Di puncak kebenciannya pada ajaran Islam, Umar memutuskan untuk membunuh Nabi Muhammad SAW. Maka disiapkannya pedang yang amat tajam. Tanpa ragu, ia segera menuju rumah Rasulullah SAW.
Di perjalanan, ia bertemu dengan lelaki bernama Nu’aim bin Abdullah an-Nuham al-Adawi.
“Mau ke manakah engkau wahai Umar?” sapanya.
“Aku hendak menghabisi Muhammad!” jawab Umar lantang.
“Bagaimana engkau bisa aman dari pembalasan Bani Hasyim dan Bani Zuhrah jika kau membunuh Muhammad?” ucap Nu’aim.
“Sepertinya engkau juga telah meninggalkan agamamu,” Umar berkomentar.
Salah tingkah karena dicurigai, Nu’aim mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Maukah ku kabarkan kepadamu sesuatu yang lebih mencengangkanmu Umar? Saudarimu beserta suaminya pun telah meninggalkan agama yang kau yakini,” tutur Nu’aim.
Kabar itu begitu mengejutkannya hingga ia tak mampu berkata. Lelaki yang dikenal dengan wataknya yang keras itu akhirnya mengubah rute menuju kediaman Fatimah, saudarinya.
Benar saja, sesampainya di sana, Umar mendengar lantunan Al-Qur’an sedang dibacakan Khabab bin al-Arat kepada Sa’ad dan Fatimah binti al-Khattab.
Menyadari kedatangan Umar, Khabab segera menyelinap ke dalam, sedangkan lembaran kitab suci itu disembunyikan oleh Fatimah.
“Bisik-bisik apa yang kudengar dari dalam rumah kalian?” bentak Umar.
“Hanya percakapan biasa saja di antara kami,” ucap Fatimah dan suaminya.
“Jangan-jangan kalian telah menganut agama baru itu.”
Maka sang ipar berkata, “Hai Umar, bagaimana menurutmu jika kebenaran ada di luar agamamu?”
Umar geram, ia segera lompat dan menginjak Sa’ad. Fatimah yang menyaksikan suaminya diperlakukan kasar berupaya melerai, namun hantaman pukulan justru mengenai Fatimah hingga wajahnya berdarah.
Sang adik kemudian berkata, “Wahai Umar jika memang kebenaran itu berada di luar agamamu, bersaksilah bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.”
Melihat adiknya terluka, Umar mulai menyesal dan malu, ia lalu berkata, “Coba berikan padamu al-Kitab yang tadi engkau baca.”
“Tidak, engkau orang najis, Al-Kitab ini hanya boleh disentuh oleh orang orang-orang suci. Pergilah mandi dulu.”
Umar akhirnya bergegas mandi kemudian barulah mengambil Kitab itu dan membaca “Bismillahirrahmaanirrahim.”
“Betapa indah dan sucinya kalimat ini,” komentar Umar.
Ia kemudian membaca surah Taha, saat selesai di ayat 14, Umar kembali terkagum-kagum, “Indah dan mulia sekali kalam ini. Antarkanlah aku menemui Muhammad.”
Khabab yang mendengar pernyataan Umar segera keluar dari persembunyiannya, “Berbahagialah hai Umar, aku benar-benar berharap agar doa Rasulullah SAW pada malam Kamis itu terkabul pada dirimu.”
Maka berangkatlah Umar menuju Darul Arqam, sebuah tempat di kaki bukit Shafa. Tempat Rasulullah SAW berdakwah kepada para sahabatnya. Kali ini Umar bukan bermaksud membunuh Nabi, melainkan bersyahadat dan menyatakan keislamannya.
Sesampainya di sana, Umar mengetuk pintu. Seorang sahabat mengintip dari celah-celah pintu. Dilihatnya Umar berdiri tegak dengan pedang di pinggangnya. Seluruh isi rumah panik. Mereka berkumpul hendak melindungi Nabi SAW.
“Ada apa dengan kalian?” ucap Hamzah bin Abdul Muthalib.
“Umar datang,” jawab mereka.
“Memangnya kenapa dengan Umar? Buka pintunya. Jika dia bermaksud baik, kita akan menyambutnya. Jika dia bermaksud buruk, kita bunuh dia dengan pedangnya sendiri,” ucap Hamzah yang saat itu baru memeluk Islam selama tiga hari.
Maka, dibukalah pintu, Umar masuk dan Rasulullah SAW menemui Umar. Beliau memegang baju dan hulu pedang Umar, lalu menariknya keras-keras seraya berkata, “Tidakkah engkau mau menghentikan tindakanmu wahai Umar, sampai Allah mendatangkan kehinaan kepadamu seperti yang menimpa Walid bin Mughirah? Ya Allah, inilah Umar bin Khattab, Ya Allah, kokohkanlah Islam dengan Umar bin Khattab.”
“Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Engkau adalah utusan Allah,” ucap Umar begitu yakin.
Haru biru menyelimuti Darul Arqam, seluruh sahabat bertakbir bahagia menyambut keislaman Umar, suara mereka begitu lantang hingga terdengar ke Masjidil Haram.
Jawaban:
Di puncak kebenciannya pada ajaran Islam, Umar memutuskan untuk membunuh Nabi Muhammad SAW. Maka disiapkannya pedang yang amat tajam. Tanpa ragu, ia segera menuju rumah Rasulullah SAW.
Di perjalanan, ia bertemu dengan lelaki bernama Nu’aim bin Abdullah an-Nuham al-Adawi.
“Mau ke manakah engkau wahai Umar?” sapanya.
“Aku hendak menghabisi Muhammad!” jawab Umar lantang.
“Bagaimana engkau bisa aman dari pembalasan Bani Hasyim dan Bani Zuhrah jika kau membunuh Muhammad?” ucap Nu’aim.
“Sepertinya engkau juga telah meninggalkan agamamu,” Umar berkomentar.
Salah tingkah karena dicurigai, Nu’aim mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Maukah ku kabarkan kepadamu sesuatu yang lebih mencengangkanmu Umar? Saudarimu beserta suaminya pun telah meninggalkan agama yang kau yakini,” tutur Nu’aim.
Kabar itu begitu mengejutkannya hingga ia tak mampu berkata. Lelaki yang dikenal dengan wataknya yang keras itu akhirnya mengubah rute menuju kediaman Fatimah, saudarinya.
Benar saja, sesampainya di sana, Umar mendengar lantunan Al-Qur’an sedang dibacakan Khabab bin al-Arat kepada Sa’ad dan Fatimah binti al-Khattab.
Menyadari kedatangan Umar, Khabab segera menyelinap ke dalam, sedangkan lembaran kitab suci itu disembunyikan oleh Fatimah.
“Bisik-bisik apa yang kudengar dari dalam rumah kalian?” bentak Umar.
“Hanya percakapan biasa saja di antara kami,” ucap Fatimah dan suaminya.
“Jangan-jangan kalian telah menganut agama baru itu.”
Maka sang ipar berkata, “Hai Umar, bagaimana menurutmu jika kebenaran ada di luar agamamu?”
Umar geram, ia segera lompat dan menginjak Sa’ad. Fatimah yang menyaksikan suaminya diperlakukan kasar berupaya melerai, namun hantaman pukulan justru mengenai Fatimah hingga wajahnya berdarah.
Sang adik kemudian berkata, “Wahai Umar jika memang kebenaran itu berada di luar agamamu, bersaksilah bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.”
Melihat adiknya terluka, Umar mulai menyesal dan malu, ia lalu berkata, “Coba berikan padamu al-Kitab yang tadi engkau baca.”
“Tidak, engkau orang najis, Al-Kitab ini hanya boleh disentuh oleh orang orang-orang suci. Pergilah mandi dulu.”
Umar akhirnya bergegas mandi kemudian barulah mengambil Kitab itu dan membaca “Bismillahirrahmaanirrahim.”
“Betapa indah dan sucinya kalimat ini,” komentar Umar.
Ia kemudian membaca surah Taha, saat selesai di ayat 14, Umar kembali terkagum-kagum, “Indah dan mulia sekali kalam ini. Antarkanlah aku menemui Muhammad.”
Khabab yang mendengar pernyataan Umar segera keluar dari persembunyiannya, “Berbahagialah hai Umar, aku benar-benar berharap agar doa Rasulullah SAW pada malam Kamis itu terkabul pada dirimu.”
Maka berangkatlah Umar menuju Darul Arqam, sebuah tempat di kaki bukit Shafa. Tempat Rasulullah SAW berdakwah kepada para sahabatnya. Kali ini Umar bukan bermaksud membunuh Nabi, melainkan bersyahadat dan menyatakan keislamannya.
Sesampainya di sana, Umar mengetuk pintu. Seorang sahabat mengintip dari celah-celah pintu. Dilihatnya Umar berdiri tegak dengan pedang di pinggangnya. Seluruh isi rumah panik. Mereka berkumpul hendak melindungi Nabi SAW.
“Ada apa dengan kalian?” ucap Hamzah bin Abdul Muthalib.
“Umar datang,” jawab mereka.
“Memangnya kenapa dengan Umar? Buka pintunya. Jika dia bermaksud baik, kita akan menyambutnya. Jika dia bermaksud buruk, kita bunuh dia dengan pedangnya sendiri,” ucap Hamzah yang saat itu baru memeluk Islam selama tiga hari.
Maka, dibukalah pintu, Umar masuk dan Rasulullah SAW menemui Umar. Beliau memegang baju dan hulu pedang Umar, lalu menariknya keras-keras seraya berkata, “Tidakkah engkau mau menghentikan tindakanmu wahai Umar, sampai Allah mendatangkan kehinaan kepadamu seperti yang menimpa Walid bin Mughirah? Ya Allah, inilah Umar bin Khattab, Ya Allah, kokohkanlah Islam dengan Umar bin Khattab.”
“Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Engkau adalah utusan Allah,” ucap Umar begitu yakin.
Haru biru menyelimuti Darul Arqam, seluruh sahabat bertakbir bahagia menyambut keislaman Umar, suara mereka begitu lantang hingga terdengar ke Masjidil Haram.
Penjelasan:
Sekian kak, selamat belajar!