Buatlah suatu cerita fiksi singkat yang bertema sejarah kemerdekaan indonesia!
Lanithyaz
"Ah, Ayah," aku segera menyambut seorang lelaki tinggi di depan pintu yang sudah dibuka oleh Ibu sedari siang. Lelaki tinggi itu, baju putihnya kotor oleh debu, begitu pula celana panjangnya. Lelaki itu segera menjatuhkan dirinya ke lantai semen licin. Ibu dan aku buru-buru menghampirinya.
"Ayah," kataku, menaikkan satu oktaf nada suara asliku, "Ayah... tolonglah, jangan paksakan diri Ayah, payahlah Ayah berjalan kaki untuk membeli beras jauh-jauh ke Toko Abah Chang..."
Sementara Ibu setengah marah, lebih jelas menampakkan kemarahannya. "Ayah, sejak sepeda Ayah disita oleh tentara Jepang itu, janganlah Ayah coba-coba berjalan kaki lagi ke Toko Abah Chang! Biarlah kita makan nasi bersama Mimi..."
Ibu memang khawatir pada Ayah, yang belakangan makin lesu, sejak sepedanya disita oleh seorang tentara Jepang di tengah perjalanan pulang sebulan lalu. Sejak sepedanya disita itulah, dia selalu berjalan kaki. Selama 4 jam, demi membeli sekantong beras untuk kami bertiga. Dirinya, Ibu dan aku.
Ayah mengabaikan Ibu. "Oh... Sayang, kau tak tahu saja... sudah tidak ada lagi kok satu pun tentara Jepang yang berkeliaran di jalanan tadi. Keadaan kita sudah aman."
Dia menampakkan gigi-giginya. "Dua hari lalu, lagipula, kita kan sudah merdeka. Dan tentara-tentara Jepang itu... sudah tak punya daya lagi di negeri kita. Jadi... janganlah kalian khawatir lagi. Ayah tidak apa-apa..."
Hening.
Aku pun memecah keheningan. "Terimakasih banyak telah payah membeli beras ini, Yah. Dan..." aku menggenggam tangan ayahku, "... semoga negeri ini bisa menjadi lebih baik. Dengan kemerdekaan kita... dua hari lalu."
Ibu memejamkan mata. "Mari berdoa. Akan lebih banyak peristiwa besar terjadi, Nak... dan bersabarlah. Ini... baru awal dari sejarah besar kita."
Aku memejamkan mata. Teringat aku; akan saat-saat Portugis datang ke Banten dulu, lalu Belanda mulai berkuasa, dan tak tahan lagi kami warga Indonesia dari penjajah... elit-elit terpelajar mulai melakukan perlawanan kepada pemerintah kolonial. Jepang datang, Belanda pergi dari kami... dan kami kira awalnya segalanya akan membaik. Ternyata..
Ayah bersusah payah menyembunyikanku, putrinya, dari tentara Jepang, tanpa kenal lelah dan tak peduli apapun tingkahku selama disembunyikan olehnya. Sementara Ibu bersusah payah mencari beras, lantaran harta benda kami diperas habis-habisan oleh tentara Jepang demi pemasukan mereka.
Dan setelah sekian lama, akhirnya kami bertiga bisa bernafas sedikit lega... karena pada 17 Agustus, 2 hari lalu, proklamasi kemerdekaan negeri ini pun diumumkan.
Aku dapat mencium aroma ketegangan hari ini.. untuk masa depan negeri ini.
Kami akan meloncat ke mimpi masa depan. Harapan kami, impian kami yang telah lama... dirindukan.
"Ayah," kataku, menaikkan satu oktaf nada suara asliku, "Ayah... tolonglah, jangan paksakan diri Ayah, payahlah Ayah berjalan kaki untuk membeli beras jauh-jauh ke Toko Abah Chang..."
Sementara Ibu setengah marah, lebih jelas menampakkan kemarahannya. "Ayah, sejak sepeda Ayah disita oleh tentara Jepang itu, janganlah Ayah coba-coba berjalan kaki lagi ke Toko Abah Chang! Biarlah kita makan nasi bersama Mimi..."
Ibu memang khawatir pada Ayah, yang belakangan makin lesu, sejak sepedanya disita oleh seorang tentara Jepang di tengah perjalanan pulang sebulan lalu. Sejak sepedanya disita itulah, dia selalu berjalan kaki. Selama 4 jam, demi membeli sekantong beras untuk kami bertiga. Dirinya, Ibu dan aku.
Ayah mengabaikan Ibu. "Oh... Sayang, kau tak tahu saja... sudah tidak ada lagi kok satu pun tentara Jepang yang berkeliaran di jalanan tadi. Keadaan kita sudah aman."
Dia menampakkan gigi-giginya. "Dua hari lalu, lagipula, kita kan sudah merdeka. Dan tentara-tentara Jepang itu... sudah tak punya daya lagi di negeri kita. Jadi... janganlah kalian khawatir lagi. Ayah tidak apa-apa..."
Hening.
Aku pun memecah keheningan. "Terimakasih banyak telah payah membeli beras ini, Yah. Dan..." aku menggenggam tangan ayahku, "... semoga negeri ini bisa menjadi lebih baik. Dengan kemerdekaan kita... dua hari lalu."
Ibu memejamkan mata. "Mari berdoa. Akan lebih banyak peristiwa besar terjadi, Nak... dan bersabarlah. Ini... baru awal dari sejarah besar kita."
Aku memejamkan mata. Teringat aku; akan saat-saat Portugis datang ke Banten dulu, lalu Belanda mulai berkuasa, dan tak tahan lagi kami warga Indonesia dari penjajah... elit-elit terpelajar mulai melakukan perlawanan kepada pemerintah kolonial. Jepang datang, Belanda pergi dari kami... dan kami kira awalnya segalanya akan membaik. Ternyata..
Ayah bersusah payah menyembunyikanku, putrinya, dari tentara Jepang, tanpa kenal lelah dan tak peduli apapun tingkahku selama disembunyikan olehnya. Sementara Ibu bersusah payah mencari beras, lantaran harta benda kami diperas habis-habisan oleh tentara Jepang demi pemasukan mereka.
Dan setelah sekian lama, akhirnya kami bertiga bisa bernafas sedikit lega... karena pada 17 Agustus, 2 hari lalu, proklamasi kemerdekaan negeri ini pun diumumkan.
Aku dapat mencium aroma ketegangan hari ini.. untuk masa depan negeri ini.
Kami akan meloncat ke mimpi masa depan. Harapan kami, impian kami yang telah lama... dirindukan.
~TAMAT~
(maaf nunggu lama