anzaltaluna
Pertama-tama adalah mengumpulkan bahan. Bahan untuk keris diperoleh dari tempat yang sulit, bahkan jauh. Tetapi sekarang lebih mudah karena sudah diidentifikasi beradasarkan nama kimia yang dimiliki masing-masing bahan tersebut. Bahkan sejumlah keris menggunakan bahan dari meteor yang berasal dari angkasa. Kasunanan Solo masih memiliki memiliki meteor ini yang disebut Kandjeng Kiai Meteor. Kasultanan Yogyakarta juga masih memiliki walaupun sisanya tinggal sedikit sekali. Terakhir, menurut alm Mpu Djeno, dibuat untuk keris pesanan HB X yang dikerjakan almarhum. Membuat tesis juga demikian. Bedanya bahan-bahannya adalah buku dan tulisan-tulisan. Kalau dulu harus berburu tulisan di perpustakaan, sekarang lebih mudah melalui jurnal elektronik. Namun demikian, fungsi perpustakaan tak pernah betul-betul secara signifikan berkurang. Berburu bahan thesis ini bisa menarik karena tidak terbatas sumbernya. Tantangan terbesarnya justru memilahnya sehingga yang digunakan betul-betul yang dibutuhkan. Tanpa petunjuk yang jelas, bahan thesis ini seperti akan menyesatkan seperti di rimba raya. Setelah bahan baku terkumpul, dimulailah proses pembuatan keris. Bahan baku yang awalnya sekitar 12 kg tersebut dibakar dengan suhu 1200 derajat celcius dan kemudian dibentuk. Dalam prosesnya, teknik membut keris disebut sebagai Damascus Technique yang mengadopsi gaya yang digunakan di Damaskus. Teknik ini adalah teknik lipatan dengan jumlah tertentu mengikuti bilangan 2, 4, 8, 16, 32 dan seterusnya sampai ribuan. Dalam proses lipatan ini, bisa dipadukan teknik tempaan tertentu sehingga menciptakan “gambar” di bilah keris yang disebut pamor. Nama pamor ini bermacam-macam misalnya Udan Mas, Blarak Sineret, Ilining Warih dst. Dalam proses penempaan ini, bahan keris yang tadinya seberat 12 kg hanya menjadi keris dengan berat 0,6 kg atau menghilangkan 11,4 kg. Bagian yang menjadi keris ini adalah intisari dari bahan-bahan sebelumnya dengan kualitas terbaik. Bagian yang bukan inti dibuang. Inilah proses paling panjang dan paling melelahkan dari pembuatan keris. Hampir semua keris yang sudah jadi, akan dapat berdiri tegak karena proses simetris pada tiap bilahnya yang dibuat dengan sangat teliti. Keris yang hampir jadi kemudian ditatah, diasah dan dihias sesuai dengan yang diinginkan. Keris dengan Pamor Nagasasra misalnya, menghabiskan waktu dan biaya yang sangat tinggi justru ketika dihias dengan emas, intan dan pemata. Bagian warangka atau sarungnya, dengan beberapa pernik-perniknya juga tidak kalah rumit dibuat. Setelah diasah dan diwarang atau diberi arsenic sebagai racun sekaligus pelindung bilah keris, keris jadi. Membuat thesis juga demikian. Dari puluhan ribu artikel yang dibaca dan dikumpulkan tersebut, mungkin hanya sebagian kecil yang akhirnya digunakan. Ribuan kata yang sudah ditulis, pada akhirnya memang harus dibuang. Setara dengan lipatan-lipatan yang ada dalam keris, penulisan thesis dengan lipatan-lipatan yang ada dalam menyusun argument harus betul-betul bagus. Memang agak sedih ketika tulisan yang sudah dibuat, dari proses yang tidak sebentar, pada akhirnya harus direvisi atau bahkan dibuang sama sekali. Proses yang pedih, tetapi inilah satu-satunya cara untuk mendapatkan “intisari” yang dikehendaki. Tanpa melalui proses menyedikan tersebut, intisari tidak akan pernah tercapai. Walaupun prosesnya mirip, tak semua Empu menghasilkan keris yang handal dan tidak semua doctor menghasilkan karya yang berguna untuk kemanusiaan. Banyak dari mereka, empu dan doctor karena proses lipatan dan proses menulis yang belum jadi, hanya menghasilkan seonggok karya yang hanya bisa dinikmati dirinya sendiri. Namun, sedikit dari mereka akhirnya menghasilkan sebuah masterpiece, dikenang orang sepanjang masa, bahkan ketika pembuatnya telah lama berada di alam baka. Kepada para master ini, saya selalu berdoa agar bisa mengikuti langkah-langkah mereka dan mendapatkan karya yang berguna untuk kemanusiaan.