innah1234
Kesultanan Jailolo secara utuh dari raja pertamanya “Kolano Daradjati”. Daftar sisilah raja-raja Jailolo tersebut terdiri dari tiga bagian. Lembaran besar adalah uraian daftar sisilah yang skemanya diuraikan seperti “pohon terbalik” yang seluruh tulisan nama-namanya beraksara Arab, satu lembar lagi adalah salinan ulang yang juga dalam aksara Arab namun lebih diperinci dan diperjelas dengan melingkari tiap-tiap nama yang tertera karena lembaran aslinya sudah hampir lapuk, sedangkan satu lagi lembar kecil bertuliskan huruf arab dan yang berlafadz-kan bahasa Tidore adalah Surat Keterangan yang manjelaskan tentang daftar sisilah tersebut. Sebelum Sdr. Abdullah “Abdul Rahman Haryanto” Syah dinobatkan menjadi Sultan Jailolo masa kini, para keturunan Sultan Doa yang tersebar di mana-mana yakni di Tidore (Soa Sambelo, Mareku dan Toloa), pulau Ternate (Dufa-Dufa), pulau Moti, pulau Makian dan di pulau Ambon sesuai alur dalam daftar sisilah tersebut, mereka seakan telah menutup diri untuk memikirkan “ke-Jailolo-an” nya. Bagi mereka itu semua adalah bagian dari masa lalu. Mungkin yang mereka pikirkan adalah; Cukup kami anak-cucu tahu bahwa nenek moyang kami memang berasal dari Jailolo, itu saja. Dan mungkin juga semboyan latin; “Ibi Bene Ubi Patria – yang berarti ; Dimana hidupku senang di situlah tanah airku” yang ada dalam pikiran mereka, Wallahu wa’lam. Hanya mereka yang tahu. Apalagi setelah dinobatkannya Sdr. Abdullah “Abdul Rahman Haryanto” Syah menjadi “symbol” kesultanan Jailolo modern, membuat ke-tertutup-an mereka semakin rapat. Mengingat hampir semua dari mereka tahu bahwa keturunan Sultan Doa hijrah ke pulau Tidore dan menjadi kawula kesultanan Tidore dan diberikan sebuah kawasan untuk membangun pemukiman (Soa Sambelo – Sabua ma belo) waktu itu adalah akibat dari pergolakan politik intern antar bangsawan di istana Jailolo ketika itu, beliau menyingkir meninggalkan takhtanya dengan tujuan menghindari perang saudara dan pertumpahan darah yang lebih dahsyat lagi yang bisa mengancam kelangsungan dan kehormatan Buldan Jailolo di Limau Tagalaya – Jailolo. Muhammad Arif Bila (dalam sisilah tersebut ditulis Sultan Gugu Alam) adalah keturunan ke-8 dari Prins Gugu Alam. Prins Gugu Alam adalah nenek moyang keturunan kedelapan ke atas dari Sultan Gugu Alam alias Muhammad Arif Bila – Ada beberapa nama yang sama dalam sisilah ini, namun pada jenjang dan periode yang berbeda waktunya. Prins Gugu Alam adalah adalah adik bungsu dari Sultan Doa dan Prins Prentah. Mereka bertiga adalah anak dari Sultan Yusuf , Sultan Jailolo yang menjadi Sultan Jailolo di tanah Jailolo (Limau Tagalaya) sekitar tahun 1500-an, data tahun yang tepat belum bisa dipastikan. Muhamad Arif Bila memiliki 4 orang putera. Ayah dari Muhamad Arif Bila yakni Syah Yusuf (lain dengan Sultan Yusuf yang ayahnya Sultan Doa, beda periode) adalah bangsawan Jailolo yang hijrah ke pulau Makian di desa Tahane. Muhammad Arif Bila sebelum diangkat oleh Sultan Nuku dari Tidore untuk manjadi Sultan Jailolo I (pada periode kedua sejarah kronologis kesultanan Jailolo) beliau sebelumnya menjabat sebagai Sangadji Tahane. Setelah itu selama sekitar 13 tahun jabatannya meningkat menjadi Jogugu kesultanan Tidore pada saat berkuasanya Sultan Kamaluddin dari Tidore (1784-1797) yang tidak lain adalah kakak dari Nuku. Ketika Nuku baru menjadi Sultan di Tidore Muhammad Arif Bila adalah seorang panglima yang handal. Setelah Nuku mengangkat Muhamad Arif Bila menjadi Sultan Jailolo I (sebutan menurut catatan dari sumber Belanda), tidak semua orang di pulau Halmahera (Utara) mengakui keabsahan dia sebagai Sultan Jailolo, lagi pula mereka yang mengklaim dirinya sebagai Sultan Jailolo ini (sejak tahun 1637 hingga 1918 saat dibuang ke Cianjur) mereka tidak pernah berkuasa di atas tanah Jailolo itu sendiri, melainkan hanya menjadi Sultan Jailolo di pengasingan saja seperti di Weda dan Halmahera belakang termasuk juga juga di pulau Seram.
Sdr. Abdullah “Abdul Rahman Haryanto” Syah dinobatkan menjadi Sultan Jailolo masa kini, para keturunan Sultan Doa yang tersebar di mana-mana yakni di Tidore (Soa Sambelo, Mareku dan Toloa), pulau Ternate (Dufa-Dufa), pulau Moti, pulau Makian dan di pulau Ambon sesuai alur dalam daftar sisilah tersebut, mereka seakan telah menutup diri untuk memikirkan “ke-Jailolo-an” nya. Bagi mereka itu semua adalah bagian dari masa lalu. Mungkin yang mereka pikirkan adalah; Cukup kami anak-cucu tahu bahwa nenek moyang kami memang berasal dari Jailolo, itu saja. Dan mungkin juga semboyan latin; “Ibi Bene Ubi Patria – yang berarti ; Dimana hidupku senang di situlah tanah airku” yang ada dalam pikiran mereka, Wallahu wa’lam. Hanya mereka yang tahu. Apalagi setelah dinobatkannya Sdr. Abdullah “Abdul Rahman Haryanto” Syah menjadi “symbol” kesultanan Jailolo modern, membuat ke-tertutup-an mereka semakin rapat. Mengingat hampir semua dari mereka tahu bahwa keturunan Sultan Doa hijrah ke pulau Tidore dan menjadi kawula kesultanan Tidore dan diberikan sebuah kawasan untuk membangun pemukiman (Soa Sambelo – Sabua ma belo) waktu itu adalah akibat dari pergolakan politik intern antar bangsawan di istana Jailolo ketika itu, beliau menyingkir meninggalkan takhtanya dengan tujuan menghindari perang saudara dan pertumpahan darah yang lebih dahsyat lagi yang bisa mengancam kelangsungan dan kehormatan Buldan Jailolo di Limau Tagalaya – Jailolo. Muhammad Arif Bila (dalam sisilah tersebut ditulis Sultan Gugu Alam) adalah keturunan ke-8 dari Prins Gugu Alam. Prins Gugu Alam adalah nenek moyang keturunan kedelapan ke atas dari Sultan Gugu Alam alias Muhammad Arif Bila – Ada beberapa nama yang sama dalam sisilah ini, namun pada jenjang dan periode yang berbeda waktunya. Prins Gugu Alam adalah adalah adik bungsu dari Sultan Doa dan Prins Prentah. Mereka bertiga adalah anak dari Sultan Yusuf , Sultan Jailolo yang menjadi Sultan Jailolo di tanah Jailolo (Limau Tagalaya) sekitar tahun 1500-an, data tahun yang tepat belum bisa dipastikan. Muhamad Arif Bila memiliki 4 orang putera. Ayah dari Muhamad Arif Bila yakni Syah Yusuf (lain dengan Sultan Yusuf yang ayahnya Sultan Doa, beda periode) adalah bangsawan Jailolo yang hijrah ke pulau Makian di desa Tahane. Muhammad Arif Bila sebelum diangkat oleh Sultan Nuku dari Tidore untuk manjadi Sultan Jailolo I (pada periode kedua sejarah kronologis kesultanan Jailolo) beliau sebelumnya menjabat sebagai Sangadji Tahane. Setelah itu selama sekitar 13 tahun jabatannya meningkat menjadi Jogugu kesultanan Tidore pada saat berkuasanya Sultan Kamaluddin dari Tidore (1784-1797) yang tidak lain adalah kakak dari Nuku. Ketika Nuku baru menjadi Sultan di Tidore Muhammad Arif Bila adalah seorang panglima yang handal. Setelah Nuku mengangkat Muhamad Arif Bila menjadi Sultan Jailolo I (sebutan menurut catatan dari sumber Belanda), tidak semua orang di pulau Halmahera (Utara) mengakui keabsahan dia sebagai Sultan Jailolo, lagi pula mereka yang mengklaim dirinya sebagai Sultan Jailolo ini (sejak tahun 1637 hingga 1918 saat dibuang ke Cianjur) mereka tidak pernah berkuasa di atas tanah Jailolo itu sendiri, melainkan hanya menjadi Sultan Jailolo di pengasingan saja seperti di Weda dan Halmahera belakang termasuk juga juga di pulau Seram.