Di balik kisah inspiratifnya, Kartini pun menyimpan cerita haru. Ya, momen meninggalnya menjadi cerita paling menyedihkan dalam hidup perempuan kelahiran 21 April 1879 tersebut.
Ia meninggal dunia tak lama setelah melahirkan anak laki-lakinya bernama Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir pada 13 September 1904. Kartini wafat empat hari pasca melahirkan. Preklamsia menjadi penyebab kematiannya.
RA Kartini
Menurut beberapa sumber, Kartini megembuskan napas terakhirnya tepat di pangkuan suami tercinta, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Kisah ini diterima merujuk kesaksian dari para abdi dalem yang ada pada peristiwa tersebut.
Preklamsia menjadi penyebab Kartini meninggal dunia di usianya yang masih muda, 25 tahun. Kondisi itu adalah ganguan kehamilan yang ditandai oleh tekanan darah tinggi dan kandungan protein yang tinggi dalam urine-nya.
Setelah kematian Kartini, seorang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda Mr.J.H Abendanon mulai membukukan surat menyurat kartini dengan teman-temannya di Eropa dengan judul "Door Duisternis Tot Licht" yang artinya "Habis Gelap Terbitlah Terang".
RA Kartini Bukan Perempuan Sembarangan
Raden Ajeng Kartini memang bukan perempuan sembarang. Ia adalah wanita dari kelas bangsawan Jawa, makanya tak heran kalau dirinya mahir berbahasa Belanda dengan baik di usianya yang masih muda.
Ini terlihat saat Kartini duduk di bangku sekolah anak-anak Belanda dan bangsawan pribumi. Kemahirannya dalam berbahasa Belanda merupakan buah dari rutinnya ia membaca buku. Bahkan, dia bisa menulis surat yang membuat orang belanda tak percaya.
Budi pekertinya jangan ditanya. Sebagai perempuan Jawa, ia dituntut untuk mengaplikasikan nilai luhur dengan baik di setiap embusan napasnya. Sikap hormat pada sosok yang dituakan menjadi makanan sehari-hari.
Hal ini juga bisa dilihat dari salah satu kutipan RA Kartini dalam suratnya yang ia tulis untuk Stella, 18 Agustus 1899,
"Sesungguhnya adat sopan-santun kami orang Jawa amatlah rumit. Adikku harus merangkak bila hendak lalu di hadapanku. Kalau adikku duduk di kursi, saat aku lalu, haruslah segera ia turun duduk di tanah, dengan menundukkan kepala, sampai aku tidak kelihatan lagi. Adik-adikku tidak boleh ber-kamu dan ber-engkau kepadaku. Mereka hanya boleh menegur aku dalam bahasa kromo inggil (bahasa Jawa tingkat tinggi). Tiap kalimat yang diucapkan haruslah diakhiri dengan sembah. Berdiri bulu kuduk bila kita berada dalam lingkungan keluarga bumiputera yang ningrat. Bercakap-cakap dengan orang yang lebih tinggi derajatnya, harus perlahan-lahan, sehingga orang yang di dekatnya sajalah yang dapat mendengar. Seorang gadis harus perlahan-lahan jalannya, langkahnya pendek-pendek, gerakannya lambat seperti siput, bila berjalan agak cepat, dicaci orang, disebut "kuda liar".
Sosok yang lahir pada 21 April 1879 ini memang pantas menjadi idola perempuan sepanjang abad. Bukan hanya menyoal pribadinya yang luar biasa, tetapi aksi dalam lingkup sosialnya pun tak akan terhapus zaman.
Ya, Kartini merupakan pelopor kebangkitan wanita pribumi atau yang kini kita sebut sebagai feminisme. Tak hanya itu, jasanya dalam pergerakan roda perjuangan bangsa Indonesia pun perlu diapresiasi. Berkat perjuangannya itu, ia pun dinobatkan sebagai pahlawan nasional Indonesia. Deklarasi putusan ini berlangsung pada 3 Agustus 1964.
Kota Semarang menjadi saksi ditetapkannya RA Kartini sebagai deretan pahlawan berjasa bangsa Indonesia. Upacara penyerahan Surat Keputusan Presiden No. 108, tertanggal 2 Mei 1964 yang berusi penganugerahan gelar pahlawan nasional pun dilangsungkan. Spesial untuk sang Kartini.
Dalam surat tersebut, ditegaskan bahwa secara resmi posisi Kartini sebagai Pahlawan bagi seluruh Indonesia dan menepis anggapan yang mengatakan, Kartini hanya dianggap sebagai pelopor pergerakan emansipasi wanita. Karena itu, perayaan Hari Kartini bukan milik satu wilayah atau kaum saja, tetapi dirayakan seluruh bangsa Indonesia, termasuk kedutaan besar RI di negara manapun, dan perwakilan Indonesia lainnya.
Penyerahan piagam dilakukan oleh Wakil Gubernur Jawa Tengah saat itu, Soejono Atmo, atas nama Pemerintah Pusat. Keluarga Kartini yang menerima piagam itu ialah cucu Kartini yang bernama R.M. Budhy Setia Soesalit, didampingi adik Kartini, R.A.A.A. Kardinah Reksonegoro.
Penjelasan:
semoga membantu jangan lupa jadikan jawaban terbaik
Jawaban:
Di balik kisah inspiratifnya, Kartini pun menyimpan cerita haru. Ya, momen meninggalnya menjadi cerita paling menyedihkan dalam hidup perempuan kelahiran 21 April 1879 tersebut.
Ia meninggal dunia tak lama setelah melahirkan anak laki-lakinya bernama Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir pada 13 September 1904. Kartini wafat empat hari pasca melahirkan. Preklamsia menjadi penyebab kematiannya.
RA Kartini
Menurut beberapa sumber, Kartini megembuskan napas terakhirnya tepat di pangkuan suami tercinta, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Kisah ini diterima merujuk kesaksian dari para abdi dalem yang ada pada peristiwa tersebut.
Preklamsia menjadi penyebab Kartini meninggal dunia di usianya yang masih muda, 25 tahun. Kondisi itu adalah ganguan kehamilan yang ditandai oleh tekanan darah tinggi dan kandungan protein yang tinggi dalam urine-nya.
Setelah kematian Kartini, seorang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda Mr.J.H Abendanon mulai membukukan surat menyurat kartini dengan teman-temannya di Eropa dengan judul "Door Duisternis Tot Licht" yang artinya "Habis Gelap Terbitlah Terang".
RA Kartini Bukan Perempuan Sembarangan
Raden Ajeng Kartini memang bukan perempuan sembarang. Ia adalah wanita dari kelas bangsawan Jawa, makanya tak heran kalau dirinya mahir berbahasa Belanda dengan baik di usianya yang masih muda.
Ini terlihat saat Kartini duduk di bangku sekolah anak-anak Belanda dan bangsawan pribumi. Kemahirannya dalam berbahasa Belanda merupakan buah dari rutinnya ia membaca buku. Bahkan, dia bisa menulis surat yang membuat orang belanda tak percaya.
Budi pekertinya jangan ditanya. Sebagai perempuan Jawa, ia dituntut untuk mengaplikasikan nilai luhur dengan baik di setiap embusan napasnya. Sikap hormat pada sosok yang dituakan menjadi makanan sehari-hari.
Hal ini juga bisa dilihat dari salah satu kutipan RA Kartini dalam suratnya yang ia tulis untuk Stella, 18 Agustus 1899,
"Sesungguhnya adat sopan-santun kami orang Jawa amatlah rumit. Adikku harus merangkak bila hendak lalu di hadapanku. Kalau adikku duduk di kursi, saat aku lalu, haruslah segera ia turun duduk di tanah, dengan menundukkan kepala, sampai aku tidak kelihatan lagi. Adik-adikku tidak boleh ber-kamu dan ber-engkau kepadaku. Mereka hanya boleh menegur aku dalam bahasa kromo inggil (bahasa Jawa tingkat tinggi). Tiap kalimat yang diucapkan haruslah diakhiri dengan sembah. Berdiri bulu kuduk bila kita berada dalam lingkungan keluarga bumiputera yang ningrat. Bercakap-cakap dengan orang yang lebih tinggi derajatnya, harus perlahan-lahan, sehingga orang yang di dekatnya sajalah yang dapat mendengar. Seorang gadis harus perlahan-lahan jalannya, langkahnya pendek-pendek, gerakannya lambat seperti siput, bila berjalan agak cepat, dicaci orang, disebut "kuda liar".
Sosok yang lahir pada 21 April 1879 ini memang pantas menjadi idola perempuan sepanjang abad. Bukan hanya menyoal pribadinya yang luar biasa, tetapi aksi dalam lingkup sosialnya pun tak akan terhapus zaman.
Ya, Kartini merupakan pelopor kebangkitan wanita pribumi atau yang kini kita sebut sebagai feminisme. Tak hanya itu, jasanya dalam pergerakan roda perjuangan bangsa Indonesia pun perlu diapresiasi. Berkat perjuangannya itu, ia pun dinobatkan sebagai pahlawan nasional Indonesia. Deklarasi putusan ini berlangsung pada 3 Agustus 1964.
Kota Semarang menjadi saksi ditetapkannya RA Kartini sebagai deretan pahlawan berjasa bangsa Indonesia. Upacara penyerahan Surat Keputusan Presiden No. 108, tertanggal 2 Mei 1964 yang berusi penganugerahan gelar pahlawan nasional pun dilangsungkan. Spesial untuk sang Kartini.
Dalam surat tersebut, ditegaskan bahwa secara resmi posisi Kartini sebagai Pahlawan bagi seluruh Indonesia dan menepis anggapan yang mengatakan, Kartini hanya dianggap sebagai pelopor pergerakan emansipasi wanita. Karena itu, perayaan Hari Kartini bukan milik satu wilayah atau kaum saja, tetapi dirayakan seluruh bangsa Indonesia, termasuk kedutaan besar RI di negara manapun, dan perwakilan Indonesia lainnya.
Penyerahan piagam dilakukan oleh Wakil Gubernur Jawa Tengah saat itu, Soejono Atmo, atas nama Pemerintah Pusat. Keluarga Kartini yang menerima piagam itu ialah cucu Kartini yang bernama R.M. Budhy Setia Soesalit, didampingi adik Kartini, R.A.A.A. Kardinah Reksonegoro.
Penjelasan:
semoga membantu jangan lupa jadikan jawaban terbaik