Gersang, tak nyaman, bau, sumpek, dan kotor. Diperparah jarak permukiman yang terlalu dekat dengan kilang Pertamina, 50-100 meter. Rawa di bawah rumah-rumah kayu bisa dibilang seperti bak sampah raksasa.
Semua sampah dan apa yang tidak diperlukan dibuang begitu saja ke bawah rumah (rawa). Warga belum sadar apa dampaknya. Warga juga belum paham pentingnya menata kampung, sampai terjadi kebakaran besar tahun 1992 yang menghanguskan 75 persen wilayah.
Kesadaran baru
Dari 600 rumah milik warga yang mayoritas nelayan ini hanya tersisa 140 rumah. Tak sanggup membangun, tetapi tetap berkeinginan tinggal, membuat warga kebingungan. Di sisi lain, Pertamina merasa permukiman ini terlalu dekat dengan kilang.
Pemkot Balikpapan juga bertahun-tahun mewacanakan relokasi. Serangkaian kondisi itu menemukan benang merahnya, yakni warga bersedia direlokasi, tetapi ke lokasi yang berdekatan. Permukiman baru pun bergeser 300 meter menjauh dari kilang.
BACA HARIAN KOMPAS
JELAJAHI
Home News Regional
Kampung Atas Air Balikpapan, Dulu Kumuh Sekarang Asri
Senin, 9 Januari 2017 | 13:52 WIB
Komentar
Suasana di Kampung Atas Air, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, Minggu (11/12/2016). Kampung yang dulu kumuh ini sekarang menjadi kampung yang cukup asri, dan menyabet sejumlah penghargaan nasional.
Lihat Foto
Penulis: Lukas Adi Prasetya | Editor: Laksono Hari Wiwoho
Kawasan itu pun dibangun bertahap. Aziz bercerita, rumah kayunya dulu berukuran 15 meter x 25 meter, tetapi di lokasi baru hanya 7 meter x 11 meter. Dengan kata lain, berkurang sekitar 75 persen. Lebih sempit. Sebagai ganti, tersedia jalan dan fasilitas.
Mila (32), warga lainnya, mengingat, dulu, rumah-rumah yang ada, berimpit-impitan. Nyaris tak ada gang yang lega untuk dijelajah. Saat laut pasang, warga harus memakai kapal kayu jika ingin ke darat. Tidak ada yang menanam pohon.
"Kalau saya ditanya memilih kondisi yang bagaimana, ya pilih sekarang. Apalagi setelah punya anak, saya melihat kondisi lingkungan lebih penting. Anak-anak sekarang berada di kampung yang cukup nyaman, bersih, dan menyenangkan," ujar Mila.
Perlahan penataan diterima warga. Kebiasaan warga berubah. Mereka yang dulu membuang sampah ke bawah rumah, kini tidak lagi. Seiring itu, "halaman" kampung yang seluas 11 hektar juga mulai ditanami bakau. Bakau primer yang dulu dibabat, mesti ditumbuhkan.
Ketua Tim Pengelola Permukiman/ Kampung Atas Air Arbain mengatakan, sejak penanaman bakau pertama tahun 2000, sudah ditanam 40.000 pohon bakau. Masih jauh dari target 100.000 pohon. Masih jauh pula dari keinginan agar kampung ini punya "halaman" penuh bakau.
"Sekitar 30 persen bakau yang pernah ditanam itu mati karena sampah menutup bakau," ujar Arbain. Sebagai kawasan pasang-surut, Kampung Atas Air juga terpaksa dan tak bisa menghindari sampah terbawa arus laut dari wilayah lain. Begitu air surut, sampah tersangkut.
Kesadaran warga sudah ada. Setiap pekan, terkumpul 15-30 kg sampah, mayoritas plastik berupa botol kemasan, pembungkus makanan, dan tas keresek, yang terhampar dan tersangkut bakau. Sejumlah orang pencari cacing laut, juga ikut membantu menungut sampah plastik.
Jawaban:
Gersang, tak nyaman, bau, sumpek, dan kotor. Diperparah jarak permukiman yang terlalu dekat dengan kilang Pertamina, 50-100 meter. Rawa di bawah rumah-rumah kayu bisa dibilang seperti bak sampah raksasa.
Semua sampah dan apa yang tidak diperlukan dibuang begitu saja ke bawah rumah (rawa). Warga belum sadar apa dampaknya. Warga juga belum paham pentingnya menata kampung, sampai terjadi kebakaran besar tahun 1992 yang menghanguskan 75 persen wilayah.
Kesadaran baru
Dari 600 rumah milik warga yang mayoritas nelayan ini hanya tersisa 140 rumah. Tak sanggup membangun, tetapi tetap berkeinginan tinggal, membuat warga kebingungan. Di sisi lain, Pertamina merasa permukiman ini terlalu dekat dengan kilang.
Pemkot Balikpapan juga bertahun-tahun mewacanakan relokasi. Serangkaian kondisi itu menemukan benang merahnya, yakni warga bersedia direlokasi, tetapi ke lokasi yang berdekatan. Permukiman baru pun bergeser 300 meter menjauh dari kilang.
BACA HARIAN KOMPAS
JELAJAHI
Home News Regional
Kampung Atas Air Balikpapan, Dulu Kumuh Sekarang Asri
Senin, 9 Januari 2017 | 13:52 WIB
Komentar
Suasana di Kampung Atas Air, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, Minggu (11/12/2016). Kampung yang dulu kumuh ini sekarang menjadi kampung yang cukup asri, dan menyabet sejumlah penghargaan nasional.
Lihat Foto
Penulis: Lukas Adi Prasetya | Editor: Laksono Hari Wiwoho
Kawasan itu pun dibangun bertahap. Aziz bercerita, rumah kayunya dulu berukuran 15 meter x 25 meter, tetapi di lokasi baru hanya 7 meter x 11 meter. Dengan kata lain, berkurang sekitar 75 persen. Lebih sempit. Sebagai ganti, tersedia jalan dan fasilitas.
Mila (32), warga lainnya, mengingat, dulu, rumah-rumah yang ada, berimpit-impitan. Nyaris tak ada gang yang lega untuk dijelajah. Saat laut pasang, warga harus memakai kapal kayu jika ingin ke darat. Tidak ada yang menanam pohon.
"Kalau saya ditanya memilih kondisi yang bagaimana, ya pilih sekarang. Apalagi setelah punya anak, saya melihat kondisi lingkungan lebih penting. Anak-anak sekarang berada di kampung yang cukup nyaman, bersih, dan menyenangkan," ujar Mila.
Perlahan penataan diterima warga. Kebiasaan warga berubah. Mereka yang dulu membuang sampah ke bawah rumah, kini tidak lagi. Seiring itu, "halaman" kampung yang seluas 11 hektar juga mulai ditanami bakau. Bakau primer yang dulu dibabat, mesti ditumbuhkan.
Ketua Tim Pengelola Permukiman/ Kampung Atas Air Arbain mengatakan, sejak penanaman bakau pertama tahun 2000, sudah ditanam 40.000 pohon bakau. Masih jauh dari target 100.000 pohon. Masih jauh pula dari keinginan agar kampung ini punya "halaman" penuh bakau.
"Sekitar 30 persen bakau yang pernah ditanam itu mati karena sampah menutup bakau," ujar Arbain. Sebagai kawasan pasang-surut, Kampung Atas Air juga terpaksa dan tak bisa menghindari sampah terbawa arus laut dari wilayah lain. Begitu air surut, sampah tersangkut.
Kesadaran warga sudah ada. Setiap pekan, terkumpul 15-30 kg sampah, mayoritas plastik berupa botol kemasan, pembungkus makanan, dan tas keresek, yang terhampar dan tersangkut bakau. Sejumlah orang pencari cacing laut, juga ikut membantu menungut sampah plastik.