Uni keluar dari kelasnya ketika bel istirahat berbunyi. Aku masih duduk di bangkuku, menunggu Pak Ahmad keluar kelas. Setelah Pak Ahmad keluar kelas, aku mengikuti Uni keluar kelas. Kulihat dia memandangi pohon apel yang belum kunjung berbuah. Aku menghampiri Uni yang berdiri di dekat pohon apel.
Aku duduk di sebuah kursi panjang di belakang Uni. Tiba-tiba saja sesuatu pertanyaan terbesit di hatiku. Apakah Uni menginginkan apel? Begitulah pertanyaanku. Ingin kutanyakan itu kepadanya, tapi entah mengapa begitu sulit untuk mengucapkannya.
Karena bingung, aku memainkan jari-jariku. Aku membuat nada dengan jari-jari yang memukul dengan lembut alas kursi. Uni berbalik. Ia tampaknya mendengar nada buatanku yang sangat kecil suaranya. “Eh, Ika! Sudah lama, ya, di sini?” tanya Uni. “Enggak, kok. Aku baru saja di sini,” jawabku. “Kamu ngapain, sih, selalu ke sini?” aku balik bertanya. “Ka, kamu tahu, kan, kalau aku baru sekali makan apel! Aku ingin makan apel lagi, apalagi apel merah. Hmmm, pasti enak dimakan panas-panas begini,” jelas Uni.
Aku mendongak ke atas. Hari ini memang panas. Banyak murid yang membeli es hanya untuk menyegarkan tenggorokan. Padahal, ada air galon yang lebih sehat. Aku kembali memperhatikan Uni yang terus-terusan memandangi pohon apel. “Memangnya itu pohon apel merah?” tanyaku kurang yakin. “Iya! Waktu aku masih TK, aku ke sini sambil makan apel merah. Bijinya aku buang di sini, persis!” Uni meyakinkan.
Aku berdiri lalu meninggalkan Uni yang masih asyik dengan pohon apel merahnya. Aku berjalan ke kelas, mengambil gelas plastik dari dalam laci mejaku. Aku isi gelas itu dengan air galon yang sangat menyegarkan.
Glek … glek … glek …Air galon itu sangat segar. Aku sampai terheran-heran, mengapa teman-teman tidak mau meminumnya. Tiba-tiba, aku teringat kembali akan keinginan Uni untuk memakan apel merah. Bersamaan dengan itu, aku mempunyai ide untuk memberikan kejutan kepada Uni.
Keesokan harinya, aku datang lebih pagi dengan apel-apel merah yang cukup banyak. Setelah meletakkan tas di kelas yang masih sepi, aku mengambil plastik putih yang berisi beberapa apel dan tali rafia. Aku berlari menuju pohon apel merah Uni yang dekat dengan kelas.
Aku berdiri di dekat pohon apel merah Uni. Aku mencari tangga agar aku bisa mengaitkan apel-apel merah ke ranting-ranting pohon apel merah Uni. Setelah cukup lama mencari, aku akhirnya menemukan tangga lalu segera mendirikannya di dekat pohon apel merah Uni yang cukup besar.
Satu per satu apel telah aku kaitkan di ranting pohon apel Uni. Uni pasti akan terkejut ketika melihatnya. Ia akan bersorak gembira. Ia juga akan tertawa terbahak-bahak karena apelnya bertangkaikan tali rafia.
Setelah melewati pelajaran yang cukup panjang, bel istirahat berbunyi. Seperti biasa, Uni keluar kelas lebih dulu untuk melihat pohon apel merahnya. Aku meengikuti Uni dari belakang dengan langkah perlahan, agar ia tidak tahu.
Sesampainya di tujuan, aku duduk di kursi penjang. Aku memainkan jari-jariku lagi. Kali ini, Uni tidak mendengarnya. Tiba-tiba, aku mendengar jeritan dari balik pohon apel. Aku berdiri lalu menghampiri sumber suara tersebut. “Ika, lihat! Pohon apelnya sudah berbuah! Asyik …, aku akan makan apel merah!” seru Uni.
Aku mengangguk, ikut senang. Uni berlari ke halaman belakang lalu kembali dengan sebuah tangga. Ia segera mendirikan tangga itu ke dekat pohon apel. Uni mulai menaikinya dan mengambil satu per stau apel yang ada di ranting pohon.
Uni turun dari tangga. Tampak beberapa apel di tangannya. Tapi, setelah itu ia tampak terheran-heran karena ada tali rafia di tangkai apelnya. Uni pun berniat mengambil apel lagi untuk memcocokkan. Ia naik lagi untuk mengambil apel lebih banyak lagi. Ketika turun, ia mendapati hal yang serupa. “Kok, pakai tali rafia? Wah, pasti ini apel ajaib,” kata Uni. “Ngawur! Itu pasti ada orang yang mengaitkannya!” serbuku. “Masa? Hahahaha … keren juga idenya! Makasih untuk yang sudah mengaitkan apel ini untukku!” seru Uni dengan tawanya yang khas.
Aku senang, bisa memberi Uni apel merah yang sangat ia impikan. Semoga saja ia senang dengan apa yang telah ia dapat, apel merah. Di kelas, Uni membagi-bagikan apel merah kepada teman-teman yang ada di kelas. Semua murid di kelasku makan apel merah bersama-sama. Dan …, yang habis paling banyak adalah Uni!
0 votes Thanks 3
bungamawarputih
Pada suatu hari ada sepasang kembar bernama Mi dan Mu.Sang ibu berharap Mi dan Mu tumbuh menjadi anak yang mandiri dan cerdas.Tapi sayang walaupun mandiri, Mi tidak secerdas kakaknya,Mu. Sang Ibu selaaaaluuu membanggakan Mu bahkan berkata Mi lebih mirip ayahnya ke orang2 sekitar.Mi pun sedih sekali ketika mengetahui hal tersebut.Mi berharap Ibunya sadar setiap orang pasti ada kelebihan ada kekurangan.
Uni keluar dari kelasnya ketika bel istirahat berbunyi. Aku masih duduk di bangkuku, menunggu Pak Ahmad keluar kelas. Setelah Pak Ahmad keluar kelas, aku mengikuti Uni keluar kelas. Kulihat dia memandangi pohon apel yang belum kunjung berbuah. Aku menghampiri Uni yang berdiri di dekat pohon apel.
Aku duduk di sebuah kursi panjang di belakang Uni. Tiba-tiba saja sesuatu pertanyaan terbesit di hatiku. Apakah Uni menginginkan apel? Begitulah pertanyaanku. Ingin kutanyakan itu kepadanya, tapi entah mengapa begitu sulit untuk mengucapkannya.
Karena bingung, aku memainkan jari-jariku. Aku membuat nada dengan jari-jari yang memukul dengan lembut alas kursi. Uni berbalik. Ia tampaknya mendengar nada buatanku yang sangat kecil suaranya.
“Eh, Ika! Sudah lama, ya, di sini?” tanya Uni.
“Enggak, kok. Aku baru saja di sini,” jawabku. “Kamu ngapain, sih, selalu ke sini?” aku balik bertanya.
“Ka, kamu tahu, kan, kalau aku baru sekali makan apel! Aku ingin makan apel lagi, apalagi apel merah. Hmmm, pasti enak dimakan panas-panas begini,” jelas Uni.
Aku mendongak ke atas. Hari ini memang panas. Banyak murid yang membeli es hanya untuk menyegarkan tenggorokan. Padahal, ada air galon yang lebih sehat. Aku kembali memperhatikan Uni yang terus-terusan memandangi pohon apel.
“Memangnya itu pohon apel merah?” tanyaku kurang yakin.
“Iya! Waktu aku masih TK, aku ke sini sambil makan apel merah. Bijinya aku buang di sini, persis!” Uni meyakinkan.
Aku berdiri lalu meninggalkan Uni yang masih asyik dengan pohon apel merahnya. Aku berjalan ke kelas, mengambil gelas plastik dari dalam laci mejaku. Aku isi gelas itu dengan air galon yang sangat menyegarkan.
Glek … glek … glek …Air galon itu sangat segar. Aku sampai terheran-heran, mengapa teman-teman tidak mau meminumnya. Tiba-tiba, aku teringat kembali akan keinginan Uni untuk memakan apel merah. Bersamaan dengan itu, aku mempunyai ide untuk memberikan kejutan kepada Uni.
Keesokan harinya, aku datang lebih pagi dengan apel-apel merah yang cukup banyak. Setelah meletakkan tas di kelas yang masih sepi, aku mengambil plastik putih yang berisi beberapa apel dan tali rafia. Aku berlari menuju pohon apel merah Uni yang dekat dengan kelas.
Aku berdiri di dekat pohon apel merah Uni. Aku mencari tangga agar aku bisa mengaitkan apel-apel merah ke ranting-ranting pohon apel merah Uni. Setelah cukup lama mencari, aku akhirnya menemukan tangga lalu segera mendirikannya di dekat pohon apel merah Uni yang cukup besar.
Satu per satu apel telah aku kaitkan di ranting pohon apel Uni. Uni pasti akan terkejut ketika melihatnya. Ia akan bersorak gembira. Ia juga akan tertawa terbahak-bahak karena apelnya bertangkaikan tali rafia.
Setelah melewati pelajaran yang cukup panjang, bel istirahat berbunyi. Seperti biasa, Uni keluar kelas lebih dulu untuk melihat pohon apel merahnya. Aku meengikuti Uni dari belakang dengan langkah perlahan, agar ia tidak tahu.
Sesampainya di tujuan, aku duduk di kursi penjang. Aku memainkan jari-jariku lagi. Kali ini, Uni tidak mendengarnya. Tiba-tiba, aku mendengar jeritan dari balik pohon apel. Aku berdiri lalu menghampiri sumber suara tersebut.
“Ika, lihat! Pohon apelnya sudah berbuah! Asyik …, aku akan makan apel merah!” seru Uni.
Aku mengangguk, ikut senang. Uni berlari ke halaman belakang lalu kembali dengan sebuah tangga. Ia segera mendirikan tangga itu ke dekat pohon apel. Uni mulai menaikinya dan mengambil satu per stau apel yang ada di ranting pohon.
Uni turun dari tangga. Tampak beberapa apel di tangannya. Tapi, setelah itu ia tampak terheran-heran karena ada tali rafia di tangkai apelnya. Uni pun berniat mengambil apel lagi untuk memcocokkan. Ia naik lagi untuk mengambil apel lebih banyak lagi. Ketika turun, ia mendapati hal yang serupa.
“Kok, pakai tali rafia? Wah, pasti ini apel ajaib,” kata Uni.
“Ngawur! Itu pasti ada orang yang mengaitkannya!” serbuku.
“Masa? Hahahaha … keren juga idenya! Makasih untuk yang sudah mengaitkan apel ini untukku!” seru Uni dengan tawanya yang khas.
Aku senang, bisa memberi Uni apel merah yang sangat ia impikan. Semoga saja ia senang dengan apa yang telah ia dapat, apel merah. Di kelas, Uni membagi-bagikan apel merah kepada teman-teman yang ada di kelas. Semua murid di kelasku makan apel merah bersama-sama. Dan …, yang habis paling banyak adalah Uni!