marsyagoenawan
Siang itu aku terbangun dari tidur siangku karena seseorang memanggilku. Hanya ada aku di rumah. Kedua orang tuaku sedang pergi bekerja, sedangkan kakakku sedang pergi ke rumah temannya mengerjakan tugas bersama. Akhirnya, aku beranjak pergi dari tempat tidurku untuk membuka pintu. "Egi? Ada apa?" tanyaku sambil menatap Egi bingung. "Di, main bulutangkis, yuk!" serunya riang. "Bulutangkis? Mau main di mana?" "Di lapangan. Mau enggak?" tanyanya. Aku berpikir sejenak. "Emm... oke. Ayo!" Kami langsung pergi ke lapangan bersama. Setiap langkah kaki, kami mengobrol tentang hal - hal tidak penting sampai tertawa tentang hal yang mutlak tidak lucu. Mungkin, ini faktor persahabatan? Entahlah. Sesampainya di sana, kami langsung bermain. Wasitnya Gio, salah satu sahabatku selain Egi. Tanganku memegang raket, bersiap - siap untuk kok yang datang, dan... TAK!!! Satu pukulan, kok itu jatuh keluar dari area. Yes!, sahutku dalam hati. Kami terus bermain dengan serius dicampur canda tawa. Melelehkan suasana canggung. Lima belas menit berlangsung. Ya! Satu poin lagi aku pasti menang!, sahutku lagi. Aku terus menatap kok itu dengan serius dan ... dan ... dan... TAK!!! Aku menutup mata untuk sesaat dan membukanya ... "Egi pemenangnya!!" seru Gio. Egi? Oh, pantaslah. Tadi, memang aku berhasil melakukan servis, tapi karena aku kurang kuat memukulnya, kok itu memantul di net dan jatuh di tempatku. Aku berjalan ke arah Egi. Mengulurkan tangan. "Selamat, Gi." Egi membalas uluran tanganku. "Ya, sama - sama, Rendi." balasnya. "Jangan anggap serius ini, oke? Ini hanya permainan, oke? Bagaimana, oke?" "Tentu saja! Untuk apa aku anggap serius, oke? Iha hanya sebuah permainan, kan? Oke?" kataku. "Tunggu! kenapa di akhir kata kalian mengatakan 'oke'?" tanya Gio kebingungan. "Ketularan dia, tuh." kataku. Lalu, beberapa detik kemudian kami tertawa. Tertawa tentang hal yang mutlak tidak lucu.
"Egi? Ada apa?" tanyaku sambil menatap Egi bingung.
"Di, main bulutangkis, yuk!" serunya riang.
"Bulutangkis? Mau main di mana?"
"Di lapangan. Mau enggak?" tanyanya. Aku berpikir sejenak.
"Emm... oke. Ayo!"
Kami langsung pergi ke lapangan bersama. Setiap langkah kaki, kami mengobrol tentang hal - hal tidak penting sampai tertawa tentang hal yang mutlak tidak lucu. Mungkin, ini faktor persahabatan? Entahlah.
Sesampainya di sana, kami langsung bermain. Wasitnya Gio, salah satu sahabatku selain Egi. Tanganku memegang raket, bersiap - siap untuk kok yang datang, dan...
TAK!!!
Satu pukulan, kok itu jatuh keluar dari area. Yes!, sahutku dalam hati. Kami terus bermain dengan serius dicampur canda tawa. Melelehkan suasana canggung. Lima belas menit berlangsung. Ya! Satu poin lagi aku pasti menang!, sahutku lagi. Aku terus menatap kok itu dengan serius dan ... dan ... dan...
TAK!!!
Aku menutup mata untuk sesaat dan membukanya ...
"Egi pemenangnya!!" seru Gio.
Egi? Oh, pantaslah. Tadi, memang aku berhasil melakukan servis, tapi karena aku kurang kuat memukulnya, kok itu memantul di net dan jatuh di tempatku.
Aku berjalan ke arah Egi. Mengulurkan tangan. "Selamat, Gi." Egi membalas uluran tanganku.
"Ya, sama - sama, Rendi." balasnya. "Jangan anggap serius ini, oke? Ini hanya permainan, oke? Bagaimana, oke?"
"Tentu saja! Untuk apa aku anggap serius, oke? Iha hanya sebuah permainan, kan? Oke?" kataku.
"Tunggu! kenapa di akhir kata kalian mengatakan 'oke'?" tanya Gio kebingungan.
"Ketularan dia, tuh." kataku. Lalu, beberapa detik kemudian kami tertawa. Tertawa tentang hal yang mutlak tidak lucu.