SAYA berterima kasih bahwa saya diundang berbicara di hari dan tempat bersejarah ini.
Seratus tahun yang lalu, di gedung inilah para mahasiwa Stovia meletakkan batu pertama kebangsaan kita. Dari sinilah lahir semangat kebangsaan Indonesia.
Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang luar biasa. Ia bersemi dan tumbuh bukan dari kesatuan etnis yang tunggal. Seperti dicatat para sejarawan, di gedung ini, di sekolah kedokteran pertama ini, bertemu dan bekerja sama para mahasiswa yang datang dari latar belakang yang berbeda-beda.
Pada waktu itu juga, mereka yang berbeda-beda itu sama-sama mengalami perlakuan yang tidak adil oleh pemerintah kolonial. Yaitu, mereka, yang disebut “dokter Jawa”, tidak diperlakukan setara dengan keturunan Eropa.
Pemerintah kolonial adalah pemerintahan yang rasialis. Penduduk dibedakan bukan atas dasar kemampuan, melainkan oleh dasar etnis.
Para mahasiswa Stovia menentang diskriminasi itu. Mereka sangat menghayati bahwa sebenarnya mereka, yang berlatar belakang suku, etnisitas, agama, dan lapisan sosial yang berbeda-beda, adalah sesama. Mereka sesama dengan anggota mereka sendiri, mereka juga sesama dengan bangsa lain.
Dari sinilah mulai ditegaskan semangat bhineka-tunggal-ika. Maka Hari Kebangkitan Nasional bukanlah hari terbentuknya sebuah organisasi orang pribumi, khususnya orang Jawa. Hari Kebangkitan Nasional adalah hari lahirnya semangat kebangsaan yang pluralistis.
Memang “Budi Utomo” dimulai oleh orang-orang dari Yogya dan Sala. Tetapi bentuknya bukanlah sebuah organisasi tradisionil. Di zamannya, “Budi Utomo” adalah sebuah organisasi modern.
Juga istilah “Jawa” bagi “Budi Utomo” tidak sesempit seperti yang dipakai pemerintah kolonial, bahkan lebih luas ketimbang pengertiannya yang biasa sekarang. Dalam pengertian “Jawa” yang dipergunakan “Budi Utomo” termasuk mereka yang biasa disebut “Sunda”, “Madura”, dan “Bali”. Bahkan untuk berkomunikasi organisasi ini tak menggunakan bahasa Jawa, melainkan Melayu–yang sekarang disebut sebagai bahasa Indonesia.
Dari sini dapat saya katakan, kebangsaan yang lahir di 20 Mei bukanlah kebangsaan yang sempit. Kita mewarisi patriotisme, bukan chauvinisme. Warisan ini dipertegas kembali seperempat abad kemudian, di tahun 1945.
Dalam pidato “Lahirnya Pancasila”, Bung Karno mengikuti kearifan Mahatma Gandhi: “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan. My nationalism is humanity.” Dan kita tidak akan lupa, bahwa salah satu sila dalam Pancasila adalah “kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Itulah luhurnya semangat nasionalisme Indonesia. Semangat itu membuat kita merupakan bagian bhineka tunggal ika bersama bangsa-bangsa lain di dunia.
**
Saudara-saudara yang saya hormati.
Di sini izinkanlah saya berbicara soal globalisasi. Sejak beberapa dasawarsa ini, dunia sedang memasuki perekonomian global. Tetapi dalam semangat bhineka tunggal ika, ekonomi global tidak boleh — bahkan tidak mungkin — menenggelamkan ekonomi nasional.
Negara bangsa harus tetap kukuh, sebab hanya dalam negara bangsa prinsip akuntabilitas bisa dijalankan. Sebab sebagaimana tidak ada pemerintahan global, tidak ada juga lembaga perwakilan global.
Sebab itu, negara kebangsaan harus diperkuat. Tetapi negara kebangsaan hanya dapat diperkuat dengan pengelolaan negara oleh pemerintahan yang bersih, tidak diganggu KKN.
Sebagai ekonom, saya melihat bahwa Indonesia tidak hanya terdiri dari bermacam-macam etnisitas, agama, dan kebudayaan, melainkan juga dari bermacam kemampuan dan juga bermacam kepentingan.
Sebuah pemerintah yang adil harus menyadari akan keragaman kepentingan itu. Sambil menyadari hal itu, pemerintah harus bebas dari kepentingan kelompok manapun.
Hanya dengan demikian, kita dapat menghidupkan kembali semangat kebangsaan. Hanya dengan demikian rakyat bisa berbangga karena telah memilih pemerintahan yang berwibawa dan dihargai.
Artinya pemerintahan yang adil, arif, efektif, dan bersih. Artinya, pemerintahan yang mendengar suara rakyat dan didukung oleh rakyat, pemerintah yang siap mempertahankan Pancasila dan menyambut pluralisme, atau bhineka-tunggal-ika, sebagai rakhmat Allah SWT.
SAYA berterima kasih bahwa saya diundang berbicara di hari dan tempat bersejarah ini.
Seratus tahun yang lalu, di gedung inilah para mahasiwa Stovia meletakkan batu pertama kebangsaan kita. Dari sinilah lahir semangat kebangsaan Indonesia.
Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang luar biasa. Ia bersemi dan tumbuh bukan dari kesatuan etnis yang tunggal. Seperti dicatat para sejarawan, di gedung ini, di sekolah kedokteran pertama ini, bertemu dan bekerja sama para mahasiswa yang datang dari latar belakang yang berbeda-beda.
Pada waktu itu juga, mereka yang berbeda-beda itu sama-sama mengalami perlakuan yang tidak adil oleh pemerintah kolonial. Yaitu, mereka, yang disebut “dokter Jawa”, tidak diperlakukan setara dengan keturunan Eropa.
Pemerintah kolonial adalah pemerintahan yang rasialis. Penduduk dibedakan bukan atas dasar kemampuan, melainkan oleh dasar etnis.
Para mahasiswa Stovia menentang diskriminasi itu. Mereka sangat menghayati bahwa sebenarnya mereka, yang berlatar belakang suku, etnisitas, agama, dan lapisan sosial yang berbeda-beda, adalah sesama. Mereka sesama dengan anggota mereka sendiri, mereka juga sesama dengan bangsa lain.
Dari sinilah mulai ditegaskan semangat bhineka-tunggal-ika. Maka Hari Kebangkitan Nasional bukanlah hari terbentuknya sebuah organisasi orang pribumi, khususnya orang Jawa. Hari Kebangkitan Nasional adalah hari lahirnya semangat kebangsaan yang pluralistis.
Memang “Budi Utomo” dimulai oleh orang-orang dari Yogya dan Sala. Tetapi bentuknya bukanlah sebuah organisasi tradisionil. Di zamannya, “Budi Utomo” adalah sebuah organisasi modern.
Juga istilah “Jawa” bagi “Budi Utomo” tidak sesempit seperti yang dipakai pemerintah kolonial, bahkan lebih luas ketimbang pengertiannya yang biasa sekarang. Dalam pengertian “Jawa” yang dipergunakan “Budi Utomo” termasuk mereka yang biasa disebut “Sunda”, “Madura”, dan “Bali”. Bahkan untuk berkomunikasi organisasi ini tak menggunakan bahasa Jawa, melainkan Melayu–yang sekarang disebut sebagai bahasa Indonesia.
Dari sini dapat saya katakan, kebangsaan yang lahir di 20 Mei bukanlah kebangsaan yang sempit. Kita mewarisi patriotisme, bukan chauvinisme. Warisan ini dipertegas kembali seperempat abad kemudian, di tahun 1945.
Dalam pidato “Lahirnya Pancasila”, Bung Karno mengikuti kearifan Mahatma Gandhi: “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan. My nationalism is humanity.” Dan kita tidak akan lupa, bahwa salah satu sila dalam Pancasila adalah “kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Itulah luhurnya semangat nasionalisme Indonesia. Semangat itu membuat kita merupakan bagian bhineka tunggal ika bersama bangsa-bangsa lain di dunia.
**
Saudara-saudara yang saya hormati.
Di sini izinkanlah saya berbicara soal globalisasi. Sejak beberapa dasawarsa ini, dunia sedang memasuki perekonomian global. Tetapi dalam semangat bhineka tunggal ika, ekonomi global tidak boleh — bahkan tidak mungkin — menenggelamkan ekonomi nasional.
Negara bangsa harus tetap kukuh, sebab hanya dalam negara bangsa prinsip akuntabilitas bisa dijalankan. Sebab sebagaimana tidak ada pemerintahan global, tidak ada juga lembaga perwakilan global.
Sebab itu, negara kebangsaan harus diperkuat. Tetapi negara kebangsaan hanya dapat diperkuat dengan pengelolaan negara oleh pemerintahan yang bersih, tidak diganggu KKN.
Sebagai ekonom, saya melihat bahwa Indonesia tidak hanya terdiri dari bermacam-macam etnisitas, agama, dan kebudayaan, melainkan juga dari bermacam kemampuan dan juga bermacam kepentingan.
Sebuah pemerintah yang adil harus menyadari akan keragaman kepentingan itu. Sambil menyadari hal itu, pemerintah harus bebas dari kepentingan kelompok manapun.
Hanya dengan demikian, kita dapat menghidupkan kembali semangat kebangsaan. Hanya dengan demikian rakyat bisa berbangga karena telah memilih pemerintahan yang berwibawa dan dihargai.
Artinya pemerintahan yang adil, arif, efektif, dan bersih. Artinya, pemerintahan yang mendengar suara rakyat dan didukung oleh rakyat, pemerintah yang siap mempertahankan Pancasila dan menyambut pluralisme, atau bhineka-tunggal-ika, sebagai rakhmat Allah SWT.