whillynamaku
Pada suatu hari, di sebuah sekolah ada seorang guru yang sedang memberikan pertanyaan tentang cita-cita. Suasana kelas tenang seperti biasa. “Anak-anak silahkan kalian sebutkan apa cita-cita kalian !” Perintah bu guru. “dokter”, “guru”, “tentara”, “polisi”, “pengacara”, “hakim”, “presiden” ucap anak-anak membuat kelas menjadi gaduh. Tapi ada seorang anak yang hanya diam saja, tidak ikut berebut seperti anak-anak lain. “ Erick, kenapa kamu diam saja, apa kamu tidak punya cita-cita ?” tanya bu guru. Erick menjawab dengan malu-malu ”saya punya cita-cita bu, tapi saya malu karena cita-cita saya hanyalah petani”. Seisi kelas tertawa mendengar jawaban dari Erik. “Apa kamu tidak ada cita-cita lain selain petani?” sindir bu guru. “Apa saya salah ingin menjadi petani bu ?” dengan tegas Erick menjawab. “Apabila jadi dokter, saya takut hanya menerima pasien miskin”. “Apabila jadi guru, saya takut hanya menyukai anak perempuan”. “Apabila jadi tentara, saya takut perang”. “Apabila jadi polisi, saya takut menyimpan uang dari jalanan”. “Apabila jadi pengacara, saya takut membela kebenaran”. “Apabila jadi hakim, saya takut menolak sogokan”. “Dan apabila saya menjadi presiden, saya takut tidak bisa mengatasi persoalan di negeri kita”. Terang Erick dengan penuh keyakinan. Seisi kelas bertepuk tangan sambil geleng-geleng kepala mendengar jawaban Erick tersebut. “Dari mana kamu mengetahui semua itu Erick?” tanya bu guru penasaran. “Mengapa saya tidak tahu, tikus-tikus di rumah saja tau cara mengambil makanan di rumah saya, hingga kayu yang keras pun ia makan, itu namanya binatang, bagaimana dengan manusia ? tentu lebih tahu cara mencari berita dari pada tikus-tikus tersebut bukan”. Semua anak tercenggang termasuk bu guru, yang sudah tak bisa menjawab pernyataan Erick kembali. Lalu bu guru menyuruh anak-anak melanjutkan materi sesuai bab.
“Anak-anak silahkan kalian sebutkan apa cita-cita kalian !” Perintah bu guru. “dokter”, “guru”, “tentara”, “polisi”, “pengacara”, “hakim”, “presiden” ucap anak-anak membuat kelas menjadi gaduh. Tapi ada seorang anak yang hanya diam saja, tidak ikut berebut seperti anak-anak lain. “ Erick, kenapa kamu diam saja, apa kamu tidak punya cita-cita ?” tanya bu guru. Erick menjawab dengan malu-malu ”saya punya cita-cita bu, tapi saya malu karena cita-cita saya hanyalah petani”. Seisi kelas tertawa mendengar jawaban dari Erik.
“Apa kamu tidak ada cita-cita lain selain petani?” sindir bu guru. “Apa saya salah ingin menjadi petani bu ?” dengan tegas Erick menjawab. “Apabila jadi dokter, saya takut hanya menerima pasien miskin”. “Apabila jadi guru, saya takut hanya menyukai anak perempuan”. “Apabila jadi tentara, saya takut perang”. “Apabila jadi polisi, saya takut menyimpan uang dari jalanan”. “Apabila jadi pengacara, saya takut membela kebenaran”. “Apabila jadi hakim, saya takut menolak sogokan”. “Dan apabila saya menjadi presiden, saya takut tidak bisa mengatasi persoalan di negeri kita”. Terang Erick dengan penuh keyakinan. Seisi kelas bertepuk tangan sambil geleng-geleng kepala mendengar jawaban Erick tersebut.
“Dari mana kamu mengetahui semua itu Erick?” tanya bu guru penasaran. “Mengapa saya tidak tahu, tikus-tikus di rumah saja tau cara mengambil makanan di rumah saya, hingga kayu yang keras pun ia makan, itu namanya binatang, bagaimana dengan manusia ? tentu lebih tahu cara mencari berita dari pada tikus-tikus tersebut bukan”.
Semua anak tercenggang termasuk bu guru, yang sudah tak bisa menjawab pernyataan Erick kembali. Lalu bu guru menyuruh anak-anak melanjutkan materi sesuai bab.