ruthesteryoonke
Lahan kering adalah bagian dari ekosistem teresterial yang luasnya relatif luas dibandingkan dengan lahan basah (Odum, 1971). Selanjutnya menurut Hidayat dkk (2000) lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi air atau tergenang air pada sebagian waktu selama setahun. Lahan kering secara keseluruhan memiliki luas lebih kurang 70 %. Pada saat ini pemanfaatan lahan kering untuk keperluan pertanian baik tanaman semusim maupun tanaman tahunan/ perkebunan sudah sangat berkembang. Pertambahan jumlah penduduk yang terjadi dengan sangat cepat menyebabkan kebutuhan akan bahan pangan dan perumahan juga akan meningkat. Sejalan dengan itu pengembangan lahan kering untuk pertanian tanaman pangan dan perkebunan untuk memenuhi kebutuhan sudah merupakan keharusan. Usaha intensifikasi dengan pola usaha tani belum bisa memenuhi kebutuhan. Upaya lainnya dengan pembukaan lahan baru sudah tidak terelakkan lagi. Sejak akhir abad ke 19 perkembangan pertanian lahan kering khususnya di pulau Jawa dirasakan sangat pesat dan sampai saat ini sudah menyebar ke luar pulau Jawa. Antara tahun 1875 – 1925 (50 tahun) peningkatannya mencapai lebih dari 350 persen (Lombart, 2000). Hal ini terjadi akibat ketersediaan lahan basah di dataran rendah bagi kebanyakan petani yang memanfaatkannya sebagai lahan pertanian pangan semakin berkurang. Sebagian lagi penyusutan lahan basah didataran rendah akibat konversi lahan menjadi lahan non pertanian yang tidak terkendali. Lahan kering dapat dibagi dalam dua golongan yaitu lahan kering dataran rendah yang berada pada ketinggian antara 0 – 700 meter dpl dan lahan kering dataran tinggi barada pada ketinggi diatas 700 meter dpl (Hidayat, 2000) Lahan kering di Indonesia menempati lahan tanpa pembatas, kesuburan rendah, lahan dengan tanah retak-retak, lahan dengan tanah dangkal dan lahan dengan perbukitan. Relief tanah ikut menentukan mudah dan tidaknya pengelolaan lahan kering. Menurut Subagio dkk (2000) relief tanah sangat ditentukan oleh kelerengan dan perbedaan ketinggian. Ditinjau dari bentuk, kesuburan dan sifat fisik lainnya, pengelolaan lahan kering relatif lebih berat dibandingkan dengan lahan basah (sawah). Hinnga saat ini perhatian berbagai pihak terhadap pengelolaan lahan kering secara berkelanjutan relatif rendah dibandingkan dengan pengelolaan lahan sawah dataran rendah (Irawan dan Pranadji, 2002). Pemanfaatan lahan kering di daerah perbukitan dan pegunungan untuk pertanian semusim untuk menghasilkan bahan pangan banyak dijumpai dan dilakukan penduduk yang bermukim di pedesaan. Dengan pemanfaatan lahan kering di pegunungan dan perbukitan secara terus menerus tanpa memperhatikan kaidah konservasi akan menyebabkan terjadinya erosi dan penurunan kesuburan yang berat. Di negara sedang berkembang termasuk Indonesia, kerusakan lahan ini umumnya bertmuara pada merebaknya kemiskinan dan kelaparan. Sedangkan secara ekologi akan mengganggu keseimbangan ekosistim terjadi penurunan kekayaan hayati yang berat (Scherr, 2003).
la
III. Upaya Pengelolaan Pengelolaan agrokosistem lahan kering dipandang sebagai bagian dari pengelolaan ekosistem sumberdaya alam oleh masyarakat petani yang menempati areal dimana mereka menetap. Masyarakat petani menanami lahan pertanian dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dapat dikatakan sebagai bagian dari pengelolaan agroekosistem lahan kering di daerahnya. Menurut Soerianegara (1977) pengelolaan agroekosistem lahan kering merupakan bagian dari interaksi atau kerja sama masyarakat dengan agroekosistem sumberdaya alam. Pengelolaan agroekosistem lahan kering merupakan usaha atau upaya masyarakan pedesaan dalam mengubah atau memodifikasi ekosistem sumberdaya alam agar bisa diperoleh manfaat yang maksimal dengan mengusahakan kontinuitas produksinya. Komoditas yang diusahatan tentunya disesuaikan dengan kondisi setempat dan manfaat ekonomi termasuk pemasaran. Dalam pembangunan pertanian berkelanjutan pengelolaan agroekosistem lahan kering dapat dipandang sebagai upaya memperbaiki dan memperbaharui sumberdaya alam yang bisa dipulihkan (renewable resourses) di daerahnya. Dalam pemanfaatan sumberdaya lahan kering untuk pertanian berkelanjutan memerlukan pendekatan lingkungan dan mengikuti kaidah pelestarian lingkungan.
1. Konservasi Salah satu upaya penanganan kerusakan lahan akibat ekplorasi adalah dengan menerapkan sistem budidaya lorong dalam pengembangan sistem usahatani lahan kering, karena sistem ini memberikan banyak keuntungan diantaranya dapat menekan terjadinya erosi, meningkatkan produktivitas tanah karena adanya penambahan bahan organik melalui hasil pangkasan tanaman pagar, dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman serta dapat menciptakan kondisi iklim mikro (suhu) diantara lorong tanaman (Sudha)
Sejak akhir abad ke 19 perkembangan pertanian lahan kering khususnya di pulau Jawa dirasakan sangat pesat dan sampai saat ini sudah menyebar ke luar pulau Jawa. Antara tahun 1875 – 1925 (50 tahun) peningkatannya mencapai lebih dari 350 persen (Lombart, 2000). Hal ini terjadi akibat ketersediaan lahan basah di dataran rendah bagi kebanyakan petani yang memanfaatkannya sebagai lahan pertanian pangan semakin berkurang. Sebagian lagi penyusutan lahan basah didataran rendah akibat konversi lahan menjadi lahan non pertanian yang tidak terkendali. Lahan kering dapat dibagi dalam dua golongan yaitu lahan kering dataran rendah yang berada pada ketinggian antara 0 – 700 meter dpl dan lahan kering dataran tinggi barada pada ketinggi diatas 700 meter dpl (Hidayat, 2000)
Lahan kering di Indonesia menempati lahan tanpa pembatas, kesuburan rendah, lahan dengan tanah retak-retak, lahan dengan tanah dangkal dan lahan dengan perbukitan. Relief tanah ikut menentukan mudah dan tidaknya pengelolaan lahan kering. Menurut Subagio dkk (2000) relief tanah sangat ditentukan oleh kelerengan dan perbedaan ketinggian. Ditinjau dari bentuk, kesuburan dan sifat fisik lainnya, pengelolaan lahan kering relatif lebih berat dibandingkan dengan lahan basah (sawah). Hinnga saat ini perhatian berbagai pihak terhadap pengelolaan lahan kering secara berkelanjutan relatif rendah dibandingkan dengan pengelolaan lahan sawah dataran rendah (Irawan dan Pranadji, 2002).
Pemanfaatan lahan kering di daerah perbukitan dan pegunungan untuk pertanian semusim untuk menghasilkan bahan pangan banyak dijumpai dan dilakukan penduduk yang bermukim di pedesaan. Dengan pemanfaatan lahan kering di pegunungan dan perbukitan secara terus menerus tanpa memperhatikan kaidah konservasi akan menyebabkan terjadinya erosi dan penurunan kesuburan yang berat. Di negara sedang berkembang termasuk Indonesia, kerusakan lahan ini umumnya bertmuara pada merebaknya kemiskinan dan kelaparan. Sedangkan secara ekologi akan mengganggu keseimbangan ekosistim terjadi penurunan kekayaan hayati yang berat (Scherr, 2003).
la
III. Upaya Pengelolaan
Pengelolaan agrokosistem lahan kering dipandang sebagai bagian dari pengelolaan ekosistem sumberdaya alam oleh masyarakat petani yang menempati areal dimana mereka menetap. Masyarakat petani menanami lahan pertanian dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dapat dikatakan sebagai bagian dari pengelolaan agroekosistem lahan kering di daerahnya. Menurut Soerianegara (1977) pengelolaan agroekosistem lahan kering merupakan bagian dari interaksi atau kerja sama masyarakat dengan agroekosistem sumberdaya alam. Pengelolaan agroekosistem lahan kering merupakan usaha atau upaya masyarakan pedesaan dalam mengubah atau memodifikasi ekosistem sumberdaya alam agar bisa diperoleh manfaat yang maksimal dengan mengusahakan kontinuitas produksinya. Komoditas yang diusahatan tentunya disesuaikan dengan kondisi setempat dan manfaat ekonomi termasuk pemasaran. Dalam pembangunan pertanian berkelanjutan pengelolaan agroekosistem lahan kering dapat dipandang sebagai upaya memperbaiki dan memperbaharui sumberdaya alam yang bisa dipulihkan (renewable resourses) di daerahnya. Dalam pemanfaatan sumberdaya lahan kering untuk pertanian berkelanjutan memerlukan pendekatan lingkungan dan mengikuti kaidah pelestarian lingkungan.
1. Konservasi
Salah satu upaya penanganan kerusakan lahan akibat ekplorasi adalah dengan menerapkan sistem budidaya lorong dalam pengembangan sistem usahatani lahan kering, karena sistem ini memberikan banyak keuntungan diantaranya dapat menekan terjadinya erosi, meningkatkan produktivitas tanah karena adanya penambahan bahan organik melalui hasil pangkasan tanaman pagar, dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman serta dapat menciptakan kondisi iklim mikro (suhu) diantara lorong tanaman (Sudha)