esaarum05
Komersialisasi PendidikanKeluhan datang bertubi-tubi dari orangtua murid. Mereka mengeluh dengan besarnya biaya sekolah negeri dan swasta yang sama ganasnya dalam melakukan pungutan.
Istilah komersialisasi pendidikan akhir-akhir ini menjadi perhatian. Berbeda dengan tahun-tahun sebelum nya, keluhan komersialisai pendidikan pada tahun ini lebih masif. Unjuk rasa masyarakat mengatasnamakan keluhan orang tua murid. Pemerintah telah menegaskan bahwasannya pungutan boleh dilakukan asal terkendali dan tidak bersifat KOMERSIAL.
Penegasan seperti itu dianggap bukan merupakan pelangaran, namun pembenaran. Sekolah negeri dan perguruan tinggi negeri tak kalah mahal dengan milik swasta. Contohnya, uang penerimaan siswa baru di SMA negeri di Jakarta Timur Rp 7.375.000, sementara itu diSMA swasta di Jakarta Pusat Rp 11.718.000.
Resahnya orang tua mengingatkan para pengambil keputusan. Kendati Indonesia sudah puluhan tahun merdeka, belum pernah masalah pendidikan di tangani secara serius. Belum selesai tentang ujian, muncul persoalan kurikulum, kemerosotan mral dan mutu pendidikan, dan lain sebagainya.
Memang ada langkah untuk maju setapak setelah era reformasi bila dibanding dengan era sebelumnya. Dulu sebatas pentingnya pendidikan (pengembangan SDM), kini ada berbagai penambahan alokasi anggaran untuk pendidikan.
Untuk itu, tak perlu tercengang kaget saat Jepang mengalokasikan anggaran untuk pendidikan hingga seratus kali lipat dibanding Indonesia. Sebaliknya, harus kaget saat Banglades, yang notabenenya negara kecil mengalokasikan anggaran untuk pendidikan 2,9 persen dari anggaran nasional mereka. Sementara itu, Indonesia raya di era yang bersamaan hanya 1,4 persen.
Pendidikan merupakan sebuah tugas untuk masyarakat dan pemerintah. Saat praksis pendidikan tak lagi bisa dominan sebagai kegiatan sosial akan tetapi sebagai kegiatan bisnis, hukum dagang "ada rupa ada harga" jadi berlaku. Penyelenggara pendidikan serupa dengan lembaga bisnis. Tapi memang dari sanalah lembaga pendidikan swasta berkembang.
Saat pemerintah melakukan praktik yang sama, muncul sebuah pertanyaan, negeri dan swasta kok sama? Lembaga sekolah negeri sepertinya ikut "ganas" atau "MANGAS" dalam melakukan berbagai macam pungutan disekolah.
Anggaran cukup bukanlah segalanya. Akan tetapi ketersediaan anggaran baru memenuhi salah satu dari sekian banyak persyaratan praksis pendidikan. Tetapi, tentang ketersediaan anggaran dapat mencerminkan keseriusan perhatian, keberanian di dalam memberikan prioritas, dan sesuatu yang tak terselesaikan yang hanya menjadi wacana yang berkepanjangan.
2 votes Thanks 3
syavierhavierha1) Jumlah becak di Kota Solo sangat banyak. Alat transportasi ini masih disukai oleh warga Solo saat akan bepergian dalam jarak dekat. Selain itu, keberadaan becak juga mendukung program Solo sebagai Kota Budaya. Wisatawan dapat menggunakan becak untuk berkeliling kota. Namun begitu, persoalan juga muncul dengan keberadaan becak tersebut. Lalu lintas Kota Solo menjadi semakin padat. Selain itu, pelanggaran lalu lintas sering dilakukan oleh para pengemudi becak, yang tentunya menambah padat lalu lintas, bahkan dapat terjadi kecelakaan.
Istilah komersialisasi pendidikan akhir-akhir ini menjadi perhatian. Berbeda dengan tahun-tahun sebelum nya, keluhan komersialisai pendidikan pada tahun ini lebih masif. Unjuk rasa masyarakat mengatasnamakan keluhan orang tua murid. Pemerintah telah menegaskan bahwasannya pungutan boleh dilakukan asal terkendali dan tidak bersifat KOMERSIAL.
Penegasan seperti itu dianggap bukan merupakan pelangaran, namun pembenaran. Sekolah negeri dan perguruan tinggi negeri tak kalah mahal dengan milik swasta. Contohnya, uang penerimaan siswa baru di SMA negeri di Jakarta Timur Rp 7.375.000, sementara itu diSMA swasta di Jakarta Pusat Rp 11.718.000.
Resahnya orang tua mengingatkan para pengambil keputusan. Kendati Indonesia sudah puluhan tahun merdeka, belum pernah masalah pendidikan di tangani secara serius. Belum selesai tentang ujian, muncul persoalan kurikulum, kemerosotan mral dan mutu pendidikan, dan lain sebagainya.
Memang ada langkah untuk maju setapak setelah era reformasi bila dibanding dengan era sebelumnya. Dulu sebatas pentingnya pendidikan (pengembangan SDM), kini ada berbagai penambahan alokasi anggaran untuk pendidikan.
Untuk itu, tak perlu tercengang kaget saat Jepang mengalokasikan anggaran untuk pendidikan hingga seratus kali lipat dibanding Indonesia. Sebaliknya, harus kaget saat Banglades, yang notabenenya negara kecil mengalokasikan anggaran untuk pendidikan 2,9 persen dari anggaran nasional mereka. Sementara itu, Indonesia raya di era yang bersamaan hanya 1,4 persen.
Pendidikan merupakan sebuah tugas untuk masyarakat dan pemerintah. Saat praksis pendidikan tak lagi bisa dominan sebagai kegiatan sosial akan tetapi sebagai kegiatan bisnis, hukum dagang "ada rupa ada harga" jadi berlaku. Penyelenggara pendidikan serupa dengan lembaga bisnis. Tapi memang dari sanalah lembaga pendidikan swasta berkembang.
Saat pemerintah melakukan praktik yang sama, muncul sebuah pertanyaan, negeri dan swasta kok sama? Lembaga sekolah negeri sepertinya ikut "ganas" atau "MANGAS" dalam melakukan berbagai macam pungutan disekolah.
Anggaran cukup bukanlah segalanya. Akan tetapi ketersediaan anggaran baru memenuhi salah satu dari sekian banyak persyaratan praksis pendidikan. Tetapi, tentang ketersediaan anggaran dapat mencerminkan keseriusan perhatian, keberanian di dalam memberikan prioritas, dan sesuatu yang tak terselesaikan yang hanya menjadi wacana yang berkepanjangan.