“Hei.. Kemari, bermain denganku. Aku telah mengambil jantung Ibuku, kau bisa nampak nyata sekarang.”
—
“Ibu. Belikan Roma mainan baru Bu, Roma kesepian, Roma tak punya teman bermain di sini..” “Roma, apa kau tahu! Ibumu ini susah mencari uang! Jangan suka meminta hal yang aneh-aneh!” “Bu tapi Roma ingin punya mainan, seperti anak-anak yang lain” “cukup Roma, semua akan Ibu penuhi setelah kamu punya Ayah baru!” bentak ibu. Namaku Roma, aku anak berusia 10 tahun. Aku anak yatim, ayahku telah meninggal dunia, karena overdosis obat-obatan. Aku tinggal bersama ibuku, ibuku mengalami sedikit penyakit psikologis semenjak kematian ayahku. Ibu sering membentakku, memarahiku menghukumku tanpa sebab. Tapi aku tetap sayang ibuku.
“hei..” sapa Ciko. “iya Ciko..” “kau kenapa? Dimarahi lagi ya oleh Ibumu?” “iya Ciko, aku ingin mainan. Tapi tak dibelikan oleh Ibuku.” “kau tak butuh mainan Roma, kau butuh aku untuk menemanimu setiap hari” “kau sudah menemaniku setiap hari”
“tapi aku tak nyata, kau tahu kan” “aku tahu, kita berbeda Ciko, aku tak mampu membuatmu menjadi nyata, hanya aku yang dapat melihatmu. ” “kau bisa, Roma” “bagaimana?” “ambil jantung Ibumu Roma, buat aku menjadi nyata” “tak mungkin aku menyakiti Ibuku, aku sayang Ibuku, Ciko!” “justru, karena kau sayang Ibumu, kau harus mengembalikkannya kepada Tuhan, buat Ibumu bahagia di surga”
—
“Roma, Ibu malam ini akan pergi. Tetap jaga rumah, 2 jam lagi Ibu akan pulang. Kau tidur saja. Selamat malam Nak!” ibu mengecup keningku, dan aku mengabaikan ucapan ibu. Aku tak perlu bertanya kemana ibu akan pergi. Karena aku tahu pekerjaan ibu selama ini apa. Ibu hanya bekerja sebagai wanita bayaran. Mungkin benar kata Ciko, aku harus mengambil jantung ibuku. Agar dia tak terus-terusan seperti ini. Dua jam berlalu, benar saja ibu sudah pulang. Dia dalam keadaan mabuk. Aku menarik selimutku, untuk mengalihkan pandangan ibu. Aku melangkah ke dapur. Mengambil sebilah pisau. Aku berjalan menuju kamar ibuku.
Aku menemukannya sedang berbaring. “Maafkan aku Bu!” aku ******* mata ibuku, ********** menuju hidung, pipi, mulut, hingga dada. Aku ***** dan ku ***** tubuh ibu. Aku merasakan aura kebencian terhadap ibu. Ibu menjerit, meringis kesakitan. Darah berceceran di setiap sudut kamar. “Kau harus bahagia Bu. Maafkan Roma!” kini aku menemukan apa yang aku cari. Jantung ibuku!! Tunggu aku! Aku datang Ciko.
“Hei.. Kemari, bermain denganku. Aku telah mengambil jantung Ibuku, kau bisa nampak nyata sekarang.”
—
“Ibu. Belikan Roma mainan baru Bu, Roma kesepian, Roma tak punya teman bermain di sini..”
“Roma, apa kau tahu! Ibumu ini susah mencari uang! Jangan suka meminta hal yang aneh-aneh!”
“Bu tapi Roma ingin punya mainan, seperti anak-anak yang lain”
“cukup Roma, semua akan Ibu penuhi setelah kamu punya Ayah baru!” bentak ibu.
Namaku Roma, aku anak berusia 10 tahun. Aku anak yatim, ayahku telah meninggal dunia, karena overdosis obat-obatan. Aku tinggal bersama ibuku, ibuku mengalami sedikit penyakit psikologis semenjak kematian ayahku. Ibu sering membentakku, memarahiku menghukumku tanpa sebab. Tapi aku tetap sayang ibuku.
“hei..” sapa Ciko. “iya Ciko..”
“kau kenapa? Dimarahi lagi ya oleh Ibumu?”
“iya Ciko, aku ingin mainan. Tapi tak dibelikan oleh Ibuku.”
“kau tak butuh mainan Roma, kau butuh aku untuk menemanimu setiap hari”
“kau sudah menemaniku setiap hari”
“tapi aku tak nyata, kau tahu kan”
“aku tahu, kita berbeda Ciko, aku tak mampu membuatmu menjadi nyata, hanya aku yang dapat melihatmu. ”
“kau bisa, Roma”
“bagaimana?”
“ambil jantung Ibumu Roma, buat aku menjadi nyata”
“tak mungkin aku menyakiti Ibuku, aku sayang Ibuku, Ciko!”
“justru, karena kau sayang Ibumu, kau harus mengembalikkannya kepada Tuhan, buat Ibumu bahagia di surga”
—
“Roma, Ibu malam ini akan pergi. Tetap jaga rumah, 2 jam lagi Ibu akan pulang. Kau tidur saja. Selamat malam Nak!” ibu mengecup keningku, dan aku mengabaikan ucapan ibu. Aku tak perlu bertanya kemana ibu akan pergi. Karena aku tahu pekerjaan ibu selama ini apa. Ibu hanya bekerja sebagai wanita bayaran. Mungkin benar kata Ciko, aku harus mengambil jantung ibuku. Agar dia tak terus-terusan seperti ini. Dua jam berlalu, benar saja ibu sudah pulang. Dia dalam keadaan mabuk. Aku menarik selimutku, untuk mengalihkan pandangan ibu. Aku melangkah ke dapur. Mengambil sebilah pisau. Aku berjalan menuju kamar ibuku.
Aku menemukannya sedang berbaring. “Maafkan aku Bu!” aku ******* mata ibuku, ********** menuju hidung, pipi, mulut, hingga dada. Aku ***** dan ku ***** tubuh ibu. Aku merasakan aura kebencian terhadap ibu. Ibu menjerit, meringis kesakitan. Darah berceceran di setiap sudut kamar. “Kau harus bahagia Bu. Maafkan Roma!” kini aku menemukan apa yang aku cari. Jantung ibuku!! Tunggu aku! Aku datang Ciko.
Selesai