Di sebuah sekolah kecil yang terletak di tepi perbukitan, terdapat sebuah meja yang sudah berumur puluhan tahun. Meja itu terletak di sudut ruang perpustakaan sekolah, di bawah jendela besar yang menghadap ke halaman sekolah. Meja itu bukanlah meja biasa; ia adalah meja tua yang telah menyaksikan banyak cerita dan kenangan sepanjang bertahun-tahun.
Meja itu terbuat dari kayu tua yang sudah mulai menguning. Permukaannya dipenuhi dengan goresan-goresan, tanda-tanda pena yang telah menggores berbagai kisah, dari pelajaran matematika hingga puisi-puisi karya siswa. Setiap goresan di meja itu memiliki cerita tersendiri.
Pagi-pagi, ketika matahari mulai bersinar, meja itu menjadi tempat yang nyaman untuk duduk dan membaca buku. Anak-anak sekolah sering duduk di sekitar meja itu, membaca cerita-cerita petualangan, dan kadang-kadang mereka berbagi cerita mereka sendiri. Meja itu adalah saksi bisu dari tawa riang dan kegembiraan mereka.
Di tengah-tengah pelajaran, guru sering menggunakan meja itu sebagai tempat untuk menunjukkan contoh-contoh yang jelas. Meja itu telah menjadi bagian tak terpisahkan dari proses belajar mengajar di sekolah itu.
Pada saat istirahat, meja itu menjadi tempat berkumpulnya anak-anak sekolah. Mereka membawa bekal makan siang mereka dan berbagi cerita sambil makan bersama. Meja itu adalah saksi dari persahabatan yang terjalin di antara mereka.
Namun, meja tua itu juga pernah mengalami masa-masa sulit. Pernah suatu kali, ada siswa yang dengan sengaja mencoret-coret meja itu dengan spidol permanen. Tindakan itu membuat banyak orang marah, tetapi meja itu tetap setia berada di tempatnya, menunggu cerita-cerita baru yang akan datang.
Waktu terus berlalu, dan sekolah itu pun berkembang. Meja-meja baru yang lebih modern mulai menggantikan meja tua itu. Namun, meja tua itu tetap berada di sudut perpustakaan, sebagai pengingat akan kenangan-kenangan indah yang pernah terjadi di sekolah itu.
Ketika sekolah itu merayakan ulang tahunnya yang ke-50, para alumni dari berbagai generasi berkumpul di ruang perpustakaan. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan mengenang masa-masa mereka di sekolah itu. Meja tua itu, yang kini sudah agak reyot, tetap menjadi pusat perhatian. Para alumni teringat mengenai kenangan-kenangan yang mereka alami dengan meja itu, merenung tentang betapa berharganya kenangan-kenangan itu.
Pada suatu hari, ketika sekolah itu memutuskan untuk merenovasi perpustakaannya, meja tua itu dipindahkan ke ruang khusus yang disediakan untuk barang-barang bersejarah. Meja itu tetap menjadi simbol kenangan yang tak tergantikan bagi semua yang pernah merasakan sentuhan kebaikan sekolah itu.
Meja tua sekolah itu, yang mungkin terlihat biasa bagi banyak orang, adalah saksi bisu dari kenangan dan cerita-cerita yang tak terlupakan. Ia mengajarkan kita bahwa meskipun segala sesuatu bisa berubah, kenangan akan selalu ada dalam hati kita, seperti halnya meja tua yang selalu ada dalam perpustakaan sekolah, menjadi bagian dari warisan yang tak ternilai harganya.
Jawaban:
Meja Tua Kenangan
Di sebuah sekolah kecil yang terletak di tepi perbukitan, terdapat sebuah meja yang sudah berumur puluhan tahun. Meja itu terletak di sudut ruang perpustakaan sekolah, di bawah jendela besar yang menghadap ke halaman sekolah. Meja itu bukanlah meja biasa; ia adalah meja tua yang telah menyaksikan banyak cerita dan kenangan sepanjang bertahun-tahun.
Meja itu terbuat dari kayu tua yang sudah mulai menguning. Permukaannya dipenuhi dengan goresan-goresan, tanda-tanda pena yang telah menggores berbagai kisah, dari pelajaran matematika hingga puisi-puisi karya siswa. Setiap goresan di meja itu memiliki cerita tersendiri.
Pagi-pagi, ketika matahari mulai bersinar, meja itu menjadi tempat yang nyaman untuk duduk dan membaca buku. Anak-anak sekolah sering duduk di sekitar meja itu, membaca cerita-cerita petualangan, dan kadang-kadang mereka berbagi cerita mereka sendiri. Meja itu adalah saksi bisu dari tawa riang dan kegembiraan mereka.
Di tengah-tengah pelajaran, guru sering menggunakan meja itu sebagai tempat untuk menunjukkan contoh-contoh yang jelas. Meja itu telah menjadi bagian tak terpisahkan dari proses belajar mengajar di sekolah itu.
Pada saat istirahat, meja itu menjadi tempat berkumpulnya anak-anak sekolah. Mereka membawa bekal makan siang mereka dan berbagi cerita sambil makan bersama. Meja itu adalah saksi dari persahabatan yang terjalin di antara mereka.
Namun, meja tua itu juga pernah mengalami masa-masa sulit. Pernah suatu kali, ada siswa yang dengan sengaja mencoret-coret meja itu dengan spidol permanen. Tindakan itu membuat banyak orang marah, tetapi meja itu tetap setia berada di tempatnya, menunggu cerita-cerita baru yang akan datang.
Waktu terus berlalu, dan sekolah itu pun berkembang. Meja-meja baru yang lebih modern mulai menggantikan meja tua itu. Namun, meja tua itu tetap berada di sudut perpustakaan, sebagai pengingat akan kenangan-kenangan indah yang pernah terjadi di sekolah itu.
Ketika sekolah itu merayakan ulang tahunnya yang ke-50, para alumni dari berbagai generasi berkumpul di ruang perpustakaan. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan mengenang masa-masa mereka di sekolah itu. Meja tua itu, yang kini sudah agak reyot, tetap menjadi pusat perhatian. Para alumni teringat mengenai kenangan-kenangan yang mereka alami dengan meja itu, merenung tentang betapa berharganya kenangan-kenangan itu.
Pada suatu hari, ketika sekolah itu memutuskan untuk merenovasi perpustakaannya, meja tua itu dipindahkan ke ruang khusus yang disediakan untuk barang-barang bersejarah. Meja itu tetap menjadi simbol kenangan yang tak tergantikan bagi semua yang pernah merasakan sentuhan kebaikan sekolah itu.
Meja tua sekolah itu, yang mungkin terlihat biasa bagi banyak orang, adalah saksi bisu dari kenangan dan cerita-cerita yang tak terlupakan. Ia mengajarkan kita bahwa meskipun segala sesuatu bisa berubah, kenangan akan selalu ada dalam hati kita, seperti halnya meja tua yang selalu ada dalam perpustakaan sekolah, menjadi bagian dari warisan yang tak ternilai harganya.