Semua berawal di saat aku duduk dibangku kelas 2 SMA. Ketika aku sedang terpuruk oleh rasa sakitku karena ditinggal tanpa alasan oleh seorang laki-laki yang selalu aku banggakan dihadapan teman-teman sekolahku selain ayah dan dua orang adik laki-lakiku. Dia adalah Danis, seorang laki-laki yang pesonanya begitu melekat di mata, hati dan fikiranku. Berbulan-bulan aku mencoba melupakan semua tentang dirinya, namuntak satu usaha pun yang membuahkan hasil. Hingga suatu ketika Anita yang adalah sahabatku mengenalkan aku dengan teman laki-laki di sekolahnya.
“Rin, aku udah punya pacar. Kamu kapan?”
“Tungguin bulan jadi dua deh kayaknya Nit.” Kataku sambil menggores senyum.
“Hussshh! Mulutmu itu ya, mau cepet-cepet kiamat lu?”
“Tau ah, bosen!”
“Ehh, mau aku kenalin sama temen sekolahku? Namanya Riko, baik loh anaknya.”
“Alah, kamu mah semua orang dibilangin baik mulu,sampe yang hobby nya ngerokok terus aja tetep kamu bilangin baik”
“Ye kamu, Rin. Aku belom selesai ngomong juga. Tapi serius deh kali ini dia baik banget dah. Aku itu dulunya satu kelas sama diawaktu di kelas sepuluh.”
“Oh gitu. Yaudah deh, karepmu waelah!!”
“Heleh, sok pake bahasa jawa we ya, ngerti juga enggak. Hahahhah.”
Seketika suasana menjadi riuh karena gelak tawa antara aku dan Anita. Anita memang sahabat yang baik. Aku sedah mengenalnya sejak aku duduk di bangku SMP. Kami memang jarang bertemu, namun hal itu tidak pernah membatasi kami untuk selalu berbagi.
*****
Keesokan harinya, aku mendapat pesan singkat dari sebuah nomor yang tidak aku kenali dan ternyata dia adalah teman yang dikatakan oleh Anita.
Hai! Rina ya? Aku Riko, temen Anita.
Langsung saja ku balas pesan singkat itu.
Iya aku Rina,temen Anita juga. Anita cerita banyak tentang aku?
Tak berapa lama, hp ku kembali bordering tanda pesanbaru.
Nggak kok, Anita cuman bilangin kalo kamu lagi butuh tmen itu doang.
Perkenalan antara aku dan Riko terus berlanjut, dia begitu sering mengirimkan pesan padaku, menelfonku dan kembali membuat hari-hariku berwarna hingga aku mampu melupakan keterpurukan yang membuat akujauh dari kebahagiaan. Perkenalan antara aku dan Riko berlangsung baik hingga dia berhasil membuat aku merasa nyaman setiap kali mendengar suaranya,mendengar lelucon yang keluar dari ucapannya setiap kali dia menelfonku. Ya,sejak aku dan Riko saling kenal, kami memang jarang sekali bertemu.
“Hallo asalamualaikum.” Sapa ku saat mengangkat telfon dari Riko.
“Waalaikumsalam Rina, apa kabar?” Riko membalas sapaanku.
“Alhamdulillah baik, Ko. Kamu apa kabar?”
“Baik juga Alhamdulillah. Kamu udah makan malem?”
“Udah dong tadi sore, heheh”
“Eleh gimana sih, yang ditanya malem kok ya jawabnya sore to?”
“Suka-suka Rina dong, yang ngomong siapa? Yang punya mulutnya siapa?”
“Yadeh Riko ngalah aja.”
“Nah gitu dong, itu baru namanya laki-laki.”
“Lah menurut kamu selama ini aku apaan? Bukan laki-laki?”
“Looh aku ngga bilang ya! Weekkk”
Candaan demi candaan terurai dari aku dan Riko. Diabenar-benar mampu mencairkan suasana membuat rasa nyaman yang ada di hatiku berubah menjadi rasa kagum dan semakin berkembang menjadi rasa sayang dan takut jika suatu saat aku akan kehilangan semua candaannya. Tapi, aku tidak mungkin menyatakan semua perasaanku padanya. Aku ingin dia mengetahuinya sendiri tanpa harus terucap dari mulutku.
Hari-hari aku lewati dengan biasa saja sebagai teman baru Riko meskipun sebenarnya aku menyimpan harapan besar padanya. Sampai suatu saat aku dan Riko menjadi jarang berkomunikasi akibat kesibukan yang aku jalani.
*****
Setelah beberapa bulan tanpa komunikasi, aku kembali akrab dengan Riko. Kembali berteman seperti biasanya dan tentunya dengan perasaan yang masih persis sama seperti halnya yang aku rasakan saat duduk dikelas 2 SMA. Semakin hari, rasa nyaman itu semakin bertambah pula.
“Rin, gimana kamu sama di Dion?” Tanya Anita.
“Gimana apanya?” aku balik bertanya.
“Lah bukannya kalian deket? Kamu suka sam Dion kan?”
“Hah?? Kamu fikir kalo deket sama temen cowo itu artinya suka? Ihh gabanget!!”
“Hahahah gaya lu.” Ledek Anita.
“Iya, kamu kan tau dari dulu itu aku sukanya sama Riko!”
“Hahahah jadi masih ngarep ni? Lagi-lagi Anita meledek.
“Ngarep engga sih, tapi setidaknya aku pengen dia tau kalo aku suka sama dia.”
“Ya kamu ngomong langsung aja ke dianya.”
“Hah?? Aku? Harus gitu aku yang ngomong duluan? Dianya kan cowo toh Nit.”
“Ya gak ada salahnya kan, keburu di ambil orang baru patah noh hatinya. Hahahahh”
Mendengar kata-kata dari Anita, hatiku bergumam sendiri bahwa apa yang dikatakan oleh Anita juga ada benarnya. Bukankah jujur itu memang lebih baik daripada aku harus terus menyembunyikan semua perasaanku yang justru malah menyiksa hatiku sendiri.
Semua berawal di saat aku duduk dibangku kelas 2 SMA. Ketika aku sedang terpuruk oleh rasa sakitku karena ditinggal tanpa alasan oleh seorang laki-laki yang selalu aku banggakan dihadapan teman-teman sekolahku selain ayah dan dua orang adik laki-lakiku. Dia adalah Danis, seorang laki-laki yang pesonanya begitu melekat di mata, hati dan fikiranku. Berbulan-bulan aku mencoba melupakan semua tentang dirinya, namuntak satu usaha pun yang membuahkan hasil. Hingga suatu ketika Anita yang adalah sahabatku mengenalkan aku dengan teman laki-laki di sekolahnya.
“Rin, aku udah punya pacar. Kamu kapan?”
“Tungguin bulan jadi dua deh kayaknya Nit.” Kataku sambil menggores senyum.
“Hussshh! Mulutmu itu ya, mau cepet-cepet kiamat lu?”
“Tau ah, bosen!”
“Ehh, mau aku kenalin sama temen sekolahku? Namanya Riko, baik loh anaknya.”
“Alah, kamu mah semua orang dibilangin baik mulu,sampe yang hobby nya ngerokok terus aja tetep kamu bilangin baik”
“Ye kamu, Rin. Aku belom selesai ngomong juga. Tapi serius deh kali ini dia baik banget dah. Aku itu dulunya satu kelas sama diawaktu di kelas sepuluh.”
“Oh gitu. Yaudah deh, karepmu waelah!!”
“Heleh, sok pake bahasa jawa we ya, ngerti juga enggak. Hahahhah.”
Seketika suasana menjadi riuh karena gelak tawa antara aku dan Anita. Anita memang sahabat yang baik. Aku sedah mengenalnya sejak aku duduk di bangku SMP. Kami memang jarang bertemu, namun hal itu tidak pernah membatasi kami untuk selalu berbagi.
*****
Keesokan harinya, aku mendapat pesan singkat dari sebuah nomor yang tidak aku kenali dan ternyata dia adalah teman yang dikatakan oleh Anita.
Hai! Rina ya? Aku Riko, temen Anita.
Langsung saja ku balas pesan singkat itu.
Iya aku Rina,temen Anita juga. Anita cerita banyak tentang aku?
Tak berapa lama, hp ku kembali bordering tanda pesanbaru.
Nggak kok, Anita cuman bilangin kalo kamu lagi butuh tmen itu doang.
Perkenalan antara aku dan Riko terus berlanjut, dia begitu sering mengirimkan pesan padaku, menelfonku dan kembali membuat hari-hariku berwarna hingga aku mampu melupakan keterpurukan yang membuat akujauh dari kebahagiaan. Perkenalan antara aku dan Riko berlangsung baik hingga dia berhasil membuat aku merasa nyaman setiap kali mendengar suaranya,mendengar lelucon yang keluar dari ucapannya setiap kali dia menelfonku. Ya,sejak aku dan Riko saling kenal, kami memang jarang sekali bertemu.
“Hallo asalamualaikum.” Sapa ku saat mengangkat telfon dari Riko.
“Waalaikumsalam Rina, apa kabar?” Riko membalas sapaanku.
“Alhamdulillah baik, Ko. Kamu apa kabar?”
“Baik juga Alhamdulillah. Kamu udah makan malem?”
“Udah dong tadi sore, heheh”
“Eleh gimana sih, yang ditanya malem kok ya jawabnya sore to?”
“Suka-suka Rina dong, yang ngomong siapa? Yang punya mulutnya siapa?”
“Yadeh Riko ngalah aja.”
“Nah gitu dong, itu baru namanya laki-laki.”
“Lah menurut kamu selama ini aku apaan? Bukan laki-laki?”
“Looh aku ngga bilang ya! Weekkk”
Candaan demi candaan terurai dari aku dan Riko. Diabenar-benar mampu mencairkan suasana membuat rasa nyaman yang ada di hatiku berubah menjadi rasa kagum dan semakin berkembang menjadi rasa sayang dan takut jika suatu saat aku akan kehilangan semua candaannya. Tapi, aku tidak mungkin menyatakan semua perasaanku padanya. Aku ingin dia mengetahuinya sendiri tanpa harus terucap dari mulutku.
Hari-hari aku lewati dengan biasa saja sebagai teman baru Riko meskipun sebenarnya aku menyimpan harapan besar padanya. Sampai suatu saat aku dan Riko menjadi jarang berkomunikasi akibat kesibukan yang aku jalani.
*****
Setelah beberapa bulan tanpa komunikasi, aku kembali akrab dengan Riko. Kembali berteman seperti biasanya dan tentunya dengan perasaan yang masih persis sama seperti halnya yang aku rasakan saat duduk dikelas 2 SMA. Semakin hari, rasa nyaman itu semakin bertambah pula.
“Rin, gimana kamu sama di Dion?” Tanya Anita.
“Gimana apanya?” aku balik bertanya.
“Lah bukannya kalian deket? Kamu suka sam Dion kan?”
“Hah?? Kamu fikir kalo deket sama temen cowo itu artinya suka? Ihh gabanget!!”
“Hahahah gaya lu.” Ledek Anita.
“Iya, kamu kan tau dari dulu itu aku sukanya sama Riko!”
“Hahahah jadi masih ngarep ni? Lagi-lagi Anita meledek.
“Ngarep engga sih, tapi setidaknya aku pengen dia tau kalo aku suka sama dia.”
“Ya kamu ngomong langsung aja ke dianya.”
“Hah?? Aku? Harus gitu aku yang ngomong duluan? Dianya kan cowo toh Nit.”
“Ya gak ada salahnya kan, keburu di ambil orang baru patah noh hatinya. Hahahahh”
Mendengar kata-kata dari Anita, hatiku bergumam sendiri bahwa apa yang dikatakan oleh Anita juga ada benarnya. Bukankah jujur itu memang lebih baik daripada aku harus terus menyembunyikan semua perasaanku yang justru malah menyiksa hatiku sendiri.