Tidak mempelajari ilmu syari'at dan hanya mempelajari ilmu tasawuf dapat memiliki beberapa dampak yang perlu dipertimbangkan. Berikut adalah beberapa dampak yang mungkin terjadi:
Kurangnya pemahaman tentang hukum-hukum agama: Ilmu syari'at meliputi pemahaman tentang hukum-hukum Islam, aturan-aturan dalam ibadah, etika, dan perilaku yang sesuai dengan ajaran Islam. Tanpa pemahaman yang memadai tentang ilmu syari'at, seseorang dapat mengalami kesulitan dalam menjalankan kewajiban agama dan menghindari perbuatan yang diharamkan. Mempelajari ilmu tasawuf saja mungkin memberikan pandangan spiritual, tetapi tanpa pengetahuan tentang hukum agama, seseorang mungkin kesulitan mengaplikasikan pengalaman spiritualnya dalam kehidupan sehari-hari.
Potensi kesalahpahaman dan penafsiran yang salah: Memahami tasawuf tanpa landasan ilmu syari'at yang kuat dapat membuka kemungkinan penafsiran yang salah atau ekstrem terhadap ajaran-ajaran spiritual. Ilmu syari'at memberikan kerangka hukum dan etika yang jelas yang membantu menghindari penafsiran yang salah dan ekstremisme dalam praktik keagamaan.
Kurangnya pemahaman tentang prinsip-prinsip agama: Ilmu syari'at memberikan pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar agama Islam, termasuk keyakinan, ibadah, dan praktik kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan ajaran Islam. Dengan mempelajari ilmu tasawuf saja, seseorang mungkin tidak memiliki pemahaman yang komprehensif tentang prinsip-prinsip agama dan dapat kehilangan arah dalam praktik keagamaannya.
Potensi mengabaikan aspek sosial dan keadilan: Ilmu syari'at melibatkan pemahaman tentang hukum-hukum sosial dan ekonomi dalam Islam serta prinsip-prinsip keadilan yang harus diterapkan dalam masyarakat. Tanpa pemahaman yang memadai tentang ilmu syari'at, seseorang mungkin tidak dapat mengenali dan berkontribusi pada upaya sosial dan keadilan yang diharapkan dalam Islam.
Penting untuk memahami bahwa tasawuf dan syari'at saling berkaitan dan saling melengkapi. Tasawuf berfokus pada dimensi spiritual dan internal dalam kehidupan seorang Muslim, sementara syari'at memberikan kerangka hukum dan etika yang diperlukan untuk menjalankan praktik keagamaan dengan benar. Oleh karena itu, sebaiknya seseorang mempelajari dan memahami baik ilmu syari'at maupun ilmu tasawuf untuk mendapatkan pemahaman yang seimbang dan komprehensif tentang ajaran agama Islam.
Imam Ibnu Malik mengatakan, “Barang siapa (mempelajari) ilmu tasawuf, namun tidak mempelajari ilmu fiqih (syariat), maka akan berpotensi menjadi orang zindiq. Barang siapa yang belajar fiqih tanpa mempelajari tasawuf, maka cenderung akan menjadi orang fasiq. Barang siapa yang mempelajari keduanya, maka dialah ahli hakikat yang sesungguhnya.” Kedua ilmu tersebut merupakan ilmu-ilmu yang sangat penting untuk dipelajari dan dipahami. Keduanya merupakan cabang ilmu yang menempati posisi sangat strategis dalam menuntuk manusia menuju jalan yang benar. Oleh karenanya, Imam Malik mengatakan bahwa keduanya tidak dipisahkan dalam menjalankan amaliah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Jika syariat bisa diumpamakan sebagai teori dalam beribadah, maka tasawuf merupakan pengendali dalam melakukan ibadah tersebut. Sejatinya, mempelajari ilmu-ilmu Allah tidak lain selain untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Ilmu-ilmu itu kemudian menjadi sebuah manifestasi untuk menyempurnakan ibadah seorang hamba dalam mendekatkan diri kepada Allah swt. Misalnya, bentuk penghambaan dan peningkatan spiritualitas, seorang hamba melakukan shalat, wujud kepedulian seorang hamba kepada sesama manusia dengan mengeluarkan zakat, upaya untuk meraih ridha-Nya dengan melaksanakan ibadah haji, dan bentuk pengendalian diri dari hawa nafsu yang tercela dengan mengerjakan puasa. Makna Syariat dan Tasawuf Pada dasarnya, ilmu syariat merupakan salah satu cabang ilmu yang membahas perihal ibadah-ibadah atau amaliah yang bersifat lahir (nyata). Sedangkan ilmu tasawuf adalah salah satu cabang ilmu yang bersifat batin (tidak nyata). Keduanya merupakan ilmu yang sangat erat dan saling berhubungan. Mari kita bahas satu per satu. Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (wafat 987 H) dalam kitab Kifayatul Atqiya mengatakan, bahwa syariat adalah semua perintah Allah, seperti shalat, zakat, puasa haji, dan semua larangan-larangan Allah, yaitu zina, mencuri, sombong, ingin dipuji orang lain dan lainnya. Ia menegaskan: اَلشَّرِيْعَةُ هِيَ المَأْمُوْرَاتُ الَّتِي أَمَرَ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِهَا وَالْمَنْهِيَاتُ الَّتِي نَهَى اللهُ عَنْهَا. Artinya, “Syariat adalah perintah-perintah yang Allah swt memerintahkannya, dan larangan-larangan yang Allah melarang untuk melakukannya.” (Al-Malibari, Kifayatul Atqiya wa Minhajul Ashfiya, [Bairut, Darul Fikr: 2001], halaman 8). Untuk menerapkan syariat di atas, dengan melakukan semua yang diperintah dan meninggalkan semua larangan, tentu tidak ada teladan dan contoh yang benar selain mengikuti apa yang dicontohkan oleh Rasulullah, sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat ketika bersama dengan Rasulullah. Setelah itu, para sahabat menjadi teladan tabiin dan tabiut tabiin dalam melakukan setiap ibadah. Selanjutnya, teladan terbaik adalah mengikuti para ulama yang memiliki sanad keilmuan yang bersambung sampai pada Rasulullah.
Tidak mempelajari ilmu syari'at dan hanya mempelajari ilmu tasawuf dapat memiliki beberapa dampak yang perlu dipertimbangkan. Berikut adalah beberapa dampak yang mungkin terjadi:
Kurangnya pemahaman tentang hukum-hukum agama: Ilmu syari'at meliputi pemahaman tentang hukum-hukum Islam, aturan-aturan dalam ibadah, etika, dan perilaku yang sesuai dengan ajaran Islam. Tanpa pemahaman yang memadai tentang ilmu syari'at, seseorang dapat mengalami kesulitan dalam menjalankan kewajiban agama dan menghindari perbuatan yang diharamkan. Mempelajari ilmu tasawuf saja mungkin memberikan pandangan spiritual, tetapi tanpa pengetahuan tentang hukum agama, seseorang mungkin kesulitan mengaplikasikan pengalaman spiritualnya dalam kehidupan sehari-hari.
Potensi kesalahpahaman dan penafsiran yang salah: Memahami tasawuf tanpa landasan ilmu syari'at yang kuat dapat membuka kemungkinan penafsiran yang salah atau ekstrem terhadap ajaran-ajaran spiritual. Ilmu syari'at memberikan kerangka hukum dan etika yang jelas yang membantu menghindari penafsiran yang salah dan ekstremisme dalam praktik keagamaan.
Kurangnya pemahaman tentang prinsip-prinsip agama: Ilmu syari'at memberikan pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar agama Islam, termasuk keyakinan, ibadah, dan praktik kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan ajaran Islam. Dengan mempelajari ilmu tasawuf saja, seseorang mungkin tidak memiliki pemahaman yang komprehensif tentang prinsip-prinsip agama dan dapat kehilangan arah dalam praktik keagamaannya.
Potensi mengabaikan aspek sosial dan keadilan: Ilmu syari'at melibatkan pemahaman tentang hukum-hukum sosial dan ekonomi dalam Islam serta prinsip-prinsip keadilan yang harus diterapkan dalam masyarakat. Tanpa pemahaman yang memadai tentang ilmu syari'at, seseorang mungkin tidak dapat mengenali dan berkontribusi pada upaya sosial dan keadilan yang diharapkan dalam Islam.
Penting untuk memahami bahwa tasawuf dan syari'at saling berkaitan dan saling melengkapi. Tasawuf berfokus pada dimensi spiritual dan internal dalam kehidupan seorang Muslim, sementara syari'at memberikan kerangka hukum dan etika yang diperlukan untuk menjalankan praktik keagamaan dengan benar. Oleh karena itu, sebaiknya seseorang mempelajari dan memahami baik ilmu syari'at maupun ilmu tasawuf untuk mendapatkan pemahaman yang seimbang dan komprehensif tentang ajaran agama Islam.
Penjelasan:
Imam Ibnu Malik mengatakan, “Barang siapa (mempelajari) ilmu tasawuf, namun tidak mempelajari ilmu fiqih (syariat), maka akan berpotensi menjadi orang zindiq. Barang siapa yang belajar fiqih tanpa mempelajari tasawuf, maka cenderung akan menjadi orang fasiq. Barang siapa yang mempelajari keduanya, maka dialah ahli hakikat yang sesungguhnya.” Kedua ilmu tersebut merupakan ilmu-ilmu yang sangat penting untuk dipelajari dan dipahami. Keduanya merupakan cabang ilmu yang menempati posisi sangat strategis dalam menuntuk manusia menuju jalan yang benar. Oleh karenanya, Imam Malik mengatakan bahwa keduanya tidak dipisahkan dalam menjalankan amaliah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Jika syariat bisa diumpamakan sebagai teori dalam beribadah, maka tasawuf merupakan pengendali dalam melakukan ibadah tersebut. Sejatinya, mempelajari ilmu-ilmu Allah tidak lain selain untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Ilmu-ilmu itu kemudian menjadi sebuah manifestasi untuk menyempurnakan ibadah seorang hamba dalam mendekatkan diri kepada Allah swt. Misalnya, bentuk penghambaan dan peningkatan spiritualitas, seorang hamba melakukan shalat, wujud kepedulian seorang hamba kepada sesama manusia dengan mengeluarkan zakat, upaya untuk meraih ridha-Nya dengan melaksanakan ibadah haji, dan bentuk pengendalian diri dari hawa nafsu yang tercela dengan mengerjakan puasa. Makna Syariat dan Tasawuf Pada dasarnya, ilmu syariat merupakan salah satu cabang ilmu yang membahas perihal ibadah-ibadah atau amaliah yang bersifat lahir (nyata). Sedangkan ilmu tasawuf adalah salah satu cabang ilmu yang bersifat batin (tidak nyata). Keduanya merupakan ilmu yang sangat erat dan saling berhubungan. Mari kita bahas satu per satu. Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (wafat 987 H) dalam kitab Kifayatul Atqiya mengatakan, bahwa syariat adalah semua perintah Allah, seperti shalat, zakat, puasa haji, dan semua larangan-larangan Allah, yaitu zina, mencuri, sombong, ingin dipuji orang lain dan lainnya. Ia menegaskan: اَلشَّرِيْعَةُ هِيَ المَأْمُوْرَاتُ الَّتِي أَمَرَ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِهَا وَالْمَنْهِيَاتُ الَّتِي نَهَى اللهُ عَنْهَا. Artinya, “Syariat adalah perintah-perintah yang Allah swt memerintahkannya, dan larangan-larangan yang Allah melarang untuk melakukannya.” (Al-Malibari, Kifayatul Atqiya wa Minhajul Ashfiya, [Bairut, Darul Fikr: 2001], halaman 8). Untuk menerapkan syariat di atas, dengan melakukan semua yang diperintah dan meninggalkan semua larangan, tentu tidak ada teladan dan contoh yang benar selain mengikuti apa yang dicontohkan oleh Rasulullah, sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat ketika bersama dengan Rasulullah. Setelah itu, para sahabat menjadi teladan tabiin dan tabiut tabiin dalam melakukan setiap ibadah. Selanjutnya, teladan terbaik adalah mengikuti para ulama yang memiliki sanad keilmuan yang bersambung sampai pada Rasulullah.