Kain tenun ikat khas Flores dalah satu dari sekian banyak produk budaya tradisional khas Indonesia yang dibuat secara tradisional namun bernilai seni tinggi dan indah. Proses pembuatan produk warisan budaya khas pulau di bagian timur Indonesia ini melewati sejumlah proses yang memakan waktu hingga berbulan-bulan. Dibutuhkan ketekunan dan kesabaran untuk menghasilkan sehelai kain tenun ikat dimana hampir semua proses pembuatan kain ikat tersebut dilakukan secara tradisional dan manual serta menuntut ketekunan dan kesabaran tinggi.
Setidaknya ada lebih dari 20 tahapan selama hampir sebulan agar sebuah kain tenunan Flores dapat memanjakan mata dan diapresiasi peminatnya dengan transaksi jual beli. Proses pembuatan tenun ikat khas Flores diawali dengan memisahkan kapas dari biji, memintal kapas tersebut menjadi benang, proses pewarnaan, mengikat motif, dan terakhir baru mulai menenun. Ada alat khusus yang digunakan untuk memisahkan kapas dari bijinya termasuk untuk menggulung benang yang sudah dipintal.
Dalam mewarnai benang, pengrajin tenun ikat tradisional masih menggunakan pewarna tradisional yang didapatkan dari alam. Misalnya dengan menggunakan beberapa jenis tumbuhan, seperti daun dan akar mengkudu (warna merah), daun nira (warna biru), kayu pohon hepang, kunyit (warna kuning), loba, kulit pohon mangga, kulit pohon cokelat, serbuk kayu mahoni tarum, zopha, kemiri, dan masih banyak lagi. Pewarnaan dapat dilakukan berulang-ulang guna menghasilkan warna yang khas. Setidaknya ada 11 warna tercipta dari bahan alami yang ramah lingkungan. Warna dari bahan alami dan benang dari kapas membuat warnanya memang tidak secerah benang modern tetapi justru lebih tahan lama dan menguak warna yang makin lama makin indah.
Beberapa daerah di Flores merupakan sentra penghasil kain tenun ikat, di antaranya adalah Maumere, Sikka, Ende, Manggarai,Ngada, Nage Keo, Lio, dan Lembata di bagian timur Flores. Setiap daerah atau etnis memiliki ragam motif, corak dan preferensi warna yang berbeda-beda dalam membuat kain tenun ikat. Keragaman tersebut merupakan bentuk pengejawantahan simbol-simbol yang merepresentasikan etnis, adat, religi, dan hal lainnya dari keseharian masyarakat Flores.
Kain tenun khas daerah Sikka misalnya, biasanya selalu menggunakan warna gelap seperti hitam, coklat, biru, dan biru-hitam. Untuk motifnya, terdapat beberapa jenis yang khas, yaitu motif okukirei yang berdasarkan kisah tentang nenek moyang sub-etnis Sikka yang dulunya adalah pelaut ulung. Figur nelayan, sampan, udang, atau kepiting menjadi ciri khas bagi kain jenis motif ini. Terdapat pula jenis motif mawarani yang dihiasi dengan corak bunga mawar. Konon, motif ini merupakan motif khas yang khusus diperuntukkan bagi putri-putri Kerajaan Sikka. Motif ini kini menjadi favorit kaum perempuan.
Penjelasan:
Kain tenun ikat khas Flores dalah satu dari sekian banyak produk budaya tradisional khas Indonesia yang dibuat secara tradisional namun bernilai seni tinggi dan indah. Proses pembuatan produk warisan budaya khas pulau di bagian timur Indonesia ini melewati sejumlah proses yang memakan waktu hingga berbulan-bulan. Dibutuhkan ketekunan dan kesabaran untuk menghasilkan sehelai kain tenun ikat dimana hampir semua proses pembuatan kain ikat tersebut dilakukan secara tradisional dan manual serta menuntut ketekunan dan kesabaran tinggi.
Setidaknya ada lebih dari 20 tahapan selama hampir sebulan agar sebuah kain tenunan Flores dapat memanjakan mata dan diapresiasi peminatnya dengan transaksi jual beli. Proses pembuatan tenun ikat khas Flores diawali dengan memisahkan kapas dari biji, memintal kapas tersebut menjadi benang, proses pewarnaan, mengikat motif, dan terakhir baru mulai menenun. Ada alat khusus yang digunakan untuk memisahkan kapas dari bijinya termasuk untuk menggulung benang yang sudah dipintal.
Dalam mewarnai benang, pengrajin tenun ikat tradisional masih menggunakan pewarna tradisional yang didapatkan dari alam. Misalnya dengan menggunakan beberapa jenis tumbuhan, seperti daun dan akar mengkudu (warna merah), daun nira (warna biru), kayu pohon hepang, kunyit (warna kuning), loba, kulit pohon mangga, kulit pohon cokelat, serbuk kayu mahoni tarum, zopha, kemiri, dan masih banyak lagi. Pewarnaan dapat dilakukan berulang-ulang guna menghasilkan warna yang khas. Setidaknya ada 11 warna tercipta dari bahan alami yang ramah lingkungan. Warna dari bahan alami dan benang dari kapas membuat warnanya memang tidak secerah benang modern tetapi justru lebih tahan lama dan menguak warna yang makin lama makin indah.
Beberapa daerah di Flores merupakan sentra penghasil kain tenun ikat, di antaranya adalah Maumere, Sikka, Ende, Manggarai,Ngada, Nage Keo, Lio, dan Lembata di bagian timur Flores. Setiap daerah atau etnis memiliki ragam motif, corak dan preferensi warna yang berbeda-beda dalam membuat kain tenun ikat. Keragaman tersebut merupakan bentuk pengejawantahan simbol-simbol yang merepresentasikan etnis, adat, religi, dan hal lainnya dari keseharian masyarakat Flores.
Kain tenun khas daerah Sikka misalnya, biasanya selalu menggunakan warna gelap seperti hitam, coklat, biru, dan biru-hitam. Untuk motifnya, terdapat beberapa jenis yang khas, yaitu motif okukirei yang berdasarkan kisah tentang nenek moyang sub-etnis Sikka yang dulunya adalah pelaut ulung. Figur nelayan, sampan, udang, atau kepiting menjadi ciri khas bagi kain jenis motif ini. Terdapat pula jenis motif mawarani yang dihiasi dengan corak bunga mawar. Konon, motif ini merupakan motif khas yang khusus diperuntukkan bagi putri-putri Kerajaan Sikka. Motif ini kini menjadi favorit kaum perempuan.
Mungkin yg anda maksud mesin flores?