Seperti saat masa dahulu, ketika tiket transportasi publik masih belum bisa dipesan secara daring. Kerap kita jumpai antrean calon pemudik masih banyak berjejer--bahkan hingga bermalam di depan loket-loket pemesanan tiket di stasiun-stasiun di Jakarta dan sekitarnya. Akan tetapi, ketika saat ini pemesanan sudah bisa melalui daring, masih ada pula yang begadang---tentunya begadang sambil terus memperhatikan gawai---demi mendapatkan tiket mudik.
Dengan perjuangan yang keras untuk bisa sampai ke kampung halaman, apakah pemudik itu kapok untuk mudik di Lebaran berikutnya? Mungkin saja ada yang iya. Tapi menurut saya, pengalaman pengalaman dalam perjalanan mudik itu justru malah membuat mayoritas pemudik itu tak keberatan untuk menghadapi kesulitan dan tantangan yang sama setiap hendak mudik Lebaran.
Bagi para pemudik, hal-hal yang dialami dari mulai sebelum hingga sepanjang perjalanan mudik itu, seolah menjadi pengalaman yang bisa diceritakan saat berkumpul bersama keluarga di kampun pada momen Idul Fitri nanti. Kesulitan dan rintangan serta tantangan di saat mudik, bagi mereka ya itulah seninya menggunakan bertransportasi publik di saat ultra peak season.
Akan tetapi, kedua orang tua saya yang notabene perantau dari Jawa Timur ke Jakarta, justru sangat jarang mudik saat Lebaran. Biasanya mereka memilih untuk mengunjungi keluarganya di Jawa Timur pada saat libur kenaikan kelas anak-anaknya, atau sesempatnya saja. Bagi mereka, Lebaran di tanah rantau pun tak mengurangi esensi dalam berlebaran. Bagi mereka, toh di Jabodetabek dan sekitarnya juga ada sanak famili dan kerabat serta rekan-rekan yang bisa dikunjungi untuk bersilaturahmi saat Lebaran. Begitulah kira kira .
Jawaban:
Mudik, Sebuah Potret dan seni transportasi publik
Seperti saat masa dahulu, ketika tiket transportasi publik masih belum bisa dipesan secara daring. Kerap kita jumpai antrean calon pemudik masih banyak berjejer--bahkan hingga bermalam di depan loket-loket pemesanan tiket di stasiun-stasiun di Jakarta dan sekitarnya. Akan tetapi, ketika saat ini pemesanan sudah bisa melalui daring, masih ada pula yang begadang---tentunya begadang sambil terus memperhatikan gawai---demi mendapatkan tiket mudik.
Dengan perjuangan yang keras untuk bisa sampai ke kampung halaman, apakah pemudik itu kapok untuk mudik di Lebaran berikutnya? Mungkin saja ada yang iya. Tapi menurut saya, pengalaman pengalaman dalam perjalanan mudik itu justru malah membuat mayoritas pemudik itu tak keberatan untuk menghadapi kesulitan dan tantangan yang sama setiap hendak mudik Lebaran.
Bagi para pemudik, hal-hal yang dialami dari mulai sebelum hingga sepanjang perjalanan mudik itu, seolah menjadi pengalaman yang bisa diceritakan saat berkumpul bersama keluarga di kampun pada momen Idul Fitri nanti. Kesulitan dan rintangan serta tantangan di saat mudik, bagi mereka ya itulah seninya menggunakan bertransportasi publik di saat ultra peak season.
Akan tetapi, kedua orang tua saya yang notabene perantau dari Jawa Timur ke Jakarta, justru sangat jarang mudik saat Lebaran. Biasanya mereka memilih untuk mengunjungi keluarganya di Jawa Timur pada saat libur kenaikan kelas anak-anaknya, atau sesempatnya saja. Bagi mereka, Lebaran di tanah rantau pun tak mengurangi esensi dalam berlebaran. Bagi mereka, toh di Jabodetabek dan sekitarnya juga ada sanak famili dan kerabat serta rekan-rekan yang bisa dikunjungi untuk bersilaturahmi saat Lebaran. Begitulah kira kira .