*Dosen Jurusan Dharma Sastra STAHN-TP Palangka Raya. Satya Dharma Volume I No. 1 Oktober

BUDAYA BANTEN BAGI UMAT HINDU HARUS MENYESUAIKAN Oleh: Ni Made Ratini* Abstraks Budaya adalah kreasi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup baik kebut

Autor Yanti Susman

14 downloads 440 Views 608KB Size

Data uploaded manual by user so if you have question learn more, including how to report content that you think infringes your intellectual property rights, here.

Report DMCA / Copyright

Transcript

BUDAYA BANTEN BAGI UMAT HINDU HARUS MENYESUAIKAN Oleh: Ni Made Ratini* Abstraks Budaya adalah kreasi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup baik kebutuhan jasmani maupun kebutuhan rohani. Sedangkan banten adalah salah satu sarana yang dipergunakan untuk mendekatkan diri pada Tuhan sesuai dengan sumber daya manusia yang melekat pada diri individu ataupun kelompok Berkaitan dengan budaya, masing-masing daerah punya dan dilestarikan keberadaanya, maka bagi Umat Hindu dimana tumbuh dan berkembang harus dapat menyesuaikan cara-cara beragama mereka, termasuk budaya penggunaan banten sebagai sarana dalam mendekatkan diri pada Tuhan. Bagi umat Hindu terutama di kota-kota besar susah untuk mendapatkan bahan-bahan upakara terutama janur dan sejenisnya. Untuk itu kalau diperlakukan secara jeneral, tidak menyesuaikan dengan situasi dan kondisi dilapangan (Desa Kala Patra) maka kedepan sangat sulit untuk memenuhi sesuai dengan kriteria-kriteria seperti layaknya umat Hindu di Bali misalnya. Harus dipahami bahwa Hindu bukan saja dianut di Bali, saja, melainkan umat Hindu sudah menyebar keseluruh Indonesia, bahkan penduduk asli pun diluar Bali bayak yang menganut Agama Hindu sepeti suku Bugis, Batak, Tator, Ambon, Dayak, Jawa, sasak dan masih banyak lagi suku-suku lainya. Budaya banten secara umum memang sangat memungkinkan dikembangkan di Bali karena daerah itu dikenal sebagai daerah tujuan utama wisata, sedangkan di luar Bali lebih-lebih di kota-kota besar, juga penduduk asli yang beragama Hindu budaya banten belum begitu memasyarakat. Mereka dalam menyambut Hari-hari besar keagamaan Hindu, menyesuaikan dengan tradisinya masing-masing. Dalam penyebutan nama Tuhan misalnya masing-masing daerah dimana Hindu tumbuh dan berkembang akan menyesuaikan dengan budayanya, salah satunya Suku asli Dayak yang beragama Hindu menyebut Tuhan dengan Ranying Hatalla. Itupun tidak ada keseragaman antara kabupaten satu dengan yang lainya dalam wilayah propinsi. Begitu juga dalam Upakara banten, nama banten , nama tempat suci berbeda-beda sebutanya. Dalam kehidupan social bagi umat Hindu adanya budaya banten memang ada kelebihan dan kekurangannya yang perlu disikapi secara bijaksana dari sudut mana akan dilihatnya. Kata Kunci : Budaya Banten, Upakara dan Yadnya

*Dosen Jurusan Dharma Sastra STAHN-TP Palangka Raya

Satya Dharma Volume I No. 1 Oktober 2014

78

I.

Pendahuluan Pelaksanaan upakara banten kini semakin meriah dan megah. Anggota masyarakat yang ingin beryadnya pada umumnya jarang mau mengambil tingkat upacara yang madya (menengah) apalagi tingkat nista atau kecil, pada hal keadaan ekonominya tidak begitu menggembirakan, namun tetap saja mereka melakukan Yadnya di luar kemampuan. Faktor-faktor yang melatar belakangi budaya tersebut antara lain faktor sosial, budaya malu, sampai kepada budaya jor-joran. Mereka belum memahami arti sesungguhnya tentang Yadnya apalagi memahami isi dari sastra-sastra Weda. Mereka lebih malu kepada lingkungan jika melakukan persembahan yang sederhana, pada hal sederhana itu juga utama jika didasari dengan hati yang tulus iklas. Belakangan ada indikasi di masyarakat kalau mereka menghaturkan banten ke Pura tanpa dengan persembahan buah-buahan impor, tempatnya banten itu memakai dulang yang diukir mereka akan bangga. Namun sebaliknya akan muncul rasa rendah diri dan malu kepada masyarakat bila tidak mampu mempersembahkan semacam itu. Begitu juga dengan upacara di krama Banjar, jika sate kawisan dan lawar yang disediakan sedikit, maka perasaan malu dan rendah diri mulai timbul dan menjadi-jadi. Kesemua tersebut di atas, kalau dipersembahkan/diperuntukkan dengan keadaan terpaksa, tidak didasari dengan hati yang tulus iklas, biayanya dari hasil berutang misalnya, tidak akan ada artinya. Kesemuanya itu beragama jadinya dalam keadaan terpaksa, padahal beragama seharusnya tidak menjadikan beban hidup. atau juga sebaliknya mereka punya biaya yang cukup namun mereka mengambil tingkatan yang sederhana misalnya, lalu sisa dari anggaran itu dialokasikan untuk kepentingan pendidikan misalnya dapat dibenarkan. Sekarang karena pengaruh perkembagan jaman dari budaya agraris menjadi budaya industri, bahkan sekarang sudah budaya teknologi, dan terakhir ini sudah berkembang budaya global. Maka tidak ada lagi kesempatan budaya beragama mengikuti seperti budaya agraris. Budaya agraris adalah budaya dalam hidup keseharian harus beramai-ramai, karena waktu banyak yang tersisa saat-saat musin tertentu. Saat itulah dalam melakukan budaya beragama mengunakan sarana banten harus beramai-ramai pula. Sekarang sudah memasuki jaman teknologi dan globalisasi dan kebutuhan hidup semakin komplek maka tidak ada waktu yang terbuang sia-sia. Siapa cepat ia dapat. Siapa lambat akan ketinggalan dilandasan, bukan tinggal landas. Itulah salah satu poin yang menyebabkan budaya beragama yang mepergunakan sarana banten harus menyesuaikan dengan tuntutan jaman. Bukankah Weda diturunkan oleh Tuhan melalui Para Rsi (saptaRsi) untuk menuntun umatnya agar menjadi lebih baik, bukan saja umat di masa lampau namun

Satya Dharma Volume I No. 1 Oktober 2014

79

umat sekarang dan yang akan datang (Cudamani, 1989: 23). Dimasa lalu memang Upacara mempergunakan sarana banten diberlakukan secara besar-besaran karena masih didukung oleh alam lingkungan, sarana-prasarana masih berlimpah (janur, bunga dan sarana yang lainnya masih berlimpah), tapi kini lahan sudah mulai berubah ditanami tiang-tiang beton maka sarana upacara mau tidak mau harus diimpor dari daerah-daerah tertentu, maka secara otomatis menyulitkan masyarakat yang tidak mampu, tidak tahu, tinggal di kota-kota besar harus menyesuaikan (SinggihWikrama, 1989 : 34) Maka mulailah kita memahami budaya banten bagi umat Hindu sebaiknya dilakukan dengan keseimbangan, bijaksana dan selektif. Keseimbangan dimaksudkan mengikuti sesuai dengan perkembangan jaman. Bijaksana dimaksudkan adalah harus sesuai dengan kemampuan. Sedangkan selektif adalah memilih-milih di mana yang pokok atau inti dipersembahkan kepada Tuhan, salah satu contoh berdasarkan fakta di lapangan ketika persembahan salah satunya kepada Bhatara Wisnu maka semua berhubungan dengan air dipersembahkan banten seperti di sumur,di sungai, di gentong (tempat air di dapur) di ledeng dan sebagainya. Inilah yang belum dipahami oleh sebagian umat yang masih awam, mereka tidak mau mengambil yang intiintinya, sehingga setiap upacara yang mempergunakan banten harus banyak membuatnya karena setiap tempat yang dipandang suci, kramat harus diberi persembahan. Nenek moyang kita terutama para Mpu yang menciptakan bentuk banten itu bisa menggambarkan bukan saja bentuk Tuhan berserta sinar-sinarnya, juga bentuk keinginan dan pikiran yang bersangkutan. Itulah kelebihan mempergunakan budaya banten, merupakan bahasa penghubung dengan Tuhan yang bersifat niskala, dengan mewujudkan sesuatu yang tidak berwujud menjadi terwujud. Bayangkan bagaimana permintaan maaf bisa digambarkan dengan budaya banten guru piduka. Banten merupakan simbol santapan/makanan kepada Tuhan, bukan berati Beliau makan, ini adalah bahasa tubuh yang disampaikan oleh umat yang awan, karena ia beranggapan bahwa apa yang ada di alam sana, ada pada diri manusia (Bhuwana Agung identik dengan Bhuwana Alit). Yang dinikmati oleh Tuhan dalam ritual mempergunakan banten sebetulnya adalah ngayab sari yaitu menikmati sari-sari persembahan kita yaitu: (1), Ketulusan dan keiklasan hati melaksanakan yadnya dengan memakai sarana budaya banten. Meskipun yadnya besar (utama) tetapi hatinya tidak iklas, maka yadnya itu akan siasia. Atau sebaliknya sederhana diniati dengan hati yang tulus iklas akan diterima oleh Tuhan. Dalam Bhagawagita disebutkan “ kalau seseorang mempersembahkan daun, bunga, buah dan air, dengan cinta bakti, Aku akan menerimanya” ( B.G.IX,26), (2), Usaha yang dilakukan oleh seseoraang, bila orang kaya membuat yadnya yang sederhana tidak banyak usaha yang dibuat, karena bahan mereka sudah berlebihan

Satya Dharma Volume I No. 1 Oktober 2014

80

punya, lain halnya orang tidak mampu. Untuk bisa beryaadnya mereka harus bekerja keras untuk mendapatkan bahanya, lalu berusaha mengerjakan sendiri, karena tidak punya biaya untuk mengupah orang. Inilah yang diketahui sama Tuhan karena beliau serba mentahui, (3), Bahan Upakara yadnya, walaupun Yadnya dibuat dengan megah (utama), namun bahan-bahan yang didapat bertentangan dengan ajaran Agama akan tidak ada faedahnya. Berdasarkan hal itu bukan besar kecilnya persembahan yang Tuhan pentingkan melainkan keiklasan hati, kesungguhan kerja dan kesucian pikiran termasuk kesucian bahan-bahan yang dipergunakan sebagai persembahan. Yadnya sesungguhnya dinilai dari segi bhakti dan ketulusiklasan yang mempersembahkan, meskipun besar dan megah dalam mempersembahkan kepada Tuhan jika dilakukan dengan keterpaksaan tanpa dilandasi dengan tattwa maka siasialah. Namun jika dipahami nilai tattwanya dan didasari dengan Bhakti yang tulus dan ikhlas maka akan diterima. Ini sesuai dengan isi kitab suci. Nilai-nilai pemahaman inilah yang semestinya dijadikan rujukan bagi umat Hindu dalam melakukan persembahan karena Tuhan tidak menilai besar atau kecilnya persembahan kepadanya, Namun hati sipemujalah yang dilihat oleh Tuhan. Di dalam Kitab Suci Bhagawadgita Bab III sloka 33 disebutkan: manakala orang bijaksana berbuat menurut sifat bijaksananya, semua makhluk menurut sifatnya pula, apakah dapat diselesaikan dengan paksa. Dasar analisa tersebut maka yadnya yang diselesaikan dengan keterpaksaan terlebih lagi karena nama dan jabatan hingga kemampuan kurang harus dipaksa, itu tidak akan sampai kepada tujuan. Jadi lakukanlah yadnya dengan ikhlas tanpa paksaan dan tidak usah malu katakan tidak mampu jika faktanya demikian. Tuhan serba mendengar, serba melihat, serba merasakan dan serba mengetahui keadaan kita. Lakukanlah persembahan sesuai kemampuan. II.

Pembahasan Memaknai berarti mengetahui, memahami, mengkaji, mengupas sesuatu itu secara mendalam agar bisa dimengerti inti sesungguhnya. Sedangkan budaya adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar beserta keseluruhan hasil budi dan karyanya. Kebudayaan sedikitnya mempunyai tiga wujud: 1. Wujud kebudayaan sebagai kelompok dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, peraturan dan sebagainya. 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kelompok aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. 3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud pertama merupakan wujud yang Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba ataupun dilihat, berada di alam pikiran masyarakat di mana kebudayaan itu hidup.

Satya Dharma Volume I No. 1 Oktober 2014

81

Kebudayaan Idiil terlihat dari tata kelakuan, berfungsi mengatur, pengendali dan memberi arah kepada tingkah laku warga masyarakat. Dengan demikian kebudayaan idiil merupakan sistem nilai, sistem norma, perangkat peraturan-peraturan dan adat istiadat.Wujud ke dua Kebudayaan sering disebut sistem sosial yang mengatur interaksi antara aktivitas manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Wujud ke tiga sifatnya nyata dapat diraba dari hasil benda yang kita kerjakan dan sifatnya riil. Untuk memahami lebih jauh lagi suatu kebudayaan harus dilihat dari unsurunsur yang terdiri dari 7 sistem: 1. Sistem Religi dan upacara keagamaan 2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan 3. Sistem ilmu pengetahuan 4. Bahasa 5. Kesenian 6. Sistem mata pencaharian hidup 7. Sistem teknologi dan peralatan. Berdasarkan analisa tersebut di atas maka memaknai budaya banten sebaiknya ditinjau dari pengertian budaya yang terdiri dari 7 sistem di mana perkembangan sekarang ini tidak lagi bisa menganut sistem budaya agraris namun sekarang sudah mengarah ke sistem teknologi dan peralatan. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin tidak terkendali mau tidak mau suka tidak suka kita harus kena imbasnya termasuk juga pembaharuan-pembaharuan dalam pembuatan banten yang memang tidak tepat sasaran sebaiknya ditinjau ulang berdasarkan sastra yang ada. Tidak dapat dipungkiri menurut pandangan Hindu harus mengikutinya sesuai dengan perkembangan jaman. Kegiatan beragama menurut pandangan Hindu sebaiknya untuk menyiapkan kesehatan Jasmani maupun rohani, bukan membuat banten besar-besaran jika bukan dilakukan sesuai kemampuan. Sembahyang adalah melaksanakan perayaan hari raya serta melaksanakan berbagai petunjuk ajaran Agama. Jadi sembahyang, bermeditasi, melakukan yoga asana, merayakan hari besar keagamaan dan berbagai kegiatan Agama lainnya bukanlah suatu deretan beban hidup yang memberatkan jika dilakukan berdasarkan kemampuan . Semua kegiatankegiatan ini justru agar kita dapat berperan dan berfungsi secara baik dalam hidup ini. Kita membuat banten untuk persembahan bukanlah untuk bersaing tetapi untuk menguatkan hidup kita lahir maupun batin agar dapat hidup lebih baik menunjang kehidupan kita sehari-hari. Tidak ada gunanya melakukan berbagai kegiatan Agama membuat banten besar-besaran kalau tidak bisa untuk menguatkan hidup secara mental, moral dan spiritual. Melakukan persembahyangan, merayakan hari-hari besar keagamaan

Satya Dharma Volume I No. 1 Oktober 2014

82

(Panca Yadnya) ibarat mobil mengisi bensin, nyetel mesin agar nantinya setelah kita tampil dalam berbagai kegiatan hidup terpancar nilai-nilai luhur keagamaan ( Wiana I Ketut , 2006:45) Jadi kegiatan beragama bukanlah semata-mata diukur dari segi kemeriahannya melainkan isi hati yang mempersembahkannya. Di samping itu pula nilai-nilai keagamaan yang kita tanamkan pada saat kita mengerjakan sehingga mampu memberikan pencerahan pada penampilan kehidupan kita sehari-hari sesuai dengan profesionalisme misalnya seorang pemimpin, PNS, mahasiswa, petani, buruh dan sejenisnya harus mampu mengerjakan tugas-tugas sesuai dengan tanggung jawab tanpa mencari keuntungan pribadi. Sari pati Agama adalah spiritualitas. Spiritualitas adalah jiwa dan semangat hidup yang bersumber kepada Tuhan. Tujuan kegiatan Agama justru meningkatkan spiritualitas agar dapat selalu menyala, menerangi kehidupan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada individu maupun dalam hidup bermasyarakat. Kegiatan bergama dengan membuat banten secara besar-besaran akan menjadi sia-sia apabila nilai-nilainya tidak digunakan untuk meningkatkan kualitas diri kelompok maupun masyarakat. Kalau angka statistik kejahatan misalnya penipuan, pencurian, pemerkosaan, melakukan kehendak dengan melanggar norma-norma Agama di setiap kantor desa atau lurah berarti Agama belum bisa memberikan sepirit secara individu kelompok maupun masyarakat karena mereka menganggap beragama sudah selesai kalau sudah melakukan upacara. Kegiatan beragama untuk meningkatkan moral tahap demi tahap dengan secara tekun menghilangkan kebiasaan-kebiasaan buruk misalnya berbohong, suka mengucapkan kata-kata pedas membicarakan kejelekan orang di depan umum, suka berpikir hal-hal yang buruk adalah bertentangan dengan ajaran Agama. Hidup di Dunia ini memang tidak terlepas dari hambatan, gangguan, tantangan. Kita sebagai umat beragama harus mampu mengatasi tantangan tersebut jangan mudah menyerah. Kekuasaan, kekayaan, kebangsawanan, kekuatan, kemudaan, keturunan (Sapta Timira) sering menyebabkan orang lupa diri dan melemahkan mental. Agama harus mampu untuk menangkalnya. Demikian juga orang miskin, tanpa kekuasaan lemah, Agama harus mampu menguatkannya. Dengan demikian Agama akan tampak daya gunanya dalam kehidupan sehari-hari. Agar dapat mengubah kehidupan ke arah yang lebih baik dan lebih berguna, maka kebenaran Agama harus ditradisikan menjadi adat dan bukan Agama ditradisikan menjadi adat. Berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas di mana sesuai dengan judul memaknai budaya banten sebaiknya dilakukan menyesuaikan dengan kemampuan haruslah dijadikan landasan. Banten yang berarti ingat, enten, eling bagi umat Hindu

Satya Dharma Volume I No. 1 Oktober 2014

83

bermakna untuk ingat, selalu eling selalu enten kepada Tuhan. Saran ingat, eling, enten wujudnya adalah banten. Banten selalu sangat menarik dibicarakan oleh umat Hindu karena ada yang mendefinisikan sebagai wujud bhakti sehingga tidak perlu besar dan mewah. Namun ada juga yang mempertahankan bahwa format banten sebaiknya jangan menghilangkan tradisi-tradisi lama, karena tradisi-tradisi lama lebih banyak mengandung nilai-nilai dibandingkan tradisi-tradisi modern. Agama fungsinya untuk menyejahterakan umatnya di masa lalu sekarang dan yang akan datang. Masa lalu kehidupan beragama disesuaikan dengan budaya agraris di mana budaya agraris ada waktu-waktu sibuk dan ada waktu-waktu yang senggang dalam waktu bersamaan dalam komunitas hidup bermasyarakat. Karena mempunyai waktu sibuk dan waktu senggang dalam waktu bersamaan dalam suatu kelompok kehidupan bermasyarakat maka kegiatan-kegiatan beragama sangat mudah dilakukan secara berkelompok seperti adanya upacara piodalan yang cukup lama membuat pajegan sampai satu setengah meter, upacara-upacara di rumah mempergunakan suara pengeras yang kedengaran sampai puluhan kilometer, melakukan kerja bhakti tanpa ada yang alpa, melakukan rapat-rapat adat setiap ada kesempatan, melakukan pesantian dan lain sebagainya. Sekarang karena perkembangan kurang bisa melakukan kegiatan-kegiatan beragama secara beramai-ramai, berhari-hari karena banyak menyita waktu. Bijaksana adalah melakukan sesuatu itu dengan perhitungan-perhitungan yang cermat tanpa mengurangi arti sesungguhnya dan jangan menjadikan orang tersinggung, semua yang terlibat di dalamnya merasa puas terhadap pekerjaan yang mereka lakukan. Sedangkan selektif adalah memilah-milah yang mana kira-kira sesuatu itu masih relevan dengan perkembangan saat ini yang mana tidak yang memerlukan perbaikan menyesuaikan dengan tuntutan jaman. Tri Kono jangan diartikan secara sempit kalau mengingin suatu perubahan yang berdasar, harus diartikan secara luas, jika akan melakukan perubahan tanpa menimbulkan suatu gejolak di lapangan. Untuk lebih jelasnya di bawah ini unsur-unsur positif dan unsur-unsur negatif dalam kehidupan sosial dan kehidupan beragama adanya budaya pembuatan banten oleh umat Hindu apakah masih relevan atau tidak dewasa ini. Tuhan tidak pernah mempersalahkan kepada umatnya dalam berhubungan kepada-Nya memakai sara banten atau tidak, yang penting bagi-Nya adalah ketulusiklasan, usaha yang dilakukan dan bahan upakara yang akan dipergunakan. Unsur-unsur positif budaya pembuatan banten dalam kehidupan sosial masyarakat dan kehidupan beragama :

Satya Dharma Volume I No. 1 Oktober 2014

84

a.

b.

c.

d.

e.

f.

g.

h.

i. j.

k. l.

Sebagai pengendalian diri. Berkaitan dengan budaya pembuatan banten untuk persembahan ada hal-hal tertentu yang sebaiknya tidak boleh dilakukan seperti berkata kasar, kurang ikhlas, angkuh, iri hati dan selalu sabar. Mengurangi rasa ego. Dalam pembuatan budaya banten karena merasa rumit yang hanya bisa dikerjakan oleh orang-orang tertentu saja maka kekayaan, kedudukan, tidak menyebabkan orang takabur takut saat seseorang melakukan upacara tidak bisa mereka lakukan itulah sebabnya budaya gotong-royong sampai hari ini masyarakat hindu masih nampak. Budaya banten secara tidak langsung menjadikan umat Hindu bisa bertahan utamanya di kampung-kampung karena mereka tidak berani beralih agama takut melanggar adat. Budaya banten menjadikan sebuah proyek padat karya karena seseorang menyelesaikan upacara Tiwah misalnya paling tidak puluhan ekor sapi, beras dan lain sebagainya digunakan dalam kegiatan tersebut. Artinya bagai pengambala sapi mereka berkesempatan untuk menjual ternaknya. Budaya banten menjadikan umat Hindu bekerja keras. Umumnya umat Hindu mempunya beban lebih dengan umat lain namun mereka belum pernah meninggalkan untuk meningkatkan SDM buktinya umat Hindu yang berada di Rantauan masih sangat diperhitungkan oleh pemda setempat. Budaya banten menjadikan umat Hindu secara tidak langsung akan paham kesehatan di mana setiap mempersembahkan banten kepada yang Maha Kuasa paling tidak unsur empat sehat empat sepurna sudah terkandung di dalamnya tinggal ditambah susunya saja seperti buah, ikan. Kacang-kacangan dan nasi. Budaya banten menyebabkan kemakmuran yang merata. Umat Hindu banyak melakukan upacara untuk perlengkapan itu memerlukan bahan seperti itik, babi, sapi (dalam upacara Tiwah) dan sebagainya. Berkaitan dengan itu yang memang profesinya seorang peternak punya peluang emas untuk menjajakan dagangannya. Budaya banten dapat melestarikan seni apakah itu seni tari, seni gambelan, seni ukir dan sebagainya. Semua ini berhubungan dengan kegiatan upacara, jadi secara tidak langsung sudah dapat melestarikan seni budaya. Budaya banten dapat mengurang keterikatan kepada benda-benda duniawi karena dengan menghaturkan banten kepada Tuhan terkandung nilai keikhlasan. Budaya banten menjadikan umat Hindu paham akan manajemen karena di dalamnya terkandung unsur-unsur membagi orang-orang yang tepat duduk di dalamnya sesuai profesinya. Budaya banten dapat meningkatkan kerukunan intern umat beragama. Budaya banten dapat meningkatkan persatuan dan kesatuan intern umat beragama.

Satya Dharma Volume I No. 1 Oktober 2014

85

m. Budaya banten dapat meningkatkan kerukunan terhadap lingkungan intern. n. Budaya banten dapat meningkatkan kerukunan profesi. o. Budaya banten dapat meningkatkan kerukunan universal yaitu tidak membedakan asal usul keluarga. p. Budaya banten dapat meningkatkan kreativitas perempuan. Ini dapat dilihat kesibukan-kesibukan yang dilakukan oleh perempuan sehingga jarang dapat memikirkan hal-hal yang tidak menguntungkan dirinya. Berdasarkan hal tersebut di bawah ini dikemukakan beberapa kekurangan dalam kehidupan sosial dan kehidupan beragama adanya budaya pembuatan banten sebagai sarana persembahan: 1. Budaya banten dapat menyebabkan munculnya usaha perdagangan banten. hal ini terjadi awalnya di kota-kota besar namun sekarang sudah merambah ke semua lapisan. Di pasar Badung Denpasar misalnya ditemui penjual canang yang bukan beragama Hindu. Ini berarti unsur-unsur kesuciannya belum bisa dipertanggung jawabkan. Griya misalnya kalau tidak boleh disebut pendeta banyak menjual banten secara borongan. 2. Budaya banten dapat menyebabkan permohonan ijin berlebihan karena alasan upacara. Kalau ini dipertahankan tanpa disadari cepat atau lambat SDM Umat Hindu akan ketinggalan. 3. Budaya banten dapat menyebabkan pemaksaan kehendak. Ini diketahui bahwa umat Hindu sekarang ini bukan saja dipeluk olah etnis Bali Tetapi nonBalipun banyak yang bergama Hindu seperti Tator, Batak, Ambon, Bugis,Dayak memeluk agama Hindu. Mereka tidak bisa membuat banten seperti budaya Bali, mereka tidak bisa di Balikan. Namun rujukan dari beberapa Sastra menyebutkan bahwa tanpa bantenpun didasari hati yang tulus dan iklas diterima oleh Tuhan. 4. Budaya banten dapat menyebabkan penyalah gunaan tabuh rah kaitannya dengan judi. Ini tren terjadi di mana-mana, seolah-olah agama membenarkan adanya Tabuh rah kaitannya dengan judi. 5. Budaya Banten dapat menyebabkan pretima-pretima dicuri orang dijadikan barang antik oleh yang tidak paham tentang isi di balik pretima itu terutama di Bali. Kalau diproses dan dibawa ke pengadilan paling tinggi hukuman 5 bulan karena yang menjatuhkan bukan Hakim Hindu. Kalau dicermati proses pembuatan pratima dari awal sampai akhir menjadikan pretima itu berisi tidak sedikit memerlukan, tenaga, waktu dan biaya. 6. Budaya banten menyebabkan kesucian pura tidak bisa terkontrol utamanya di Bali. Bali sebagi daerah pariwisata tentu tamu-tamu manca negara berlombalomba ingin menyaksikan perayaan upacara utamanya Dewa yadnya yang pelaksanaannya di tempat suci. Tamu-tamu wisatawan sangat berambisi

Satya Dharma Volume I No. 1 Oktober 2014

86

menyaksikan dari dekat bahkan sampai masuk ke areal pura atas seijinpecalang dengan memakai selendang. Apak ini sudah bisa dijamin mereka datang bulan atau tidak. Memperhatikan kebaikan dan kelemahan adanya budaya banten oleh umat Hindu, apakah ini dapat dipertahankan oleh umat Hindu mengingat perkembangan ilmu pengetahuan dan Teknologi seperti sekarang ini semakin tidak terkendali. Namun mengingat pengertian budaya salah satunya adalah hasil cipta rasa dan karsa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya maka hal ini tidak perlu dikhawatirkan karena agama mengajarkan Iksa, sakti, desa, kala, tatwa. Berdasarkan hal itu kita tidak perlu takutkan perubahan karena kita tidak ingin menjadi mesin hidup namun kita harus berusaha menjaga identitas spiritual dari budaya banten jangan sampai direndahkan kesuciannya. III. Mewujudkan Yadnya Yang Berkualitas. Yadnya adalah korban suci yang dilakukan secara tulus ikhlas tanpa mengharapkan hasil menjadi tujuan utama. Sedangkan berkualitas berasal dari kata kualitasyang berarti berbobot, bermanfaat dan tepat guna. Dengan demikian mewujudkan yadnya yang berkualitas berarti mengadakan, mewujudkan dan menampakkan korban suci yang di lakukan secara tulus ikhlas tanpa mengharapkan hasil menjadi tujuan utama. JikaYadnya yang dilakukan itu berbobot, maka akan bermanfaat dan tepat guna. (Suyasa I Made, 2004 : 3). Kitab Suci Bhagawadgita bab 17 ayat 11-13 di sebutkan ada 3 macam yadnya yang berkualitas arti bebasnya sebagai berikut : 1. Tamasikayadnya yaitu yadnya yang di lakukan tidak sesuai dengan petunjuk kitab suci, tidak ada mantra yang di hafalkan, tidak ada Puna yang diberikan, dilakukan tapa dasar kepercayaan, tanpa kidung-kidung suci dan kealpaan (kebodohan). 2. Rajasikayadnya yaitu yadnya yang dilakukan dengan penuh harapan akan hasilnya, dilakukan dengan tujuan untuk pemer belaka, dilakukan dengan dorongan nafsu duniawi semata-mata dan dilakukan dengan keegoisannya. 3. Sadwikayadnya yaitu yadnya yang berkualitas tinggi karena berdasarkan keikhlasan, ketulusan, usaha yang tidak bertentangan dengan ajaran agama, atau sesuai dengan petunjuk kitab suci. Untuk lebih lengkapnya kutipan kitab suci Bhagawadgita Bab 17 ayat 11-13 : 392-393 sebagai berikut :

Satya Dharma Volume I No. 1 Oktober 2014

87

Ayat 11. ”Aphalakanksibhir Yajno Vidhi-Drsto Ya Ijayate, Yastavyam Eveti Manah Samadhaya Sa Sattvikah”. Artinya : Yajna menurut petunjuk Kitab Suci, yang dilakukan oleh orang tanpa mengharap pahala dan percaya sepenuhnya bahwa upacara ini sebagai tugas kewajiban, adalah Sattvika. Ayat 12 “Abhisandhayu Tu Phalam Dambhartham Api Caiva Yat, IjyateBharata-Srestha Tam Yajnam Viddhi Rajasa.” Artinya : Tetapi yang dilakukan dengan mengharap ganjaran dan semata-mata untuk kemegahan belaka, ketahuilah, wahai Arjuna, Yajna itu adalah bersifat rajas. Ayat 13 “Vidhi-Hinam Asrstanam Mantra-Hinam Adaksinam, Sraddha-Virahitam Yajnam Tamasam Paricaksate.” Artinya : Dikatakan bahwa, Yajna yang dilakukan tanpa aturan (berbentangan), di mana makanan tidak dihidangkan, tanpa mantra dan sedekah serta tanpa keyakinan dinamakan tamas. Dari beberapa sumber ada disebutkan ada 7 syarat yadnya yang berkualitas tinggi yaitu sebagai berikut : 1. Sradha adalah suatu kepercayaan atau keyakinan karena dasar beraga harus percaya dan yakin. Dalam agama Hindu kepercayaan dan keyakinan ini disebut Panca Sradha. Tanpa ada keyakinan dan kepercayaan dalam gerak langkah kehidupan kita sehari-hari akan menjadi beban termasuk di dalamnya beryadnya. 2. Lascharya yaitu keikhlasan, ketulusan atau kesucian untuk mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, harta dalam melakukan yadnya. Dalam hubungan ini ketika Kerajaan Pandawa diserang wabah penyakit yang cukup ganas, Dewi Kunti sebagai ibu negara melakukan Tapa Brata di Pura Dalem memohon kepada Dewi Durga agar penyakit tersebut dimusnahkan. Karena tapa Dewi Kunti yang kusut, Dewi Durga pun menjanjikan akan melenyapkan semua penyakit itu dengan sarat Dewi Kunti mau menyerahkan salah seorang putranya kepada Dewi Durga. Dewi Durga dalam hatinya ragu-ragu, tidak ikhlas, walaupun dalam ucapannya ia berjanji.

Satya Dharma Volume I No. 1 Oktober 2014

88

3.

4.

5.

Ketika salah satu pembantu Dewi Durga masuk ke dalam jiwa Dewi Kunti, kesadarannya pun berubah dari kesadaran manusia menjadi kesadaran raksasa. Lain halnya dengan Sahadewa ia dengan ikhlas mempersembahkan dirinya jika untuk kepentingan yang lebih luas yaitu menghapuskan wabah penyakit. Ketulusan Sahadewa itu menyebabkan Dewa Ciwa masuk ke dalam dirinya, sehingga akhirnya dapat menyelamatkan Dewi Kunti ibu tirinya dari pengaruh raksasa menjadi sifat-sifat yang tidak bertentangan dengan ajaran agama. (Ibid : 46). Dari cerita ini dapat mengilustrasikan dalam mengambil suatu pekerjaan apapun bentuknya disarankan tidak boleh ragu-ragu. Jika ragu-ragu maka hasilnya tidak memuaskan bahkan gagal. Begitu juga dalam beryadnya, tidak boleh ragu-ragu dan didasarkan dengan keikhlasan, kesucian dan usaha untuk mendapatkan bahan-bahan yadnya itu tidak bertentangan dengan ajaran agama. Widhi Drsta yaitu beryadnya berdasarkan petunjuk sastra kitab suci atau peraturan-peraturan yang telah ditradisikan baik secara Kula Drsta, Loka Drsta, Kuna Drsta dan Purwa Drsta. (Tim, 1996 : 48) Mantra artinya beryadnya harus dilakukan dengan mengucapkan yadnya oleh Jajamana (pemilik upacara yadnya), Pandita, Pinandita atau yang dituakan, karena mantra mengandung arti sebagai alat untuk menyampaikan kehendak pikiran yang suci (Man berarti pikiran, Tra berarti alat). Daksina. Dalam bahasa Sanskerta kata Daksina berarti memberikan dengan tangan kanan. (Tim, 2001 : 195) Maksudnya memberikan penghormatan yang tulus ikhlas, setiap yadnya yang baik harus ada Daksina untuk dipersembahkan kepada Pandita atau yang memimpin upacara. Daksina diidentikkan dengan semacam penghargaan berupa pendapatan yang diberikan kepada pemimpin upacara, maka itu dalam setiap upacara harus memakai Daksina karena Daksina adalah diibaratkan seperti kepala. Sehubungan dengan itu setelah perang Bratha Yudha selesai, Panca Pandawa melakukan upacara yang bermanaAswameda. Menurut Sri Krisna tanda-tanda dari upacara itu sukses jika ada turun hujan, bungan dan suara gentang dari angkasa. Setelah acara selesai tanda-tanda itu tidak kunjung datang, Sri Krisna segera mencari apa penyebabnya dan di ketahuinya ternyata upacara yadnya itu tidak ada vaksinannya. Maka itu Sri Krisna menugaskan agar segera mempersembahkan Daksina sesuai dengan aturan beryadnya. Setelah itu barulah tanda-tanda itu muncul. Di samping juga memang sempat terus terang Drupadi menertawakan Pandita dalam hatinya ketika Drupadi mempersembahkan makanan untuk Pandita itu. Karena Pandita itu berasal dari pegunungan maka makanan yang disuguhkan di atas meja oleh Drupadi dimakan dengan cara-cara

Satya Dharma Volume I No. 1 Oktober 2014

89

6.

7.

budaya Pandita itu sendiri. Ketika itulah Drupadi melihat dan langsung tertawa. Atas perbuatan Drupadi itu oleh Sri Krisna menasihatkan agar meminta maaf kepada Pandita itu, setelah memohon maaf barulah sura genta dengan gemuruhnya berbunyi kemudian hujan turun. Dari ilustrasi itu dapat disimpulkan bahwa dalam melakukan yadnya harus ada Daksina karena Daksina adalah sebagai kepala, di samping juga dalam beryadnya tidak boleh mempunyai prasangka buruk terhadap siapa pun. (Cudamani, 1990 : 53) Anna artinya yadnyaSatwika harus ada acara membagikan makanan yaitu semacam memberikan doa restu oleh masyarakat sekitarnya apakah dalam lingkup keluarga, tetangga, lingkungan ataupun masyarakat tergantung tingkatan yadnya yang diambil ketika itulah menyuguhkan makanan atau membawakan makanan ke rumah disebut dengan Ngejot. (Wiana I Ketut, 2006 : 47). Nasmitha artinya yadnya yang di maksudkan tidak untuk pamer kemewahan, kewibawaan, status sosial atau mencari popularitas dengan mengundang para pejabat penting demi tujuan bersifat kelobaan, dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan. Upacara beryadnya seperti ini jelas tidak akan mendatangkan kesucian.

VI.

Beryadnya Sesuaikan Dengan Kemampuan Pengertian beryadnya berarti berkorban dalam arti luas bukan dalam arti sempit. Sedangkan kemampuan artinya disesuaikan dengan kondisi baik secara individu maupun kelompok. Jadi beryadnya disesuaikan dengan kemampuan berarti berkorban dalam arti luas tetapi disuaikan dengan kondisi masing-masing baik secara individu maupun kelompok. Dengan demikian beryadnya tidak ada unsur paksaan apakah itu tingkatan yang utama (besar), madya (menengah), nista (kecil) di mata Tuhan sama nilainya yang penting keikhlasan, ketulusan, kesucian dan usaha yang dilakukan apakah bertentangan dengan ajaran agama atau tidak. Agar yadnya itu dapat bernilai tinggi di mata Tuhan ada 6 pertimbangan untuk beryadnya yaitu sebagai berikut : 1. Satya artinya kebenaran dan kejujuran berdasarkan agama dalam melakukan yadnya. Kebenaran, kejujuran tidak boleh diperbincangkan dalam ceramahceramah atau pidato-pidato tetapi haruslah diwujudkan dalam bentuk kehidupan sehari-hari. Tidak ada gunanya beryadnya jika tidak memiliki sifat kejujuran, kebenaran karena tujuan yadnya bukan hanya itu sendiri melainkan untuk meningkatkan kualitas diri sendiri dalam kehidupan sehari-hari seperti orang yang menyetrum aki, bukan untuk aki itu sendiri, melainkan supaya tidak redup dipakai dalam penerangan.

Satya Dharma Volume I No. 1 Oktober 2014

90

2.

3.

4.

Rta artinya hukum alam yang tidak boleh di ganggu gugat yaitu ada siang malam, baik buruk, panas dingin, timur barat, dan seterusnya yang sifatnya bertentangan. Agar hukum alam ini bisa berjalan dengan seimbang maka kita melakukan yadnya secara seimbang dan adil kepada seluruh isi alam ini karena alam beserta isinya ciptaan Tuhan, jadi tidak melakukan yadnya secara seimbang dan adil sesuai profesionalismenya maka tidak menghormati ciptaan Tuhan itu sendiri. Tapa artinya menahan diri, tidak setiap dorongan Indria diberikan bebas berkeliaran dan harus dibatasi walaupun ini adalah merupakan suatu kodrat namun tetap ada pengendaliannya (baca Catur Purusa Arta). Sekarang ini memang ada kecenderungan tidak bisa menahan diri akhirnya dalam kehidupan ini banyak yang tidak sabar termasuk ingin memiliki alat-alat kebutuhan rumah tangga. Karena banyak yang tidak sabar akhirnya ingin memiliki barang-barang rumah tangga dengan memaksakan dirinya untuk memilikinya dengan cara kredit. Dahulu kebiasaan hidup hanya ketenangan yang dicari, sekarang pengaruh teknologi yang semakin tidak bisa dibendung kecuali dengan iman yang kuat maka kesenangannyalah yang dikejar (baca Catur Yuga) Diksa artinya menyucikan diri. Ni berarti bukan setiap orang harus melakukan Diksa dengan tujuan untuk menjadi Pandita lalu menyelesaikan yadnya, namun pada hakikatnya Diksa harus dilakukan setiap orang karena mempunyai implikasi menyucikan diri sendiri. Dalam Arjuna Wiwaha ada disebutkan: “Sasiwimbahanenggatamesibanyundan asing suci nirmala mesiwulaniwamangkanarakwakitengkadadin. Ri Sang anggambeki Yoga Kiteng”. Artinya : Di dalam tempayan yang berisi air, bila air itu bersih dan bening maka tampaklah bulan di dalamnya. Demikian konon yang berlaku pada dirimu. Bagi mereka yang melaksanakan Yoga, Tuhan akan nyata tampak di hatinya. Demikian beryadnya kita harus bisa mengendalikan diri. (Cudamani, 1990 : 6)

5. Brahma artinya selalu berdoa. Dalam kitab suci Werda sudah tersedia Dai Nika Mantram yaitu Mantram sehari-hari yang dilakukan oleh umat Hindu dalam melakukan yadnya (Wiana I Ketut, 2006 : 147). Pengucapan Dai NikaMantram tidak memiliki hari yang pantang dan bisa dilakukan setip hari karena dapat mengikis perbuatan-perbuatan yang terselubung pada diri kita agar menjadi kekuatan yang tidak bertentangan dengan agama.

Satya Dharma Volume I No. 1 Oktober 2014

91

Dalam ManawaDharmasastra Bab II ayat 106 disebutkan : “Naityakenastyanadhayayobrahmasatramhitarsmrtam, brahmahutihutampunyamanadhyayawasatkrtam” Artinya : Untuk penguncapanmantam setiap hari tidak ada hari pantangan karena dinyatakan sebagai Brahma sastra, upacara korban yang kekal yang dilkakukan untuk upacara Brahma, dalam hal ini weda menemapati kedudukan yang seperti yadnya yang dibakar dan bahkan merupakan kejadian yang berjasa dan kalau karena hal-hal lumbarah menyebabkan berhenti belajar weda, dilakukan dengan menyebut wasiat. Melakukan mantra setiap hari wajib dilakukan karen mantra dapat menyucikan diri. 6.

Yadnya artinya berkorban. Kaitan dengan korban apabila kehidupan ini akan menjadi aman apabila kita berkorban secara adil dan seimbang kepada semua unsur-unsur ciptaan Tuhan berdasarkan profesionalismenya. a. Sesuaikan dengan kemampuan dalam melakukan persembahan yadnya kepadaTuhan. b. Di mata Tuhan tidak ada bedanya persembahan itu besar, sedang atau kecil, namun yang penting adalah ketulusan, keikhlasan, kesucian dan cara mendapatkan bahan-bahan yadnya itu tidak bertentangan dengan normanorma agama. c. Agar terjadi keharmonisan di antara sesama ciptaan Tuhan sebaiknya melakukan yadnya secara adil dan seimbang berdasarkan profesionalisme (ingat Panca Yadnya, Tri Hita Karana, hukum Rta dan Tri Kaya Parisudha). d. Karena yadnya fungsinya untuk menjaga keseimbangan maka sangat kelirulah jika ada orang kaya raya dalam melakukan yadnya untuk orang tuanya yang meninggal dengan tingkatan Nista (kecil), namun jika sisanya itu dipakai untuk kegiatan sosial tidak menjadi masalah karena sama nilainya. Namun jika tidak maka menyalahi fungsi yadnya yaitu keseimbangan.

IV.

Kesimpulan Berdasarkan uraian tersebut di atas memaknai budaya banten sebaiknya di lakukan secara selektif dan bijaksana dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Budaya banten bagi umat Hindu utamanya di Bali memang mempunyai keunikan tersendiri sehingga tamu Manca Negara berduyun-duyun datang menyaksikan proses upacara.

Satya Dharma Volume I No. 1 Oktober 2014

92

2. Budaya banten menyebabkan umat Hindu tahu akan kesehatan mengurangi egois, bekerja keras meningkatkan seni budaya, tahu akan manajemen, tahu akan kerukunan, membuka lapangan kerja, menjadikan proyek padat karya, meningkatkan SDM, pemerataan ekonomi, dan jarang mau memikirkan hal-hal yang kurang menguntungkan dirinya. 3. Umat Hindu sekarang ini bukan saja dianut pada suatu daerah tertentu, bahkan sudah mendunia. Untukitu, dalam pembuatan budaya banten haruslah bijaksana dan selektif. 4. Sesuaikan dengan kemampuan dalam melakukan persembahan yadnya kepada Tuhan. 5. Di mata Tuhan tidak ada bedanya persembahan itu besar, sedang atau kecil, namun yang penting adalah ketulusan, keikhlasan, kesucian dan cara mendapatkan bahan-bahan yadnya itu tidak bertentangan dengan norma-norma agama. 6. Agar terjadi keharmonisan di antara sesama ciptaan Tuhan sebaiknya melakukan yadnya secara adil dan seimbang berdasarkan profesionalisme (ingat Panca Yadnya, Tri HitaKarana, hukum Rta dan Tri Kaya Parisudha). 7. Karena yadnya fungsinya untuk menjaga keseimbangan maka sangat kelirulah jika ada orang kaya raya dalam melakukan yadnya untuk orang tuanya yang meninggal dengan tingkatan Nista (kecil), namun jika sisanya itu dipakai untuk kegiatan sosial tidak menjadi masalah karena sama nilainya. Namun jika tidak maka menyalahi fungsi yadnya yaitu keseimbangan. Daftar Pustaka Cudamani.1993. Pengantar Agama Hindu.Jakarta :AnomanSakti Jakarta. ________. 1990. ApakahUpakaraBantenMasihPerlu. Jakarta :Yayasan Dharma Srati Jakarta. Kajeng, I Nyoman. 2003. Sarascamuscaya. Jakarta :PustakaMitra Jaya. Netra, AA Gede Oka. 1990. Dasar-dasar Agama Hindu. Jakarta ;Yayasan Dharma Srati Jakarta. PGA 6 TahunSingaraja. 1997. NitiCastra. Jakarta :DitjenBimas Hindu danBudha. Puja, Gede, dkk. 2003. Manawa Dharmasastra. Jakarta :PustakaMitra Jaya. Puja, Gede. 2005. Bhagawad Gita. Surabaya :Paramitha. Sudarta, Tjok. 2003. Slokantara. Surabaya :Paramitha Surabaya. Sura, Gede. 1990. ArtikalSiwaratri. Denpasar ;KalanganSendiri IHD. Tim. 1996.Acara Agama Hindu Penyetaraan D2 Guru Agama Hindu.Jakarta ;DitjenBimas Hindu danBudha. Titib, I Made. 2003. PedomanPelaksanaanHari Raya Nyepi. Jakarta :PustakaMitra Jaya.

Satya Dharma Volume I No. 1 Oktober 2014

93

Life Enjoy

" Life is not a problem to be solved but a reality to be experienced! "

Get in touch

Social

© Copyright 2013 - 2024 KUDO.TIPS - All rights reserved.