firdhar
Konflik antara diplomasi dan perjuangan merupakan corak dominan yang mewarnai sejarah Indonesia di masa revolusi. Konflik antara diplomasi dan perjuangan ini tampil pertama kali dalam masalah apakah Indonesia, yang baru merdeka, perlu segera memiliki tentara atau tidak. Pimpinan negara, Soekarno-Hatta, berpendapat dengan segera membentuk tentara, Indonesia hanya akan memprovokasi Jepang, yang masih bersenjata lengkap, meski telah menyerah, dan tentara Sekutu yang segera mendarat. Sebaliknya, para pemuda. Atas inisiatif sendiri, pemuda-pemuda di berbagai kota bergerak merampas senjata dari Jepang, dan kemudian mengatur diri dalam barisan-barisan ketentaraan. Di kemudian hari, Soekarno, dalam memoarnya mengakui tentara Indonesia tidak diciptakan oleh pemerintah melainkan lahir sendiri secara spontan. “aneh negara zonder tentara” Ucapan itu datang dari seorang pensiunan KNIL berpangkat Mayor, Oerip Sumohardjo, mewakili seluruh golongan militer Indonesia yang telah mendapat pendidikan kemiliteran Jepang maupun semasa kolonial Belanda. Pemikiran para tokoh militer Indonesia itu sejalan dengan pemikiran ahli militer berkebangsaan Italia Niccolo Machiavelli (1469-1527 M) tentang pentingnya keberadaan organisasi kemiliteran dalam satu negara. Machiavelli mengatakan bahwa. ”...Dasar suatu negara adalah organisasi militer yang baik…”.Tentara yang menciptakan dirinya inilah yang memilih Soedirman menjadi panglima besar pada 12 November 1945. Pemerintah, di bawah pimpinan Perdana Menteri Sutan Syahrir, yang merasa wewenangnya dilanggar tentara, memerlukan waktu sebulan sebelum akhirnya mengakui Soedirman sebagai panglima besar. Pengakuan dan pelantikan Soedirman menjadi panglima besar adalah monumen pertama dari perjalanan konflik antara diplomasi dan ambisi Belanda untuk menjajah kembali Indonesia.Hubungan yang kurang serasi itu menjadi makin mencolok tatkala Soedirman, sebagai “Bapak Tentara”, lebih berperan sebagai bapak dari “anak-anak”-nya tinimbang menjadi pejabat pemerintah di bidang pertahanan. Keadaan seperti ini jelas tidak membahagiakan bagi pemerintah. Sebab, bagaimanakah bisa menjalankan pemerintahan dalam keadaan perang jika tentara mempunyai kebijaksanaannya sendiri? Ini bukannya tidak disadari oleh Sudirman. Soalnya ialah pertikaian yang hebat antara golongan oposisi dan pihak pemerintah, pada saat negara terancam bahaya pemusnahan oleh tentara Kerajaan Belanda, dianggap tidak beres oleh Sudirman. Maka, Sudirman pun melihat anak-anaknya sebagai lebih mewakili perjuangan. Usaha menjadikan tentara sepenuhnya alat negara, yang hanya bergerak atas perintah pemerintah, tidak pernah berhasil. Kegagalan ini paling sedikit disebabkan oleh dua hal. Pertama, tentara tidak mudah begitu saja menghapuskan otonomi mereka. Sikap itu bisa dimengerti, karena pada masa revolusi percekcokan terus terjadi antara pemerintah dan partai-partai oposisi. Percekcokan ini menyebabkan lemahnya pemerintah. Lemahnya pemerintah inilah penyebab kedua, yang menyebabkan tentara tidak pernah dapat dijadikan sebagai alat negara semata. Adalah otonomi politik tentara ini yang diartikulasikan Panglima Besar Soedirman lewat angkah laku politiknya, yang cenderung amat independen terhadap pemerintah. Hanya dengan mengerti tingkah laku politik Panglima Besar itulah kita bisa dengan gampang mengerti sikap tentara yang memutuskan untuk bergerilya, tatkala pimpinan politik memutuskan menyerah kepada Belanda. Kontras antara Soedirman (yang bergerilya) dan Soekarno (yang menaikkan bendera putih di Gedung Agung) merupakan monumen kedua dari konflik diplomasi lawan perjuangan. Hanya saja, monumen kedua ini amat fatal akibatnya. Ia telah menyebabkan goyahnya kepercayaan tentara kepada kepemimpinan sipil. Menyerah kepada musuh adalah haram bagi tentara, yang telah bersumpah untuk tidak kenal menyerah. Antara lain, karena takut melanggar sumpah itulah Soedirman menolak bujukan Soekarno agar beristirahat saja di dalam kota ketika pesawat tempur Belanda menghujani Yogyakarta dengan bom. Perang gerilya itu berlangsung sekitar setengah tahun. Dan, seperti diduga para pemimpin sipil, diplomasi — terutama berkat tekanan Washington — juga yang menyebabkan Belanda menarik pasukannya dari wilayah Republik. Mungkinkah Belanda menyerah pada tekanan diplomasi, Jika merasa sanggup menghancurkan Republik secara fisik? Pertanyaan yang sama juga bisa dikemukakan terhadap kesediaan Belanda menyerahkan Irian Barat (kini Irian Jaya) dulu. Tidakkah Belanda menyerahkan Irian Barat setelah Washington — yang kemudian mendesak Den Haag — yakin Komando Mandala di bawah pimpinan Mayor Jenderal (kini Presiden) Soeharto betul-betul siap dan sanggup menyerbu Irian Barat? Soalnya bukan siapa yang benar: pihak diplomasi atau pihak perjuangan. Yang jadi masalah, sebagai akibat perbedaan reaksi terhadap serangan Belanda atas Yogyakarta pada 19 Desember 1948, adalah berkembangnya persepsi kurang percaya di kalangan tentara pada kepemimpinan sipil.