Aneh rasanya, padahal para tetangganya bahkan seluruh warga desa sudah menyilakan bendera merah putih untuk berkibar di depan halaman rumah.
Sehari-hari Pak Udin memang sibuk. Sebagai seorang kurir, setiap saat ia harus pergi ke sana kemari demi mengantarkan paket dan kiriman yang sebelumnya dipesan oleh pembeli secara online.
Tapi, ya, jangankan Pak Udin. Semua orang juga sibuk, kok. Dan rasanya siapa pun yang tinggal di Bumi Pertiwi tercinta akan tergerak untuk memasang bendera kebangsaan RI untuk menyambut momentum kemerdekaan. Tidak terkecuali, Pak Udin pasti lebih mengerti.
Kebetulan hari itu adalah hari Minggu. Pak Udin diberi libur kerja dan sekarang ia sedang santai bermain dengan anak semata wayangnya yang baru berusia 8 tahun.
Ya, anak beliau adalah seorang laki-laki yang sedang duduk di kelas 3 SD. Namanya Siddiq.
“Ayah, Ayah. Mengapa kok di halaman rumah kita tidak dipajang bendera merah putih? Kan sebentar lagi ada perayaan HUT ke-76 RI?”
“Tidak apa-apa, Nak. Toh sekarang jalan raya sedang sepi karena pandemi corona. Para tetangga juga jarang bertamu. Tambah lagi dengan Ayah, tiap hari Ayah bepergian ke sana kemari. Sudah puas rasanya melihat kibaran bendera.”
“Tapi Siddiq malu, Ayah! Masa teman-temanku bilang bahwa keluarga kita tidak mau mengenang jasa para pahlawan yang dulu berjuang melawan penjajah.”
“Lho, Siddiq kan setiap hari Senin melaksanakan upacara, kemudian juga mengheningkan cipta. Semua itu dilakukan untuk mengenang jasa para pahlawan, kan? Cukup. Ayah mau beli cemilan sebentar.”
Lagi-lagi Siddiq tidak puas dengan jawaban Pak Udin. Dirinya semakin bingung dan gelisah, entah apa alasan yang bakal ia katakan kepada guru maupun teman-temannya.
Ah, sudah! Itu urusan nanti. Siddiq pun menenangkan hatinya dengan membaca buku motivasi dan kisah perjuangan para pahlawan kemerdekaan.
Lima belas menit berlalu, Pak Udin pun sudah tiba di rumah sembari membawa sebungkus gorengan. Ketika ingin menyapa Siddiq, tiba-tiba Sang Ayah terdiam di sudut pintu seraya meneteskan air mata.
Pak Udin tak kuasa mendengar kata demi kata yang dibacakan oleh Siddiq dengan suara lantang.
“Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjasa dengan segitiga warna. Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk pekerjaan kita selesai! Berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyak keringat. Tertanda: Ir. Soekarno.”
Ayah sekaligus kurir ini menyadari bahwa dirinya sudah menyombongkan diri, merasa telah berbuat baik, menganggap profesi kurir sebagai seseorang yang paling berjasa di Bumi Indonesia. Padahal, perjuangan para pahlawan dahulu sungguh penuh dengan darah.
Tanpa berpikir panjang, Pak Udin pun segera mencari bendera merah putih yang selama ini tersimpan di lemari.
Bendera tersebut ternyata masih baru dan warnanya sangat cerah. Tapi sayang, karena tidak disilakan berkibar penampilannya jadi lusuh.
Bukan lusuh warna benderanya, tapi hati Pak Udin.
Lusuhnya bendera bisa dibersihkan dengan cara dicuci, tapi lusuhnya hati siapa yang tahu.
Butuh kerelaan untuk memahami, menghargai, merenungi, dan menghayati nilai-nilai kemerdekaan Indonesia. Salam Merdeka!
=================================================================
Aneh rasanya, padahal para tetangganya bahkan seluruh warga desa sudah menyilakan bendera merah putih untuk berkibar di depan halaman rumah.
Sehari-hari Pak Udin memang sibuk. Sebagai seorang kurir, setiap saat ia harus pergi ke sana kemari demi mengantarkan paket dan kiriman yang sebelumnya dipesan oleh pembeli secara online.
Tapi, ya, jangankan Pak Udin. Semua orang juga sibuk, kok. Dan rasanya siapa pun yang tinggal di Bumi Pertiwi tercinta akan tergerak untuk memasang bendera kebangsaan RI untuk menyambut momentum kemerdekaan. Tidak terkecuali, Pak Udin pasti lebih mengerti.
Kebetulan hari itu adalah hari Minggu. Pak Udin diberi libur kerja dan sekarang ia sedang santai bermain dengan anak semata wayangnya yang baru berusia 8 tahun.
Ya, anak beliau adalah seorang laki-laki yang sedang duduk di kelas 3 SD. Namanya Siddiq.
“Ayah, Ayah. Mengapa kok di halaman rumah kita tidak dipajang bendera merah putih? Kan sebentar lagi ada perayaan HUT ke-76 RI?”
“Tidak apa-apa, Nak. Toh sekarang jalan raya sedang sepi karena pandemi corona. Para tetangga juga jarang bertamu. Tambah lagi dengan Ayah, tiap hari Ayah bepergian ke sana kemari. Sudah puas rasanya melihat kibaran bendera.”
“Tapi Siddiq malu, Ayah! Masa teman-temanku bilang bahwa keluarga kita tidak mau mengenang jasa para pahlawan yang dulu berjuang melawan penjajah.”
“Lho, Siddiq kan setiap hari Senin melaksanakan upacara, kemudian juga mengheningkan cipta. Semua itu dilakukan untuk mengenang jasa para pahlawan, kan? Cukup. Ayah mau beli cemilan sebentar.”
Lagi-lagi Siddiq tidak puas dengan jawaban Pak Udin. Dirinya semakin bingung dan gelisah, entah apa alasan yang bakal ia katakan kepada guru maupun teman-temannya.
Ah, sudah! Itu urusan nanti. Siddiq pun menenangkan hatinya dengan membaca buku motivasi dan kisah perjuangan para pahlawan kemerdekaan.
Lima belas menit berlalu, Pak Udin pun sudah tiba di rumah sembari membawa sebungkus gorengan. Ketika ingin menyapa Siddiq, tiba-tiba Sang Ayah terdiam di sudut pintu seraya meneteskan air mata.
Pak Udin tak kuasa mendengar kata demi kata yang dibacakan oleh Siddiq dengan suara lantang.
“Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjasa dengan segitiga warna. Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk pekerjaan kita selesai! Berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyak keringat. Tertanda: Ir. Soekarno.”
Ayah sekaligus kurir ini menyadari bahwa dirinya sudah menyombongkan diri, merasa telah berbuat baik, menganggap profesi kurir sebagai seseorang yang paling berjasa di Bumi Indonesia. Padahal, perjuangan para pahlawan dahulu sungguh penuh dengan darah.
Tanpa berpikir panjang, Pak Udin pun segera mencari bendera merah putih yang selama ini tersimpan di lemari.
Bendera tersebut ternyata masih baru dan warnanya sangat cerah. Tapi sayang, karena tidak disilakan berkibar penampilannya jadi lusuh.
Bukan lusuh warna benderanya, tapi hati Pak Udin.
Lusuhnya bendera bisa dibersihkan dengan cara dicuci, tapi lusuhnya hati siapa yang tahu.
Butuh kerelaan untuk memahami, menghargai, merenungi, dan menghayati nilai-nilai kemerdekaan Indonesia. Salam Merdeka!