Setiap tahunnya di desa Mekar Sari diadakan acara Maulid Nabi di masjid setempat. Hal ini untuk memperingati hari kelahiran Rasulullah Muhammad SAW. Fatih tampak begitu gembira menyambutnya. Baginya hal ini tak lebih dari mendapatkan kue yang enak dan juga banyak.
Pagi itu, ia membantu umminya membuat kue yang akan disumbangkan.
“Nak, tolong ambilkan mentega di atas meja!” segera Fatih mengambilnya, dalam sekejap umminya mencapur mentega itu dengan bahan yang lain.
Sebelum dzuhur kue yang ia buat bersama umminya sudah terbungkus rapi. Kemudian umminya meletakkan kue itu ke dalam rantang yang bersusun 4. Fatih juga mengambil bagian dalam hal itu.
Fatih bersiap-siap untuk berangkat ke masjid. Ia memakai sarung bermotif kotak-kotak warna biru senada dengan baju koko yang dikenakan. Tak lupa kopiah hitam ia letakkan di atas kepalannya.
“Ummi, Fatih sudah siap!” ia menghampiri umminya yang masih sibuk merapikan kerudungnya.
“Tunggu sebentar ya!” jawab umminya.
Tepat jam 11 mereka sudah beranjak ke luar rumah menuju masjid. Meski acara Maulid Nabi akan dimulai sesudah shalat dzuhur, nampak anak-anak sebaya Fatih yang telah memadati teras masjid. Ia langsung berbaur dengan mereka, sedangkan umminya berjalan ke arah rumah di samping masjid.
Setengah jam setelah shalat dzuhur, orang berdatangan semakin banyak. Acara pun dimulai. Dengan penuh semangat anak-anak itu bershalawat. Setelah itu acara dilanjutkan dengan pengisian ceramah dari ustadz Rahmat. Kali ini tak terdengar suara yang beradu dengan suara dari ustadz yang biasa mengajar anak TPA di masjid itu. Dengan seksama mereka mendengarkannya.
Momen yang ditunggu pun tiba. Pembagian kue yang di dalamnya juga terdapat nasi, mendapat perhatian lebih bagi anak-anak. Mereka cenderung ingin mendapatkan lebih dari satu. Tidak terkecuali Fatih. Secara bergilir meraka membagikannya sampai pada orang yang ada paling pojok.
Fatih keluar dari masjid dengan menenteng dua kresek warna putih. Di dalamnya terlihat ada kue serta buah rambutan dan salak. Sengaja ia mengambil bagian yang terdapat buah salak, kesukaannya. Ia pun sukses mendapatkan dua bagian meski sebenarnya ia bisa mendapatkan lebih dari itu. Waktu ia ingin membawa tiga bungkus, tangannya tak cukup kuat untuk membawanya.
Di halam masjid berkumpul anak-anak perempuan. Mereka juga berharap bisa mendapat bagian. Ada yang sudah mendapatkannya, tapi ada juga tangan mereka yang masih kosong. Melihat semua itu ia teringat pesan umminya.
“Fatih nanti jangan bawa lebih dari satu ya! Kasian kan temannya jika belum dapat bagian karena Fatih mengambil yang bukan haknya.”
Diantara kerumunan itu, nampak Imah teman sekelasnya yang belum mendapatkan bagian. Fatih menghampirinya.
“Kamu belum dapat ya?”
“Iya,” jawab Imah, matanya tertuju pada kedua tangan Fatih.
“Ini untuk kamu,” tanpa ragu Fatih memberikan apa yang ia pegang di tangan kanannya.
“Terima kasih, Fatih!”
Sekejap kemudian mereka berpisah karena jalan pulang yang dituju berlawanan arah. Di perjalanan Fatih bergabung dengan teman-teman lainnya. Dani, Fasya, dan Wildan yang berada tak jauh di depannya. Mereka sibuk melihat isi dari apa yang telah didapat.
“Wah, punyaku ada apelnya,” teriak Wildan sambil menunjukkan buah apelnya.
“Punyaku tidak ada buahnya,” ucap Fasya dengan nada kecewa.
Dani nampak tidak tertarik dengan pembicaraan temannya. Ia menikmati kue lumpur yang didapatnya. Fatih yang melihat hal itu spontan saja bersuara, “Kue itu buatan aku sama ummi, lo!” Dani tak berkomentar.
“Fatih, kayaknya punyamu ada banyak buahnya,” Fasya mengomentari isi dari kresek yang dibawa Fatih.
“Oh, Iya. Kamu mau? Ini, ambil rambutannya!” kali ini ia mencoba melindungi buah salaknya.
“Benarkah? Tidak apalah buah rambutan. Sebenarnya sih aku mau salaknya,” Fasya mengambil rambutan dari tangan Fatih.
Fatih berpencar lebih dulu dari teman-temannya. Rumahnya memiliki jarak yang paling dekat dengan masjid.
Di rumah, ia bercerita kejadian yang baru dialami pada umminya. Dengan bangga, ia bercerita kejadian tentang Imah. Umminya mendengarkan sesekali bertanya yang membuat Fatih lebih semangat untuk bercerita.
“Terus, Pak Ustadznya cerita tentang apa tadi?”
“Kata Pak Ustadz, Maulid Nabi itu untuk memperingati hari kelahiran Rasulullah.” Fatih bercerita sambil melahap buah salak kesukaannya.
“Terus!” pancing umminya.
“ Rasulullah itu lahir di bulan Rabiul Awal. Kalau Fatih, kapan lahirnya, Mi?”
“Fatih lahirnya bulan Safar.” umminya hanya tersenyum melihat anaknya.
Sekarang Fatih sudah bisa mengerti makna di balik perayaan Maulid Nabi yang sebenarnya.
Setiap tahunnya di desa Mekar Sari diadakan acara Maulid Nabi di masjid setempat. Hal ini untuk memperingati hari kelahiran Rasulullah Muhammad SAW. Fatih tampak begitu gembira menyambutnya. Baginya hal ini tak lebih dari mendapatkan kue yang enak dan juga banyak.
Pagi itu, ia membantu umminya membuat kue yang akan disumbangkan.
“Nak, tolong ambilkan mentega di atas meja!” segera Fatih mengambilnya, dalam sekejap umminya mencapur mentega itu dengan bahan yang lain.
Sebelum dzuhur kue yang ia buat bersama umminya sudah terbungkus rapi. Kemudian umminya meletakkan kue itu ke dalam rantang yang bersusun 4. Fatih juga mengambil bagian dalam hal itu.
Fatih bersiap-siap untuk berangkat ke masjid. Ia memakai sarung bermotif kotak-kotak warna biru senada dengan baju koko yang dikenakan. Tak lupa kopiah hitam ia letakkan di atas kepalannya.
“Ummi, Fatih sudah siap!” ia menghampiri umminya yang masih sibuk merapikan kerudungnya.
“Tunggu sebentar ya!” jawab umminya.
Tepat jam 11 mereka sudah beranjak ke luar rumah menuju masjid. Meski acara Maulid Nabi akan dimulai sesudah shalat dzuhur, nampak anak-anak sebaya Fatih yang telah memadati teras masjid. Ia langsung berbaur dengan mereka, sedangkan umminya berjalan ke arah rumah di samping masjid.
Setengah jam setelah shalat dzuhur, orang berdatangan semakin banyak. Acara pun dimulai. Dengan penuh semangat anak-anak itu bershalawat. Setelah itu acara dilanjutkan dengan pengisian ceramah dari ustadz Rahmat. Kali ini tak terdengar suara yang beradu dengan suara dari ustadz yang biasa mengajar anak TPA di masjid itu. Dengan seksama mereka mendengarkannya.
Momen yang ditunggu pun tiba. Pembagian kue yang di dalamnya juga terdapat nasi, mendapat perhatian lebih bagi anak-anak. Mereka cenderung ingin mendapatkan lebih dari satu. Tidak terkecuali Fatih. Secara bergilir meraka membagikannya sampai pada orang yang ada paling pojok.
Fatih keluar dari masjid dengan menenteng dua kresek warna putih. Di dalamnya terlihat ada kue serta buah rambutan dan salak. Sengaja ia mengambil bagian yang terdapat buah salak, kesukaannya. Ia pun sukses mendapatkan dua bagian meski sebenarnya ia bisa mendapatkan lebih dari itu. Waktu ia ingin membawa tiga bungkus, tangannya tak cukup kuat untuk membawanya.
Di halam masjid berkumpul anak-anak perempuan. Mereka juga berharap bisa mendapat bagian. Ada yang sudah mendapatkannya, tapi ada juga tangan mereka yang masih kosong. Melihat semua itu ia teringat pesan umminya.
“Fatih nanti jangan bawa lebih dari satu ya! Kasian kan temannya jika belum dapat bagian karena Fatih mengambil yang bukan haknya.”
Diantara kerumunan itu, nampak Imah teman sekelasnya yang belum mendapatkan bagian. Fatih menghampirinya.
“Kamu belum dapat ya?”
“Iya,” jawab Imah, matanya tertuju pada kedua tangan Fatih.
“Ini untuk kamu,” tanpa ragu Fatih memberikan apa yang ia pegang di tangan kanannya.
“Terima kasih, Fatih!”
Sekejap kemudian mereka berpisah karena jalan pulang yang dituju berlawanan arah. Di perjalanan Fatih bergabung dengan teman-teman lainnya. Dani, Fasya, dan Wildan yang berada tak jauh di depannya. Mereka sibuk melihat isi dari apa yang telah didapat.
Sekejap kemudian mereka berpisah karena jalan pulang yang dituju berlawanan arah. Di perjalanan Fatih bergabung dengan teman-teman lainnya. Dani, Fasya, dan Wildan yang berada tak jauh di depannya. Mereka sibuk melihat isi dari apa yang telah didapat.
“Wah, punyaku ada apelnya,” teriak Wildan sambil menunjukkan buah apelnya.
“Punyaku tidak ada buahnya,” ucap Fasya dengan nada kecewa.
Dani nampak tidak tertarik dengan pembicaraan temannya. Ia menikmati kue lumpur yang didapatnya. Fatih yang melihat hal itu spontan saja bersuara, “Kue itu buatan aku sama ummi, lo!” Dani tak berkomentar.
“Fatih, kayaknya punyamu ada banyak buahnya,” Fasya mengomentari isi dari kresek yang dibawa Fatih.
“Oh, Iya. Kamu mau? Ini, ambil rambutannya!” kali ini ia mencoba melindungi buah salaknya.
“Benarkah? Tidak apalah buah rambutan. Sebenarnya sih aku mau salaknya,” Fasya mengambil rambutan dari tangan Fatih.
Fatih berpencar lebih dulu dari teman-temannya. Rumahnya memiliki jarak yang paling dekat dengan masjid.
Di rumah, ia bercerita kejadian yang baru dialami pada umminya. Dengan bangga, ia bercerita kejadian tentang Imah. Umminya mendengarkan sesekali bertanya yang membuat Fatih lebih semangat untuk bercerita.
“Terus, Pak Ustadznya cerita tentang apa tadi?”
“Kata Pak Ustadz, Maulid Nabi itu untuk memperingati hari kelahiran Rasulullah.” Fatih bercerita sambil melahap buah salak kesukaannya.
“Terus!” pancing umminya.
“ Rasulullah itu lahir di bulan Rabiul Awal. Kalau Fatih, kapan lahirnya, Mi?”
“Fatih lahirnya bulan Safar.” umminya hanya tersenyum melihat anaknya.
Sekarang Fatih sudah bisa mengerti makna di balik perayaan Maulid Nabi yang sebenarnya.
Setiap tahunnya di desa Mekar Sari diadakan acara Maulid Nabi di masjid setempat. Hal ini untuk memperingati hari kelahiran Rasulullah Muhammad SAW. Fatih tampak begitu gembira menyambutnya. Baginya hal ini tak lebih dari mendapatkan kue yang enak dan juga banyak.
Pagi itu, ia membantu umminya membuat kue yang akan disumbangkan.
“Nak, tolong ambilkan mentega di atas meja!” segera Fatih mengambilnya, dalam sekejap umminya mencapur mentega itu dengan bahan yang lain.
Sebelum dzuhur kue yang ia buat bersama umminya sudah terbungkus rapi. Kemudian umminya meletakkan kue itu ke dalam rantang yang bersusun 4. Fatih juga mengambil bagian dalam hal itu.
Fatih bersiap-siap untuk berangkat ke masjid. Ia memakai sarung bermotif kotak-kotak warna biru senada dengan baju koko yang dikenakan. Tak lupa kopiah hitam ia letakkan di atas kepalannya.
“Ummi, Fatih sudah siap!” ia menghampiri umminya yang masih sibuk merapikan kerudungnya.
“Tunggu sebentar ya!” jawab umminya.
Tepat jam 11 mereka sudah beranjak ke luar rumah menuju masjid. Meski acara Maulid Nabi akan dimulai sesudah shalat dzuhur, nampak anak-anak sebaya Fatih yang telah memadati teras masjid. Ia langsung berbaur dengan mereka, sedangkan umminya berjalan ke arah rumah di samping masjid.
Setengah jam setelah shalat dzuhur, orang berdatangan semakin banyak. Acara pun dimulai. Dengan penuh semangat anak-anak itu bershalawat. Setelah itu acara dilanjutkan dengan pengisian ceramah dari ustadz Rahmat. Kali ini tak terdengar suara yang beradu dengan suara dari ustadz yang biasa mengajar anak TPA di masjid itu. Dengan seksama mereka mendengarkannya.
Momen yang ditunggu pun tiba. Pembagian kue yang di dalamnya juga terdapat nasi, mendapat perhatian lebih bagi anak-anak. Mereka cenderung ingin mendapatkan lebih dari satu. Tidak terkecuali Fatih. Secara bergilir meraka membagikannya sampai pada orang yang ada paling pojok.
Fatih keluar dari masjid dengan menenteng dua kresek warna putih. Di dalamnya terlihat ada kue serta buah rambutan dan salak. Sengaja ia mengambil bagian yang terdapat buah salak, kesukaannya. Ia pun sukses mendapatkan dua bagian meski sebenarnya ia bisa mendapatkan lebih dari itu. Waktu ia ingin membawa tiga bungkus, tangannya tak cukup kuat untuk membawanya.
Di halam masjid berkumpul anak-anak perempuan. Mereka juga berharap bisa mendapat bagian. Ada yang sudah mendapatkannya, tapi ada juga tangan mereka yang masih kosong. Melihat semua itu ia teringat pesan umminya.
“Fatih nanti jangan bawa lebih dari satu ya! Kasian kan temannya jika belum dapat bagian karena Fatih mengambil yang bukan haknya.”
Diantara kerumunan itu, nampak Imah teman sekelasnya yang belum mendapatkan bagian. Fatih menghampirinya.
“Kamu belum dapat ya?”
“Iya,” jawab Imah, matanya tertuju pada kedua tangan Fatih.
“Ini untuk kamu,” tanpa ragu Fatih memberikan apa yang ia pegang di tangan kanannya.
“Terima kasih, Fatih!”
Sekejap kemudian mereka berpisah karena jalan pulang yang dituju berlawanan arah. Di perjalanan Fatih bergabung dengan teman-teman lainnya. Dani, Fasya, dan Wildan yang berada tak jauh di depannya. Mereka sibuk melihat isi dari apa yang telah didapat.
“Wah, punyaku ada apelnya,” teriak Wildan sambil menunjukkan buah apelnya.
“Punyaku tidak ada buahnya,” ucap Fasya dengan nada kecewa.
Dani nampak tidak tertarik dengan pembicaraan temannya. Ia menikmati kue lumpur yang didapatnya. Fatih yang melihat hal itu spontan saja bersuara, “Kue itu buatan aku sama ummi, lo!” Dani tak berkomentar.
“Fatih, kayaknya punyamu ada banyak buahnya,” Fasya mengomentari isi dari kresek yang dibawa Fatih.
“Oh, Iya. Kamu mau? Ini, ambil rambutannya!” kali ini ia mencoba melindungi buah salaknya.
“Benarkah? Tidak apalah buah rambutan. Sebenarnya sih aku mau salaknya,” Fasya mengambil rambutan dari tangan Fatih.
Fatih berpencar lebih dulu dari teman-temannya. Rumahnya memiliki jarak yang paling dekat dengan masjid.
Di rumah, ia bercerita kejadian yang baru dialami pada umminya. Dengan bangga, ia bercerita kejadian tentang Imah. Umminya mendengarkan sesekali bertanya yang membuat Fatih lebih semangat untuk bercerita.
“Terus, Pak Ustadznya cerita tentang apa tadi?”
“Kata Pak Ustadz, Maulid Nabi itu untuk memperingati hari kelahiran Rasulullah.” Fatih bercerita sambil melahap buah salak kesukaannya.
“Terus!” pancing umminya.
“ Rasulullah itu lahir di bulan Rabiul Awal. Kalau Fatih, kapan lahirnya, Mi?”
“Fatih lahirnya bulan Safar.” umminya hanya tersenyum melihat anaknya.
Sekarang Fatih sudah bisa mengerti makna di balik perayaan Maulid Nabi yang sebenarnya.
jadikan jawaban terbaik ya
Jawaban:
Setiap tahunnya di desa Mekar Sari diadakan acara Maulid Nabi di masjid setempat. Hal ini untuk memperingati hari kelahiran Rasulullah Muhammad SAW. Fatih tampak begitu gembira menyambutnya. Baginya hal ini tak lebih dari mendapatkan kue yang enak dan juga banyak.
Pagi itu, ia membantu umminya membuat kue yang akan disumbangkan.
“Nak, tolong ambilkan mentega di atas meja!” segera Fatih mengambilnya, dalam sekejap umminya mencapur mentega itu dengan bahan yang lain.
Sebelum dzuhur kue yang ia buat bersama umminya sudah terbungkus rapi. Kemudian umminya meletakkan kue itu ke dalam rantang yang bersusun 4. Fatih juga mengambil bagian dalam hal itu.
Fatih bersiap-siap untuk berangkat ke masjid. Ia memakai sarung bermotif kotak-kotak warna biru senada dengan baju koko yang dikenakan. Tak lupa kopiah hitam ia letakkan di atas kepalannya.
“Ummi, Fatih sudah siap!” ia menghampiri umminya yang masih sibuk merapikan kerudungnya.
“Tunggu sebentar ya!” jawab umminya.
Tepat jam 11 mereka sudah beranjak ke luar rumah menuju masjid. Meski acara Maulid Nabi akan dimulai sesudah shalat dzuhur, nampak anak-anak sebaya Fatih yang telah memadati teras masjid. Ia langsung berbaur dengan mereka, sedangkan umminya berjalan ke arah rumah di samping masjid.
Setengah jam setelah shalat dzuhur, orang berdatangan semakin banyak. Acara pun dimulai. Dengan penuh semangat anak-anak itu bershalawat. Setelah itu acara dilanjutkan dengan pengisian ceramah dari ustadz Rahmat. Kali ini tak terdengar suara yang beradu dengan suara dari ustadz yang biasa mengajar anak TPA di masjid itu. Dengan seksama mereka mendengarkannya.
Momen yang ditunggu pun tiba. Pembagian kue yang di dalamnya juga terdapat nasi, mendapat perhatian lebih bagi anak-anak. Mereka cenderung ingin mendapatkan lebih dari satu. Tidak terkecuali Fatih. Secara bergilir meraka membagikannya sampai pada orang yang ada paling pojok.
Fatih keluar dari masjid dengan menenteng dua kresek warna putih. Di dalamnya terlihat ada kue serta buah rambutan dan salak. Sengaja ia mengambil bagian yang terdapat buah salak, kesukaannya. Ia pun sukses mendapatkan dua bagian meski sebenarnya ia bisa mendapatkan lebih dari itu. Waktu ia ingin membawa tiga bungkus, tangannya tak cukup kuat untuk membawanya.
Di halam masjid berkumpul anak-anak perempuan. Mereka juga berharap bisa mendapat bagian. Ada yang sudah mendapatkannya, tapi ada juga tangan mereka yang masih kosong. Melihat semua itu ia teringat pesan umminya.
“Fatih nanti jangan bawa lebih dari satu ya! Kasian kan temannya jika belum dapat bagian karena Fatih mengambil yang bukan haknya.”
Diantara kerumunan itu, nampak Imah teman sekelasnya yang belum mendapatkan bagian. Fatih menghampirinya.
“Kamu belum dapat ya?”
“Iya,” jawab Imah, matanya tertuju pada kedua tangan Fatih.
“Ini untuk kamu,” tanpa ragu Fatih memberikan apa yang ia pegang di tangan kanannya.
“Terima kasih, Fatih!”
Sekejap kemudian mereka berpisah karena jalan pulang yang dituju berlawanan arah. Di perjalanan Fatih bergabung dengan teman-teman lainnya. Dani, Fasya, dan Wildan yang berada tak jauh di depannya. Mereka sibuk melihat isi dari apa yang telah didapat.
Sekejap kemudian mereka berpisah karena jalan pulang yang dituju berlawanan arah. Di perjalanan Fatih bergabung dengan teman-teman lainnya. Dani, Fasya, dan Wildan yang berada tak jauh di depannya. Mereka sibuk melihat isi dari apa yang telah didapat.
“Wah, punyaku ada apelnya,” teriak Wildan sambil menunjukkan buah apelnya.
“Punyaku tidak ada buahnya,” ucap Fasya dengan nada kecewa.
Dani nampak tidak tertarik dengan pembicaraan temannya. Ia menikmati kue lumpur yang didapatnya. Fatih yang melihat hal itu spontan saja bersuara, “Kue itu buatan aku sama ummi, lo!” Dani tak berkomentar.
“Fatih, kayaknya punyamu ada banyak buahnya,” Fasya mengomentari isi dari kresek yang dibawa Fatih.
“Oh, Iya. Kamu mau? Ini, ambil rambutannya!” kali ini ia mencoba melindungi buah salaknya.
“Benarkah? Tidak apalah buah rambutan. Sebenarnya sih aku mau salaknya,” Fasya mengambil rambutan dari tangan Fatih.
Fatih berpencar lebih dulu dari teman-temannya. Rumahnya memiliki jarak yang paling dekat dengan masjid.
Di rumah, ia bercerita kejadian yang baru dialami pada umminya. Dengan bangga, ia bercerita kejadian tentang Imah. Umminya mendengarkan sesekali bertanya yang membuat Fatih lebih semangat untuk bercerita.
“Terus, Pak Ustadznya cerita tentang apa tadi?”
“Kata Pak Ustadz, Maulid Nabi itu untuk memperingati hari kelahiran Rasulullah.” Fatih bercerita sambil melahap buah salak kesukaannya.
“Terus!” pancing umminya.
“ Rasulullah itu lahir di bulan Rabiul Awal. Kalau Fatih, kapan lahirnya, Mi?”
“Fatih lahirnya bulan Safar.” umminya hanya tersenyum melihat anaknya.
Sekarang Fatih sudah bisa mengerti makna di balik perayaan Maulid Nabi yang sebenarnya.
MOHON MAAF TERLALU PANJANG:)