Bacalah Cerita Rekaan Berikut dan jawablah setiap pertanyaan pada soal no.1 dan 2!
AKU MATI BUKAN KARENA POLITIK, TAPI KARENA KURANG RESTU
Karya: Rusnaini Anwar
Ayahku adalah tahanan politik. Usianya 39 tahun kala namanya muncul di media nasional. Di ulang
tahunnya yang ke 40, ayahku dihukum mati. Kalimat terakhirnya yang kurekam adalah "Aku mati bukan
karena politik, aku hanya kurang restu"
Ibu merupakan orang yang paling terpukul atas kematian ayah. Ia mengutuk politik yang telah
menjadikannya janda. Politik adalah hal terbusuk yang pernah ada, ia menggerogoti setiap jiwa lalu
membunuhnya dengan semena mena. Di mata ibu, politik berwujud serupa monster, mungkin zombie.
Sebab zombie membunuh, memakan dan menggerogoti.
Aku beranjak dewasa, keingintahuanku atas politik semakin besar. Bukan sebagai tataran zombie versi
ibu, bukan pula dalam konteks pembunuh ayah. Aku ingin tahu mengapa poliyik begitu membius, hingga
seorang pria tinggi besar dan berpendirian kuat seperti ayahku, terhasut.
Di suatu senja, ibu berteriak senyaringnya "Jangan sakiti ibumu seperti ini. Cukup ayah yang dibawa
pergi." tangisnya membanjir. Tapi aku tetap pergi, belajar politik di benua seberang. Lama sekali, bertahun
tahun aku tidak pulang. Pun memberi kabar. Sekali suratku terpulangkan, ibu tak sudi membaca rentetan
kata pemberi kabar dari seorang anak pembangkang.
Tapi hasratku tak bisa dibendung, rasa ingin tahuku meninggi. Selama belajar aku mengalami kekaguman
luar biasa. Politik adalah tempat di mana aku bisa didengar, memiliki ideologi sendiri dan bahkan,
menularkan pandangan itu kepada orang lain. Kawanku bertambah banyak, dan semuanya sepaham
denganku. Sungguh, politik menjadi semacam surga.
Kepulanganku tanpa hadir ibu. Tetangga bilang beliau sudah berpindah, ke tempat yang jauh, tidak jelas
di mana. Aku kehilangan fokus mencari ibu saat seorang di pemerintahan mengajakku bergabung. Akupun
berpolitik. Bermain politik, menjadi politik. Beberapa tahun seusainya, aku berhasil menemukan ibu berkat
kawan kawan intelku.
,,
"Saya kangen ibu," Ibu mendelik, beliau sulit percaya sebab wajahku terlalu sumringah untuk seseorang
yang tengah merindu. Wajahku memang aneh belakangan ini, mungkin lantaran senyumku selalu
berlebihan. Senyum itu berharga banyak, untuk menunjukkan keramahan pada calon pemilih, petinggi,
penguasa.. atau mungkin aku terlalu sering melihat senyumku sendiri di papan papan besar pinggir jalan.
Tapi ibu tetap memelukku. Sebenci apapun beliau terhadap politik yang sudah menjadikannya janda, aku
tetaplah anaknya. Bertahun tahun kemudian ibu selalu hadir dalam kepentingan politikku. Ia berdiri di
belakangku saat pidato, saat aku menjadi ketua partai.
Ia juga hadir, tersenyum, saat aku menjadi presiden.
Tahun berlalu dan hubunganku dengan ibu baik baik saja. Aku bahkan sudah menarik kesimpulan bahwa
kebenciannya terhadap politik sudah sirna. Aku memang tak mampu menghapus status jandanya, tapi
setidaknya aku memberinya rumah besar dengan banyak pelayan untuk diajak bicara. Sehingga ia tidak
benar benar kesepian. Yang aku tidak tau, sediam apapun ibu atas ulahku, ia tak pernah setuju aku berkawan dengan politik. Di suatu sore, aku ditawan. Dalam sebuah bangsal di pulau buangan aku diinterogasi. Tentang keinginan
terselubungku mengubah haluan negara. Mengkiblatkan ideologi ke muka benua asing tempatku
bersekolah dulu. Aku tak mampu melawan, sebab itu ada benarnya walau tak sepenuhnya benar.
Lagipula, dengan semua ikatan dan siksaan itu, tak sanggup rasanya aku melawan. Bersuarapun tidak,
lidahku telah diiris oleh catut dan bayonet..
Usiaku menjelang 35 saat media nasional mendengungkan namaku berminggu minggu. Enam bulan
setelahnya, puluhan bersenjata berbaris di depanku tepat sebelum kantong berwarna hitam membungkus
kepalaku. Aku tau aku akan mati. Presiden termuda akan dieksekusi mati. Entah insting apa. aku seperti
melihat ibu di atas genting. Walau kutau, sungguh, itu mustahil adanya.
Semua prejudis ibu akan politik menguar. Namun aku tetap anaknya yang bandel. Aku tersenyum dan
menggumam gumam..
"Aku mati bukan karena politik, aku hanya kurang restu”
Dan rupanya, itu kalimat terakhir yang direkam anak lelakiku.
(Sumber: Kompasiana: Jakarta, 29 Desember 2011.)
1. Perspektif apakah yang lebih menonjol dalam cerita rekaan dari 4 persprektif yang ada (cerita
rekaan sebagai ekspresi pengarang, atau cerita rekaan sebuah struktur mandiri, atau cerita rekaan
sebagai refleksi kenyataan, atau cerita rekaan sebagai sumber nilai? Jelaskan dengan memberikan
contoh penonjolan perspefktif tersebut!
2. Analisislah jenis aliran cerita rekaan pada soal no.1 tersebut!
pliss bantuin dong
Jawaban:
Jawaban : 1. -Novel aku mati bukan karena politik ,tapi karna kurang restu
Kesimpulan : Pembaca dalam hal ini adalah pembaca di Indonesia ternyata menyukai atau memiliki minat atau hasrat terhadap karya sastra khususnya "aku mati bukan karena politik tapi karna kurang restu" karena diangkat dari kisah nyata. Unsur “kisah nyata” ini mampu membuat pembaca penasaran terhadap novel tersebut. Kedua, novel tersebut memiliki cerita yang dekat dengan kenyataan dan secara tidak langsung pembaca seolah terbawa ke alur yang ada dalam novel tersebut. Kisah yang bersifat haru dan mengundang kesedihan dan membuat sebagian besar pembaca menitikkan air mata (dramatik) menjadi cerita yang disukai pembaca di Indonesia. Dan ketiga, cerita tersebut dituliskan oleh seorang penulis muda yang cukup ternama di media internet sehingga memberikan ruang kepada pembaca yang sebagian besar adalah perempuan dan kalangan remaja ini mendapatkan informasi adanya novel seperti "aku mati bukan karena politik tapi karna kurang restu", secara tidak langsung hal ini turut menjadikan novel tersebut populer di Indonesia. - Puisi Rusnaini anwar
Kesimpulan :rusnaini: karangan cerita prosa yang melukiskan perbuatan pelakunya menurut watak dan isi jiwa masing-masing. Jadi roman itu “cerita dari sebuah tokoh”. Sementara Picisan itu semacam klise, Picisan, rendahan. Maksudnya adalah cerita cinta yang klise. Cerita cinta yang rendahan. Kalau bisa dibilang, cerita cinta yang hanya ada di Sinetron FTV.
2. -Aliran yang terkandung dalam novel “ aku mati bukan karena politik tapi karna kurang restu” Dalam Novel "aku mati bukan karena politik tapi karna kurang restu" aliran yang digunakan adalah Aliran Realisme. -Aliran yang terkandung dalam Puisi rusnaini Anwar Aliran yang ada di Puisi tersabut adalah Aliran Romantisme
Penjelasan:
maaf kalo salah