Hari ini, langit kota ini terlihat begitu biru, seperti warna yang pernah kita nikmati bersama. Dia duduk di taman, memandang jauh ke kejauhan, mencoba mengenang kenangan yang perlahan-lahan mulai memudar. Namun, hatinya masih mencoba untuk menahan rasa sakit yang tersembunyi.
Sungguh hebat dirinya, Rivan, mencoba menyukai tanpa kata. Di antara senandung lagu yang terdengar di kejauhan, ada luka yang tak terungkap, dan ada rahasia yang terpendam. Hatinya kuat, mampu memendam rasa, tetapi terus mengagumimu, meski tahu bahwa kisah ini takkan berakhir bahagia.
Mengapa harus dirimu, pertanyaan itu selalu membayangi pikirannya. Dari sekian insan di dunia, mengapa hatinya harus memilihmu? Namun, apalah dayanya? Rivan melihatmu bahagia, meski bahagia itu tanpamu. Dia mengerti bahwa takdir memang terkadang kejam.
Begitu sulit baginya, tapi melihatmu bahagia, meski tanpamu, menjadi pilihan hatinya. Ia mencoba menerima kenyataan ini dengan lapang dada. Apalah dayanya melihatmu bahagia, walau bahagia itu terasa seperti menyakiti dirinya sendiri.
Namun, Rivan sadar bahwa takkan ada ikhlas yang sejati, yang ada hanya terpaksa. Lalu, akhirnya, ia mulai terbiasa dengan keadaan ini. Terbiasa melihatmu bahagia, terbiasa dengan rasa sakit yang perlahan menjadi kenangan. Hingga akhirnya, dalam ketidakikhlasan yang terbiasa, Rivan belajar menerima bahwa cinta tak selalu memiliki akhir yang bahagia.
Judul Cerpen: Terbiasa
Hari ini, langit kota ini terlihat begitu biru, seperti warna yang pernah kita nikmati bersama. Dia duduk di taman, memandang jauh ke kejauhan, mencoba mengenang kenangan yang perlahan-lahan mulai memudar. Namun, hatinya masih mencoba untuk menahan rasa sakit yang tersembunyi.
Sungguh hebat dirinya, Rivan, mencoba menyukai tanpa kata. Di antara senandung lagu yang terdengar di kejauhan, ada luka yang tak terungkap, dan ada rahasia yang terpendam. Hatinya kuat, mampu memendam rasa, tetapi terus mengagumimu, meski tahu bahwa kisah ini takkan berakhir bahagia.
Mengapa harus dirimu, pertanyaan itu selalu membayangi pikirannya. Dari sekian insan di dunia, mengapa hatinya harus memilihmu? Namun, apalah dayanya? Rivan melihatmu bahagia, meski bahagia itu tanpamu. Dia mengerti bahwa takdir memang terkadang kejam.
Begitu sulit baginya, tapi melihatmu bahagia, meski tanpamu, menjadi pilihan hatinya. Ia mencoba menerima kenyataan ini dengan lapang dada. Apalah dayanya melihatmu bahagia, walau bahagia itu terasa seperti menyakiti dirinya sendiri.
Namun, Rivan sadar bahwa takkan ada ikhlas yang sejati, yang ada hanya terpaksa. Lalu, akhirnya, ia mulai terbiasa dengan keadaan ini. Terbiasa melihatmu bahagia, terbiasa dengan rasa sakit yang perlahan menjadi kenangan. Hingga akhirnya, dalam ketidakikhlasan yang terbiasa, Rivan belajar menerima bahwa cinta tak selalu memiliki akhir yang bahagia.