Meisarif
Mungkin pertahanan pasukan belanda atau benteng pasukan belanda yang akhirnya direbut masyarakat MAAF KALAU SALAH
1 votes Thanks 2
nadyachasanahPemukiman orang-orang Belanda dari kemungkinan serangan meriam milik Keraton Yogyakarta. Sebelum dibangun menjadi benteng, di tahun 1761 tempat ini merupakan parit perlindungan atau bunker bagi tentara Belanda atau lebih dikenal dengan sebutan Rusten Burg.
Benteng Vredeburg didirikan pada tahun 1760 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I (HB I) atas permintaan pemerintah Belanda. Maksud Belanda adalah untuk menjaga keamanan Sultan Yogyakarta. Dan menurut informasi yang penulis dapatkan dari pihak penerangan Museum Benteng Vredeburg mengenai fungsi dan awal kegunaan Benteng Vredeburg ini di bangun adalah, agar Belanda dapat mudah memantau gerak-gerik Sultan. Karena pada waktu itu di dalam Benteng ada meriam yang mengarah ke Kraton Yogyakarta.
Bentuk awal bangunan Benteng Vrederburg sangat sederhana, berbentuk bujur sangkar dengan tempat penjagaan bastion di setiap sudut. masing-masing bastion bernama Jayawisesa (barat laut), Jayapurusa (timur laut), Jayaprakosaningprang (barat daya), Jayaprayitna (tenggara).
Di tahun 1765, Frans Haak mengubahnya menjadi benteng dengan mengambil model benteng di daratan Eropa. Ini bisa dilihat dari ciri parit dalam yang mengelilingi banteng, kemudian ada menara pengawas di setiap sudutnya dan tembok lebar yang memungkinkan para serdadu berpatroli diatasnya dan menembak dari tempat itu. Hingga kini, semua itu masih bisa disaksikan. Karena penguasa Yogyakarta tidak berkenan dengan pembangunan benteng ini maka dibutuhkan waktu 23 tahun untuk menyelesaikannya, hal ini terjadi karena kurangnya suplai tenaga kerja dari penduduk lokal.
Dalam perjalanan sejarahnya, benteng ini sering dijadikan tempat penahanan pemimpin-pemimpin Yogya yang membangkang terhadap pemerintah kolonial Belanda sebelum dibuang ke luar Pulau Jawa. Di tempat ini pula kolaborator Belanda yang masih kerabat Sultan, Danurejo IV merancang taktik untuk menangkap Pangeran Diponegoro, putra tertua Sultan Hamengku Buwono III yang menentang Belanda.
Pada jaman Gubernur Belanda W.H Ossenberg, bangunan ini diusulkan agar dibuat pemanen, dengan suatu alasan agar keamanan lebih terjamin. Maka dimulailah penyempurnaan benteng yang ternyata memakan wkatu yang tidak sedikit, yakni dari tahun 1769 sampai dengan 1787. Setelah selesai disempurnakan benteng ini diberinama Rustenburg yang berarti "benteng peristirahatan".
Lamanya proses pengerjaaan benteng pada waktu itu dikarenakan Sultan sedang disibukkan dengan pembangunan Keraton Yogyakarta pada tahun 1775, dan Sultan HB I sendirilah yang menjadikan arsiteknya. Pembangunan Keraton Yogyakarta tidak lepas dari peristiwa pemisahan Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta yang diperintah Sunan Pakubuwono III dan Kesultanan Ngayogyakarta yang diperintah Pangeran mangkubumi, akibat Perjanjian Giyanti (1755). Setelah Perjanjian Giyanti, pesanggrahan Ayodya dibangun menjadi Keraton Kasultanan Ngayogyakarta.
Nama Vredeburg menunjukkan bahwa hubungan Belanda dan Keraton Yogyakarta memang tidak pernah akur, bahkan saling menyerang. Meriam yang diarahkan ke Kraton ini disiagakan lagi pada masa revolusi, tepatnya Desember 1948, ketika Yogyakarta jadi ibu Kota Negara Republik Indonesia. Saat itu, Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) menyediakan Keraton sebagai tempat gerilyawan Tentara Nasional Indonesia (TNI) berkumpul. Para perwisra banyak yang menyamar menjadi abdi dalem Kerton Yogyakarta pada waktu itu.
Strategi itu digunakan oleh Sultan dikarenakan Sultan tahu bahwa Keraton tempat yang aman bagi gerilyawan dan tidak akan diserang Belanda, dan Sultan HB IX tahu karena Ratu Wilhelmina di Belanda sudah berpesan kepada tentara Belanda untuk tidak mengganggu Sultan dan teman-temannya. Maka terbungkamlah meriam yang selama ini dipersiapkan oleh Belanda di Benteng Vredeburg.
Dalam catatatan informasi yang penulis dapatkan mengenai Benteng Vredeburg paska kemerdekaan, benteng vredeburg pernah menjadi markas Garnizun 072 serta Tentara Nasional Indonesia Batalion Infanteri 403. Pada tahun 1981, bangunan ini baru ditetapkan sebagai benda cagar budaya, dan mulai pada tahun 1992 secara resmi ditetapkan sebagai Museum Khusus Sejarah Sejarah Perjuangan Nasional Museum Benteng Vrederburg Yogyakarta. dengan nama
Pada setiap banguan di dalam lokasi Benteng Vredeburg tertempel keterangan fungsi bangunan tersebut sebelumnya, seperti gudang mesiu, gudang senjata berat, perumahan perwira, gedung pengapit, dan pintu gerbang. Gedung apit yang dulunya merupakan kantor administrasi kompleks Benteng Vredeburg, dan banguanan ini merupakan bentuk aslinya dengan segala ornamen gaya Yunani masa Renaisans, yang menunjukkan usianya lebih tua dibandingkan bangunan lainnya.
Bila kita lelah berkeliling Benteng Vredeburg maka kita bisa beristirahat di sekeliling Benteng Vredeburg yang ditanami pohon rimbun di atas Benteng Vredeburg sambil melihat lalu lintas Kota Yogyakarta dan keindahan gedung-gedung tua di perempatan jalan ahmad Yani, Yogyakarta. *maaf kalau salah smg membantu :)
MAAF KALAU SALAH
Benteng Vredeburg didirikan pada tahun 1760 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I (HB I) atas permintaan pemerintah Belanda. Maksud Belanda adalah untuk menjaga keamanan Sultan Yogyakarta. Dan menurut informasi yang penulis dapatkan dari pihak penerangan Museum Benteng Vredeburg mengenai fungsi dan awal kegunaan Benteng Vredeburg ini di bangun adalah, agar Belanda dapat mudah memantau gerak-gerik Sultan. Karena pada waktu itu di dalam Benteng ada meriam yang mengarah ke Kraton Yogyakarta.
Bentuk awal bangunan Benteng Vrederburg sangat sederhana, berbentuk bujur sangkar dengan tempat penjagaan bastion di setiap sudut. masing-masing bastion bernama Jayawisesa (barat laut), Jayapurusa (timur laut), Jayaprakosaningprang (barat daya), Jayaprayitna (tenggara).
Di tahun 1765, Frans Haak mengubahnya menjadi benteng dengan mengambil model benteng di daratan Eropa. Ini bisa dilihat dari ciri parit dalam yang mengelilingi banteng, kemudian ada menara pengawas di setiap sudutnya dan tembok lebar yang memungkinkan para serdadu berpatroli diatasnya dan menembak dari tempat itu. Hingga kini, semua itu masih bisa disaksikan. Karena penguasa Yogyakarta tidak berkenan dengan pembangunan benteng ini maka dibutuhkan waktu 23 tahun untuk menyelesaikannya, hal ini terjadi karena kurangnya suplai tenaga kerja dari penduduk lokal.
Dalam perjalanan sejarahnya, benteng ini sering dijadikan tempat penahanan pemimpin-pemimpin Yogya yang membangkang terhadap pemerintah kolonial Belanda sebelum dibuang ke luar Pulau Jawa. Di tempat ini pula kolaborator Belanda yang masih kerabat Sultan, Danurejo IV merancang taktik untuk menangkap Pangeran Diponegoro, putra tertua Sultan Hamengku Buwono III yang menentang Belanda.
Pada jaman Gubernur Belanda W.H Ossenberg, bangunan ini diusulkan agar dibuat pemanen, dengan suatu alasan agar keamanan lebih terjamin. Maka dimulailah penyempurnaan benteng yang ternyata memakan wkatu yang tidak sedikit, yakni dari tahun 1769 sampai dengan 1787. Setelah selesai disempurnakan benteng ini diberinama Rustenburg yang berarti "benteng peristirahatan".
Lamanya proses pengerjaaan benteng pada waktu itu dikarenakan Sultan sedang disibukkan dengan pembangunan Keraton Yogyakarta pada tahun 1775, dan Sultan HB I sendirilah yang menjadikan arsiteknya. Pembangunan Keraton Yogyakarta tidak lepas dari peristiwa pemisahan Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta yang diperintah Sunan Pakubuwono III dan Kesultanan Ngayogyakarta yang diperintah Pangeran mangkubumi, akibat Perjanjian Giyanti (1755). Setelah Perjanjian Giyanti, pesanggrahan Ayodya dibangun menjadi Keraton Kasultanan Ngayogyakarta.
Nama Vredeburg menunjukkan bahwa hubungan Belanda dan Keraton Yogyakarta memang tidak pernah akur, bahkan saling menyerang. Meriam yang diarahkan ke Kraton ini disiagakan lagi pada masa revolusi, tepatnya Desember 1948, ketika Yogyakarta jadi ibu Kota Negara Republik Indonesia. Saat itu, Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) menyediakan Keraton sebagai tempat gerilyawan Tentara Nasional Indonesia (TNI) berkumpul. Para perwisra banyak yang menyamar menjadi abdi dalem Kerton Yogyakarta pada waktu itu.
Strategi itu digunakan oleh Sultan dikarenakan Sultan tahu bahwa Keraton tempat yang aman bagi gerilyawan dan tidak akan diserang Belanda, dan Sultan HB IX tahu karena Ratu Wilhelmina di Belanda sudah berpesan kepada tentara Belanda untuk tidak mengganggu Sultan dan teman-temannya. Maka terbungkamlah meriam yang selama ini dipersiapkan oleh Belanda di Benteng Vredeburg.
Dalam catatatan informasi yang penulis dapatkan mengenai Benteng Vredeburg paska kemerdekaan, benteng vredeburg pernah menjadi markas Garnizun 072 serta Tentara Nasional Indonesia Batalion Infanteri 403. Pada tahun 1981, bangunan ini baru ditetapkan sebagai benda cagar budaya, dan mulai pada tahun 1992 secara resmi ditetapkan sebagai Museum Khusus Sejarah Sejarah Perjuangan Nasional Museum Benteng Vrederburg Yogyakarta. dengan nama
Pada setiap banguan di dalam lokasi Benteng Vredeburg tertempel keterangan fungsi bangunan tersebut sebelumnya, seperti gudang mesiu, gudang senjata berat, perumahan perwira, gedung pengapit, dan pintu gerbang. Gedung apit yang dulunya merupakan kantor administrasi kompleks Benteng Vredeburg, dan banguanan ini merupakan bentuk aslinya dengan segala ornamen gaya Yunani masa Renaisans, yang menunjukkan usianya lebih tua dibandingkan bangunan lainnya.
Bila kita lelah berkeliling Benteng Vredeburg maka kita bisa beristirahat di sekeliling Benteng Vredeburg yang ditanami pohon rimbun di atas Benteng Vredeburg sambil melihat lalu lintas Kota Yogyakarta dan keindahan gedung-gedung tua di perempatan jalan ahmad Yani, Yogyakarta.
*maaf kalau salah smg membantu :)