Sa1sab1laPendudukan Jepang semenjak tahun 1942 adalah sebuah revolusi yang kasar. Sistem penghisapan darah yang berkedok kehalusan dan keteraturan selama kurang lebih 140 tahun yang dijalankan kolonial Hindia-Belanda dengan waktu yang cepat berganti dengan penghisapan darah yang nyaris tanpa kedok. Propaganda “Saudara Tua” ataupun 3A tidak bisa disebut topeng, hanya riasan yang cukup tebal, yang terhapus dalam hitungan hari. Sistem yang samasekali baru langsung berlaku. Sistem kepemilikan, sistem pendidikan, sistem bahasa, sistem kependudukan, sistem militer, dan sistem moral dan susila diganti seolah hanya tinggal merobek lembaran kertas dan menulis yang baru dengan pensil. Seluruh kebutuhan wilayah kolonial dibebankan pada rakyat, sementara raga pemerintah kolonial Jepang sedang berkonsentrasi bersenyum sapa dengan Adolf Hitler dan Benito Mussolini.Dalam kondisi aneh tersebut, para pegiat pergerakan mengambil caranya masing-masing dalam mempertahankan visi dan misi mereka. Tan Malaka, menceburkan diri dalam kesedihan para pekerja pabrik sepatu di Kalibata dan Cililitan, menghasilkan MADILOG, dan lalu beranjak ke Bayah, Banten Selatan untuk mendekatkan diri pada salahs atu kehidupan paling menyedihkan, kehidupan para Romusha.Sedangkan Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Mas Mansyur menyiasati kekejaman Jepang dengan mengambil langkah kooperatif, berkarya di organisasi-organisasi Jepang, yaitu Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA), dan kemudian Jawa Hokkokai. Tapi kemanakah Sutan Sjahrir?.
1 votes Thanks 2
Sa1sab1la
Sjahrir ternyata memiliki pandangan lain dalam menyiasati keadaan pendudukan Jepang. Di masa pendudukan Jepang, secara mencolok para pemuda diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan yang berbau militeristik Jepang. Penduduk laki-laki usia muda, baik yang tidak bisa membaca hingga para mahasiswa tak luput dari “ajakan” Jepang untuk berlatih secara militer.
ir.sukarno,drs.moh.hatta,achamad soerbadjo,sayuti melik,sukarni,dll