Ujian nasional tak habis menjadi perbincangan di dalam dunia pendidikan nasional. Setelah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan memutuskan ujian nasional tidak lagi sebagai penentu kelulusan, kini pemerintah mencoba pelaksanaan ujian nasional berbasis komputer.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNGSiswa kelas XII SMA 90 Jakarta mengikuti uji coba ujian nasional di sekolah mereka, Senin (23/2). Rencana pemerintah melaksanakan ujian nasional berbasis komputer hingga kini masih menjadi perdebatan.
Mulai tahun ajaran ini, ujian nasional berbasis komputer akan diselenggarakan di sejumlah sekolah. Alasannya, ujian berbasis komputer lebih hemat biaya karena tidak menggunakan kertas, pelaksanaan dapat lebih jujur, serta hasil lebih cepat diperoleh murid, orangtua, dan sekolah.
Pada tahap awal, pemerintah menyasar sekolah-sekolah yang dulunya berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional. Harapannya, di sekolah-sekolah itu, fasilitas pendidikan jauh lebih baik, termasuk dalam hal ketersediaan komputer dan jaringan internet. Dulu, status "bertaraf internasional" itu disertai dengan pelimpahan anggaran guna melengkapi fasilitas pendidikan. Saat ini, ada sekitar 450 sekolah menengah pertama/sekolah menengah atas/sekolah menengah kejuruan yang direkomendasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengikuti ujian nasional berbasis komputer.
Semula terdapat tiga opsi ujian nasional berbasis komputer yang dipertimbangkan, yakni ujian secara offline, online, dan semionline. Namun, dengan pertimbangan ketersediaan dan kestabilan jaringan internet, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memilih menguji coba ujian nasional berbasis komputer dengan sistem semionline alias semidaring. Itu berarti para murid mengerjakan soal ujian nasional tidak dalam jaringan sehingga tidak melibatkan koneksi internet. Proses dalam jaringan hanya terjadi pada saat sinkronisasi naskah soal serta pengiriman hasil pengerjaan soal oleh peserta didik dari server pusat ke server sekolah dan sebaliknya. Bentuk soal, yakni pilihan ganda, sama saja dengan ujian dengan menggunakan kertas.
Belum siap
Meski ujian nasional tidak dilakukan dalam jaringan, kesiapan sejumlah fasilitas, seperti rasio komputer dan murid 1:3, adanya 10 komputer cadangan, genset untuk antisipasi listrik padam saat ujian, dan staf yang menguasai teknologi informasi dan komunikasi mesti dipenuhi sekolah.
Kenyataannya, komputer yang merupakan fasilitas dasar di sekolah pun tak mudah dipenuhi, bahkan di sekolah-sekolah yang direkomendasikan sebagai peserta ujian nasional berbasis komputer. Itu belum bicara soal ketersediaan dan kestabilan jaringan internet. Dari penelusuran Kompas ke sejumlah sekolah yang direkomendasikan, ternyata jumlah komputer masih kurang sehingga sekolah ragu-ragu ikut serta dalam ujian nasional berbasis komputer.
Di SMAN 68 Jakarta dan SMAN 34 Jakarta, misalnya, jumlah komputer hanya ada sekitar 40 unit bagi sekitar 270 murid yang akan menjadi peserta ujian. Bahkan, Kepala SMPN 19 Jakarta Joko Suranto akan memutuskan untuk tidak mengikuti ujian nasional berbasis komputer karena kekurangan komputer. Sekolah-sekolah itu sempat mempertimbangkan untuk penggunaan komputer pangku (laptop) pribadi untuk ujian (Kompas, 3/3).
Rasio unit komputer dan murid menjadi penting. Ujian nasional berbasis komputer hanya dapat dilakukan maksimal tiga kloter dalam sehari, artinya murid bergantian melaksanakan ujian. Oleh karena itu, dalam satu hari hanya dilaksanakan ujian untuk 1 mata pelajaran. Berbeda dengan ujian nasional menggunakan kertas yang dalam 1 hari bisa dilaksanakan untuk dua mata pelajaran.
Persiapan lain yang dibutuhkan sekolah ialah petunjuk teknis dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Petunjuk teknis itu bukan hanya menertibkan sekolah dalam menjalankan ujian nasional, melainkan juga memudahkan kepala sekolah menjelaskan kepada orangtua tentang sistem baru itu.
Sekalipun ujian nasional tidak lagi menjadi penentu kelulusan, nilai-nilainya masih akan menjadi pertimbangan dalam penerimaan murid baru dan mahasiswa baru, terutama lewat jalur seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN). Dengan demikian, murid dan orangtua masih tetap berkepentingan terhadap nilai ujian nasional tersebut. Ketika nilai murid rendah, ujian berbasis komputer rawan dituding sebagai penyebab.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sejak jauh hari sudah membatasi bahwa hanya sekolah yang siap yang dapat mengikuti ujian nasional berbasis komputer. Sekolah yang sudah direkomendasikan pun akan tetap diverifikasi kesiapannya. Nah, sebaiknya, sekolah tidak terburu-buru ikut menjalankan ujian nasional berbasis komputer jika belum benar-benar siap. Peserta didik tetap harus menjadi prioritas, jangan sampai dikorbankan.
Ujian nasional tak habis menjadi perbincangan di dalam dunia pendidikan nasional. Setelah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan memutuskan ujian nasional tidak lagi sebagai penentu kelulusan, kini pemerintah mencoba pelaksanaan ujian nasional berbasis komputer.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNGSiswa kelas XII SMA 90 Jakarta mengikuti uji coba ujian nasional di sekolah mereka, Senin (23/2). Rencana pemerintah melaksanakan ujian nasional berbasis komputer hingga kini masih menjadi perdebatan.Mulai tahun ajaran ini, ujian nasional berbasis komputer akan diselenggarakan di sejumlah sekolah. Alasannya, ujian berbasis komputer lebih hemat biaya karena tidak menggunakan kertas, pelaksanaan dapat lebih jujur, serta hasil lebih cepat diperoleh murid, orangtua, dan sekolah.
Pada tahap awal, pemerintah menyasar sekolah-sekolah yang dulunya berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional. Harapannya, di sekolah-sekolah itu, fasilitas pendidikan jauh lebih baik, termasuk dalam hal ketersediaan komputer dan jaringan internet. Dulu, status "bertaraf internasional" itu disertai dengan pelimpahan anggaran guna melengkapi fasilitas pendidikan. Saat ini, ada sekitar 450 sekolah menengah pertama/sekolah menengah atas/sekolah menengah kejuruan yang direkomendasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengikuti ujian nasional berbasis komputer.
Semula terdapat tiga opsi ujian nasional berbasis komputer yang dipertimbangkan, yakni ujian secara offline, online, dan semionline. Namun, dengan pertimbangan ketersediaan dan kestabilan jaringan internet, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memilih menguji coba ujian nasional berbasis komputer dengan sistem semionline alias semidaring. Itu berarti para murid mengerjakan soal ujian nasional tidak dalam jaringan sehingga tidak melibatkan koneksi internet. Proses dalam jaringan hanya terjadi pada saat sinkronisasi naskah soal serta pengiriman hasil pengerjaan soal oleh peserta didik dari server pusat ke server sekolah dan sebaliknya. Bentuk soal, yakni pilihan ganda, sama saja dengan ujian dengan menggunakan kertas.
Belum siap
Meski ujian nasional tidak dilakukan dalam jaringan, kesiapan sejumlah fasilitas, seperti rasio komputer dan murid 1:3, adanya 10 komputer cadangan, genset untuk antisipasi listrik padam saat ujian, dan staf yang menguasai teknologi informasi dan komunikasi mesti dipenuhi sekolah.
Kenyataannya, komputer yang merupakan fasilitas dasar di sekolah pun tak mudah dipenuhi, bahkan di sekolah-sekolah yang direkomendasikan sebagai peserta ujian nasional berbasis komputer. Itu belum bicara soal ketersediaan dan kestabilan jaringan internet. Dari penelusuran Kompas ke sejumlah sekolah yang direkomendasikan, ternyata jumlah komputer masih kurang sehingga sekolah ragu-ragu ikut serta dalam ujian nasional berbasis komputer.
Di SMAN 68 Jakarta dan SMAN 34 Jakarta, misalnya, jumlah komputer hanya ada sekitar 40 unit bagi sekitar 270 murid yang akan menjadi peserta ujian. Bahkan, Kepala SMPN 19 Jakarta Joko Suranto akan memutuskan untuk tidak mengikuti ujian nasional berbasis komputer karena kekurangan komputer. Sekolah-sekolah itu sempat mempertimbangkan untuk penggunaan komputer pangku (laptop) pribadi untuk ujian (Kompas, 3/3).
Rasio unit komputer dan murid menjadi penting. Ujian nasional berbasis komputer hanya dapat dilakukan maksimal tiga kloter dalam sehari, artinya murid bergantian melaksanakan ujian. Oleh karena itu, dalam satu hari hanya dilaksanakan ujian untuk 1 mata pelajaran. Berbeda dengan ujian nasional menggunakan kertas yang dalam 1 hari bisa dilaksanakan untuk dua mata pelajaran.
Persiapan lain yang dibutuhkan sekolah ialah petunjuk teknis dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Petunjuk teknis itu bukan hanya menertibkan sekolah dalam menjalankan ujian nasional, melainkan juga memudahkan kepala sekolah menjelaskan kepada orangtua tentang sistem baru itu.
Sekalipun ujian nasional tidak lagi menjadi penentu kelulusan, nilai-nilainya masih akan menjadi pertimbangan dalam penerimaan murid baru dan mahasiswa baru, terutama lewat jalur seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN). Dengan demikian, murid dan orangtua masih tetap berkepentingan terhadap nilai ujian nasional tersebut. Ketika nilai murid rendah, ujian berbasis komputer rawan dituding sebagai penyebab.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sejak jauh hari sudah membatasi bahwa hanya sekolah yang siap yang dapat mengikuti ujian nasional berbasis komputer. Sekolah yang sudah direkomendasikan pun akan tetap diverifikasi kesiapannya. Nah, sebaiknya, sekolah tidak terburu-buru ikut menjalankan ujian nasional berbasis komputer jika belum benar-benar siap. Peserta didik tetap harus menjadi prioritas, jangan sampai dikorbankan.