hackerrrr
Bagiku jalan-jalan ke pasar terutama pasar tradisional di suatu daerah atau negara, sama saja dengan mempelajari budaya daerah tersebut. Pasar yang dimaksud disini tentunya pasar tradisional, bukan pasar modern atau mal. Sudah jadi hobiku, kalau berkunjung ke suatu daerah, selalu mencari tempat belanja yang murah, meriah dan lengkap. Selain untuk membeli kebutuhan sehari-hari, juga untuk melihat proses jual beli sekaligus berinteraksi dengan masyarakat setempat. Sewaktu dinas di Waingapu, Sumba, tahun 2000 lalu, aku pernah berkunjung ke salah satu pasar tradisional disana untuk membeli sayur. Di pasar itu, tidak banyak penjual (atau mungkin aku kesiangan datangnya ya?), tidak banyak pilihan sayur yang aku dapatkan. Cabai rawit dan jeruk nipis tidak dijual kiloan, tapi ditempatkan di piring-piring plastik kecil. Harganya dijual per piring. Pilihan sayur tidak banyak, wortel yang dijual kelihatan kurang segar dan sedikit berakar. Ketika kutanyakan pada penjualnya, ternyata wortel diimpor eh maksudnya dibeli dari Bima, NTT.. wow, jauh juga. Pantas saja, harga sayuran cukup mahal. Setiap hari menu yang aku dapatkan di meja makan Pak Rektor (aku tinggal di rumah dinas Pak Rektor) selalu ikan. Lebih mudah mendapatkan ikan segar disana daripada sayuran segar. Ketika aku tinggal di Bangkok, hobiku juga menjelajah dari pasar ke pasar. Baik pasar Soi Sip (gang 10) Petchburi yang jadi langgananku hingga pasar terapung di Danerm Saduak. Disini, pun aku hobi menjelajah dari pasar ke pasar. Berbelanja sayuran dan buah segar yang lezat dan murah, hingga mencari ikan segar yang cukup sulit didapat. Justru di pasar aku bisa melihat berbagai aktivitas dan denyut nadi kehidupan suatu daerah. Bagaimana kejujuran dan ramah-tamah asli penduduk setempat. Disini, di negara yang aku tinggali saat ini, aku merasakan betapa jujurnya pedagang melakukan transaksi jual beli. Tak ada kecurangan dalam hal timbangan dan selalu berusaha memberikan uang kembalian secara jujur (tidak diganti dengan permen murahan seperti di supermarket Indonesia). Dengan berbelanja di pasar tradisional, justru sebetulnya kita membantu perekonomian golongan menengah ke bawah. Di pasar, aku sering bertemu petani yang datang langsung dari pelosok desa menjual hasil tanamannya seperti kentang, wortel, tomat, bawang Bombay segar dan bahkan kentangnya pun masih berselimut tanah, yang harganya tentu saja jauh lebih murah daripada di mal. Banyak ibu-ibu tua dan kakek-kakek renta mengadu nasib disini, ikut berjualan buah dan sayur. Dengan membeli buah dan sayur mereka, tentunya kita ikut membantu mereka mencari nafkah. Saat berkunjung ke Istanbul, tahun lalu, ada 2 pasar tua yang sempat aku kunjungi, yaitu Spice Bazaar (Misir Carsisi) dan Grand Bazaar (Kapalli Carsi). Spice Bazaar sudah ada sejak jaman Bizantium. Para pedagang yang berjualan disana pada mulanya berasal dari Jenewa dan Venice. Tempat ini juga digunakan para pedagang dari Mesir untuk berjualan bumbu dan rempah-rempah. Sehingga dulunya dikenal dengan nama ‘Egyptian Bazaar’ (Misir Carsisi). Pasar ini letaknya di belakang Yeni Camii (New Mosque) di daerah Eminonu, di tepi Selat Bosphorus. Pasar ini selesai direkonstruksi kembali pada tahun 1660 dengan jumlah toko sebanyak 80 buah. Namun saat ini terdapat ratusan pedagang dan toko menjajakan dagangannya. Begitu memasuki pasar ini, sudah tercium bau wangi sedap berbagai bumbu dan rempah-rempah yang warnanya mencolok berwarna-warni memanjakan mata. Selain bumbu dan rempah-rempah, kita juga bisa mendapatkan berbagai manisan khas Turki, berbagai macam keju, buah kering, bermacam selai hingga berbagai macam parfum dijual disini.