chika101001 Saat ini, keberadaan internet menjadi salah satu hal penting untuk menunjang kegiatan perekonomian. Hal ini dapat dilihat dari maraknya kegiatan perdagangan atau jual beli melalui internet atau online yang biasa disebut e-Commerce. Tren perdagangan menggunakan internet dirasa lebih bermanfaat oleh para pelaku usaha tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan tapi juga meningkatkan pangsa pasar melalui akses yang luas dan mudah. Berdasarkan SE-62/PJ/2013 e-Commerce adalah perdagangan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha dan konsumen melalui sistem elektronik. Sistem transaksi e-commerce sudah diterapkan hampir di seluruh kegiatan bisnis dunia, termasuk di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Teknologi Informasi dan Komunikasi, pasar e-commerce Indonesia diperkirakan akan tumbuh menjadi US$ 130 miliar pada tahun 2020 dengan pertumbuhan sebesar 50% setiap tahunnya. Penjualan e-commerce di Indonesia diperkirakan akan terus meningkat dan lebih tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Thailand dan Filiphina.
Perkembangan e-commerce di Indonesia membuat pemerintah antusias untuk menggali potensi pajaknya. Isu pemberlakuan pajak bagi pelaku e-commerce yang sudah booming sejak tahun 2017 lalu akhirnya terealisasi dengan dikeluarkannya PMK No 210/PMK.010/2018. PMK tersebut mengatur tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik (e-commerce) yang mulai berlaku tanggal 01 April 2019. Berdasarkan peraturan tersebut pemerintah tidak menetapkan jenis atau tarif pajak baru bagi pelaku e-commerce. Peraturan yang dimuat hanya terkait cara dan prosedur untuk memberikan kemudahan administrasi dan mendorong kepatuhan para pelaku usaha e-commerce. Sehingga tidak ada perbedaan perlakuan perpajakan antara transaksi e-commerce dengan transaksi perdagangan lainnya.
PMK ini mewajibkan pedagang atau penyedia jasa untuk memberitahukan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) kepada penyedia marketplace. Jika pelaku usaha belum memiliki NPWP, bisa segera mendaftarkan diri melalui aplikasi e-registrasi yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak atau bisa juga dengan melaporkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) kepada platform marketplace. Selanjutnya untuk perlakuan pajaknya, pedagang yang memiliki omzet dibawah Rp 4,8 Miliar setahun akan dikenakan Pajak Penghasilan Final berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2018 yaitu sebesar 0,5% dari omzet bruto setiap bulan. Sedangkan pedagang yang memiliki omzet diatas Rp 4,8 Miliar setahun wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan melaksanakan kewajiban Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sesuai UU No. 42 Tahun 2009. Peraturan tersebut juga mewajibkan marketplace untuk memiliki NPWP dan dikukuhkan sebagai PKP. Kemudian, marketplace berkewajiban untuk memungut, menyetor dan melaporkan PPN dan juga PPh terkait penyediaan platform kepada pedagang dan penjualan barang dagangan.
Berlakunya peraturan ini memberikan tantangan baru bagi pelaku usaha e-commerce dan platform marketplace. Bagi pelaku usaha yang pro akan melihat kondisi ini sebagai peluang untuk lebih meningkatkan kepatuhan perpajakan. Sedangkan mereka yang kontra akan keberatan dengan adanya peraturan ini. Meskipun dalam peraturan tidak ada besaran tarif baru akan tetapi mereka akan merasa bahwa merekalah yang akan terbebani secara langsung. Jika dilihat, kebanyakan dari para pelaku usaha e-commerce di Indonesia merupakan pengusaha UMKM yang memanfaatkan platform marketplace untuk mengembangkan bisnisnya. Fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa banyak dari pelaku usaha mikro yang masih pada level coba-coba dan belum tentu bertahan lama dalam menjalankan usahanya. Bagi Platform Marketplace, ini merupakan kondisi baru bagi mereka. Dengan kesiapan waktu yang singkat dan transaksi e-commerce yang rumit, tentu saja mereka harus menyediakan sistem dan SDM dalam memudahkan mereka untuk memungut, dan melaporkan pajaknya.
Terlepas dari pro dan kontra, penggalian pajak atas transaksi e-commerce bertujuan untuk memberikan perlakuan pajak yang setara antara pelaku usaha elektronik maupun konvensional. Jika dalam memungut pajak dari transaksi e-commerce menuai kegagalan akan mengakibatkan ketidakadilan dalam penegakan hukum, ketidakseimbangan persaingan antara pengusaha dikarenakan beban pajak yang tidak merata. Merupakan tugas Direktorat Jenderal Pajak untuk memberikan sosialisasi dan pemahaman pajak e-commerce kepada pihak – pihak yang terkait agar peraturan ini bisa berjalan dengan efektif. Semoga setiap peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan akan selalu berpihak pada pertumbuhan ekonomi nasional tanpa membebani dan menghalangi kesempatan usaha bagi para pebisnis baru di Indonesia.
Saat ini, keberadaan internet menjadi salah satu hal penting untuk menunjang kegiatan perekonomian. Hal ini dapat dilihat dari maraknya kegiatan perdagangan atau jual beli melalui internet atau online yang biasa disebut e-Commerce. Tren perdagangan menggunakan internet dirasa lebih bermanfaat oleh para pelaku usaha tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan tapi juga meningkatkan pangsa pasar melalui akses yang luas dan mudah. Berdasarkan SE-62/PJ/2013 e-Commerce adalah perdagangan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha dan konsumen melalui sistem elektronik. Sistem transaksi e-commerce sudah diterapkan hampir di seluruh kegiatan bisnis dunia, termasuk di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Teknologi Informasi dan Komunikasi, pasar e-commerce Indonesia diperkirakan akan tumbuh menjadi US$ 130 miliar pada tahun 2020 dengan pertumbuhan sebesar 50% setiap tahunnya. Penjualan e-commerce di Indonesia diperkirakan akan terus meningkat dan lebih tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Thailand dan Filiphina.
Perkembangan e-commerce di Indonesia membuat pemerintah antusias untuk menggali potensi pajaknya. Isu pemberlakuan pajak bagi pelaku e-commerce yang sudah booming sejak tahun 2017 lalu akhirnya terealisasi dengan dikeluarkannya PMK No 210/PMK.010/2018. PMK tersebut mengatur tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik (e-commerce) yang mulai berlaku tanggal 01 April 2019. Berdasarkan peraturan tersebut pemerintah tidak menetapkan jenis atau tarif pajak baru bagi pelaku e-commerce. Peraturan yang dimuat hanya terkait cara dan prosedur untuk memberikan kemudahan administrasi dan mendorong kepatuhan para pelaku usaha e-commerce. Sehingga tidak ada perbedaan perlakuan perpajakan antara transaksi e-commerce dengan transaksi perdagangan lainnya.
PMK ini mewajibkan pedagang atau penyedia jasa untuk memberitahukan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) kepada penyedia marketplace. Jika pelaku usaha belum memiliki NPWP, bisa segera mendaftarkan diri melalui aplikasi e-registrasi yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak atau bisa juga dengan melaporkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) kepada platform marketplace. Selanjutnya untuk perlakuan pajaknya, pedagang yang memiliki omzet dibawah Rp 4,8 Miliar setahun akan dikenakan Pajak Penghasilan Final berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2018 yaitu sebesar 0,5% dari omzet bruto setiap bulan. Sedangkan pedagang yang memiliki omzet diatas Rp 4,8 Miliar setahun wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan melaksanakan kewajiban Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sesuai UU No. 42 Tahun 2009. Peraturan tersebut juga mewajibkan marketplace untuk memiliki NPWP dan dikukuhkan sebagai PKP. Kemudian, marketplace berkewajiban untuk memungut, menyetor dan melaporkan PPN dan juga PPh terkait penyediaan platform kepada pedagang dan penjualan barang dagangan.
Berlakunya peraturan ini memberikan tantangan baru bagi pelaku usaha e-commerce dan platform marketplace. Bagi pelaku usaha yang pro akan melihat kondisi ini sebagai peluang untuk lebih meningkatkan kepatuhan perpajakan. Sedangkan mereka yang kontra akan keberatan dengan adanya peraturan ini. Meskipun dalam peraturan tidak ada besaran tarif baru akan tetapi mereka akan merasa bahwa merekalah yang akan terbebani secara langsung. Jika dilihat, kebanyakan dari para pelaku usaha e-commerce di Indonesia merupakan pengusaha UMKM yang memanfaatkan platform marketplace untuk mengembangkan bisnisnya. Fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa banyak dari pelaku usaha mikro yang masih pada level coba-coba dan belum tentu bertahan lama dalam menjalankan usahanya. Bagi Platform Marketplace, ini merupakan kondisi baru bagi mereka. Dengan kesiapan waktu yang singkat dan transaksi e-commerce yang rumit, tentu saja mereka harus menyediakan sistem dan SDM dalam memudahkan mereka untuk memungut, dan melaporkan pajaknya.
Terlepas dari pro dan kontra, penggalian pajak atas transaksi e-commerce bertujuan untuk memberikan perlakuan pajak yang setara antara pelaku usaha elektronik maupun konvensional. Jika dalam memungut pajak dari transaksi e-commerce menuai kegagalan akan mengakibatkan ketidakadilan dalam penegakan hukum, ketidakseimbangan persaingan antara pengusaha dikarenakan beban pajak yang tidak merata. Merupakan tugas Direktorat Jenderal Pajak untuk memberikan sosialisasi dan pemahaman pajak e-commerce kepada pihak – pihak yang terkait agar peraturan ini bisa berjalan dengan efektif. Semoga setiap peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan akan selalu berpihak pada pertumbuhan ekonomi nasional tanpa membebani dan menghalangi kesempatan usaha bagi para pebisnis baru di Indonesia.