rayanimuzahara1
Polemik nikah beda agama bukan polemik baru. Itu isu lama yang kembali mencuat. Memang benar apa kata orang, sejarah akan mengulang kejadian sebelumnya. Karena itu, kehadiran beberapa orang yang kembali meneriakkan masalah ini, hanya membeo para moyangnya yang memiliki pemikiran yang sama.
Terkait pertanyaan yang anda sampaikan, ada beberapa catatan yang bisa kita perhatikan, Pertama, nikah beda agama tidak dilarang secara mutlak. Karena islam membolehkan seorang lelaki muslim menikah dengan wanita ahli kitab – yahudi atau nasrani – yang menjaga kehormatan dan bukan wanita nakal. Allah berfirman,
Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang yang diberi kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. (QS. Al-Maidah: 5)
Karena itu, mengatakan bahwa nikah beda agama dilarang dalam islam secara mutlak tanpa pengecualian, jelas kesalahan dan kedustaan atas nama syariat.
Kedua, bahwa agama tidak hanya status semata. Namun status yang sekaligus menjadi ideologi seseorang. Bagi sebagian orang yang kurang peduli dengan agama, menganggap bahwa agama hanya status. Tidak ada beda antara satu agama dengan lainnya. Karena semuanya agama. Anda bisa katakan, ini prinsip orang ateis atau agnotis, yang tidak memahami hakekat agama. Jelas prinsip yang sangat tidak relevan dengan realita di lapangan.
Setiap manusia memiliki status. Agama, kewarganegaraan, suku, bahasa, daerah, hingga usia. Sebagian dicantumkan di KTP, seperti agama, daerah, dan usia. Dan semua orang bisa membedakan antara status agama dengan status kewarganegaraan atau suku, bahasa, daerah atau usia. Semakin agung statusnya, semakin kuat usaha seseorang untuk membelanya.
Bagi orang yang menilai agama paling agung, pembelaan dia terhadap agama akan lebih besar dibandingkan pembelaan terhadap negara, suku, bahasa atau daerah. Demikian pula, bagi orang yang menilai status kewarganegaraan lebih penting, maka upaya pembelaannya akan banyak tercurah ke sana, dan begitu seterusnya. Anda akan lebih marah ketika suku anda dihina dari pada tanggal kelahiran anda dihina. Karena anda menganggap, suku lebih mulia dari pada tanggal lahir. Padahal keduanya sama-sama status manusia. Namun status yang satu lebih mulia, dibanding status lainnya.
Sebagai bangsa bernegara, kita diarahkan agar tidak terlalu menonjolkan sentimen kesukuan. Karena ini bisa mengancam persatuan bangsa. Sebagai manusia beragama, islam juga menyuruh kita untuk tidak menonjolkan sentimen kesukuan, kebangsaan. Karena bisa mengancam persaudaraan sesama muslim. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut tindakan membangkan suku dengan seruan jahiliyah. Beliau bersabda,
#menurutku
Terkait pertanyaan yang anda sampaikan, ada beberapa catatan yang bisa kita perhatikan,
Pertama, nikah beda agama tidak dilarang secara mutlak. Karena islam membolehkan seorang lelaki muslim menikah dengan wanita ahli kitab – yahudi atau nasrani – yang menjaga kehormatan dan bukan wanita nakal. Allah berfirman,
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ
Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang yang diberi kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. (QS. Al-Maidah: 5)
Karena itu, mengatakan bahwa nikah beda agama dilarang dalam islam secara mutlak tanpa pengecualian, jelas kesalahan dan kedustaan atas nama syariat.
Kedua, bahwa agama tidak hanya status semata. Namun status yang sekaligus menjadi ideologi seseorang. Bagi sebagian orang yang kurang peduli dengan agama, menganggap bahwa agama hanya status. Tidak ada beda antara satu agama dengan lainnya. Karena semuanya agama. Anda bisa katakan, ini prinsip orang ateis atau agnotis, yang tidak memahami hakekat agama. Jelas prinsip yang sangat tidak relevan dengan realita di lapangan.
Setiap manusia memiliki status. Agama, kewarganegaraan, suku, bahasa, daerah, hingga usia. Sebagian dicantumkan di KTP, seperti agama, daerah, dan usia. Dan semua orang bisa membedakan antara status agama dengan status kewarganegaraan atau suku, bahasa, daerah atau usia. Semakin agung statusnya, semakin kuat usaha seseorang untuk membelanya.
Bagi orang yang menilai agama paling agung, pembelaan dia terhadap agama akan lebih besar dibandingkan pembelaan terhadap negara, suku, bahasa atau daerah. Demikian pula, bagi orang yang menilai status kewarganegaraan lebih penting, maka upaya pembelaannya akan banyak tercurah ke sana, dan begitu seterusnya.
Anda akan lebih marah ketika suku anda dihina dari pada tanggal kelahiran anda dihina. Karena anda menganggap, suku lebih mulia dari pada tanggal lahir. Padahal keduanya sama-sama status manusia. Namun status yang satu lebih mulia, dibanding status lainnya.
Sebagai bangsa bernegara, kita diarahkan agar tidak terlalu menonjolkan sentimen kesukuan. Karena ini bisa mengancam persatuan bangsa. Sebagai manusia beragama, islam juga menyuruh kita untuk tidak menonjolkan sentimen kesukuan, kebangsaan. Karena bisa mengancam persaudaraan sesama muslim. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut tindakan membangkan suku dengan seruan jahiliyah. Beliau bersabda,