditentukan sebagian dari mereka berkumpul, dan sebagian yang lain diambil datanya di temat mereka bekerja. Secara singkat data identitas mereka sebagai berikut. Tabel 1 : Jenis Usaha Mikro Yang Dimiliki Responden Penelitian Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Jenis usaha Usaha terasi asli Usaha terasi olahan siap saji usaha rengginang terasi Usaha abon tuna Usaha krupuk Usaha ikan kering /ikan asin Pedagang ikan asin Pedagang ikan basah Usaha jahit pakaian Usaha krupuk terasi Usaha kue basah Usaha toko kelontong Jumlah
Sumber : data penelitian, 2016
Usaha krupuk udang
Usaha kripik pisang
Usaha terasi asli Puger
Suasana FGD di sebuah rumah pengusaha krupuk ikan Puger Sumber : observasi dan pengambilan data lapangan, 2016
Jumlah 1 1 2 2 4 2 2 2 1 1 1 1 20
Usaha terasi siap saji
Usaha rengginang terasi
4
Gambar 1.: Sebagian Gambar Usaha Dan Pengusaha Mikro Sumber Data Penelitian Usaha mikro potensial untuk pengembangan ekonomi keluarga, terutama bagi kelompok ekonomi bawah. Penelitian ini berhasil menjaring data yang menyatakan bahwa sumbangan pendapatan mereka pada kebutuhan sehari-hari tidak kurang dari 45%, bahkan bagi mereka yang telah hidup sendiri (menjanda atau suami meninggal dunia atau bercerai) pendapatan mereka dari usaha mikro yang mereka geluti seratus persen (100%) mereka gunakan untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Tabel berikut ini memberikan diskripsinya. Tabel 2. : Perbandingan Antara Rata-Rata Keuntungan (yang dianggap keuntungan) Usaha Mikro Dan Kebutuhan Keluarga Sesuai Penguakuan Perempuan Pengusaha Mikro Nomor Jenis Usaha Rata-rata Keuntungan per pemenuhan kebutuhan produksi (1 minggu) / keluarga per minggu pendapatan usaha 1. Usaha pembuatan keripik Rp 400.000,- per minggu Rp. 300.000,- per minggu singkong, keripik pisang, ladrang dan makanan ringan lain 2. Usaha pembuatan krupuk Rp. 600.000,- per minggu Rp. 500.000,- per minggu ikan 3. Usaha pesanan kue basah Rp. 300.000,- per minggu Rp. 400.000,- per minggu dijual ke pasar 4. Usaha jahit pakaian Rp. 300.000,- per minggu Rp. 500.000,- per minggu 5. Usaha pemasaran terasi Rp. 600.000,- per minggu Rp. 1.000.000,- per minggu asli Usaha terasi olahan siap saji 6. Rp. 200.000,- per minggu Rp. 700.000,- per minggu usaha rengginang terasi 7. Rp. 200.000 per minggu Rp 500.000,- per minggu Usaha abon tuna 8. Rp. 400.000 per minggu Rp 500.000,- per minggu Usaha ikan kering /ikan asin 9. Rp. 400.000 per minggu Rp 500.000,- per minggu Pedagang ikan asin 10. Rp. 600.000 per minggu Rp 700.000,- per minggu 11. Pedagang ikan basah Rp. 400.000 per minggu Rp 500.000,- per minggu Toko kelontong 12. Rp. 300.000 per minggu Rp. 500.000,- per minggu Sumber : data penelitian 2016 Memahami data penelitian pada tabel di atas, usaha mikro telah berjalan dan mamu menghasilkan untung yang cukup baik. rata-rata per hari tidak kurang dari Rp. 50.000,- terutama pada usaha yang berkaitan dengan makanan dan minuman. Kecuali seorang pengusaha toko kelontong yang sulit menyatakan berapa keuntungannya karena terkait tidak tercatatnya tiap pembelian di tokonya. Penghasilannya hanya merupakan prediksi. Di sisi lain perhitungan kebutuhan keluarga diadobsi dari kebutuhan keluarga yang beragam. Kebutuhan keluarga beragam artinya ada perempuan pengusaha mikro responden penelitian, yang menghitung kebutuhan keluarga hanya berdasar kebutuhan makan minum dan kebutuhan hidup (barang kebutuhan primer) namun ada yang menghitungnya bersama-sama dengan kebutuhan yang lain misalnya membayar listrik telpon dan kebutuhan langganan air minum. Tetapi, kebutuhan semua itu adalah merupakan kebutuhan keluarga yang dirata-rata. 5
Melalui data di atas, dapat disimpulkan bahwa usaha mikro merupakan pekerjaan unggulan bagi perempuan pada kelompok keluarga yang kurang mampu secara ekonomi. Pemberdayaan Perempuan Pengusaha Mikro 1. Pelatihan Keterampilan Usaha Bisa Meningkatkan Keberhasilan Usaha Pada dasarnya pelatihan keterampilan bagi usaha mikro adalah pelatihan peningkatan kualitas produk dan managemen usaha. Usaha mikro yang merupakan responden penelitian ini adalah usaha terasi asli, usaha terasi olahan siap saji, usaha rengginang dan beberapa usaha mikro yang lain. Lebih lengkap amati tabel di bawah ini. Usaha mikro yang tersebut diatas merupakan usaha yang banyak dikelola oleh perempuan di desa Puger Kulon. Di antara para pengusaha itu telah memiliki pengalaman di bidang usaha ini cukup lama yaitu berkisar 5-10 tahun. Bahkan telah ada yang berusaha selama 26 tahun yaitu usaha kerupuk yang turun temurun dari orang tua. Usaha itu dikendalikan sepenuhnya oleh perempuan sejak dari ibu hingga ke anak perempuan atau menantu perempuan. Pengendalian ini menunjukkan perempuan memiliki kemauan bekerja keras dan tingkat keterampilan produksi dan managemen usaha yang baik. Ketika ditanya tentang apakah peningkatan keterampilan usaha dapat meningkatkan keberhasilan usaha, para perempuan pengusaha mikro ini sebagian besar menjawab setuju. Seperti dalam grafik di bawah ini. Tetapi mereka meningkatkan wawasan dan keterampilan usaha mereka umumnya dari hari ke hari dan dari tahun ke tahun dilakukan mandiri tanpa bantuan siapapun sebagian keterampilan didapat dengan otodidak / belajar sendiri dari ibu atau dari ayah dan anggota keluarga sendiri. Bantuan Pelatihan Meningkatkan Usaha 18
20 15 10 5 0
0 tidak Setuju sekali
0 tidak setuju
2 setuju
setuju sekali
Sumber : data penelitian, 2016 Grafik 1: Bantuan Pelatihan Usaha dapat meningkatkan kesuksesan Usaha
Data berikut ini mendukung bahwa pelatihan yang didapat dan dinyatakan sebagai pelatihan yang efektif adalah masih pelatihan yang berasal dari keluarga masing masing, dengan demikian yang pelatihan yang bersifat formal dan dianggap memiliki nilai-nilai dan ukuran untuk keberhasilan usaha masih belum menjangkau para pengusaha mikro yang ada. Tabel 2 : Pelatihan / Pembelajaran yang Pernah Diterima Responden
Nomor Pelatihan Usaha Yang Pernah Diterima Berasal Dari 1. Dari pemerintah 2. Dari orang tua yang pengusaha
Jumlah 5 16
6
3. Dari saudara 4. Dari tempat kerja sebelumnya Sumber : Data Penelitian, 2016
12 14
Dengan demikian dapat disimpulkan kegiatan pemerintah yang dilakukan untuk membantu meningkatkan pelatihan usaha, selayaknya terus ditingkatkan karena pada dasarnya pelatihan yang intensif yang dianggap dapat meningkatkan kesuksesan usaha adalah pelatihan yang diterima secara terus menerus dari lingkungan usaha terdekat, seperti halnya orang tua atau pengusaha di mana seorang pernah bekerja sebelumnya.
2.
Bantuan Pemasaran Produk Usaha dan Bantuan Modal Usaha Dapat Meningkatkan Keberhasilan Usaha Bantuan pemasaran adalah upaya bantuan untuk memasarkan produk usaha kecil ke lingkup yang lebih besar dan luas. Upaya ini dapat dilakukan oleh pemerintah maupun oleh beberapa lembaga yang peduli pada pengambangan usaha mikro seperti halnya Lembaga Swadaya Masyarakat. 18
20 12
15 10 5 0
0
0
0
9
8
3
tidak Setuju tidak setuju sekali bantuan pemasaran
setuju
setuju sekali
bantuan modal
Sumber : data penelitian, 2016 Grafik 2: Pentingnya Bantuan Pemasaran Dan Bantuan Modal Bagi Kesuksesan Usaha
3.
Peningkatan Pendidikan Dan Peningkatan Kesadaran Bahwa Perempuan Harus Maju Seperti Laki-Laki Adalah Faktor Penentu Keberhasilan Usaha (Kesadaran Gender) Perempuan Dapat Meningkatkan Kesuksesan Usaha Pada dasarnya pendidikan perempuan tidak banyak berubah dari tahun ke tahun. Perempuan memiliki struktur pendidikan hingga ke sekolah menengah pertama. Menjelang memasuki sekolah menengah atas, jumlah partisipasi sekolah perempuan menurun sejak di sekolah menengah atas dan makin menurun ketika pada pendidikan tinggi. Sebab umum yang sering dirilis oleh berbagai kalangan adalah, karena budaya nikah muda masih menjangkiti keluarga di pedesaan. Sebagian besar perempuan usia 12 tahun telah memiliki status perkawinan dan telah menikah bahkan sejak usia 9 tahun, bahkan fenomena yang terjadi di pedesaan telah muncul perceraian usia muda. Perceraian usia muda ini tidak dapat dihindari, bahkan tidak hanya di pedesaan namun juga di perkotaan. Data berikut ini, memberikan diskripsi pendapat bahwa pendidikan perempuan memiliki peran penting dalam pengembangan usaha mikro perempuan. Namun tidak banyak perempuan pengusaha mikro, yang dipilih sebagai responden, yang menyatakan bahwa usaha mereka berkembang berkat pendidikan yang mereka miliki. Mereka menyadari itu ‘mungkin suatu hal yang dapat mendorong’ perkembangan usaha mikro, namun bukan berarti pendidikan formal 7
adalah satu-satunya faktor. Terbukti masih sebesar 30% diatara pengusaha mikro yang tidak menyepakati / tidak setuju bahwa pendidikan formal dapat meningkatkan perkembangan usaha. Lain dari hal yang berkaitan dengan pendidikan formal, hal yang dianggap penting untuk mendokrak pengembangan usaha mikro adalah kesadaran bahwa perempuan harus dapat maju. Kesadaran ini dapat dikatakan sebagai kesadaran gender, karena sensitifitas mereka sebagai perempuan telah menjadi sebuah pendorong bagi mereka untuk mau mengembangkan usaha dan mencari penghasilan melalui usaha mikro. Fakta itu dapat diamati dari grafik berikut ini. Sembilan puluh persen (90%) mereka menyatakan bahwa kesadaran itu telah menguatkan mereka untuk menekuni usaha mikro dan menjadi setara dengan suami atau para pria dalam mendapatkan nafkah. Inilah yang seringkali disebut sebagai kesadaran gender pada kaum perempuan untuk menggeluti usaha mikro. Beberapa fakta yang berhasil dikumpulkan melalui wawancara mendalam hal ini terutama berkaitan dengan maraknya kekerasan dalam rumah tangga yang ada yang memicu banyak perempuan untuk berusaha keras berfungsi sebagai pencari nafkah tambahan. Bahkan mereka juga menjadi semakin kuat karena terdorong oleh keberadaan suami yang tidak dapat memberikan kecukuan ekonomi, sehingga istri tergerak untuk berperan mengembangkan diri dalam bidang usaha. 18
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
8
peningkatan pendidikan
6 4 2
2 0
tidak Setuju sekali
0
tidak setuju
setuju
peningkatan kesadaran gender
setuju sekali
Sumber : data penelitian, 2016 Grafik 2: Pentingnya Peningkatan Pendidikan Dan Kesadaran Gender untuk Pengembangan Usaha Mikro
4.
Pembuatan Jejaring / Usaha Berkelompok Meningkatkan Usaha Perempuan Jejaring usaha, seperti halnya komunikasi usaha, memungkinkan untuk meningkatkan akses pasar produk usaha. Pemasaran dapat ditingkatkan seiiring dengan jaringan pemasaran. Jaringan pemasaaran dapat dibentuk antar pengusaha sejenis atau diatara usaha yang berbeda. Usaha mikro yang digeluti oleh perempuan pengusaha responden penelitian ini memiliki pendapat bahwa jejaring usaha memang memiliki peran penting dalam meningkatkan pemasaran usaha. Kesepakatan terhadap hal itu dinyatakan oleh 80% pengusaha mikro responden penelitian ini. Dan hanya 20% yang menyatakan tidak yakin dengan jejaring usaha. Para perempuan usaha mikro membentuk kelompok usaha yang dapat menularkan dan memberikan order pada anggota kelompoknya jika kebetulan order nya melimpah. Seperti hanya pengusaha terasi asli Puger yang memiliki hubungan baik dengan pengusaha terasi lain di luar kota yang selalu memesan pada nya. Pada saat pesanan melimpah maka ia memberikan sebagian 8
‘orderan’ nya pada temannya sekelompok. Di sisi lain, upaya untuk membentuk jejaring usaha adalah dengan melakukan pengolahan lanjutan dari terasi yang diproduksi oleh anggota kelompok. Seperti halnya pembuatan terasi siap saji yang merupakan produk olehan dari terasi asli Puger.
Pembuatan Jejaring Usaha 10 10
6
4
5 0 0
tidak Setuju sekali
tidak setuju
setuju
setuju sekali
Sumber : data penelitian, 2016 Grafik 3 : Pendapat Responden Tentang Pembuatan Jejaring Usaha
5.
Kebijakan Pemerintah Tentang Pemberdayaan Usaha Perempuan Penentu Keberhasilan Usaha Perempuan Perempuan pengusaha mikro pada dasarnya berusaha berdagang, berproduksi dalam kapasitas mandiri. Artinya, segala upaya yang dilakukannya merupakan rintisan usahanya sendiri tanpa mengandalkan bantuan. Seperti halnya usaha menjahit, usaha pembuatan kue-kue basah pesanan, pembuatan kripik singkong dan kripik pisang dan usaha terasi serta usaha abon, merupakan usaha yang dirintis oleh perempuan semata-mata karena keberanian berusaha. Tidak ada cerita tentang bantuan usaha yang diterima sehingga membesarkan usaha nya sekarang. Termasuk dalam hal ini adalah usaha pembuatan krupuk ikan. Usaha yang telah menjadi besar ini, merupakan usaha rintisan keluarga yang mandiri tanpa sentuhan kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah dianggap sebagai sarana pengembangan yang sporadis saja. Seperti halnya pembinaan kualitas usaha, pembinaan pemasaran, dan pembinaan bantuan modal usaha. Jika, arti dari kebijakan pemerintah adalah bantuan yang demikian tersebut di atas, maka para pengusaha mikro yang merupakan responden penelitian ini menyatakan bahwa semua itu dimaklumi dan disetujui sebagai bagian dari pengembangan usaha mereka. Seperti yang tertera di grafik berikut ini.
Kebijakan Pemerintah Meningkatkan Usaha Mikro 10 5 0
9 0
3 tidak setuju
setuju
4 setuju sekali
9
Sumber : data penelitian, 2016 Grafik 4: Kebijakan Pemerintah Meningkatkan Usaha Mikro
Keyakinan Bekerja sebagai Amal Ibadah pada Keluarga Motivasi manusia untuk bekerja sangat beragam, yang utama adalah menambah income. Perempuan desa ataupun perempuan kota dari kalangan menengah ke bawah memiliki alasan kuat untuk menambah income keluarga mereka. Umumnya para lelaki yang selalu diposisikan sebagai kepala keluarga dengan konsekwensi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, kurang dapat mencukupi seluruh kebutuhan keluarga sehari-hari. Perempuan yang dalam pandangan budaya partiakhal adalah pihak yang diatur dan mendapat posisi ke dua dalam rumah tangga, tidak lagi dapat dikendalikan untuk mengambil peran mencari nafkah untuk keluarga. Sehingga pada hakekatnya budaya patriakhal tidak lagi murni bergantung pada argumen menjadi kepala keluarga karena mencari nafkah dan mencukupi seluruh kebutuhan keluarga. Budaya ini berhembus dan selalu dihembuskan untuk menetapkan figur siapa orang utama dalam keluarga terlepas dia dapat memenuhi income keluarga sepenuhnya, setengahnya atau bahkan tidak dapat memenuhi sama sekali. Perempuan menggeluti usaha mikro tidak asing dilakukan di kalangan keluarga pinggiran di pedesaan, bahkan di perkotaan. Usaha ini digeluti hampir 85% perempuan. Sebagai usaha rintisan usaha ini merupakan usaha dengan tingkat laba yang sangat minim. Untung tidak banyak, tenaga tercurahkan secara penuh untuk mengatasi keterbatasan alat produksi, minimnya modal dan kerasnya persaingan pasar. Perempuan pengusaha mikro tetap berada pada posisi ini, bahkan bertahun-tahun. Ketekunan ini yang pada akhirnya menimbulkan banyak analisis dengan bekal pertanyaan mengapa bisa eksis. Motivasi apa yang mendasarinya? Perempuan melakukan pekerjaan dengan konsekwensi berada di luar rumah dan menanggung beban ganda (pekerjaan di dalam rumah dan pekerjaan luar rumah/mencari nafkan) adalah hal yang tidak selalu menyenangkan (karena nya disebut beban ganda). Hal yang mendasari mengapa rata-rata perempuan kalangan miskin mengambil resiko terbeban ganda adalah karena adanya kepedulian untuk membantu peran suami. Upaya itu dilakukan meskipun dirinya sendiri memiliki tugas yang tidak ringan. Mengurus rumah tangga dan anak adalah beban yang tidak ringan. Ditambah dengan beban menjalankan usaha mikro, beban perempuan menjadi semakin besar. Lebih-lebih lagi, jika hal itu dikomparasikan dengan keuntungan yang didapat dari usaha mikro yang relative kecil. Keuntungan kecil itu terutama karena biaya produksi tidak termasuk biaya tenaga kerja dan lamanya proses produksi yang dikeluarkan oleh perempuan. Penelitian ini memiliki data yang dapat menjelaskan mengapa perempuan pengusaha mikro memiliki ketekunan dalam mengembangkan usaha mikro, meskipun dalam banyak hal tidak menjanjikan keuntungan yang besar, bahkan dari tahun ke tahun. 1.
Bekerja Ikhlas sebagai Amal-Ibadah untuk Keluarga Keyakinan adalah sebuah pegangan yang terkadang dogmatis. Artinya tidak ada rasionalitas yang perlu dihadirkan. Keyakinan memberikan kekuatan dan keteguhan dalam bertindak konsisten. Sehingga tidak penting lagi apakah sekarang tiba keberuntungan besar atau kecil. Bahkan keberuntungan kecil dapat menjadi besar hanya karena dianggap itulah yang akan mendatangkan untung besar di saat yang lain. Inilah keyakinan tidak terlogikakan. Sama halnya dengan keyakinan akan keberuntungan usaha yang diyakini oleh perempuan pengusaha mikro, ketika ditanya apakah untungnya besar atau kecil, mengapa mereka masih tetap mau menggeluti usaha mikro meskipun hasilnya kecil dan bahkan tenaga mereka saja tidak terhitungkan di dalam 10
proses produksi. Jawaban mereka umumnya adalah biar saja untung kecil yang penting halal. Jawaban yang lain adalah untung kecil tidak apa-apa yang penting lancer (kontinyu), atau biarlah untung kecil yang penting ikhlas, karena jika ikhlas maka akan ada balasan pahala di akhirat. Grafik di bawah ini menggambarkan. 12 12 12 12 10
8
8
8
8 6 4 2 0
0
0
0
tidak Setuju sekali
0
0
0
tidak setuju
bekerja ikhlas dibalas di akhirat kerja ikhlas, untung kecil tidak apa-apa
setuju
setuju sekali
bekerja ikhlas mendatangkan untung besar
Sumber : Data penelitian 2016, diolah Grafik 5 : Motivasi Bekerja Para Perempuan Pengusaha Mikro
Bekerja ‘Ikhlas’ mendatangkan untung besar juga merupakan motivasi yang sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan usaha mikro. Motivasi bekerja rela dan ikhlas tidak banyak mengeluh dan bekerja rajin merupakan semangat yang tidak mudah sirna oleh kerasnya persaingan usaha dan minimnya laba dan bahkan terkadang rugi. Ini menjadi bagian dalam pengembangan usaha mikro. Seperti yang tergambar dalam grafik diatas bahwa pendapat responden semuanya berada di ranah setuju (meskipun sebagian besar berada di posisi setuju dan bukan berada di setuju sekali). Sisi lain, pandangan bahwa bekerja ikhlas juga tercermin dalam pengambilan keuntungan yang kecil saja. Mereka berpandangan bahwa untung kecil tidak apa-apa yang penting lancar / ‘lumintu’ hasilnya. Keuntungan kecil menyebabkan harga jual sebuah produk bersaing dengan produk lain karena harga jual dapat ditekan. Efek dari hal ini adalah biaya tenaga kerja tidak terhitung secara proporsional sebagai komponen biaya produksi. Pada sisi ini perempuan sering merugi, meskipun tidak pernah dirasakan dan disadari. 2.
Saat Bekerja Anak Diasuh Ibu, Mertua, Saudara atau Dibawa Bekerja Anak dianggap memiliki hubungan emosional dengan ibu. Pernyataaan ini berimbas pada hak asuh anak di bawah umur berada pada ibu. Konsekwensi itu sesungguhnya tidak mengurangi hak bapak untuk terus berdekatan dengan anaknya dan hak/kewajiban bapak untuk melindungi dan mencukupi anak dari kebutuhan ekonominya. Konsekwensi perlindungan fisik dan ekonomi ini yang seringkali menjadi persoalan dan menimbulkan beban pada ibu ketika kewajiban itu diingkari oleh bapak. Lebih lagi, saat perempuan tidak terbiasa bekerja di luar rumah karena budaya men-setting perempuan melakukan tugas-tugas domestik yang tidak menghasilkan uang. Itulah sebabnya, logika perempuan bekerja di luar rumah (dalam penelitian ini bekerja dalam pengembangan usaha mikro), pada dasarnya karena ‘keterpaksaan’ pemenuhan ekonomi 11
keluarga terutama yang disebabkan tanggungan ekonomi anak (yang tidak ternafkahi oleh bapaknya) dan keterbatasan suami menyediakan nafkan keluarga. Relevan dengan data penelitian ini yang berusaha membuktikan bahwa perempuan pengusaha mikro memiliki alasan untuk menggeluti usaha mikro meskipun dalam keadaan yang berat (artinya tanggungjawab mengasuh anak tetap berada pada dirinya) dan jikapun tidak bisa mengasuh anak, anak tersebut diasuhkan sementara pada keluarga besarnya) 12 12
8
10
6
8
6
4
6
2
4 2 0
2
0 tidak Setuju sekali
tidak setuju
setuju
setuju sekali
tanggungjawab rumah tangga tanggungjawab perempuan saat kerja anak diasuh anggota keluaraga lain
Sumber: data penelitian 2016, diolah Grafik 6: Tanggung Jawab Pada Pengasuhan Anak
Data penelitian yang dapat diamati pada grafik diatas telah menunjukkan adanya pergeseran dari pendapat konvensional yang menyatakan bahwa tanggungjawab mengurus rumah tangga hanya tanggungjawab perempuan. hal ini dibuktikan dengan masih cukup banyak yang menyatakan tidak setuju yaitu masih mencapai 30%. Sedangkan 70% masih meyakini bahwa tanggungjawab rumah tangga masih ada di pundak perempuan. pendapat perempuan pengusaha mikro yang masih mau beban tanggungjawab keluarga berada pada perempuan ini, memunginkan terjadi karena pada saat sibuk dengan pekerjaan, tanggungjawab mengurus anak dapat dibantu oleh orangtua dan mertua perempuan. Sehingga perempuan tidak lagi merasa sulit untuk menjalankan usaha nya. Hal itu terbukti dari masih 50% perempuan pengusaha mikro yang setuju pada statement pengurusan anak dilakukan oleh anggota keluarga lain (orang tua atau mertua atau adik perempuan). 3.
Bekerja Untuk Tujuan Meraih Ketenangan Keluarga Indonesia memiliki budaya kekeluargaan yang sangat kental. Terutama di pedesaan Jawa dan bahkan daerah-daerah di Luar Jawa cenderung memiliki nilai yang sama, yaitu keguyuban dan gotongroyong. Budaya itu merembes dan menjadi ciri khas perilaku individu dalam berinteraksi dalam masyarakat. Demikian juga perilaku perempuan yang sudah berumahtangga. Perempuan yang telah menikah biasanya telah berada di rumah nya sendiri, jika dia dan suaminya telah memiliki rumah. Jika belum, maka biasanya istri harus tinggal di rumah suaminya sebagai bentuk tanggungjawab suami untuk menaungi lahiriah maupun batiniah kepada sang istri. Jika suatu saat istri harus bekerja maka tidak ada kesulitan jika suatu saat dia menitipkan anaknya kepada orang tuanya atau mertunya. Mereka biasanya tinggal tidak jauh dari keluarga besarnya. 12
Perempuan pada kelompok menengah bawah memiliki tanggung jawab untuk membantu suaminya dalam mengatasi kebutuhan ekonomi keluarga. Istri yang tinggal di rumah mertuanya, tidak dapat tinggal diam ketika suaminya bekerja keras di sawah. Istri akan berusaha membantu dengan melakukan aktifitas beternak, menanam tanaman di halaman rumah atau menyediakan makanan untuk dikirim ke sawah. Biasanya istri juga akan berdagang kecil-kecilan di rumah untuk dapat penghasilan tambahan. Istri yang bekerja, perempuan yang memiliki kesibukan bekerja umumnya adalah bermotif ‘membantu’ suami sehingga tercukupi kebutuhan ekonomi keluarga. Hal itu artinya adalah ingin meraih ketenangan dalam rumah tangga. Ketenangan dalam rumah tangga dapat diartikan sebagai bentuk dari kerukunan antara suami istri atau bahkan dengan keluarga besar perempuan. bukan dalam arti sebaliknya untuk membuat persaingan dan menciptakan ‘eksistensi’ diri seperti yang selalu didengungkan kaum liberalis kota bahwa perempuan bekerja bukan semata-mata ingin mencari nafkah, namun lebih dari itu ingin menunjukkan eksistensi diri pada khalayak dan bahkan pada kaum lelaki. Motivasi itu tercermin dari pendapat responden para pengusaha mikro yang memiliki usaha yang telah digelutinya rata-rata lebih dari 20 tahun. 18
20 12
15 10 5 0
4 0
4 0
tidak Setuju sekali
tidak setuju
setuju
2
0
setuju sekali
bekerja untuk meraih ketenangan keluarga jika suami sudah cukup penghasilan untuk apa saya kerja
Sumber: data penelitian 2016, diolah Grafik 7: Tanggung Jawab Pada Pengasuhan Anak
Grafik di atas adalah grafik gabungan antara dua item. Yang pertama perempuan pengusaha mikro menyatakan bahwa mereka bekerja dalam rangka mencukupi ekonomi keluarga dan ingin meraih ketenangan keluarga. Sebagian besar menyatakan setuju dan setuju sekali, bahkan hingga mencapai 100%. Mereka tidak memiliki pretensi untuk bersaing atau berani berkonflik. Di sisi lain, meskipun perempuan pengusaha mikro itu tidak ingin menunjukkan eksistensi diri mereka melalui bekerja menghasilkan uang, namun ketika ditanya jika sumi tlah mampu mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga, apakah mereka tetap akan bekerja, mereka menjawab bahwa mereka tetap ingin bekerja. Hal ini merupakan bentuk perbedaan arah dari statement pertama, karena hanya 20% responden saja ang menyatakan bahwa mereka akan berhenti bekerja jika suami telah mampu mencukupi kebutuhan ekonomi, dan 80% menyatakan mereka akan tetap bekerja mengelola usaha mikronya. Apakah kecenderungan ini merupakan fenomena baru yang merupakan bentuk rembesan ideologi kebebasan perempuan telah meningkat? Perempuan tidak lagi ingin / mau tergantung pada lelaki. Perempuan ingin mandiri, 13
dan perempuan ingin diakui eksistensinya dalam rumah tangga melalui kemampuannya menyumbang peran pada pemenuhan kebutuhan keluarga. Kelihatannya data itu mengarah pada fenomena yang sama. Interpretasi Data Keyakinan Bekerja Dapat Bernilai Ibadah Amal-Ibadah adalah konsep ‘islami’ yang dianut sebagai kepercayaan oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia. Konsep ini telah menjadi semacam budaya dan kebiasaan lokal yang secara turun-temurun menjadi kebiasaan keluarga-keluarga di Indonesia. Berikut ini adalah diskripsi nilai-nilai ‘islami’ tersebut dalam kaitannya dengan semangat bekerja perempuan pada usaha mikro. Amal ibadah (amalan / ibadah) artinya adalah tunduk dan menghinakan diri serta khusyu’. Di dalam kamus Al Mu’jam Al Wasith ibadah artinya”tunduk kepada Tuhan yang menciptakan”. Imam Al Qurthuby berkata bahwa ibadah ialah tunduk dan menghinakan diri kepada Allah dengan melaksanakan hal-hal yang diperintahkan dan menjauhi hal-hal yang dilarang (Ibnu Katsir). Ibadah juga mencakup semua perkara yang dicintai dan diridhoi Allah berupa perkataan atau perbuatan yang nampak atau pun tidak nampak (Ibnu Taimiyah). Ibadah memiliki persyaratan utama untuk diterima apabila telah memenuhi dua syarat utama yaitu ikhlas. Ikhlas merupakan salah satu makna dari syahadat yang berarti bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah yaitu agar menjadikan ibadah itu murni hanya ditujukan kepada Allah semata. (Shihab, 1998; Depag RI, 1989) Allah berfirman : “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama”. [QS. Al Bayyinah : 5] “Maka beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan (mu) untuk-Nya.” [QS. Az Zumar : 2] (Depag. RI, 1989) Dengan demikian jelas bahwa ibadah dalam hal ini dapat diterjemahkan dalam arti luas, dan tidak samata-mata melakukan aktifitas Rukun Islam (sholat, shahadat, zakat, puasa, haji), tetapi lebih dari itu yakni hal-hal yang berkaitan dengan implikasi ikutan dari aktifitas rukun Islam itu, termasuk dalam aktifitas bekerja. Islam mencintai seorang muslim yang giat bekerja, mandiri, apalagi rajin memberi. Sebaliknya, Islam membenci manusia yang pemalas, suka berpangku tangan dan menjadi beban orang lain. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Maka carilah rizki disisi Allah..” (QS.Al ‘Ankabut [29]: 17). Bekerja dalam pandangan Islam begitu tinggi derajat-nya. Hingga Allah dalam Al Qur`an menggandengkannya dengan jihad memerangi orang-orang kafir. artinya, “dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah.” (QS. Al Muzzammil [73]: 20) (Depag RI, 1989)
Jika tuntunan Al Quran dan Hadist telah mengisyaratkan dengan jelas, maka bagaimana agar bekerja dapat bernilai ibadah? Telah dijelaskan bahwa Islam mendorong umatnya untuk bekerja, hidup dalam kemuliaan dan tidak menjadi beban orang lain. Islam juga memberi kebebasan dalam memilih pekerjaan yang sesuai dengan kecenderungan dan kemampuan setiap orang. Namun demikian, Islam mengatur batasan-batasan, meletakkan prinsip-prinsip dan menetapkan nilai-nilai yang harus dijaga oleh seorang muslim, agar kemudian aktifitas bekerjanya benar-benar dipandang oleh Allah sebagai kegiatan ibadah yang memberi keuntungan 14
berlipat di dunia dan di akhirat. Berikut ini adalah batasan-batasan tersebut: pertama, pekerjaan yang dijalani harus halal dan baik. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (QS. Al Baqarah [2]: 172). Kedua, bekerja dengan profesional dan penuh tanggungjawab. Islam tidak memerintahkan umatnya untuk sekedar bekerja, akan tetapi mendorong umatnya agar senantiasa bekerja dengan baik dan bertanggungjawab. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Sesungguhnya Allah mencintai seorang diantara kalian yang jika bekerja, maka ia bekerja dengan baik.” (HR Baihaqi, dinilai shahih oleh Al Albani dalam “Silsilah As Shahihah”) Beliau juga bersabda, “Sesungguhnya Allah mewajibkan perbuatan ihsan atas segala sesuatu.” (HR Muslim). Yang dimaksud dengan profesional dalam bekerja adalah, merasa memiliki tanggungjawab atas pekerjaan tersebut, memperhatikan dengan baik urusannya dan berhati-hati untuk tidak melakukan kesalahan. Ketiga, ikhlas dalam bekerja, yaitu meniatkan aktifitas bekerjanya tersebut untuk mencari ridho Allah dan beribadah kepada-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Sesungguhnya amal-amal perbuatan itu tergantung niat. Dan setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR Bukhari Muslim). Niat sangat penting dalam bekerja. Jika ingin pekerjaan dinilai ibadah, maka niat ibadah itu harus hadir dalam sanubari. Segala lelah dan setiap tetesan keringat karena bekerja akan dipandang oleh Allah sebagai ketundukan dan amal shaleh disebabkan karena niat. Untuk itulah, jangan sampai melupakan niat tersebut saat kita bekerja, sehingga kita kehilangan pahala ibadah yang sangat besar dari pekerjaan yang kita jalani itu. Keempat, tidak melalaikan kewajiban kepada Allah. Bekerja juga akan bernilai ibadah jika pekerjaan apa pun yang kita jalani tidak sampai melalaikan dan melupakan kita dari kewajiban-kewajiban kepada Allah. Sibuk bekerja tidak boleh sampai membuat kita meninggalkan kewajiban. Shalat misalnya. Ia adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim. Maka, jangan sampai kesibukan bekerja mencari karunia Allah mengakibatkan ia meninggalkan shalat walau pun hanya satu kali. Begitu pula dengan kewajiban yang lainnya, seperti zakat, puasa, haji, bersilaturahmi dan ibadah-ibadah wajib lainnya (Shihab, 1992). Itulah beberapa prinsip dan etika penting yang harus dijaga oleh siapa saja yang tengah bekerja untuk mencukup diri dan keluarga yang berada dalam tanggungannya. Bekerja adalah tindakan mulia. Keuntungan dunia dapat diraih dengannya. Namun bagi seorang muslim, hendaknya bekerja menjadi memiliki keuntungan ganda, keuntungan di dunia dengan terkumpulnya pundi-pundi kekayaan, dan di akhirat dengan pahala melimpah dan kenikmatan surga karena nilai ibadah yang dikandungnya (Kholis, 2004, Multahin, et.all. 2007; Tasmara, 2002) Melalui pemahaman konsep bekerja yang mengandung nilai ibadah yakni ada unsur pekerjaan halal / baik, professional / tanggungjawab, ikhlas, tidak melalaikan kewajiban pada Allah, maka melalui indikator-indikator itulah pekerjaan perempuan mengelola usaha mikro akan dapat tergolong dalam pekerjaan yang bernilai ibadah. Argumentasinya adalah bahwa semua yang dilakukan oleh perempuan tidak hanya memiliki dampak pada dirinya, tetapi umumnya berdampak ada pemenuhan kebutuhan pokok keluarga. Perempuan menggeluti usaha mikro sepenuhnya berangkat dari kepribatinan terhadap pendapatan keluarga yang minim. Sehingg dengan keadaan itu maka tidak berlebihan jika keikhlasan untuk membantu individu lain (keluarganya) tampak jelas tersirat. Ukuran yang tersirat memungkinkan masih terbuka untuk diperdebatkan, namun bukan tidak dapat dilakukan. Tetapi, suatu hal yang sudah jelas tergambar 15
dalam uraian tentang sebab perempuan menggeluti usaha mikro adalah karena alasan penambahan pendapatan keluarga dalam situasi kemiskinan yang tidak teratasi (Darajat, 1984; Ziadatun, 2005). Bekerja ‘Ikhlas’ Meringankan Beban Triple Burden Perempuan Bekerja Sadli (dalam Saptari, Holzner, 1997) melihat paradigma “beban ganda” disebabkan oleh adanya anggapan di masyarakat bahwa perempuan bekerja tidak boleh sampai melupakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai istri dan ibu. Ukuran sukses perempuan bekerja adalah keseimbangan antara tanggung jawab di rumah dan di kantor. Anggapan masyarakat ini menambah “daftar tuntutan” istri bekerja yang sering membuat stres karena keinginan untuk bisa menyediakan waktu lebih banyak bagi anak-anaknya dan lebih dekat dengan perasaan anakanaknya harus berbenturan dengan realitas dunia kerja. Kelelahan mencari nafkah belum tuntas, perempuan harus berjibaku lagi dengan tugastugas rumah tangga dan pengasuhan anak. Sementara suami dengan kontribusi nafkah yang sama besar bahkan kadang-kadang porsi nafkahnya jauh di bawah istri, tidak mau berbagi tanggung jawab pengasuhan dan rumah tangga. Gejala stres awal yang muncul adalah saling tak mengacuhkan, lekas marah, sulit tidur, tidak kerasan di rumah, tekanan darah naik, dan sebagainya. Tahap selanjutnya apa yang disebut Saparinah Sadli sebagai “lampu merah” di mana pasangan suami-istri mengalami stres. Setiap pihak tidak lagi berharap lebih banyak pada lembaga perkawinan. Jika tidak diatasi akan menimbulkan stres kronis yang berujung pada perpisahan. Sejatinya, tidak ada nash yang mewajibkan istri mengurus rumah tangga. Dalam literatur-literatur fikih misalnya, para suami justru yang diminta untuk menyediakan pembantu untuk menolong tugas-tugas rumah tangga. Semua diserahkan pada adat masing-masing. Istri memang diminta untuk taat pada suami, namun bukan berarti harus mau disuruh apa saja oleh suami. Istri tetaplah manusia, bukan budak. Tariq Ramadhan dalam buku Muhammad Rasul Zaman Kita mengabadikan pengakuan Aisyah bahwa Nabi Muhammad selalu hadir dan terlibat dalam kehidupan keluarganya, beliau sangat menjaga perasaan, membantu pekerjaan rumah tangga, menjahit pakaiannya, memperbaiki sepatunya, dan baru berhenti ketika mendengar azan untuk pergi ke masjid (Ziadatun 2005; Attaji, 2014). Rumah tangga Fathimah dan Ali bin Abi Thalib pun diwarnai dengan kerjasama indah. Di awal menikah, pembagian kerja ini dilakukan Fathimah dan Ali merujuk pada keputusan Rasulullah SAW yang menetapkan pengurusan dalam rumah untuk Fathimah dan luar rumah untuk Ali bin Abi Thalib. Abu Abdullah Ash-Shadiq mengatakan, “Adalah amirul mukminin yang mencari kayu bakar, mengambil air, dan menyapu. Sedangkan Fathimah menggiling, membuat adonan, dan membuat roti.” (Ibrahim Amini, Fathimah Az-Zahra,Lentera). Jika merujuk pada hadis-hadis di atas, sangat jelas bahwa pekerjaan rumah tangga bukan monopoli dan tanggung jawab istri. Ada kebersamaan yang dibangun dalam rumah tangga Rasulullah dan Ali bin Abi Thalib. Ada beberapa hikmah dari keringat Nabi Muhammad SAW tatkala mengurus rumah tangga. Pertama, Rasul memperlihatkan bahwa pekerjaan rumah tangga adalah kemuliaan. Sungguh keliru orang yang memandang hina suami yang mengurusi rumah tangga. Suami maupun istri hendaknya berlomba menabung pahala dengan banyak berkiprah menata rumah tangga. Kedua, urusan rumah tangga tidak pantas dipikulkan pada satu orang, tapi menjadi kewajiban semua orang yang terlibat dalam rumah tangga itu. Nabi Muhammad punya 16
istri, namun beliau tetap menjahit, menambal pakaian, menggiling gandum, dan sebagainya. Ketiga, urusan rumah tangga jangan dipandang sebagai beban. Apapun, bahkan hal yang kecil sekalipun, akan terasa berat bila dianggap sebagai beban. Rasul pun menyingsingkan lengan bajunya guna membantu rumah tangga Ali dan Fathimah. Tatkala melihat suami-istri itu mandi keringat menggiling gandum, Rasul menawarkan bantuan untuk menggantikan salah satu di antara mereka. Ali meminta Rasul menggantikan Fatimah yang amat lelah. Jadilah dua pria tangguh itu menyelesaikan urusan dapur (Anshorullah, 2010). M. Quraish Shihab (2010) menyatakan bahwa dengan menikah seseorang tidak serta merta dapat dikatakan beribadah kecuali jika dilakukan dengan motivasi mendekatkan diri kepada Alloh. Sakinah (ketenangan) tidak serta merta otomatis langsung menyapa suatu pernikahan melainkan perlu diupayakan oleh pasutri. Allah telah membekali pasutri dengan mawaddah (kosongnya jiwa dari maksud buruk terhadap pasangan) dan rohmah (keprihatinan melihat ketidakberdayaan satu pihak yang mendorong siapa yang merahmati berusaha menanggulangi ketidakberdayaan itu) untuk meraih sakinah tersebut (Attaji 2014; Aisyah Dahlan, 1989). Sehingga pasutri tidak akan saling menyakiti pasangan melainkan saling berkorban demi menyenangkan pasangannya.Pilihan kompromi dalam menyikapi problema istri bekerja rasanya menjadi potensi mawaddah dan rohmah untuk menghadirkan sakinah. Baik suami maupun istri memiliki hak dan kewajiban yang sama, baik di dalam maupun di luar rumah. Bahkan jika memang kondisi nafkah suami tidak mencukupi, istri tidak boleh lepas tangan dan berdiam diri. Maka segenap persoalan yang timbul dari pilihan bekerja di luar rumah (mencari nafkah) menjadi tanggung jawab bersama sehingga tidak ada satu pihak yang merasa terbebani. Sepantasnya memang ada pembagian tugas. Kalau istri bekerja di luar, kurangilah tugasnya di dalam rumah (Ziadatun Nikmah, 2005). Sebisa mungkin suami meringankan tugas istri, misalkan dengan menyediakan sarana atau prasarana yang dapat membantu tugas-tugas istri di dalam rumah. Pasutri juga saling membantu dalam menyelesaikan tugas rumah tangga, semisal suami bisa membantu istri mengepel lantai atau mencuci piring sepulang kerja. Perempuan tetap memiliki fokus utama pada pembinaan generasi. Namun ketika istri memiliki ilmu yang dapat disampaikannya pada orang lain, maka sebagaimana laki-laki, perempuan tetap memiliki peran sosial yang patut didorong oleh suaminya (Zaid, 2003). Sebagaimana para muslimah terdahulu, mereka giat menyampaikan ilmunya pada masyarakat. Kapasitas mumpuni yang perempuan jalankan lewat peran sosialnya merupakan bentuk dari ibadah mereka kepada Allah (Ziadatun Nikmah, 2005). KESIMPULAN : Pemberdayaan Perempuan dengan Konsep Bekerja sabagai ‘AmalIbadah’ Konsep semangat perempuan dalam bekerja dapat mengimplikasikan pada upaya pemberdayaan perempuan yang selayaknya dilakukan. Seperti halnya yang diketahui bersama bahwa usaha mikro yang dikelola oleh perempuan memiliki sejarah eksistensi yang panjang. Sejarah itu membuktikan bahwa usaha mikro yang dikelola perempuan memiliki ketahanan tinggi terhadap banyak permasalahan usaha. Meskipun fakta juga menunjukkan bahwa usaha mikro tidak bebas dari permasalahan eksploitasi dan marginalisasi. Sehingga untuk mengatasi itu, eksistensi usaha mikro perempuan pada dasarnya adalah semangat/motivasi ikhlas dalam bekerja (dimaknai sebagai bekerja sebagai amal ibadah nya yang akan dibalas oleh Tuhan baik di dunia maupun di akhirat kelak). Mengelola dan menjalankan usaha mikro bagi perempuan adalah kebaikan untuk membantu kesejahteraan 17
keluarganya. Perempuan selalu ikhlas menjalankan usaha meskipun keuntungan usaha mikro sangat kecil karena eksplotasi dan termarginalisasi. Keihlasan perempuan menjadi lebih besar ketika didukung oleh keluarga yang tenang dan tenteram saling menghargai antar anggota keluarga (suami-istri-anak). Keluarga yang tenang itu disebut keluarga sakinah, mawaddah, warohmah. Sehingga faktor amal-ibadah yang dimiliki perempuan harus juga dikuatkan agar keberlangsungan usaha mikro terus bertahan. Jadi, studi ini merumuskan model pemberdayaan perempuan usaha mikro dikomplementasikan dengan faktor charity-worship (amal-ibadah) dalam keluarga sakinah-mawaddah-warohmah.
Gambar 4: Model Pemberdayaan Perempuan ‘Sara Hlupekile Longwe’ Dikomplementasi dengan Motivasi Amal-Ibadah Perempuan dalam Bekerja
Model di atas menggabungkan dua pandangan untuk mencapai dua tujuan yang bisa saling berhubungan. Tujuan mencapai sistem yang demokratis dan mencapai peningkatan kapabilitas usaha mikro dalam men-support income keluarga. Adapun dua pandangan tersebut adalah pandangan dari Sarah Hlupekile Longwe (1993) yang berusaha memampukan perempuan melalui peningkatan keterampilan, pendidikan formal. Hal itu diloakukan untuk mengatasi kekurangan perempuan di bidang keterampilan usaha dan wawasan usaha yang rendah. Di sisi lain konsep Longwe juga mengadvokasi perempuan agar kritis terhadap kebijakan dan ketimpangan gender. Begitupun, satu faktor yang seharusnya dikomplementasi adalah faktor nilai-nilai moralitas dan ketenangan keluarga. Dalam hal itu, perempuan di pedesaan memiliki keyakinan bahwa bekerja keras adalah membantu keluarga mencukupi kebutuhan ekonomi, yang dilakukan dengan suka rela, tanpa mempermasalahkan pola kerja di dalam rumah. Nilai moralitas ini yang selayaknya dikomplementasi model pemberdayaan perempuan pengusaha mikro, agar tidak terjadi benturan budaya antara perempuan dengan keluarga dan bahkan dengan sistem sosial dan 18
politik (kebijakan) yang telah mapan terbentuk. Model ini juga akan menghindarkan perempuan dari sasaran tuduhan penyebab konflik dalam rumah tangga dan masyarakat. DAFTAR PUSTAKA
Attaji, Imam, 2014, Peran Perempuan Karier Dalam Membangun Keluarga Sakinah (Tinjauan Pendidikan Anak Dalam Keluarga), Yogyakarta Anshorulloh, 2010, Wanita Karier dalam Pandangan Islam, Mitra Media Pustaka Azizah al Hibri, editor H.M. Atho Mudzhardi,2001,Perempuan dalam Masyarakat Indonesia Akses, Pemberdayaan dan Kesempatan, Sunan Kalijaga Press Aisyah Dahlan, 1989, Membina Keluarga Bahagia Dan Peranan Agama Dalam Keluarga, Jakarta Jamunu Alimuddin, Nurwahida, 2008, Peran Gender Dalam Membangun Keluarga Sakinah Bukhari, Imam. 1981. Sahih Bakhari. Jakarta : CV Wijaya. Dewayanti, Ratih, Chotim, Erna Ermawati, 2004, Marginalisasi dan Eksploitasi Perempuan Pengusaha Mikro di Perdesaan Jawa, Akatiga Press Darajat, Zakiah, 1984, Islam dan Peranan Wanita, JakartaBulan Bintang Depag RI,1989, Al Qur’an dan Terjemahanya, Mahkota Surabaya, 1989 Fakih, Mansour, 2001, Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Cetakan VI, Yogyakarta Pustaka Pelajar Faraz, Jaidi, Nahiyah, 2012, Teknik Analisis Gender, Yogyakarta Hayati,Amelia, 2007, Studi Tentang Pemberdayaan Perempuan Dalam Pengembangan Usaha Mikro Kecil Dan Menengah (UMKM) Di Kabupaten Garut, Kementrian Pemberdayaan Perempuan Hasan Basri, 1990, Membina Keluarga Sakinah, Jakarta Pustaka Antara Kantor Gubernur Maluku, 2012, Panduan Pengembangan, Lembaga Keuangan Mikro Perempuan (LKMP) Panduan Pengembangan di Maluku Kholis, Nur, 2004, Etika Bekerja dalam Perspektif Islam, Al Mawaria, ed. XI Kholifah, Emy, 2016, Prostitusi Masih Tetap Ada, Studi Fenomenologis Ambiguitas Birokrat Lapangan Dalam Implementasi Kebijakan, LPPM UNMUH Jember Press, ISBN 978-602-6988-15-7 Longwe, Sara Hlupekile Longwe,Remarks by Sara Longwe. The Hunger Project. Retrieved 2011-09-23. Mahalli, Kasyful, (2006), Usaha Kecil dan Menengah dan Penyerapan Tenaga Kerja, Makalah pada Seminar Nasional ISEI “Mengurangi Masalah Pasar Kerja Sebagai Pendorong Iklim Investasi”,Padang, 9-10 Mei. SMERU dan Kementrian Pemberdayaan Perempuan Jakarta, 2003, Buku II: Upaya Penguatan Usaha Mikro dalam Rangka Peningkatan Ekonomi Perempuan (Sukabumi, Bantul, Kebumen, Padang, Surabaya, Makassar) Sahay, Sushama , 1998, Women and Empowerment: Approaches and Strategies, chapter III : frame work for Empowerment, New Delhi Discovery Publishing House Shihab,M. Quraish,2010,Pengantin Al-Qur’an: Kalung Permata Buat Anak-Anakku, Lentera Hati Press Shihab,M. Quraish, 1992, Membumikan Al-Qur`an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,Bandung Mizan Shihab, M. Quraish,1998,Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat. Cetakan VIII Saptari, Ratna; Holzner, Brigitte, 1997, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial, Grafitti Press Sugiono, 2015, Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods), Alfabeta Bandung ----------, 2004, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta Jakarta Tambunan, Tulus, 1999, Perkembangan Industri Skala Kecil di Indonesia, PT Mutiara Sumber Widya, Jakarta. ----------, 2002, Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia, Salemba Empat, Jakarta. Tasmara, Toto, 2002, Membudayakan Etos Kerja Islami, Jakarta, Gema Insani Umar Nasaruddin,2007,Praktek Kesetaraan Gender Pada Masa Nabi, Jurnal Pemikiran Islam Paramadina edisi 16 (Maret) Umar, Nasaruddin, 2001, Argumen Kesetaraan Gender Perpektif Alqur’an Cet. II, Jakarta, Paramadina Widyaningrum, Nurul, dkk, 2007, Pola-pola Eksploitasi terhadap Usaha Kecil, Yayasan Akatiga, Bandung. Ziadatun Ni'mah, 2005, Wanita Karier Dalam Persepektif Hukum Islam: Studi Pandangan K.H. Husein Muhammad, Skripsi Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005. Zayd , Abu,Nasr Hamid 2003, Dekontruksi Gender: Kritik Wacana Wanita dalam Islam, Samha
19