byan3221
Geguritan merupakan sastra kuno yang memiliki ciri sastra lama atau klasik yang berifat anonim yaitu tanpa nama pengarang dan penulis. Ini disebabkan karena pada zamanya dibuat seorang penulis tidak mau menonjolkan diri dan karyanya dianggap milik bersama.
Kata geguritan dalam kamus Bali – Indonesia berasal dari kata “gurit artinya gubah, karang, sadur “(Depdikdas Prop. Bali, 1991 :254), dan dalam Kamus Umum Indonesia dijelaskan “geguritan itu berasal dari kata gurit artinya sajak atau syair” (Poerwadarminta, 1986 :161). sedangkan dalam Kamus Kawi Indonesia diungkapkan “gurit artinya goresan, dituliskan” (Tim Penyusun, 1996:118).
Ciri yang kental di dalam sebuah geguritan adalah adanya pupuh-pupuh yang membentuk geguritan tersebut seperti : pupuh pucung, durma, sinom, pangkur, smarandhana, dandang, ginada, dan demung. Oleh karenanya di dalam menikmati geguritan dengan membacanya tidak bisa disamakan dengan membaca karya sastra yang tergolong prosa.
Geguritan hendaknya dinikmati dengan membaca sambil melagukan sehingga nikmat yang didapatkan semakin merasuk kalbu. Karya sastra yang berwujud pupuh diikat oleh aturan yang disebut : pada lingsa, pada dan carik. “syarat-syarat yang biasa disebut (pada lingsa) yaitu banyaknya baris dalam tiap bait (pada) banyaknya suku kata dalam tiap-tiap baris (carik) dan bunyi akhir tiap-tiap baris” (Agastia, 1980 :17).
Berdasarkan pandangan di atas maka pengertian geguritan adalah ciptaan sastra berbentuk syair yang biasanya dilagukan dengan tembang (pupuh) yang sangat merdu.
kanadia
Geguritan merupakan sastra kuno yang memiliki ciri sastra lama atau klasik yang berifat anonim yaitu tanpa nama pengarang dan penulis. Ini disebabkan karena pada zamanya dibuat seorang penulis tidak mau menonjolkan diri dan karyanya dianggap milik bersama.
Kata geguritan dalam kamus Bali – Indonesia berasal dari kata “gurit artinya gubah, karang, sadur “(Depdikdas Prop. Bali, 1991 :254), dan dalam Kamus Umum Indonesia dijelaskan “geguritan itu berasal dari kata gurit artinya sajak atau syair” (Poerwadarminta, 1986 :161). sedangkan dalam Kamus Kawi Indonesia diungkapkan “gurit artinya goresan, dituliskan” (Tim Penyusun, 1996:118).
Ciri yang kental di dalam sebuah geguritan adalah adanya pupuh-pupuh yang membentukgeguritan tersebut seperti : pupuh pucung, durma, sinom, pangkur, smarandhana, dandang, ginada, dan demung. Oleh karenanya di dalam menikmati geguritan dengan membacanya tidak bisa disamakan dengan membaca karya sastra yang tergolong prosa.
Kata geguritan dalam kamus Bali – Indonesia berasal dari kata “gurit artinya gubah, karang, sadur “(Depdikdas Prop. Bali, 1991 :254), dan dalam Kamus Umum Indonesia dijelaskan “geguritan itu berasal dari kata gurit artinya sajak atau syair” (Poerwadarminta, 1986 :161). sedangkan dalam Kamus Kawi Indonesia diungkapkan “gurit artinya goresan, dituliskan” (Tim Penyusun, 1996:118).
Ciri yang kental di dalam sebuah geguritan adalah adanya pupuh-pupuh yang membentuk geguritan tersebut seperti : pupuh pucung, durma, sinom, pangkur, smarandhana, dandang, ginada, dan demung. Oleh karenanya di dalam menikmati geguritan dengan membacanya tidak bisa disamakan dengan membaca karya sastra yang tergolong prosa.
Geguritan hendaknya dinikmati dengan membaca sambil melagukan sehingga nikmat yang didapatkan semakin merasuk kalbu. Karya sastra yang berwujud pupuh diikat oleh aturan yang disebut : pada lingsa, pada dan carik. “syarat-syarat yang biasa disebut (pada lingsa) yaitu banyaknya baris dalam tiap bait (pada) banyaknya suku kata dalam tiap-tiap baris (carik) dan bunyi akhir tiap-tiap baris” (Agastia, 1980 :17).
Berdasarkan pandangan di atas maka pengertian geguritan adalah ciptaan sastra berbentuk syair yang biasanya dilagukan dengan tembang (pupuh) yang sangat merdu.
Kata geguritan dalam kamus Bali – Indonesia berasal dari kata “gurit artinya gubah, karang, sadur “(Depdikdas Prop. Bali, 1991 :254), dan dalam Kamus Umum Indonesia dijelaskan “geguritan itu berasal dari kata gurit artinya sajak atau syair” (Poerwadarminta, 1986 :161). sedangkan dalam Kamus Kawi Indonesia diungkapkan “gurit artinya goresan, dituliskan” (Tim Penyusun, 1996:118).
Ciri yang kental di dalam sebuah geguritan adalah adanya pupuh-pupuh yang membentukgeguritan tersebut seperti : pupuh pucung, durma, sinom, pangkur, smarandhana, dandang, ginada, dan demung. Oleh karenanya di dalam menikmati geguritan dengan membacanya tidak bisa disamakan dengan membaca karya sastra yang tergolong prosa.