December 2023 1 1 Report
Bacalah Cerita Rekaan Berikut dan jawablah setiap pertanyaan pada soal no.1 dan 2!

AKU MATI BUKAN KARENA POLITIK, TAPI KARENA KURANG RESTU

Karya: Rusnaini Anwar

Ayahku adalah tahanan politik. Usianya 39 tahun kala namanya muncul di media nasional. Di ulang

tahunnya yang ke 40, ayahku dihukum mati. Kalimat terakhirnya yang kurekam adalah "Aku mati bukan

karena politik, aku hanya kurang restu"

Ibu merupakan orang yang paling terpukul atas kematian ayah. Ia mengutuk politik yang telah

menjadikannya janda. Politik adalah hal terbusuk yang pernah ada, ia menggerogoti setiap jiwa lalu

membunuhnya dengan semena mena. Di mata ibu, politik berwujud serupa monster, mungkin zombie.

Sebab zombie membunuh, memakan dan menggerogoti.

Aku beranjak dewasa, keingintahuanku atas politik semakin besar. Bukan sebagai tataran zombie versi

ibu, bukan pula dalam konteks pembunuh ayah. Aku ingin tahu mengapa poliyik begitu membius, hingga

seorang pria tinggi besar dan berpendirian kuat seperti ayahku, terhasut.

Di suatu senja, ibu berteriak senyaringnya "Jangan sakiti ibumu seperti ini. Cukup ayah yang dibawa

pergi." tangisnya membanjir. Tapi aku tetap pergi, belajar politik di benua seberang. Lama sekali, bertahun

tahun aku tidak pulang. Pun memberi kabar. Sekali suratku terpulangkan, ibu tak sudi membaca rentetan

kata pemberi kabar dari seorang anak pembangkang.

Tapi hasratku tak bisa dibendung, rasa ingin tahuku meninggi. Selama belajar aku mengalami kekaguman

luar biasa. Politik adalah tempat di mana aku bisa didengar, memiliki ideologi sendiri dan bahkan,

menularkan pandangan itu kepada orang lain. Kawanku bertambah banyak, dan semuanya sepaham

denganku. Sungguh, politik menjadi semacam surga.

Kepulanganku tanpa hadir ibu. Tetangga bilang beliau sudah berpindah, ke tempat yang jauh, tidak jelas

di mana. Aku kehilangan fokus mencari ibu saat seorang di pemerintahan mengajakku bergabung. Akupun

berpolitik. Bermain politik, menjadi politik. Beberapa tahun seusainya, aku berhasil menemukan ibu berkat

kawan kawan intelku.

,,

"Saya kangen ibu," Ibu mendelik, beliau sulit percaya sebab wajahku terlalu sumringah untuk seseorang

yang tengah merindu. Wajahku memang aneh belakangan ini, mungkin lantaran senyumku selalu

berlebihan. Senyum itu berharga banyak, untuk menunjukkan keramahan pada calon pemilih, petinggi,

penguasa.. atau mungkin aku terlalu sering melihat senyumku sendiri di papan papan besar pinggir jalan.

Tapi ibu tetap memelukku. Sebenci apapun beliau terhadap politik yang sudah menjadikannya janda, aku

tetaplah anaknya. Bertahun tahun kemudian ibu selalu hadir dalam kepentingan politikku. Ia berdiri di

belakangku saat pidato, saat aku menjadi ketua partai.

Ia juga hadir, tersenyum, saat aku menjadi presiden.

Tahun berlalu dan hubunganku dengan ibu baik baik saja. Aku bahkan sudah menarik kesimpulan bahwa

kebenciannya terhadap politik sudah sirna. Aku memang tak mampu menghapus status jandanya, tapi

setidaknya aku memberinya rumah besar dengan banyak pelayan untuk diajak bicara. Sehingga ia tidak

benar benar kesepian. Yang aku tidak tau, sediam apapun ibu atas ulahku, ia tak pernah setuju aku berkawan dengan politik. Di suatu sore, aku ditawan. Dalam sebuah bangsal di pulau buangan aku diinterogasi. Tentang keinginan

terselubungku mengubah haluan negara. Mengkiblatkan ideologi ke muka benua asing tempatku

bersekolah dulu. Aku tak mampu melawan, sebab itu ada benarnya walau tak sepenuhnya benar.

Lagipula, dengan semua ikatan dan siksaan itu, tak sanggup rasanya aku melawan. Bersuarapun tidak,

lidahku telah diiris oleh catut dan bayonet..

Usiaku menjelang 35 saat media nasional mendengungkan namaku berminggu minggu. Enam bulan

setelahnya, puluhan bersenjata berbaris di depanku tepat sebelum kantong berwarna hitam membungkus

kepalaku. Aku tau aku akan mati. Presiden termuda akan dieksekusi mati. Entah insting apa. aku seperti

melihat ibu di atas genting. Walau kutau, sungguh, itu mustahil adanya.

Semua prejudis ibu akan politik menguar. Namun aku tetap anaknya yang bandel. Aku tersenyum dan

menggumam gumam..

"Aku mati bukan karena politik, aku hanya kurang restu”

Dan rupanya, itu kalimat terakhir yang direkam anak lelakiku.

(Sumber: Kompasiana: Jakarta, 29 Desember 2011.)


1. Perspektif apakah yang lebih menonjol dalam cerita rekaan dari 4 persprektif yang ada (cerita

rekaan sebagai ekspresi pengarang, atau cerita rekaan sebuah struktur mandiri, atau cerita rekaan

sebagai refleksi kenyataan, atau cerita rekaan sebagai sumber nilai? Jelaskan dengan memberikan

contoh penonjolan perspefktif tersebut!


2. Analisislah jenis aliran cerita rekaan pada soal no.1 tersebut!

pliss bantuin dong ​

Life Enjoy

" Life is not a problem to be solved but a reality to be experienced! "

Get in touch

Social

© Copyright 2013 - 2024 KUDO.TIPS - All rights reserved.