Orde Lama jatuh, dan berkuasalah Orde Baru. Bagi golonganIslam, berkuasanya Orde Baru adalah harapan baru bagi mereka setelah penekanan yang dilakukan oleh Soekarno. Tapi, di awal pemerintahannya, Soeharto ternyata menunjukkan sikap antipatinya terhadap golongan Islam dan mulai merangkul golongan sosialis. Pemerintah Orde Baru menjuluki PKI sebagai “ekstrim kiri” dan Islam mendapatkan julukan “ekstrim kanan”. Berbagai sumber menyatakan, sikap Soeharto ini merupakan perwujudan dari paranoia terhadap ancaman kekuatan Islam terhadap kekuasaannya.
Puncak dari sikap represif Orde Baru dinyatakan dalam SU MPR 1978 mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) dan UU No. 3 tahun 1985 tentang partai politik dan Golongan Karya yang menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Setelah pengaturan mengenai partai politik dan Golkar tersebut, Pemerintah Orde Baru kemudian mengeluarkan UU No. 8 tahun 1985 mengenai pengaturan Pancasila sebagai anggaran dasar organisasi-organisasi kemasyarakatan.
Kebijakan Pemerintah tersebut mendatangkan polemik di berbagai ormas Islam karena Presiden soeharto menawarkan tiga konsep penerapan Pancasila, yaitu: 1) Pribadi Pancasila; 2) Masyarakat Pancasila; dan 3) Negara Pancasila. Menurut Soeharto, Pancasila bukan saja hanya dimiliki namun diresapi dalam kehidupan sehari-hari (Syukur, 2003: 33). Namun pada akhirnya, ormas-ormas Islam ini memilih untuk berdamai dengan Pemerintah dan menjadikan Pancasila sebagai anggaran dasar ormas-ormas tersebut.
Berbanding terbalik dengan ormas-ormas Islam tersebut, para aktivis dakwah kampus menolak keras Pancasila. Mereka memiliki konsep alternatif lain, yaitu konsep Islam mengenai Pribadi, Keluarga, Masyarakat, Negara, dan Khilafah Islamiyah. Menurut mereka, menerima Pancasila berarti melakukan tindakan syirik. Selain itu, konsep nasionalisme menurut mereka sama dengan paham ashobiyah (kesukuan) dalam bentuk baru.
Orde Lama jatuh, dan berkuasalah Orde Baru. Bagi golonganIslam, berkuasanya Orde Baru adalah harapan baru bagi mereka setelah penekanan yang dilakukan oleh Soekarno. Tapi, di awal pemerintahannya, Soeharto ternyata menunjukkan sikap antipatinya terhadap golongan Islam dan mulai merangkul golongan sosialis. Pemerintah Orde Baru menjuluki PKI sebagai “ekstrim kiri” dan Islam mendapatkan julukan “ekstrim kanan”. Berbagai sumber menyatakan, sikap Soeharto ini merupakan perwujudan dari paranoia terhadap ancaman kekuatan Islam terhadap kekuasaannya.
Puncak dari sikap represif Orde Baru dinyatakan dalam SU MPR 1978 mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) dan UU No. 3 tahun 1985 tentang partai politik dan Golongan Karya yang menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Setelah pengaturan mengenai partai politik dan Golkar tersebut, Pemerintah Orde Baru kemudian mengeluarkan UU No. 8 tahun 1985 mengenai pengaturan Pancasila sebagai anggaran dasar organisasi-organisasi kemasyarakatan.
Kebijakan Pemerintah tersebut mendatangkan polemik di berbagai ormas Islam karena Presiden soeharto menawarkan tiga konsep penerapan Pancasila, yaitu: 1) Pribadi Pancasila; 2) Masyarakat Pancasila; dan 3) Negara Pancasila. Menurut Soeharto, Pancasila bukan saja hanya dimiliki namun diresapi dalam kehidupan sehari-hari (Syukur, 2003: 33). Namun pada akhirnya, ormas-ormas Islam ini memilih untuk berdamai dengan Pemerintah dan menjadikan Pancasila sebagai anggaran dasar ormas-ormas tersebut.
Berbanding terbalik dengan ormas-ormas Islam tersebut, para aktivis dakwah kampus menolak keras Pancasila. Mereka memiliki konsep alternatif lain, yaitu konsep Islam mengenai Pribadi, Keluarga, Masyarakat, Negara, dan Khilafah Islamiyah. Menurut mereka, menerima Pancasila berarti melakukan tindakan syirik. Selain itu, konsep nasionalisme menurut mereka sama dengan paham ashobiyah (kesukuan) dalam bentuk baru.