wulandarisembiring
Langit tak begitu terang, bukan karena hari telah malam. Tapi karena bulan ini masih musim penghujan. Nampak remaja-remaja berpakaian putih biru sedang berjalan di kiri jalan. Ada yang berjalan beramai-ramai, bertiga, berdua. Dan salut untuk yang sedang berjalan tanpa teman.
Mereka berhenti di sebuah pertigaan. Telah ada angkot yang sedang mencari penumpang. Remaja-remaja yang selama berjalan tadi terus ngerumpi masuk lebih dulu dan memenuhi bangku penumpang. Beberapa langsung melanjutkan obrolan mereka setelah duduk. Ada yang hanya diam saja, dan ada yang langsung membuka tas, mengeluarkan novel setebal bata dari dalamnya.
Sementara penumpang di bangku belakang ramai bercakap-cakap. Ia bersandar ke badan angkot dan membuka bukunya.
Gadis itu Avisa namanya. Tetap Khusuk membaca di dekat jendela. Tetapi kekhusukannya terganggu ketika teman-teman di belakang semakin ramai ngerumpi.
“Dih, Belva ikut olimpiade matematika? Yang bener aja!” “Iya, masa sih dia bisa ikut OSN? Gak usah bohong deh kamu.” “Bener tuh. Masih mendingan Dila.” Tiba-tiba nama siswa yang terkenal pintar matematika disebut-sebut. “Iya, masih mendingan Rara sama Erlin juga!” Rara yang duduk di depan Avisa, juga Erlin yang duduk di samping Avisa menoleh ke belakang. Sementara Erlin ikut-ikutan, Rara diam. Dan Avisa masih berusaha menyelami dunia fantasinya. Makin lama konsentrasinya semakin terganggu. Ia semakin erat memegang sambil buku. Ia kesal, bukan karena terusik, tapi karena… “Bentar, bentar!” Avisa menyela. Mereka berhenti berbicara. “Memangnya kalian ulangan matematika dapat berapa, sih?! Kalah sama Belva ‘kan?” “Iya! Emang. Aku remidi, aku remidi! Emang kenapa?!” timpal Fifi sambil menepuk-nepuk dadanya. “Iya, kamu gak usah gitu juga ‘kan. Tadi kita cuma bercanda!” hardik yang lainnya. “Iya, iya… aku juga gak bermaksud…” Avisa mencoba melunak. “Heh! Kamu gak usah begitu lah!” sentak Erlin, membuat Alvisa reflek menoleh padanya di samping. “Mentang-mentang kamu peringkat satu, ya!” lanjutnya. Blep! Alvisa merasa seperti ditenggelamkan secara paksa ke dalam bak cuci. “Siapa sih yang punya niat kaya gitu?” ucap Avisa lemah, kehabisan napas.
Kedua mata Erlin yang berada di balik kacamata itu menatapnya lekat. Avisa tidak menghindar. Alvisa menatap kedua mata Erlin tak kalah sengit. Pandangan mereka saling beradu. Bibir Avisa terkatup rapat menahan segala kata-kata berbahaya yang mungkin bisa ia terlontarkan.
“Udah-udah, masa cuma gitu aja bertengkar, sih.” Lerai Rara.
Bagi Avisa, ini bukanlah “cuma”. Selama ini Erlin memang begini. Terlampau sering ia menyindir dan mencela Avisa langsung di hadapannya. Tapi tak ia hiraukan, “Biarin deh! Namanya juga orang iri.” itu pikirnya. Tapi kali ini berbeda. Kata-kata cabai itu telah bertumpuk. Kemudian setelah membusuk dijejalkan sekaligus pada Avisa. Nyesek!
“Tau tuh Avisa! Minta maaf, Sa! Minta Maaf!” perintah Fifi. “Iya, Sa! Ayo minta maaf!” tambah yang lainnya. Telinga Avisa seolah berasap, berdenging. Jika ia adalah kereta uap, ia pasti telah siap meledak. Tetapi Avisa mengambil keputusan lain. “Pak! Kiri, Pak!” ucap Avisa seraya bangkit dan keluar dari angkutan setelah membayar ongkos. Teman-temannya bingung. Lho, kok Avisa turun disini? Rumahnya ‘kan masih jauh.
Avisa menarik napas geram, lalu dihembuskannya keras-keras. Seakan-akan dengan begitu semua amarahnya ikut pergi. Tangan kirinya masih menggenggam novel tadi. Diintipnya sejenak halaman yang ia tandai dengan jari telunjuk. “89.” desisnya sambil menutup buku.
“Masalahnya bisa jadi panjang kalau aku tetep disana. Tapi kalau begini aku juga yang repot! Ah…” “Huh! Padahal tadi aku belum selesai ngomong. Aku mau bilang kalau nilaiku juga kalah dari Belva. Jadi gak seharusnya mereka meremehkan Belva seperti itu. Niatnya baik, kok malah jadi begini, sih?!”
Avisa menatap jalan raya yang lurus dan datar. Dan angkutan umum tak kunjung datang. Padahal kaki Avisa telah pegal karena lama berdiri di pinggir jalan. Avisa pasrah dan berdiri lunglai. Sambil berharap bahwa angkutan berikutnya lekas lewat.
erviaoktaviani
aku tak ingin itu terjadi haay naamaku sara, disekolahku sedang ada acara maulid nabi, sunggh begitu seru acaranya. pada saat sang ustadz sedang ceramah ia menceritakan begitu pentingnya sosok ibu, bahka akan ceramahnya teeman temanku dan aku pun terharu.karena sang ustadz menceramahkannya sampai dengan kematian seorang ibu. setelah plg dari sekolah aku pun teru membayangkan bagaimana jadinya aku biala ibu ku tiada. " huh bila yang dikatakan ustadz itu benar benar terjadibegitu cepat, bagaimana nasibku nanti " ucapku dalam hati setelah malam tiba akupun tidur, " ibu janagn tinggalkan aku bu !!!" huh untung saja hanya mimpi.sungguh aku tak ingin itu terjai, tapi aku yakin semua orang pasti akanmengalaminya.
Mereka berhenti di sebuah pertigaan. Telah ada angkot yang sedang mencari penumpang. Remaja-remaja yang selama berjalan tadi terus ngerumpi masuk lebih dulu dan memenuhi bangku penumpang. Beberapa langsung melanjutkan obrolan mereka setelah duduk. Ada yang hanya diam saja, dan ada yang langsung membuka tas, mengeluarkan novel setebal bata dari dalamnya.
Sementara penumpang di bangku belakang ramai bercakap-cakap. Ia bersandar ke badan angkot dan membuka bukunya.
Gadis itu Avisa namanya. Tetap Khusuk membaca di dekat jendela. Tetapi kekhusukannya terganggu ketika teman-teman di belakang semakin ramai ngerumpi.
“Dih, Belva ikut olimpiade matematika? Yang bener aja!”
“Iya, masa sih dia bisa ikut OSN? Gak usah bohong deh kamu.”
“Bener tuh. Masih mendingan Dila.” Tiba-tiba nama siswa yang terkenal pintar matematika disebut-sebut.
“Iya, masih mendingan Rara sama Erlin juga!” Rara yang duduk di depan Avisa, juga Erlin yang duduk di samping Avisa menoleh ke belakang.
Sementara Erlin ikut-ikutan, Rara diam. Dan Avisa masih berusaha menyelami dunia fantasinya. Makin lama konsentrasinya semakin terganggu. Ia semakin erat memegang sambil buku. Ia kesal, bukan karena terusik, tapi karena…
“Bentar, bentar!” Avisa menyela. Mereka berhenti berbicara. “Memangnya kalian ulangan matematika dapat berapa, sih?! Kalah sama Belva ‘kan?”
“Iya! Emang. Aku remidi, aku remidi! Emang kenapa?!” timpal Fifi sambil menepuk-nepuk dadanya.
“Iya, kamu gak usah gitu juga ‘kan. Tadi kita cuma bercanda!” hardik yang lainnya.
“Iya, iya… aku juga gak bermaksud…” Avisa mencoba melunak.
“Heh! Kamu gak usah begitu lah!” sentak Erlin, membuat Alvisa reflek menoleh padanya di samping. “Mentang-mentang kamu peringkat satu, ya!” lanjutnya.
Blep! Alvisa merasa seperti ditenggelamkan secara paksa ke dalam bak cuci. “Siapa sih yang punya niat kaya gitu?” ucap Avisa lemah, kehabisan napas.
Kedua mata Erlin yang berada di balik kacamata itu menatapnya lekat. Avisa tidak menghindar. Alvisa menatap kedua mata Erlin tak kalah sengit. Pandangan mereka saling beradu. Bibir Avisa terkatup rapat menahan segala kata-kata berbahaya yang mungkin bisa ia terlontarkan.
“Udah-udah, masa cuma gitu aja bertengkar, sih.” Lerai Rara.
Bagi Avisa, ini bukanlah “cuma”. Selama ini Erlin memang begini. Terlampau sering ia menyindir dan mencela Avisa langsung di hadapannya. Tapi tak ia hiraukan, “Biarin deh! Namanya juga orang iri.” itu pikirnya.
Tapi kali ini berbeda. Kata-kata cabai itu telah bertumpuk. Kemudian setelah membusuk dijejalkan sekaligus pada Avisa. Nyesek!
“Tau tuh Avisa! Minta maaf, Sa! Minta Maaf!” perintah Fifi.
“Iya, Sa! Ayo minta maaf!” tambah yang lainnya.
Telinga Avisa seolah berasap, berdenging. Jika ia adalah kereta uap, ia pasti telah siap meledak. Tetapi Avisa mengambil keputusan lain.
“Pak! Kiri, Pak!” ucap Avisa seraya bangkit dan keluar dari angkutan setelah membayar ongkos.
Teman-temannya bingung. Lho, kok Avisa turun disini? Rumahnya ‘kan masih jauh.
Avisa menarik napas geram, lalu dihembuskannya keras-keras. Seakan-akan dengan begitu semua amarahnya ikut pergi. Tangan kirinya masih menggenggam novel tadi. Diintipnya sejenak halaman yang ia tandai dengan jari telunjuk. “89.” desisnya sambil menutup buku.
“Masalahnya bisa jadi panjang kalau aku tetep disana. Tapi kalau begini aku juga yang repot! Ah…”
“Huh! Padahal tadi aku belum selesai ngomong. Aku mau bilang kalau nilaiku juga kalah dari Belva. Jadi gak seharusnya mereka meremehkan Belva seperti itu. Niatnya baik, kok malah jadi begini, sih?!”
Avisa menatap jalan raya yang lurus dan datar. Dan angkutan umum tak kunjung datang. Padahal kaki Avisa telah pegal karena lama berdiri di pinggir jalan. Avisa pasrah dan berdiri lunglai. Sambil berharap bahwa angkutan berikutnya lekas lewat.
semoga bermanfaat .
haay naamaku sara, disekolahku sedang ada acara maulid nabi, sunggh begitu seru acaranya. pada saat sang ustadz sedang ceramah ia menceritakan begitu pentingnya sosok ibu, bahka akan ceramahnya teeman temanku dan aku pun terharu.karena sang ustadz menceramahkannya sampai dengan kematian seorang ibu.
setelah plg dari sekolah aku pun teru membayangkan bagaimana jadinya aku biala ibu ku tiada. " huh bila yang dikatakan ustadz itu benar benar terjadibegitu cepat, bagaimana nasibku nanti " ucapku dalam hati
setelah malam tiba akupun tidur, " ibu janagn tinggalkan aku bu !!!" huh untung saja hanya mimpi.sungguh aku tak ingin itu terjai, tapi aku yakin semua orang pasti akanmengalaminya.