Apa sajakah EE Douwes Dekker perjuangkan bagi rakyat indonesia
jopan Ernest François Eugène Douwes Dekker dikenal dengan nama Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi lahir tanggal 8 Oktober 1879 di Pasuruan, Jawa Timur. Beliau adalah tokoh politik dan patriot Indonesia, pembangkit semangat kebangsaan Indonesia, penentang penjajahan yang gigih, wartawan dan sastrawan. Di tubuhnya mengalir darah Belanda, Prancis, Jerman, dan Jawa, tapi semangat kebangsaan Douwes Dekker lebih membara dibanding penduduk bumiputra. Douwes Dekker adalah kemenakan dari Eduard Douwes Dekker alias Multatuli, penulis buku Max Havelaar yang terkenal. Setelah lulus sekolah HBS di Betawi untuk beberapa waktu bekerja sebagai “sinder” perkebunan kopi dan chemiker pabrik gula. Kemudian dalam usia muda melawat ke Afrika Selatan dan ikut berperang di pihak orang Boer melawan Inggris (1900 – 1901). Douwes Dekker tertawan dan diasingkan di Ceylon (Srilangka). Tahun 1902 Douwes Dekker kembali di tanah air (Indonesia), bekerja sebagai wartawan harian Belanda De Locomotief dan kemudian duduk dalam redaksi harian Belanda Soerabaiaasch Handelsblad dan Bataviaasch Nieusblad. Pada 1909 Douwes Dekker berangkat ke Eropa. Untuk majalah mingguan Jong Indie yang terbit di Betawi ia menulis rangkaian “Surat-surat seorang biadab dari dunia beradab”. Pada akhir 1910 kembali dari Eropa, Douwes Dekker menetap di Bandung dan menerbitkan majalah setengah bulanan Het Tijdschrift, disusul dengan harian De Express (Maret 1912). Dalam penerbitan tersebut Douwes Dekker menuangkan keyakinan dan program politiknya untuk melancarkan jalan bagi pembentukan Indische Partij-nya. Untuk keperluan pembentukan partai ini, tiga serangkai (Douwes Dekker, Suwardi Suryaningrat, dan Cipto Mangunkusumo) mengadakan perjalanan propaganda keliling pulau Jawa (September 1912) yang berhasil gemilang dengan berdirinya Indische Partij pada tanggal 25 Desember 1912. Sebelum meninggalkan Bandung, Douwes Dekker sempat berorasi di sebuah gerbong sebelum peluit berbunyi dan kereta meluncur ke Yogyakarta: "Saudara, kita umumnya dianggap malas, makhluk apatis yang menderita banyak kebiasaan buruk. Tapi saya melihat Anda semua telah bangun sepagi ini menentang tuduhan para dokter Belanda yang begitu parah bahwa kita Indier rendahan." Pada tahun 1913 Douwes Dekker bersama Suwardi Suryaningrat dan Cipto Mangunkusumo dikenakan exorbitante rechten (hak istimewa Gubernur Jenderal Hindia Belanda) berupa pengasingan (interneering). Mereka ditangkap akibat munculnya tulisan terkenal Suwardi Suryaningrat di De Expres, "Als Ik Een Nederlander Was" (Andaikata Aku Seorang Belanda). Atas permintaan sendiri ketiganya diperkenankan meninggalkan Indonesia, berangkat ke negeri Belanda. Douwes Dekker mencapai gelar sarjana (dokter) di Universitas Zurich, Swiss (1915). Ketika kembali ke Indonesia dalam tahun 1918, Douwes Dekker melihat keadaan di tanah air sudah jauh berbeda dengan waktu keberangkatannya. Semangat kebangsaan kaum Indo yang dalam tahun 1912 menggelora di bawah pimpinannya kini sudah redup. Tetapi hal itu tidak mengurangi aktivitas politik nasionalnya. Dia menerbitkan majalah De Beweging dan menghidupkan kembali harian De Express. Selain politik, Douwes Dekker giat dalam bidang pendidikan (Direktur Institut Ksatrian di Bandung). Dalam bulan Januari 1941, Douwes Dekker ditangkap kembali sehubungan dengan peristiwa penggeledahan rumah M.H. Thamrin dan diasingkan di Suriname. Setelah Indonesia merdeka, Douwes Dekker pulang ke Indonesia (3 Januari 1947) dan berganti nama Danudirja Setiabudi. Beliau menjabat sebagai Menteri Negara dalam Kabinet Syahrir (1947) dan pada tahun 1948 diangkat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung di Yogyakarta. Douwes Dekker alias Danudirja Setiabudi meninggal di Bandung, Jawa Barat, 28 Agustus 1950 pada umur 70 tahun.
jadikan solusi terbaik yaa.. :-)
5 votes Thanks 7
nendasujana
maygats panjang banget ......oh emji hello ,,,gak salah nih
antoniusprasetyAnton
Menulis buku Max Havelar dengan nama samaran multatuli, yang mengkritik penjajahan kolonial belanda.
Setelah lulus sekolah HBS di Betawi untuk beberapa waktu bekerja sebagai “sinder” perkebunan kopi dan chemiker pabrik gula. Kemudian dalam usia muda melawat ke Afrika Selatan dan ikut berperang di pihak orang Boer melawan Inggris (1900 – 1901). Douwes Dekker tertawan dan diasingkan di Ceylon (Srilangka). Tahun 1902 Douwes Dekker kembali di tanah air (Indonesia), bekerja sebagai wartawan harian Belanda De Locomotief dan kemudian duduk dalam redaksi harian Belanda Soerabaiaasch Handelsblad dan Bataviaasch Nieusblad. Pada 1909 Douwes Dekker berangkat ke Eropa. Untuk majalah mingguan Jong Indie yang terbit di Betawi ia menulis rangkaian “Surat-surat seorang biadab dari dunia beradab”. Pada akhir 1910 kembali dari Eropa, Douwes Dekker menetap di Bandung dan menerbitkan majalah setengah bulanan Het Tijdschrift, disusul dengan harian De Express (Maret 1912). Dalam penerbitan tersebut Douwes Dekker menuangkan keyakinan dan program politiknya untuk melancarkan jalan bagi pembentukan Indische Partij-nya. Untuk keperluan pembentukan partai ini, tiga serangkai (Douwes Dekker, Suwardi Suryaningrat, dan Cipto Mangunkusumo) mengadakan perjalanan propaganda keliling pulau Jawa (September 1912) yang berhasil gemilang dengan berdirinya Indische Partij pada tanggal 25 Desember 1912. Sebelum meninggalkan Bandung, Douwes Dekker sempat berorasi di sebuah gerbong sebelum peluit berbunyi dan kereta meluncur ke Yogyakarta:
"Saudara, kita umumnya dianggap malas, makhluk apatis yang menderita banyak kebiasaan buruk. Tapi saya melihat Anda semua telah bangun sepagi ini menentang tuduhan para dokter Belanda yang begitu parah bahwa kita Indier rendahan." Pada tahun 1913 Douwes Dekker bersama Suwardi Suryaningrat dan Cipto Mangunkusumo dikenakan exorbitante rechten (hak istimewa Gubernur Jenderal Hindia Belanda) berupa pengasingan (interneering). Mereka ditangkap akibat munculnya tulisan terkenal Suwardi Suryaningrat di De Expres, "Als Ik Een Nederlander Was" (Andaikata Aku Seorang Belanda). Atas permintaan sendiri ketiganya diperkenankan meninggalkan Indonesia, berangkat ke negeri Belanda. Douwes Dekker mencapai gelar sarjana (dokter) di Universitas Zurich, Swiss (1915). Ketika kembali ke Indonesia dalam tahun 1918, Douwes Dekker melihat keadaan di tanah air sudah jauh berbeda dengan waktu keberangkatannya. Semangat kebangsaan kaum Indo yang dalam tahun 1912 menggelora di bawah pimpinannya kini sudah redup. Tetapi hal itu tidak mengurangi aktivitas politik nasionalnya. Dia menerbitkan majalah De Beweging dan menghidupkan kembali harian De Express. Selain politik, Douwes Dekker giat dalam bidang pendidikan (Direktur Institut Ksatrian di Bandung). Dalam bulan Januari 1941, Douwes Dekker ditangkap kembali sehubungan dengan peristiwa penggeledahan rumah M.H. Thamrin dan diasingkan di Suriname. Setelah Indonesia merdeka, Douwes Dekker pulang ke Indonesia (3 Januari 1947) dan berganti nama Danudirja Setiabudi. Beliau menjabat sebagai Menteri Negara dalam Kabinet Syahrir (1947) dan pada tahun 1948 diangkat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung di Yogyakarta. Douwes Dekker alias Danudirja Setiabudi meninggal di Bandung, Jawa Barat, 28 Agustus 1950 pada umur 70 tahun.
jadikan solusi terbaik yaa.. :-)