Luthfiyyaaah
Gadis itu. Gadis berambut pirang dengan iris mata berwarna biru safir yang indah. Namanya Aisyah Nabila Zahra. Nama yang cantik, seperti orangnya. Kata ayahku, dulu, saat dia baru lahir, Tante Ita (ibunya) dan Om Vino (ayahnya) sangat bingung untuk mencarikan untaian nama yang indah untuk putri mereka. Akhirnya ayahku mengusulkan nama itu, Aisyah Nabila Zafirah. Nama yang tidak jauh berbeda dengan namaku, Annisa Nayla Zahirah. Aisyah adalah putri dari sahabat orang tuaku. Orang tua Aisyah sendiri adalah muallaf. Mereka pindah ke Indonesia secara terpisah sebelum akhirnya dipertemukan oleh ayah dan ibuku. Sedari kecil, kami telah bermain bersama. Bahkan dari TK sampai sekarang, kelas 3 SMA, kami selalu sekelas. Kami dekat, bahkan sangat dekat, dulunya.
Hingga anak laki-laki pindahan dari Bandung itu menginjakkan kaki di kelas kami. Aku tertarik kepadanya. Ya, dengan tubuh yang tinggi tegap dan wajah yang rupawan, dengan mudah ia menarik perhatian seluruh murid perempuan di sekolah kami. Tetapi beberapa hari ini, Revan--nama pria itu--lebih sering bersama dengan Aisyah. Aku dan beberapa murid perempuan lain cemburu, tentunya. Sejak saat itu, aku mulai menjaga jarak dengan Aisyah, dan Aisyah lebih sering menyendiri disini. Ya, dia menyendiri, meringkuk, dan mencabuti rumput yang ada di tempat ini.
Hingga anak laki-laki pindahan dari Bandung itu menginjakkan kaki di kelas kami. Aku tertarik kepadanya. Ya, dengan tubuh yang tinggi tegap dan wajah yang rupawan, dengan mudah ia menarik perhatian seluruh murid perempuan di sekolah kami. Tetapi beberapa hari ini, Revan--nama pria itu--lebih sering bersama dengan Aisyah. Aku dan beberapa murid perempuan lain cemburu, tentunya. Sejak saat itu, aku mulai menjaga jarak dengan Aisyah, dan Aisyah lebih sering menyendiri disini. Ya, dia menyendiri, meringkuk, dan mencabuti rumput yang ada di tempat ini.